Tanganku mencakar-cakar tanah,
hingga kuku terkelupas dan berdarah. Kurasakan perih yang menyayat di ujung jari, membuat mataku berair karena nyeri.
Sreeeeettttt...!
Tubuhku diseret tanpa ampun entah kemana. Kedua siku dan lutut bersimbah darah, dagingnya terkoyak penuh pasir dan tanah. Tanganku gelagapan mencari sesuatu untuk berpegang.
Berhasil! Tanganku berhasil meraih tiang patung sapundu. Kupeluk erat patung itu sekuat tenaga.
Kreek...kreek...
Tiang ulin itu bergoyang-goyang hebat bagai pohon dihantam angin kencang. Berurai air mata kuucapkan dua kalimat syahadat. Susah payah aku berhasil berbalik badan, lalu kuucap takbir sekuatnya.
"Bismillahi Allahu Akbar!!!"
Praakk...!
Setengah tidak percaya, tendanganku berhasil menghantam kepala mahluk itu. Kepalanya terlepas dan berputar-putar di udara diiringi suara tawa cekikikan yang melengking.
"Kik...kik...kik..."
Aku bergidik ngeri dan bulu kudukku merinding. Berpegang pada tiang, tertatih aku bangkit berdiri. Tak kuhiraukan sakit, aku terbirit menyelamatkan diri.
Bruuk!
Tubuhku terjungkal lima kali kedepan karena berlari dalam gelap.
Tak ada pilihan, aku kembali bangkit dan terjungkal lagi berkali-berkali.Tubuhku basah bermandi peluh dan nafas terasa semakin sesak karena terus berlari tak tahu arah. Di belakang, suara langkah kaki terseret terdengar mengikuti.
Aku membaca alfatihah berulang-ulang, karena hanya itu yang kuingat saat ini. Itupun aku tidak tahu bacaanya entah benar atau salah karena sangat panik.
Kupacu langkah secepatnya, menuju rumah warga yang samar-samar lampu teploknya menyala di dalam rumah.
Segera aku meniti tangga teras dan pintunya kugedor-gedor. Aku berteriak meminta tolong tapi tidak ada jawaban.
Di kaki tangga, rambut putih menjuntai terlihat kontras dengan pekatnya gelap malam. Dengan sedikit kasar, pintu kudorong dengan paksa.
Kreett...
Pintu terbuka, bergegas aku masuk. Pintuk itu langsung kukunci, kuganjal dengan palang kayu. Aku tersadar, rumah ini kosong. Hanya ada beberapa lampu teplok yang menempel di dinding.
Braakk...!
Aku melonjak kaget, pindu digedor sangat kencang. Bukan! Bukan digedor, tapi di dobrak paksa.
Braak...!
Braak...!
Aku mundur selangkah demi selangkah, sepertinya pintu itu takkan bertahan lama.
"Kik...kik...kik..."
Suara tawa cekikikan menggema dari luar rumah, sayup-sayup dan berpindah-pindah. Panik dan ketakutan, aku mencari tempat sembunyi. Aku berhasil menemukan sebuah kamar. Aku bergegas mengunci pintu dan sembunyi di bawah ranjang.
Hening...
Suara tawa menghilang, tapi berganti suara langkah kaki terseret.
Sreek...sreek...
Terdengar suara langkah berjalan di dalam rumah, membuat jantungku berdetak tidak karuan. Suara tetesan air yang sayup juga terdengar, sungguh meruntuhkan nyali.
Suara langkah itu sepertinya mendekat, lalu terdengar suara cakaran di pintu. Suara cakaran benar-benar seperti teror dari neraka, membuat ketakutanku semakin menjadi-jadi.
Di kolong ranjang, aku menangis dengan air mata mengalir. Aku meringkuk menahan dingin. Tubuhku mulai menggigil entah karena takut atau udara di dalam rumah ini memang sangat dingin.
Mungkin seperti inilah yang dialami Bawi, tersesat di dunia orang mati dan dikejar arwah jahat.
Aku sedikit tenang saat suara cakaran di pintu telah hilang. Namun, hanya sesaat. Kini suara cakaran beralih ke kaca jendela. Aku menutup kuping karena tidak kuat mendengarnya.
Praang...!
Kaca jendela pecah, diikuti dengan masuknya kepala nenek itu.
Lehernya memanjang seperti ular, sedangkan tubuhnya ada di luar.
Aku menahan nafas, saat kepala itu bergerak ke sana kemari menyusuri sudut kamar. Lehernya meliuk-liuk, benar-benar sepert ular, hanya saja kepalanya kepala manusia.
Aku mulai melantunkan surat pendek dalam hati, tatkala kepala itu mendekat ke kolong ranjang.
"Allahu Akbar !"
Aku mengucap takbir sangat kencang. Kepala itu kini persis ada di hadapanku, menyeringai lebar dengan wajah yang sangat keriput dan buruk rupa.
"Kaassnooo...."ucapnya lirih.
Seketika nafasku sesak dan tubuhku terasa sangat dingin. Kepala itu bergoyang pelan kekiri dan kanan, memamerkan wajah yang mendadak mengelupas seperti terbakar. Dagingya meleleh sampai tulang tengkoraknya terlihat, penuh darah.
Aku benar-benar merasa ngeri. Aku mati kutu, tidak bisa bergerak kemana-mana. Otot-otot tubuhku rasanya lemas kehilangan tenaga.
"Kaaaasssnoo...adat diisi janji dilabuh..."
Mataku melotot sewaktu melihat barisan gigi tajam di mulutnya yang mengeluarkan darah kental bercampur air ludah.
Sreet....
Mahluk mengerikan itu tiba-tiba menarik kepalanya keluar, rambutnya yang menjuntai menggesek lantai hingga menimbulkan bunyi yang menakutkan.
Benar-benar pemandangan yang sangat mengerikan.
Braak...!
Pintuk kamar terbuka paksa. Kini, bediri sosok hitam penuh amarah dengan mata menyala-nyala. Sosok itu bergerak cepat, menarik tubuhku dari kolong ranjang.
Tidak kujawab, langsung kupeluk dia tanpa malu. Aku bersyukur karena masih ada di alam manusia. Risih, Pak Salundik mendorong tubuhku dengan paksa.
"Kamu ini kenapa? Udah sunat masih aja nangis," sindirnya.
Tak kuhiraukan perkataannya, aku masih trauma dengan apa yang kualami barusan. Ia lalu menyodorkan sebotol air mineral dan langsung kutenggak untuk menghilangkan haus yang luar biasa.
"Kamu ini kenapa? Main lari aja ke rumah kosong
Mana gak ada lampu lagi, nanti malah dikira maling."
"Hah!?"
Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Kuperiksa, tidak ada luka di tubuh. Tidak ada lecet maupun bibir yang pecah. Semua baik-baik saja.
"Pak, apa mungkin rohku barusan lepas dari tubuh, lalu mengembara ke dunia orang mati?"
"Kamu ini kebanyakan nonton Wiro Sableng!" Pak Salundik menjentik kupingku.
"Aduuh!" Aku meringis.
"Tadi kamu itu tiba-tiba lari begitu saja. Kupanggil, malah menjerit. Kukejar, malah lari semakin jauh."
Aku terdiam seraya mengelus-ngelus kupingku yang sakit akibat dijentik.
Otakku tidak bisa mencerna apa yang terjadi barusan. Rasanya tidak mungkin aku bermimpi.
Mustahil juga bila berhalusinasi. Setidaknya, sudah dua kali kejadian menakutkan ini kualami.
"Makanya jaga sopan santun di depan Sandung. Bersikaplah hormat pada orang yang sudah meninggal. Di sini banyak arwah leluhur. Biasakan belom bahadat."
Aku mengangguk-angguk meski dicekam kebingungan. Otakku buntu dan tidak bisa berpikir jernih.
"Yaudah, sebaiknya kita pulang sebelum larut malam. Nanti dikira maling, malah bahaya," ajak pak Salundik.
"I-inggih, pak," jawabku lirih.
Pak Salundik memapah tubuhku, membantu berdiri. Kami berdua kemudian melangkah ke pintu depan. Jalanku begitu lambat karena kurasakan pundak sangat berat. Aku terpaksa berjalan sambil membungkuk. Mungkin karena kelelahan berlari, ujarku dalam benak.
"Kenapa, kok lambat? Kayak pengantin aja."
"I-iya pak. Masih kecapekan," balasku asal saja.
Sambil berjalan, pak Salundik menyorotkan cahaya senter ke segala penjuru rumah. Entah apa yang ia cari, tapi aku merasa rumah kosong ini begitu angker.
Begitu menginjakkan kaki di teras, pak Salundik menatap tali jemuran yang membentang di antara dua tiang.
Ia lalu menoleh ke arahku seraya tersenyum.
"Kasno, bagaimana kalau tanganmu kuikat saja, lalu kutarik biar gak kabur kayak tadi," kata pak Salundik dengan senyum lebar.
"Haaahh...."
Aku menghela nafas panjang, tapi juga tak bisa mengelak. Bagaimana pun juga, saat ini aku merasa lebih aman jika dekat dengan pak Salundik.
"Terserah lah, pak," jawabku tidak bersemangat.
Entah kenapa aku setuju dengan ide konyol itu. Yang pasti, punggungku terasa semakin lama semakin berat. Hingga tanpa sengaja, terlihat bayangan samar-samar terpantul di kaca jendela depan yang gelap.
Di kaca itu, terlihat samar seorang nenek tengah bergendong di punggungku.
"Puji liau," bisikku dalam hati, "sepertinya ada mahluk halus yang menempel di tubuhku."
...bersambung...
Terima kasih masih membaca sampai part 8. Sampai jumpa malam jumat ya 🙏
Bagi yang ingin baca duluan atau sekedar mendukung saya untuk terus berkarya, part 9&10 sudah tersedia di @karyakarsa_id
Aku menggigil dan tanganku gemetar, saat dinginnya bilah mandau yang tajam menyayat-nyayat tenggorokan hingga jakunku terasa sangat sakit. Belum cukup, pak Salundik kini menyayat punggungku seperti memotong roti. Namun, anehnya tidak ada darah yang keluar.
Hanya perih yang terasa di punggung meski tidak ada luka segores pun."Sinikan tanganmu!" sentak pak Salundik.
Masih terheran-heran, kubiarkan pak Salundik menyayat lenganku. Aku merasa ngeri saat mandau itu berusaha merobek kulit dengan kuat.
Kulihat, ada puluhan patung kayu ulin yang bergerak-gerak di tiang penopangnya. Satu-satu mereka berhasil lepas dan mengelilingiku sehingga tidak ada celah untuk kabur.
Aku benar-benar gila, tidak bisa membedakan antara mimpi atau kenyataan.
Yang paling mengerikan, patung prajurit Dayak yang menghunus mandau terus bergerak mendekat.
Aku ingin lari tapi rasa takut lebih menguasai. Rasa takut membuat kakiku tidak bisa melangkah. Tubuhku terdiam, berdiri dengan lutut gemetar.
"Bu, malam ini aku dan istri akan nginap di rumah mertua di kecamatan. Anakku mendadak sakit keras, tadi malam menangis terus," kata polisi Rudi.
"Loh, Kasno akan sendirian di rumah dinas ini," timpal bu Suhai.
"Gak ada pilihan, bu. Aku takut bayiku kenapa-kenapa. Soalnya...tadi malam aku melihat ada yang mengerikan di belakang."
Polisi Rudi lantas menceritakan apa yang ia lihat dini hari tadi. Katanya, sewaktu pulang setelah mencari Sarunai dan Agau, ia langsung berganti pakaian.
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak
Bab 15 : Barisan Semut Hitam
Aku menutup pintu sepelan mungkin agar tidak mengeluarkan bunyi. Sembari menahan nafas, aku melangkah hati-hati dan kembali ke dalam kelambu perlahan-lahan.
Kusembunyikan badan di dalam selimut dan kupeluk guling erat-erat. Suara geraman seperti anjing terdengar di samping kamar. Jantungku rasa melompat-lompat tak terkendali. Aku mematung, tak berani bergerak, pura-pura tidur.
Bantu Rt dan Qrt ya supaya semakin semangat nulisnya.
Suasana di depan telaga jimat dicekam kepanikan luar biasa. Lima orang pria, termasuk aku, sekuat tenaga menarik tubuh Agau.
Pambakal Bahat dan mantir Tuweh, berjibaku berusah melepaskan pak Salundik dari cengkraman Agau.
Buuk!
Tendangan pak Salundik di dada membuat Agau terpental ke udara. Tubuh bocah kesurupan itu membentur batang pohon besar lalu hempas di atas semak belukar. Agau bangkit, merangkak bagai anjing liar. Ia bahkan menjulur-julurkan lidah, benar-benar liar dan bengis.