10 menit berlalu, tidak ada apa-apa lagi yang terjadi di telaga jimat. Semua terlihat kembali tenang seperti semula. Aku segera duduk untuk mengatur nafas yang memburu. Kurasakan jantung masih berdebar-debar tidak karuan.
Telapak tanganku juga gemetar tanpa henti seperti orang terkena penyakit tremor.
Aku mengucapkan syukur berulang-ulang di dalam hati, tidak menyangka masih bisa hidup sejauh ini. Seketika aku teringat simbok dan bapak di rumah.
Tidak bisa kubayangkan bagaimana perasaan mereka mengetahui aku menderita di kampung orang. Apalagi jika tahu aku akan pulang dalam keadaan tidak bernyawa, pastilah hati mereka akan hancur berkeping-keping.
Pikiranku melayang ke peristiwa dua tahun lalu, saat mengatakan niatku untuk mengikuti tes PNS di daerah pedalaman.
"Le, ngopo toh ndadak nyambut gawe nang pedalaman kono. Mbok di sini saja, dekat sama keluarga. Kalau mau jadi guru, nanti bisa bapak carikan pekerjaan di sini.
Bapak punya kenalan kepala sekolah, nanti jadi guru honorer dulu baru ikut tes pns," kata Bapak.
"Mboten pak," sahutku, "aku tidak bisa terus-terusan bergantung sama bapak dan ibu. Saya sudah dewasa. Saatnya saya mandiri.
Lagian, barito tidak terlalu jauh dari sini. Hanya 14 jam."
Ibu yang duduk di samping bapak menarik nafas dalam-dalam. Ia menatapku dengan sorot mata sayu.
"Le, bapak sama ibu wes ikhlas. Kematian adikmu itu musibah, bukan salahmu..."
"Bu..," aku memotong, "niatku tidak ada hubungannya dengan kematian Ajeng. Aku yo wes ikhlas, bu..."
"Le, jangan kira ibu sama bapak tidak mengerti. Ibu tahu, kau masih menyalahkan diri atas kematian Ajeng. Kamu ingin pergi jauh, karena tidak tahan toh tinggal di rumah ini.
Tidak tahan karena tiap hari selalu teringat mendiang adikmu."
Aku tertunduk dan menitikkan air mata teringat perkataan ibu waktu itu. Rasa takut berganti perasaan sedih dan penyesalan atas kematian adikku. Andai saja waktu itu, ah...sudahlah.
Kuseka air mata dan bangkit berdiri. Aku melangkah gontai menuju tempat pambakal menanti. Kali ini, tidak boleh ada lagi yang meninggal karena kecerobohanku. Tidak Sarunai, tidak pula Agau. Bila perlu, akan kukorbankan nyawaku.
*****
"Bagaimana, sudah beres?" tanya pambakal dengan wajah cemas.
"Aman, pak. Tidak ada masalah," balasku.
"Yakin?" Pambakal terlihat ragu.
Aku mengangguk.
"Bagus. Sebaiknya kita bergegas, mungkin Salundik dan pak mantir butuh bantuan."
Aku segera duduk di boncengan, pak pambakal melaju motor dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang terjadi, ia terlihat begitu khawatir.
Saat memasuki jalan desa, sayup-sayup terdengar suara tabuhan garantung (gong), kangkanung (gong kecil), katambung (kendang) dan kecapi.
Suara musik tradisional itu terdengar rancak dan semakin jelas seiring semakin dekat dengan rumah pak Salundik.
Benar saja, ternyata bunyi-bunyian itu berasal dari rumah pak Salundik. Setelah memarkir motor, aku dan pambakal Bahat bergegas masuk ke dalam rumah.
Rupanya di ruang tengah telah berkumpul sejumlah warga dengan wajah tegang.
Aku melongo melihat pak Salundik mengenakan pakaian adat dan menari mengelilingi sangkai tempat Sarunai dan Agau terbaring. Sembari menari, ia melantunkan mantra-mantra kuno.
Selain itu, juga ada tiga warga lain yang terkulai tidak berdaya di samping Sarunai dan Agau. Keadaan mereka semua sama, kulit pucat dan penuh bisul. Entah kenapa, sepertinya parang maya juga mengenai tetangga pak Salundik.
Kulihat ada seorang nenek tua serta dua orang ibu-ibu yang tergeletak lemas dengan mata melotot dan mulut menganga. Badan mereka berkelojot dengan darah keluar dari telinga dan hidung serta mulut mengeluarkan liur tanpa henti.
Suara kemerincing gelang dadas di lengan pak Salundik membuat musik semakin berirama. Sesekali, ia memukul daun sawang ke tubuh lima orang itu bergantian. Begitu daun menyentuh kulit, lima orang itu menjerit kesakitan di pembaringan.
Hanyalah alu penumbuk padi yang menindih, mencegah mereka mengamuk.
Demi melihat itu, aku merasa ngeri. Lebih parah dari kesurupan massal. Lima orang itu berteriak sejadinya bagai terkena campuk berduri.
Tubuh mereka menggelepar sementara darah terus keluar dari telinga dan hidung.
"Jangan risau, dia sedang memanggil Sangiang untuk mengobati mereka," ungkap pambakal yang kini duduk di samping.
"Sangiang?" tanyaku heran.
Pambakal mengangguk, "iya, sangiang. Arwah leluhur. Doakan saja Salundik berhasil, jadi tak perlu ada darah yang tertumpah."
Warga yang berkumpul tampak semakin cemas. Jelas sekali kalau mereka khawatir dengan nasib anggota keluarga mereka yang menjerit bagai orang kesurupan.
Seorang suami risau kepada sang istri, seorang anak takut akan kehilangan ibu. Beberapa di antara mereka juga mulai menangis, seolah menangisi kematian orang terkasih.
Para pemusik yang mengiringi ritual pak Salundik semakin menjadi-jadi. Meski terlihat lelah, sepertinya tenaga mereka tidak ada habisnya. Wajah dan tubuh mereka telah basah dengan cucuran keringat, sementara musik semakin menggema ke seluruh penjuru desa.
Warga histeris sewaktu seorang penabuh tiba-tiba tersungkur memuntahkan darah.
"Jangan berhenti!" seru mantir Tuweh dengan mata melotot.
Mantir dan pambakal serta beberapa orang bergegas membawa penabuh tadi kepinggir. Tubuhnya mulai kejang-kejang seperti orang ayan.
Tak mau tinggal diam, aku langsung menggantikan posisinya memukul garantung. Kupukul sekenanya saja, hingga akhirnya bisa menyesuaikan irama.
Seisi rumah mulai bergetar seiring tarian dan lantunan pak Salundik yang semakin cepat.
Tiang penyangga sangkai bergoyang-goyang menimbulkan bunyi berderak.
Braak! Braak!
Warga menjerit kaget ketika daun jendela terbanting. Bergegas mereka menutup, tapi daun jendela terus bergoyang-goyang ditiup angin kencang.
Warga yang di dalam rumah mulai panik, sewaktu sangkai bergetar hebat. Pak Salundik terus memukul-mukul daun sawang ke tubuh lima orang yang sakit dengan darah yang mulai keluar dari hidung dan telinga.
Sarunai, Agau dan tiga orang lainnya terus menjerit silih berganti, membuat kami semua menjadi tegang.
Dari luar, suara angin bergemuruh bak gunung runtuh dan terus menghantam dinding, membuat seisi rumah berguncang bagaikan gempa bumi.
Praak...braak...braak...!
Lantai kayu dan dinding mulai berderak, sedangkan rumah berayun ke kiri dan ke kanan. Perhiasan dinding juga telah jatuh satu-persatu, berserakan di mana-mana.
Jerit kepanikan dan tangis ketakutan terdengar riuh di dalam rumah, menenggelamkan jerit kesakitan Sarunai dan Agau.
Warga kini semuanya telah berdiri, dicekam ketakutan rumah akan runtuh. Ketakutan menjalari kami semua, kecuali pak Salundik yang tenggelam dalam ritual.
"Jangan berhenti! Terus!" perintah mantir tegang.
Aku dan penabuh lainnya terus memukul-mukul garantung dan kangkanung dengan kencang. Semakin kencang, semakin kuat pula rumah berguncang.
Keadaan semakin kacau saat lampu mendadak mati, diiringi pekik histeris yang ibu-ibu yang panik. Suasana dalam rumah menjadi gelap tanpa cahaya, sementara pak Salundik masih melantunkan doa-doa.
Braak!
Terdengar suara benturan yang sangat keras seperti ledakan, membuat lantai rumah bergetar dengan kencang.
"Berhenti!" teriak pak Salundik dari kegelapan.
Tabuhan musik seketika berhenti, begitu pula jerit ketakutan ibu-ibu. Rumah seketika senyap dan lampu mulai berkedi-kedip.
Saat lampu benar-benar menyala, kami semua terhenyak. Sangkai telah hancur berantakan, sedangkan pak Salundik terkapar bersimbah darah di tengah ruangan. Ia terlihat kesakitan dengan mulut yang mengalirkan darah segar.
Dalam keadaan panik, kami bergegas memapah pak Salundik yang tidak berdaya. Ibu-ibu juga tidak tinggal diam, mereka segera membantu Sarunai, Agau dan tiga warga lainnya yang tertimpa sangkai.
Mantir dan pambakal membersihkan cipratan darah di wajah pak Salundik dan memberikannya segelas air. Pak Salundik terlihat lemah kehabisan tenaga, seolah baru saja lari melewati bukit.
"Panah berantai," ucap pak Salundik lemah seraya menyeka darah yang keluar dari mulut.
"Panah berantai?" pambakal mengernyitkan dahi.
"Iya," pak Salundik mengangguk lemah, "parang maya kuno yang sudah sangat langka. Siapapun pelakunya, ia hendak menghabisi seluruh desa. Anak-anakku hendak dijadikan inang, sarang untuk menyebarkan kematian.
Sama seperti Bawi di seberang sana."
Kami semua tercekat, seakan sulit percaya apa yang disampaikan pak Salundik. Namun, keraguan kami segera terjawab. Seorang bapak-bapak seketika datang dengan wajah cemas.
Pria paruh baya itu mengabarkan bahwa ayah mertuanya mendadak kesurupan, kemudian muntah darah. Tubuhnya seketika kejang-kejang dan kulitnya tumbuh bisul.
"Siapkan air beras kuning, nanti akan kuperiksa," ujar pak Salundik lemah.
Pria tadi lantas pergi setelah mengucapkan terima kasih.
"Pahari, apakah pelakunya orang yang sama?" tanya pambakal.
Pak Salundik menggeleng, ia seolah ragu dengan yang ia ketahui.
"Entahlah, aku tidak berani memastikan. Tidak mungkin manusia bisa bangkit dari kubur," balas Salundik lemah.
Aku tidak sepenuhnya mengerti pembicaraan mereka, tapi tetap saja aku ikut emosi.
"Pak, kenapa tidak dikirim balik saja parang maya ini kepada pelakunya. Siapapun dia, dia harus diberi pelajaran karena telah membuat orang lain menderita," ucapku berapi-api.
"Tidak semudah itu, Kasno," timpal pak Mantir dengan nada bergetar, "saat seseorang dikutuk, maka dua makam digali. Lagi pula, pelakunya belum ketahuan siapa. Saat ini, yang penting adalah menyembuhkan Sarunai dan orang-orang yang terkena ilmu hitam ini."
Semua orang lalu termangu, tenggelam dengan pikiran masing-masing.
"Masih ada jalan," pak Salundik menatapku tajam, "Kasno, besok pagi datanglah kemari sebelum matahari terbit."
Pambakal dan mantir seketika kaget mendengar kalimat pak Salundik.
"Salundik, kau serius?" tanya pambakal dengan nada tinggi.
"Iya, aku serius. Pemuda ini, tadi mengatakan sudah siap mengorbankan nyawanya. Inilah jalan satu-satunya, tidak perlu banyak darah yang harus tumpah," sahut pak Salundik tegas.
Mendengar pembicaraan mereka, aku hanya bisa melongo tanpa bisa berkata-kata lagi. Tidak ada pilihan, aku hanya mengangguk saja walau belum tahu pasti rencana pak Salundik.
*****
Pukul setengah lima pagi, aku dan pambakal kembali ke rumah pak Salundik. Aku langsung di ajak pak Salundik ke belakang, ke tempat mencuci dan menjemur pakaian. Ternyata, di tempat itu sudah ada pak mantir, pak Brusli, serta dua orang pria lainnya.
Saat aku menginjakkan kaki di situ, mereka melihatku dengan tatapan aneh. Mereka kemudian saling lirik, kemudian pergi ke dapur tanpa bicara.
Entah kenapa aku merasa ada yang janggal, tatkala pak Salundik tiba-tiba mengikat mandau di pinggang.
Kasno, kau sudah siap?" tanyak pak Salundik serius.
"I-iya, pak," jawabku ragu.
"Buka bajumu!"
Kuturuti perintah pak Salundik. Setelah melepas baju, aku lantas duduk di atas sebuah lesung tunggal.
"Ini adalah air hujan bercampur air dari tujuh sungai besar di kalimantan. Air ini akan membersihkan jiwamu," tutur pak Salundik sambil membuka tutup balanai, guci besar untuk menyimpan air.
Di dalam balanai, tampak air yang jernih dengan berbagai macam bunga dan tiga lembar daun sawang.
Aku hanya menurut saja apa yang ia lakukan tanpa bicara. Pak Salundik lantas menutup kepalaku dengan kain hitam seraya merapal mantra.
Aku menggigil saat air yang dingin menyiram kepala dan membasahi tubuhku. Aku bahkan mengigit bibir sewaktu disiram tujuh kali, sesuai jumlah sumber air tadi.
Setelah selesai, pak Salundik kemudian melempar kain penutup kepala entah kemana.
Dengan beringas, ia tiba-tiba menjambak rambutku. Seketika aku mendongak dan mataku melotot.
"Kasno, aku butuh pengorbananmu demi anak-anakku."
Aku terkencing-kencing ketika mandau yang tajam tiba-tiba menggorok batang leherku.
Aku tidak menyangka pak Salundik akan berbuat sekejam ini.
Aku mencoba berontak tapi sia-sia. Perlahan tubuhku terus melemah bagai ayam disembelih. Tanpa ampun, pak Salundik menggorok batang leherku berkali-kali tanpa henti.
...berkentang...
Sampai Jumpa malam Rabu 🙏
Yang penasaran dengan nasib mas Kasno, bisa langsung meluncur ke karyakarsa ya. Tabe 😇🙏
Rumah pak Gerson tiba-tiba gelap, hanya ada cahaya temaram lilin yang semakin pendek di dalam mangkok malawen. Aku berdiri mematung seraya mengucapkan dzikir dan shalawat. Suaraku putus-putus karena dicekam ketakutan.
Rumah pangggung itu sangat gaduh karena suara perkelahian. Jerit tangis istri dan mertua pak Gerson silih berganti dengan teriakan panik orang-orang di dalam rumah. Malam itu, rumah pak Gerson tak ubahnya ladang pembantaian.
Setelah dipersilakan masuk, si nenek melangkah tertatih ke dalam rumah. Aku bertindak cepat, memapah tubuhnya yang renta untuk duduk di hadapan pak Salundik. Seorang tukang ojek yang mengantarnya memilih menunggu di teras dengan menggamit sebatang rokok di jemari.
Ibunya Ukar yang tidak kutahu namanya, menatap wajah kami satu-persatu. Sorot matanya menunjukkan rasa getir yang amat sangat akibat kehilangan anak lelaki kesayangan. Pambakal dan mantir yang duduk di samping, menanti dengan gelisah kata-kata yang akan diucapkan nenek ini.
"Aku tidak tahu siapa namanya, tapi orang-orang memanggilnya tambi Uban. Nenek malang itu katanya warga desa Sei Bahandang. Entah apa yang merasukinya untuk berbuat sinting, pastilah ada dendam yang tak bisa ia tuntaskan jika ia masih hidup."
Haji Badri menarik nafas panjang dengan kedua tangan yang terus memegang kemudi kelotok. Sesekali kelotok bergerak ke kiri dan ke kanan menghindari batang-batang kayu yang hanyut dibawa arus.
Aku tercekat beberapa saat menyaksikan pemandangan mengerikan di depan mata. Tangan pak Salundik melambai-lambai di permukaan, gelagapan meminta tolong. Helai demi helai terus membungkus badannya tanpa ampun.
Tubuhnya timbul tenggelam diseret arus sementera jeritnya semakin melemah.
Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hati kecilku merasa bersalah tapi memang tidak ada yang bisa kulakukan kecuali terdiam mematung.
Tepat pukul lima sore, aku dan pak Salundik ditemani pambakal Bahat dan mantir Tuweh sudah berada di tepi sungai Barito. Kami juga berhasil mendapatkan sebuah perahu jukung milik warga yang bersedia disewa untuk kepentingan ritual di tengah sungai.
"Ada pelampung, mang?" tanyaku.
"Kalau mau, ada ban dalam yang bisa dijadikan pelampung. Biasa digunakan anakku. Kayaknya muat dengan badan pian," sahut pemilik jukung.
"Gerson, apa yang kau sembunyikan," ujar pak Salundik lirih, hampir tidak terdengar.
"Sepertinya aku harus bertemu Gerson. Firasatku mengatakan ada yang ia sembunyikan. Mungkin, ada jawaban siapa pengirim parang maya misterius itu," lanjutnya.
Setelah pamit, rombongan kami lantas meninggalkan rumah duka, menyusuri jalan desa menuju rumah pak Gerson. Kali ini, pak Sekdes juga ikut, entah apa tujuannya.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami tiba di rumah pak Gerson.