Setelah dipersilakan masuk, si nenek melangkah tertatih ke dalam rumah. Aku bertindak cepat, memapah tubuhnya yang renta untuk duduk di hadapan pak Salundik. Seorang tukang ojek yang mengantarnya memilih menunggu di teras dengan menggamit sebatang rokok di jemari.
Ibunya Ukar yang tidak kutahu namanya, menatap wajah kami satu-persatu. Sorot matanya menunjukkan rasa getir yang amat sangat akibat kehilangan anak lelaki kesayangan. Pambakal dan mantir yang duduk di samping, menanti dengan gelisah kata-kata yang akan diucapkan nenek ini.
"Sewaktu menantuku jadi pambakal, ada seorang wanita muda yang bekerja di sana. Gadis muda berparas jelita, berbulu mata lentik dan berkulit putih bagai putri china. Siapapun yang memandang pasti hatinya akan berdebar, seperti halnya anakku, si Ukar yang malang."
Si nenek merenung sesaat dengan mata berkaca-kaca. Bibir keriputnya gemetar dan dadanya kembang kempis karena napas tersengal. Setelah meminum segelas air putih, ia kembali bertutur dengan nada getir.
"Ingei namanya, cucu kesayangan tambi Uban. Hanya berdua, mereka terbiasa hidup serba kekurangan di ladang yang jauh dari peradaban. Hingga Ingei beranjak remaja, gadis itu tumbuh jelita bak kuncup bunga yang mekar.
Hatinya kian berseri-seri, tatkala keinginannya bekerja di kantor desa segera diterima. Sebenarnya bukanlah pekerjaan bergengsi, hanya jadi tukang sapu, pembuat kopi atau menyiapkan kue bagi tamu.
Tapi, semua pekerjaan itu sudah lebih dari cukup bagi Ingei yang miskin. Namun tak ia sangka, bekerja di kantor desa justru membawa petaka."
Selanjutnya kami semua tenggelam dalam kata demi kata yang keluar dari mulut ibunya Ukar. Tidak ada seorang pun yang menyela. Semua menyimak dengan serius, mencoba memahami arah pembicaraan seorang ibu yang tengah berduka.
"Singkat cerita, cinta Ukar tidak bertepuk sebelah tangan. Ukar dan Ingei menjalin asmara penuh bunga. Keduanya jatuh cinta bagai burung Tingang jantan dan betina, terbang dari pucuk ke pucuk pohon penuh suka. Namun, hal buruk segera terjadi.
Sikap Ingei mendadak berubah, laksana intan menjadi batu. Ukar patah hati, Ingei pergi menjauh."
Wanita tua di hadapan kami akhirnya terisak, tak sanggup lagi ia bendung air mata. Berkali-kali ia seka, air mata tetap mengalir di sudut pipi yang cekung.
Aku berusaha menenangkan, tapi si nenek tak menggubris. Dengan suara serak, ia kembali bercerita penuh iba.
"Berhari-hari Ukar termenung, memikirkan Ingei yang tidak mau berjumpa. Dia datangi ke pondok, si jelita Ingei selalu menghindar.
Tambi Uban juga berusaha merayu, tapi nasehatnya ibarat manusia bicara pada tunggul kayu, seperti petir tiada hujan. Ingei sungguh keras kepala, sekeras ulin disiram air. Ukar pun patah hati, mengubur impian menjalani hidup bersama kekasih hati.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Suatu ketika, kabar sangat buruk menggemparkan desa. Ingei yang jelita, mati gantung diri di pohon nangka di belakang pondok tambi Uban."
Kalimat terakhir membuat kami tersentak. Kalau tidak salah, pohon nangka itu adalah pohon yang sama tempat Ukar gantung diri.
"Eh, maaf tambi. Kalau boleh tahu, kenapa si Ingei gantung diri?" tanyaku penasaran.
Pak Salundik terburu mencolek pinggangku. Matanya melotot, menyuruhku tetap bungkam. Namun, rasa penasaran membuatku tidak puas bila tidak bertanya.
Untuk sejenak, ibunya Ukar mengatur napas kemudian menatapku sambil mengusap bulir-bulir air mata di pipi.
Ekpresi wajahnya mendadak berubah, matanya seketika melotot penuh amarah.
"Semuanya karena si Gerson!" ujar ibunya Ukar dengan nada tinggi.
Kami terlonjak kaget demi mendengar suaranya yang lantang memekakkan telinga. Tubuhnya gemetar karena amarah yang seketika membara.
Nenek itu meremas-remas ujung kebaya yang ia kenakan, seolah sedang meremas wajah sang menantu. Entah apa yang ia maksud, sorot matanya menunjukkan darahnya telah mendidih penuh kebencian dan dendam.
"Gerson?" tanyaku lagi.
Setelah emosinya sedikit mereda, nenek malang ini mengangguk.
"Dua bulan setelah kematian Ingei, Ukar akhirnya tahu penyebab kematian gadis malang itu. Suatu malam, ia didatangi Ingei melalui mimpi. Penuh air mata darah, Ingei menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Awalnya, Ukar hanya menganggap bunga tidur. Tapi karena terjadi berulang, barulah ia sadar bahwa mimpinya adalah pesan dari alam kematian."
Wanita tua itu terus bercerita bak dalang pentas wayang.
Apa yang ia sampaikan berikutnya, sungguh membuat kami yang mendengar turut diselimuti amarah. Kata ibunya Ukar, suatu ketika si Gerson mengajak Ingei ke kebun karet di luar desa. Gerson beralasan akan menyerahkan kebun karet itu sebagai hadiah perkawinan Ukar dan Ingei.
Namun tidak terduga, ternyata bualan itu hanyalah perangkap si menantu untuk berbuat keji pada kekasih adik iparnya sendiri. Ingei dirusak dengan beringas. Ia lantas diancam untuk bungkam, atau nyawa neneknya melayang.
"Si Gerson itu… si Gerson itu… Cuih! Tak sudi aku menyebut namanya. Tak dihiraukannya ia punya anak perempuan. Tak dipedulikannya ia lahir dari rahim seorang ibu. Keji! Sungguh keji! Benar-benar binatang!"
Suara ibunya Ukar menggelegar, bagai petir yang saling menyambar. Sumpah serapah dan makian ia lontarkan kepada sang menantu. Amarahnya semakin tak terkendali membuatku dan pak Salundik gelagapan, menangkap tubuhnya yang mulai kejang.
Nenek kurus itu lantas terbaring lemah di ruang tamu bercucur air mata. Pak Salundik bergegas mengambil bantal, lalu meletakkan dibawah kepalanya yang lunglai.
Sambil terisak, nenek ini kembali bercerita berseling tangis. Tidak didengarnya seruan pak Salundik yang meminta supaya tenang. Dengan suara putus-putus, rangkaian kata-kata terus mengalir dari bibirnya yang keriput.
"Ukar lantas menyampaikan mimpinya kepada tambi Uban. Si nenek tersentak bak babi terkena tombak. Meraung-raung dan meronta-ronta di gubuknya yang reot. Ibarat hantu menyerang alas peti mati, sepanjang hidupnya tak pernah lepas dari kesialan.
Remuk redam karena duka, tambi Uban berniat menuntut balas. Tekadnya sudah tak bisa dibendung, neneknya Ingei nekad melakukan ritual mengerikan. Di kegelapan sungai Barito, tambi Uban melakukan ritual kuno, sumpah mayat!
Sumpah mengerikan yang akan membuat orang bangkit dari kubur untuk menuntut balas."
Hening…
Kami semua terperangah mendengar penuturan ibunya Ukar yang mendebarkan jantung. Katanya, di tengah sungai Barito, langit seketika mendung.
Angin mulai berembus kencang, membuat sungai Barito digulung gelombang tinggi bagai ombak di lautan.
Kilat mulai menyambar-nyambar diiring hujan deras laksana badai. Alam mengamuk, hewan-hewan bersembunyi ketakutan. Malam itu, langit menggelegar tanpa henti.
Bagai panah melesat dari langit, petir menyambar tambi Uban yang sedang melakukan ritual sumpah mayat di tengah sungai. Tubuh kurus nenek itu langsung terbakar hebat sebagai tanda sumpahnya dipenuhi.
Api menyala-nyala di kegelapan malam yang sunyi, menghanguskan tambi Uban dan jukung kayunya. Berurai air mata, nenek renta itu menjerit kencang penuh amarah dendam.
Seketika ribuan rambut menarik tubuhnya yang dimakan api, menyeretnya hingga ke dasar sungai yang dalam dan keruh.
"Tambi Uban menjelma menjadi Kamiyak, arwah penasaran penuh dendam. Bukan sembarang Kamiyak, tapi Kamiyak hitam. Kamiyak paling ganas di antara tujuh kangkamiyak.
Yang tidak disangka Ukar, Kamiyak itu ingin menuntut balas dengan cara yang paling kejam. Sebelum membunuh si Gerson, mahluk mengerikan itu terlebih dahulu ingin menyiksa cucuku. Menyeret jiwa si Bawi ke alam orang mati.
Tambi Uban, ingin Gerson mengalami penderitaan yang sama dengannya…."
Mertuanya Gerson kemudian duduk dengan susah payah. Segera kubantu dia untuk mengambil gelas air putih yang terhidang di dalam nampan.
Sesudah dahaganya hilang, wanita tua ini menatap kami satu-persatu dengan sorot mata sayu.
"Lalu, kenapa Kamiyak itu menyerangku. Kenapa Sarunai dan Agau terkena parang maya?" cecarku menggebu-gebu.
Bukannya menjawab, nenek tua ini justru terpaku menatapku.
"Suatu hari, Gerson pulang bersama seorang wanita paruh Baya. Orang kampung memanggilnya indu pipin. Dia memang dikenal sebagai panatamba. Kerap mengobati orang terkena penyakit misterius, guna-guna atau diganggu mahluk halus.
Dahulu, ia pernah menghilang selama 10 tahun. Konon, ia pergi balampah, bertapa di gunung Bondang untuk mendapat kesaktian.
Dalam keadaan hamil, ia menjelajah hutan demi berguru kepada jin, hantuen, panguluh maupun kambe.
Semua ia lakukan demi dendam. Terbetik kabar, ia hendak menuntut balas lantaran sang suami meninggal karena parang maya. Sepertinya, ada sesuatu yang ia rencanakan bersama si biadab Gerson."
Kali ini, kulihat pak Salundik yang menjadi tegang. Apalagi sewaktu tatapan ibunya Ukar bagai pedang yang menghunjam jantungnya. Pak Salundik tidak berkutik, bibirnya gemetar kareno terpojok. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dengan tatapan nanar ia buka suara.
"Dahulu, sewaktu remaja, ada seorang sebaya yang kerap menindasku. Seorang yang satu sekolah ketika aku SMA di ibukota kabupaten."
Pak Salundik menerawang, mengumpulkan setiap keping ingatan di masa lalu.
Kata beliau, dahulu dia adalah seorang anak yang ringkih, sering sakit-sakitan dan bertubuh lemah. Ia kerap bermimpi buruk didatangi dua orang pria berpakaian kuno, menentang mandau, tombak juga telawang.
Dalam mimpinya, Salundik kecil tidak mengerti bahasa yang mereka ucapkan. Sejak itu, Salundik dicekam ketakutan. Apalagi ia mulai bisa melihat arwah orang mati. Keadaan ini berlangsung terus-menerus hingga ia terbiasa.
Salundik yang sering bicara dengan mahluk tak kasat mata dianggap orang gila.
Sewaktu SMA, adalah masa paling kelam bagi Salundik remaja. Ia kerap ditindas, diancam dan dipukul. Babak belur dan terluka hampir jadi rutinitasnya sehari-hari.
"Menjadi korban kenakalan, menumbuhkan dendam teramat sangat di dadaku. Beberapa tahun berlalu, rasa sakit itu tak jua hilang. Justru sebaliknya, malah terasa semakin dalam.
Aku akhirnya bisa membalas, sewaktu menyadari anugrah para leluhur yang kumiliki. Usai diteguhkah, hal pertama yang kulakukan adalah menuntut balas.
Selama berhari-hari, orang yang dulu menindas kubuat menderita. Ia akhirnya mati mengenaskan pada hari ke-40, tepat tengah malam. Yang tidak kuketahui, ternyata ia punya istri yang sedang mengandung."
Aku yang tadinya prihatin, seketika bergidik ngeri mendengar penuturan pak Salundik. Tak kusangka ia bisa berbuat sesadis itu. Namun, rasanya sudah terlambat untuk mundur dari mempersunting Sarunai. Ibarat rumput liar, cinta sering tumbuh di tempat yang tidak biasa.
"Kalau memang indu Pipin yang mengirim parang maya untuk anak-anakku, bagaimana caranya? Tidak ada makanan yang ia kirim. Tidak juga potongan rambut, kuku dan baju yang hilang.
Tidak pula ada beras kuning atau potongan kayu raung yang kutemukan di sekitar rumah ini," cerocos pak Salundik kebingungan.
"Salundik, kau terlalu naif. Kemampuan indu Pipin sejauh tujuh gunung dan tujuh bukit. Apa kau tak tahu adat kita?
Bila tak bisa lewat tanah, maka parang maya bisa dikirim lewat angin," balas ibunya Ukar datar.
"Bukankah indu Pipin telah meninggal sebelum parang maya menyerang anak-anakku? Di rumahnya, hanya ada Pipin dan neneknya."
"Kau yakin, yang kau lihat neneknya Pipin!? Tidak ada kabar ibunya Pipin meninggal dunia. Juga tak pernah tersiar kabar, jika si Pipin punya seorang nenek. Selama ini, mereka hanya hidup berdua di kaki bukit telunjuk."
Pak Salundik tersentak. Ia seolah menemukan ujung pangkal benang yang kusut.
"Manyarupa kalunen," ucap pak Salundik pelan, "ilmu alih rupa bangsa hantuen. Aji-aji bangsa siluman hutan, yang kerap menggoda manusia ketika bekerja di lebatnya belantara.
Mereka kerap menyamar jadi manusia untuk membuat orang celaka. Tidak kusangka, ada manusia yang menguasai kemampuan itu,"
terang pak Salundik.
"Tapi, bagaimana dengan Dehen? Kenapa waktu itu, almarhum Ukar mengatakan bahwa Dehen lah pelaku guna-guna kepada Bawi? Kenapa ia juga dibunuh," tanyaku.
"Berbohong. Kuakui waktu itu anakku tengah berbohong. Ia menutup rasa bersalah, karena secara tidak langsung telah membawa Kamiyak ke dalam rumah. Niatnya membalas si Gerson, malah si Bawi terkena imbas.
Mungkin karena itu pula ia nekat mengakhiri hidup, karena rasa bersalah melihat si keponakan menderita. Tanpa ia ketahui, indu Pipin malah mengurung Kamiyak di tubuh Bawi. Bersepakat dengan Gerson, indu Pipin hendak menjebakmu."
Berbagai pertanyaan kini satu-persatu telah terjawab. Gumpalan benang yang kusut juga telah terurai. Hanya ada satu yang mengganjal, kenapa Kamiyak itu menyerangku. Seolah mengerti kegamanganku, ibunya Ukar sekali lagi berujar.
"Kamiyak itu hendak menyampaikan pesan melalui dirimu. Mendekati Salundik, ia akan binasa sebelum mendekat. Mungkin karena kamu terlalu lambat bernalar, kamiyak itu marah."
Jujur, aku sedikit tersinggung dibilang lambat bernalar. Manusia waras manapun, pasti akan lari terkencing-kencing bila diajak ngobrol mahluk halus. Apalagi aku, hanya manusia yang bermodal cinta menggebu kepada Sarunai.
"Salundik, aku sudah menyampaikan apa yang harus kau ketahui. Selanjutnya, kau tahu apa yang mesti kau lakukan. Satu pintaku, selamatkan Bawi apapun resikonya. Sekarang waktunya aku undur diri."
Pak Salundik mengangguk, menatap kosong kearah ibunya Ukar yang berlalu bersama tukang ojek.
"Malam ini aku akan balampah, menyepi di sungai tempat menghilangnya Agau dan Sarunai. Aku akan mencoba mengetahui apa pesan si Kamiyak," decak pak Salundik.
*****
Pagi-pagi buta, aku harap-harap cemas menanti kedatangan pak Salundik di tepi hutan. Bersama pambakal Bahat dan mantir Tuweh, kami menanti di ujung jalan setapak. 30 menit berlalu, siluet tubuh pak Salundik akhirnya terlihat menembus kabut pagi yang jatuh.
Setelah jarak kami hanya dua langkah, pak Salundik berucap dengan nada datar.
"Adat diisi, janji dilabuh. Saatnya memadamkan api yang membakar ilalang."
Kami mengangguk setuju, meski aku belum mengerti ungkapan yang dimaksud pak Salundik.
Tanpa perdebatan, sekdes Sei Bahandang setuju di kampungnya diadakan ritual balian, yaitu ritual sakral untuk penyembuhan. Gerson dan istri sumringah, mengetahui akhirnya pak Salundik bersedia mengobati si Bawi. Entah apa yang direncanakan pak Salundik, kami hanya menduga-duga.
Berdasarkan kesepakatan para tetua, ritual akan dilakukan dua hari lagi tepat saat bulan mulai separuh. Berbagai keperluan ritual pun disiapkan, mulai dari tiga ekor babi dan ayam, beras putih dan kuning, telor ayam kampung, daun sirih dan pinang serta lain-lain.
Peralatan musik dan para penabuh juga didatangkan, termasuk sejumlah pusaka yang selama ini disimpan pak Salundik di kamar khusus. Balanga (guci), piring dan mangkok malawen, semua dibersihkan untuk keperluan ritual.
Tiba waktu yang ditentukan, Sarunai dan Agau dibawa ke desa Sei Bahandang. Dengan meminjam mobil perusahaan kayu, ia dibawa menuju ibukota kecamatan. Setibanya di sana, kami meniti tangga dermaga dengan sangat hati-hati.
Digotong dengan dua buah tandu, kami melangkah pelan di atas titian kayu ulin.
Beberapa orang kerabat memayungi kepala Sarunai dan Agau, agar sinar matahari tidak langsung menerpa wajah mereka.
Kata Pak Salundik, apabila wajah mereka terkena sinar matahari, maka parang maya yang bersarang di tubuh kedua anaknya akan semakin ganas.
Warga yang ada di dermaga kecamatan heboh, melihat ada dua orang digotong menggunakan tandu bambu.
Riuh ramai suara penduduk segera terdengar mengiringi langkah kami.
"Kenapa? Kenapa mereka?"
"Kepuhunan. Kayaknya kepuhunan."
"Bukan, parang maya. Tidak salah lagi, pasti parang maya!"
"Astagfirullahul azim…Kasihan sekali. Pantas saja wajah mereka pucat seperti mayat."
Tidak hanya ibu-ibu, bapak-bapak juga rupanya suka bergosip. Namun tak ada waktu meladeni mereka, karena keadaan kami sedang sangat genting.
*****
Sore sebelum matahari tenggelam, kami telah sampai di rumah pak Gerson. Ritual balian akan dilakukan malam hari, saat matahari sepenuhnya tenggelam. Tiga ekor babi dan ayam telah dipotong di halaman rumah dan darahnya dikumpulkan dalam garantung.
Beberapa tetangga mulai berdatangan, menyaksikan persiapan ritual.
Ada yang aneh, pak Salundik tampak berbisik dengan sekdes di samping rumah. Pak Salundik gelagapan sewaktu aku menangkap basah tingkah mereka yang mencurigakan.
Ia bergegas menghampiriku yang tengah menggotong katambung ke dalam rumah.
"Ini, simpanlah. Kau akan memerlukannya nanti," kata pak Salundik sambil menyerahkan buntalan kain kuning seukuran genggam.
"Apa ini, pak?" tanyaku bingung sembari membuka buntalan itu. Ternyata isinya adalah sejumput beras kuning.
"Buat berjaga-jaga," balasnya lalu beranjak ke dalam rumah.
Aku hanya memandang punggungnya yang menghilang di balik pintu rumah pak Gerson.
Tak lama berselang, tiga buah sepeda motor disusun rapi menghadap jalan. Pak sekdes terlihat memberi perintah, supaya motor itu diparkir di luar pagar, menghadap kearah hulu desa.
Pak Salundik dan sekdes rupanya menyimpan rapat-rapat rencana mereka kali ini.
*****
Akhirnya, ritual balian benar-benar dilaksanakan. Entah kenapa aku merasa sedikit khawatir, mungkin karena ini pertama kali aku menyaksikan ritual sakral suku Dayak ini.
Di halaman rumah, riuh terdengar suara warga yang berkumpul. Ada yang sekedar ingin tahu, ada pula yang berharap berkah dari darah babi dan ayam yang ditampung dalam garantung.
Sebagian lagi berdesakkan di teras. Malam ini, rumah pak Salundik mendadak ramai bagai pasar malam.
Di langit yang gelap, bulan separuh bersinar temaram dibalik awan, diiringi sahut-menyahut suara binatang malam. Hiruk pikuk suara warga perlahan tenang sewaktu pak Sekdes menyampaikan pengumuman.
Berdiri di teras rumah pak Gerson, suaranya menggema melalui pengeras suara. Dengan lantang, pak Sekdes meminta warga untuk tidak mengganggu selama prosesi ritual dilakukan.
Selain itu, warga yang katanya punya gampir diminta menjauh, guna menghindari hal buruk yang tidak diinginkan. Beberapa orang langsung pulang dengan raut wajah kecewa. Rupanya apa yang disampaikan pak sekdes cukup menciutkan nyali mereka.
Di dalam rumah, tergeletak dua tubuh tidak berdaya di atas tikar purun. Berwajah pucat bertubuh layu, segala derita Sarunai dan Agau akan segera berakhir. Sebuah alu lesung berukuran panjang ditindihkan di atas tubuh mereka, diletakkan melintang.
Duduk di samping, Bawi masih termangu dengan kondisi kaki terpasung. Kepalanya tertutup kain hitam hingga wajahnya tak terlihat. Ia masih menggeram, mengeluarkan suara-suara aneh bagai anjing marah. Namun, ada yang terlihat janggal.
Tali haduk yang terikat pada kayu balok pemasungnya telah dilepas. Padahal, tali dari jalinan sabut kelapa itulah yang membuat balok pemasung Bawi tidak hancur karena dicakar.
"Jangan risau, percaya saja sama calon ayah mertuamu," tegur pambakal Bahat.
Aku hanya mengangguk, menyaksikan pak Salundik menyalakan beberapa lilin yang ditaruh di dalam mangkok malawen. Lilin-lilin itu disusun rapi, melingkari tubuh Sarunai, Agau dan Bawi.
Dengan mengenakan pakaian adat dan tubuh bergaris kapur sirih, pak Salundik mengeluarkan satu persatu berbagai pusaka dari dalam guci. Kami lantas tercekat, sewaktu pak Salundik mulai membakar sebuah mandau di atas tungku penuh bara arang yang menyala.
Mandau berdesis bagai ular, ketika darah dari dalam garantung diteteskan pak Salundik tujuh kali. Setiap tetesan, pak Salundik mengucapkan mantra dengan lantang seolah sedang berdialog dengan seseorang yang tidak terlihat.
Mandau bergetar di atas tungku, seolah ada yang menggerakkan.
"Parang maya…" desahku lirih.
Pambakal Bahat dan mantir Tuweh mengangguk pelan. Parang maya! Pak Salundik rupanya tengah mengirim parang maya. Pertanyannya, untuk siapa?
Pak Gerson dan istri terlihat cemas sambil saling menggenggam jemari. Sedang si mertua, ia terlihat tenang. Ia menatap lurus ke arah pak Salundik dengan sorot mata penuh makna.
Aku menjadi sedikit kesal, karena di antara semua yang terlibat, hanya aku yang belum mengerti apa yang direncanakan pak Salundik.
Waktu terus berjalan, ritual mengirim parang maya telah usai.
Suasana magis langsung terasa sewaktu lantunan doa-doa mengalir dari mulut pak Salundik. Meski aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan, tapi aku benar-benar terbawa suasana. Tidak hanya kami, warga yang menyaksikan dari teras rumah juga langsung terdiam.
Bagaikan hipnotis, lantunan doa pak Salundik membuat seisi rumah pak Gerson diselimuti keheningan. Wangi kayu gaharu yang menyeruak membuat semua orang semakin terhanyut.
Kriing… Kriing…
Gelang dadas di lengan pak Salundik berbunyi, pertanda bagi para penabuh untuk melaksanakan tugasnya. Pak Salundik lalu menganjan, menari pelan mengelilingi Sarunai, Agau dan Bawi.
Lantunan demi lantunan doa dari mulutnya semakin menyatu dengan irama garantung, kangkanung dan katambung.
Kami mendadak tegang tatkala Bawi menjerit kencang. Pukulan demi pukulan bunga mayang di tubuhnya, membuat gadis kecil itu merintih kesakitan.
Pak Salundik tidak peduli, dibiarkannya gadis kecil itu mengerang panjang. Dengan wajah tertutup kain, badan Bawi bergerak maju mundur seperti bandul jam.
Kedua tangannya mencakar-cakar kayu ulin yang mengganjal kaki, tapi hempasan kembang mayang membuat tubuhnya tersentak-sentak. Bawi melengking penuh amarah, suara jeritnya menggema di antara bunyi tetabuhan yang berirama.
Aku menutup telinga, karena lengkingan suara bawi membuat telinga berdenging. Istrinya Gerson menangis, tak kuasa melihat putrinya meronta-ronta dalam pasungan.
Sembari terus menari, pak Salundik kini mulai memukul-mukul tubuh Sarunai dan Agau bergantian. Sarunai melotot, Agau membeliak. Kakak beradik itu mencoba bangkit, tapi alu lesung menahan tubuh mereka. Aku bergidik ngeri, melihat mata mereka bergerak-gerak bak penari bali.
Dalam kondisi terlentang, tangan mereka mencakar-cakar tikar purun yang menjadi alas. Jerit kesakitan menyayat hati saling sahut-menyahut, beriringan dengan suara tabuhan dan juga lantunan doa pak Salundik.
Keadaan bertambah mencekam ketika seorang ibu menerobos masuk ke dalam rumah. Dengan tatapan kosong, ibu itu mulai menari mengikuti langkah pak Salundik. Meski geraknya gemulai, tapi matanya melotot sempurna dengan senyum misterius.
Aku bergidik ngeri, menyadari ibu itu sedang kesurupan. Dengan sorot mata menakutkan, ibu tadi terus menatap ke arah Bawi, Sarunai dan Agau bergantian.
Si Bawi tampaknya tidak suka dengan kehadiran si ibu, ia menjerit semakin kencang hingga tubuhnya berguncang. Meski kepalanya tertutup kain, ia sepertinya tahu kalau ada orang lain yang ikut menari bersama pak Salundik.
Suara musik semakin riuh, berpadu dengan kemerincing gelang di tangan pak Salundik.
Bawi, Sarunai dan Agau menjerit sejadinya karena warga yang menari dalam keadaan tidak sadar terus bertambah.
Bagai mayat hidup, orang tua, anak-anak dan remaja melakukan gerak manganjan. Beberapa orang bergerak tak teratur, dengan suara tawa yang meruntuhkan nyali.
"Jangan risau, leluhur telah hadir di sini," decak pambakal, berusaha menenangkanku yang cemas.
Sudah hampir satu jam, ritual balian belum membuahkan hasil. Pak Salundik tampak kelelahan dengan napas tersengal dan keringat membasahi wajah.
Bawi, Agau dan Sarunai masih meronta-ronta kesakitan. Pak Salundik terus membunyikan gelang dadas di atas tubuh mereka bertiga, sementara para penari semakin tidak teratur. Suara decit cakaran kian menjadi-jadi, membuat telinga siapapun yang mendengar merasa ngilu.
Braak…!
Warga terlonjak, ketika daun jendela terbanting dengan keras. Aku yang kaget secara refleks mengeluarkan gerakan silat, hingga tanpa sengaja memukul bahu pambakal yang duduk di samping. Pambakal mendelik, membuatku merasa tidak enak.
Jerit kepanikan kemudian terdengar
sewaktu angin berembus sangat kencang, membuat lantai dan dinding rumah bergetar. Jam dinding, foto, tanduk rusa dan berbagai hiasan dinding berjatuhan.
Gelas dan piring berisi sesaji berhamburan, sedangkan musik makin rancak dan penari semakin menghentak. Anehnya, lilin di dalam mangkok malawen tak juga padam, meski nyala apinya bergoyang-goyang kesana kemari.
Praak…Braak…Brak…!
Daun jendela terbanting-banting seiring terjangan angin yang semakin ganas. Aku dan beberapa orang bangkit berdiri, mengganjal jendela dengan palang kayu. Jendela bergetar-getar, karena embusan angin yang sangat kuat.
Warga yang berkumpul di teras telah berdiri dengan raut wajah tegang, bercampur cemas dan ketakutan.
Para penari satu-persatu limbung lalu kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan liur. Mata mereka melotot dengan tubuh menghentak-hentak.
Para pemusik seketika berhenti, terheran-heran dengan apa yang telah terjadi.
Jerit histeris terdengar, beberapa warga berusaha menenangkan para penari yang berkelojotan di lantai.
Aku, pambakal, mantir bersama orang lainnya bertindak cepat, berusaha membantu sebisanya. Hanya pak Salundik yang tetap berkonsentrasi, melantunkan doa sembari memukul-mukul kembang mayang ke tubuh Bawi.
Malam itu, keadaan di rumah pak Gerson benar-benar kacau. Kepanikan dan ketakutan menyelimuti semua orang. Bohlam yang tergantung di langit-langit bergoyang dan berkedip-kedip membuat keadaan tambah mencekam.
Kepanikan kian menjadi tatkala Bawi, Sarunai dan Agau mendadak tertawa melengking. Dari arah hutan, sayup-sayup terdengar suara kawanan beruk. Sungguh ganjil, karena beruk biasanya beraktivitas di siang hari.
Suara-suara beruk itu terdengar semakin riuh, pertanda mereka mendekat. Gemuruh suara daun bergoyang bagaikan suara langit runtuh, berderap tanpa henti seperti suara langkah ribuan kuda perang.
Di teras, warga berdiri dengan raut wajah tegang. Mereka saling lirik karena sadar ada bahaya yang mendekat. Lutut mereka gemetar dengan deru nafas yang tidak teratur. Benar saja, dari kegelapan kawanan beruk mendadak muncul dan bergerak mendekat bagai pasukan perang.
Beruk-beruk itu melompat ke teras dari segala arah lantas menyerang membabi buta. Warga mendadak berhamburan dan menjerit kesakitan. Sebagian berusaha melawan tapi tetap tumbang.
Darah segar segera berceceran dan mayat-mayat mulai bergelimpangan. Kawanan beruk ganas mencengkram leher warga yang malang dengan taring dan kuku tajam.
Warga yang selamat lari terbirit, memacu langkah seribu meninggalkan rumah pak Gerson. Namun percuma, gerombolan beruk segera menerkam dari segala penjuru. Warga itu menggelepar, mengeluarkan jerit kematian yang menyayat hati. Satu-persatu,warga yang di luar rumah menjadi korban.
"Lindungi Salundik!" seru pambakal lantang.
Di teras, kawanan beruk telah berbaris dengan mulut dan cakar penuh darah. Mereka bergerak perlahan, melangkahi mayat-mayat yang tergeletak bersimbah darah. Beberapa ekor melompat ke jendela, memasang posisi siap menerkam.
Aku gemetar setengah mati memegang sapu, karena berhadapan langsung dengan beruk paling besar. Raja beruk itu menggeram, memamerkan taringnya yang penuh darah. Kurasakan jantungku berdebar-debar dan nafas memburu, lantaran sadar ada hal buruk yang akan segera terjadi.
Bleeb !
Keadaan bertambah runyam, karena lampu tiba-tiba saja padam.
… berpotato 😄...
Sampai Jumpa, final Update malam Jumat. Jangan lupa like, reply, retweet dan quote tweet.
Tabe 😁🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
"Aku tidak tahu siapa namanya, tapi orang-orang memanggilnya tambi Uban. Nenek malang itu katanya warga desa Sei Bahandang. Entah apa yang merasukinya untuk berbuat sinting, pastilah ada dendam yang tak bisa ia tuntaskan jika ia masih hidup."
Haji Badri menarik nafas panjang dengan kedua tangan yang terus memegang kemudi kelotok. Sesekali kelotok bergerak ke kiri dan ke kanan menghindari batang-batang kayu yang hanyut dibawa arus.
Aku tercekat beberapa saat menyaksikan pemandangan mengerikan di depan mata. Tangan pak Salundik melambai-lambai di permukaan, gelagapan meminta tolong. Helai demi helai terus membungkus badannya tanpa ampun.
Tubuhnya timbul tenggelam diseret arus sementera jeritnya semakin melemah.
Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hati kecilku merasa bersalah tapi memang tidak ada yang bisa kulakukan kecuali terdiam mematung.
Tepat pukul lima sore, aku dan pak Salundik ditemani pambakal Bahat dan mantir Tuweh sudah berada di tepi sungai Barito. Kami juga berhasil mendapatkan sebuah perahu jukung milik warga yang bersedia disewa untuk kepentingan ritual di tengah sungai.
"Ada pelampung, mang?" tanyaku.
"Kalau mau, ada ban dalam yang bisa dijadikan pelampung. Biasa digunakan anakku. Kayaknya muat dengan badan pian," sahut pemilik jukung.
"Gerson, apa yang kau sembunyikan," ujar pak Salundik lirih, hampir tidak terdengar.
"Sepertinya aku harus bertemu Gerson. Firasatku mengatakan ada yang ia sembunyikan. Mungkin, ada jawaban siapa pengirim parang maya misterius itu," lanjutnya.
Setelah pamit, rombongan kami lantas meninggalkan rumah duka, menyusuri jalan desa menuju rumah pak Gerson. Kali ini, pak Sekdes juga ikut, entah apa tujuannya.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami tiba di rumah pak Gerson.
Pria itu lantas memperkenalkan dirinya dengan nama Rinto, yang ternyata masih sepupunya mendiang pambakal Dehen. Keterangan itu sontak membuatku dan pak Salundik kaget sekaligus waspada. Rupanya, Rinto adalah calon pambakal bohongan yang diceritakan pak Gerson tempo hari.
Kendati demikian, aku dan pak Salundik berusaha menahan diri dan bersikap biasa. Apalagi Rinto lantas meminta maaf atas kesalah pahaman beberapa malam kemaren.
Aku menggigil dan tanganku gemetar, saat dinginnya bilah mandau yang tajam menyayat-nyayat tenggorokan hingga jakunku terasa sangat sakit. Belum cukup, pak Salundik kini menyayat punggungku seperti memotong roti. Namun, anehnya tidak ada darah yang keluar.
Hanya perih yang terasa di punggung meski tidak ada luka segores pun."Sinikan tanganmu!" sentak pak Salundik.
Masih terheran-heran, kubiarkan pak Salundik menyayat lenganku. Aku merasa ngeri saat mandau itu berusaha merobek kulit dengan kuat.