Bang Beben Profile picture
Jul 7 96 tweets 13 min read
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 31 : Bara Dendam

Final Update ( TamaT ) Bab terakhir, semoga berkesan. Bantu like, reply, retweet dan quote tweet ya.
Selamat Membaca 😇🙏

@IDN_Horor
#ceritaseram
#ceritaserem
#threadhorror
#ceritahoror
#kalimantan
Rumah pak Gerson tiba-tiba gelap, hanya ada cahaya temaram lilin yang semakin pendek di dalam mangkok malawen. Aku berdiri mematung seraya mengucapkan dzikir dan shalawat. Suaraku putus-putus karena dicekam ketakutan.
Rumah pangggung itu sangat gaduh karena suara perkelahian. Jerit tangis istri dan mertua pak Gerson silih berganti dengan teriakan panik orang-orang di dalam rumah. Malam itu, rumah pak Gerson tak ubahnya ladang pembantaian.
Praak..! Braakk..!

Terdengar suara tulang patah susul menyusul, membuatku bergidik ngeri. Kurapatkan badan di balik pintu sembari terus memegang sapu sangat erat.

Kakiku lemas, jantungku berdebar dan keringat bercucuran. Tubuhku gemetar dan nafasku tidak teratur.
Dalam cahaya remang, aku memanjat doa semoga semua orang selamat.

Suara perkelahian perlahan berhenti, menyisakan suara isak tangis dan rintih kesakitan. Aku tercengang sewaktu cahaya senter pambakal menyorot tiga sosok di tengah ruangan dalam keadaan mengerikan.
Bawi, Sarunai dan Agau berdiri dengan tubuh bersimbah darah. Sorot mata mereka sungguh menyeramkan, jelas sekali bukan sorot mata manusia.

Yang paling menakutkan adalah ketika melihat Bawi menggigit leher si raja beruk.
Beruk paling besar itu kejang-kejang saat Bawi dengan tenang memamah batang lehernya hingga putus.

Beruk yang tersisa, melompat terpincang menyelamatkan diri mengetahui raja mereka telah mati mengenaskan.
Braak…!

Bawi membanting kepala dan tubuh beruk itu ke lantai. Kaget, aku mengucap istighfar berulang-berulang sembari mengelus dada. Si kecil Bawi lantas berpaling, menatap tajam ke arah sang ayah.
"Celaka, tahan!" teriak pak Salundik yang kelelahan.

Terlambat! Gadis kecil itu menerkam ayahnya yang berdiri melongo di samping sang ibu. Dengan ganas, Bawi mencekik leher dan membentur-benturkan kepala Gerson kelantai ulin yang keras.
Darah merah kental mulai merembes dari kepala sang Ayah yang terkulai tak berdaya.

Pambakal dan mantir bergerak cepat, memegang tubuh Bawi yang tidak terkendali. Tak ingin tinggal diam, aku segera membantu. Kulempar sapu di tangan dan kupegang erat lengan mungil si Bawi.
Beberapa orang lagi juga dengan sigap berusaha melepaskan cengkaraman Bawi dari leher ayahnya.

Bruuakk..!

Aku terpelanting menahan nyeri di rusuk kiri. Tenaga Bawi rupanya jauh lebih kuat dari lima orang lelaki dewasa. Aku mencoba bangkit tapi kembali tersungkur.
Pelipisku berdarah dan rusuk terasa nyeri menusuk-nusuk. Sekonyong-konyong aku meringkuk di lantai sambil meringis kesakitan. Beberapa orang yang tadi menahan Bawi, kondisi mereka tidak jauh berbeda denganku.
Mereka merintih bagai perempuan hendak melahirkan.

Kulihat, Bawi semakin kesetanan menghajar ayah sendiri. Gadis kecil itu tiba-tiba menjerit kencang, membuat semua orang menutup telinga.
Duduk di dada sang Ayah, Bawi mendongak dengan mata melotot. Saat itulah sepasang taring tumbuh di celah bibirnya. Jemari-jemari kecilnya memanjang dan meruncing dengan kuku-kuku tajam seperti cakar beruang.
Bak anjing liar, Bawi menggigit leher sang ayah dengan beringas. Gerson gelagapan, menggelepar bagai cacing kepanasan. Tubuhnya kejang-kejang dan kakinya menghentak-hentak lantai ulin yang keras.
Dengan air mata berlinang, Bawi merobek batang tenggorokan ayahnya tanpa ampun. Segumpal daging menempel di barisan giginya yang tajam seperti silet.

Bawi meludah ke samping, memuntahkan daging dari mulut.
Darah segar mengalir membasahi lantai, Gerson yang malang berkelojotan hingga akhirnya kaku tak bergerak. Istrinya Gerson yang sedari tadi meraung-raung, seketika limbung dan hilang kesadaran.
Dengan mata berkaca-kaca, Bawi bangkit berdiri. Semua orang terhenyak, menyaksikan pemandangan paling mengerikan dalam hidup mereka. Mulut dan wajah gadis itu belepotan darah segar ayahnya sendiri.
Braakkk..!

Bawi menerjang dinding kayu ulin yang kuat bagai besi. Dinding rumah itu hancur berantakan, Bawi melesat di kegelapan malam. Belum hilang kekagetan kami, Sarunai dan Agau juga melompat lantas menghilang ke arah hutan.
"Kejaaar…!!!" seru pak Salundik.

Semua orang bangkit dalam keadaan panik, berlari kencang ke luar rumah. Aku yang masih belum sadar apa yang terjadi, hanya terbengong memegang rusuk yang masih terasa sakit.
"Kasno, cepat!"

Pak Salundik menarik lenganku, menyeret tubuhku ke luar rumah pak Gerson.

*****
Tiga buah sepeda motor melaju kencang di jalan desa yang belum beraspal. Memecah keheningan malam, suara motor meraung-raung, berbelok kiri membelah belantara menuju kaki bukit telunjuk.
Kupacu motor sekencang mungkin menyusur jalan setapak penuh kerikil. Dari kejauhan, terlihat cahaya redup dari pondok indu Pipin.

Semakin dekat, motor semakin pelan. Belum juga motor berhenti sepenuhnya, pak Salundik yang duduk di boncengan tiba-tiba melompat.
Motor seketika oleng dan menyeruduk belukar. Aku terpelanting dan terjerembab di rimbun ilalang yang tajam, pak Salundik tak peduli. Lelaki itu terus berlari dalam keadaan panik, tergopoh meninggalkanku yang masih kesakitan.
Aku berdiri dengan perasaan jengkel, lantas menyusul pak Salundik, pambakal, mantir dan sekdes yang tengah berlari di tengah kebun. Cahaya senter yang redup mempersulit langkahku.
Aku kesulitan menyusul lima orang itu karena lebatnya daun singkong dan katu yang tumbuh subur. Nafasku ngos-ngosan dan kaki terasa pegal. Suara binatang malam dan serangga dari celah pepohonan terus bersahutan.
Buuk…!

Aku lagi-lagi terjungkal karena ada sesuatu yang mengjegal kaki. Panik, aku segera meraih senter yang terlempar beberapa meter di depan. Penasaran, aku berbalik dan menyorot sesuatu yang tadi menjegal kakiku. Jantungku berdegub kencang dan tanganku gemetar.
Di hadapanku, tergeletak mayat Pipin yang mengenaskan. Matanya melotot dan mulutnya menganga lebar, sedangkan lehernya terkoyak bersimbah darah kental. Entah apa yang terjadi, sepertinya pemuda itu baru saja berkelahi karena tangannya menggenggam mandau.
Aku menjerit setengah mati, berharap pak Salundik datang menghampiri. Jeritanku tak ada tanggapan, aku kembali bangkit berdiri menahan sakit. Kupacu langkah seribu di antara lebatnya tanaman sayuran dan rumput liar, bergerak kesana-kemari menuju pondok indu Pipin.
Setibanya di depan pondok, segera kuatur nafas dan mengelap keringat di dahi menggunakan punggung tangan.

Kecuali sekdes, tiga orang lelaki di hadapanku bergerak cepat menuju pondok yang mulai miring.
Menghunus mandau, mereka menerobos salah satu sisi dinding rumah yang telah hancur dengan lubang menganga.
Suara jerit dan adu cakar terdengar lantang dari dalam pondok, menggelegar di tengah ladang yang sepi penghuni.
Pak Sekdes hanya berdiri mematung di depan pondok yang berguncang-guncang hebat. Tubuhnya gemetar dan bulir-bulir keringat membasahi wajahnya yang pucat. Meski angin malam yang bertiup dari hutan begitu dingin, tubuhnya tetap saja basah bermandikan peluh.
Lelaki itu lantas terbirit entah kemana.

Aku segera mencari kayu untuk membela diri. Tekadku sudah bulat, aku akan menerobos ke pondok itu dan bertaruh nyawa demi Sarunai dan Agau.
Braakk…

Baru dua langkah aku sudah terjengkang ke belakang karena ada yang membentur tubuhku dsri arah depan. Aku merasa sakit amat sangat di bagian pinggang karena membentur tanah liat yang keras.
Di samping, pak Salundik merintih menahan perih. Bibirnya pecah dan pelipisnya berdarah. Mandau yang tadi ia pegang telah lenyap, terlempar jauh entah kemana. Pak Salundik tersungkur memegang perut. Lelaki itu muntah darah.
Braak…Braak…

Pambakal dan mantir terlempar, disusul Sarunai dan Agau. Tubuh mereka bergelimpangan di udara, membentur batang-batang pohon dan hempas ke atas rerumputan.
Di dalam pondok, terdengar suara lengkingan panjang. Entah siapa yang berteriak, lengkingan itu memekikkan telinga.

Kraak…Kraak…

Tiang penyangga pondok bagian depan berderak, pondok semakin miring ke kiri dan atap sirapnya mulai berjatuhan.
Praakk...braak...braak...

Tiang penyangga depan akhirnya patah dan dinding papan terlepas. Pondok itu telah hancur sebagian. Api yang berasal dari lampu teplok yang tumpah mulai berkobar.
Di tengah pondok yang hampir roboh, terlihat siluet tubuh seorang wanita dengan rambut tergerai. Berdiri membelakangi api yang menyala-nyala, wanita itu menjambak rambut manusia yang lebih kecil. Bawi! Wanita itu menyeret tubuh Bawi yang meronta-ronta.
Api semakin membara dan tiang-tiang kayu roboh satu-persatu, wanita itu tidak peduli. Aku bergidik ngeri, melihatnya melangkah di kobaran api dengan tenang. Meski nyala api telah membakar bajunya, kulitnya seolah tak tersentuh.
Malam itu, ladang yang gelap berubah terang benderang.

Terdengar suara jeritan panjang, Bawi merintih kesakitan. Di tengah nyala api, wanita itu mengangkat tubuh Bawi dengan kedua tangan. Celaka! Wanita itu hendak mematahkan tulang punggung Bawi.
"Bismillah…" gumamku dalam hati. Kukumpulkan keberanian dan melangkah tertatih. Menggenggam sebatang kayu, kubulatkan tekad. Kutabuhkan genderang perang, keberanianku tumbuh. Dadaku bergemuruh, darahku mendidih dan emosiku membara. Semua harus berakhir malam ini!
"Aaaarrrrggghhh…!"

Aku berteriak sekeras-kerasnya, bagai samurai di medan perang. Kupacu langkah, aku berlari kencang hendak menerjang wanita itu.

"Aaaaaarrrrggghhhhhh…!!!"

Bruaaak…!
Aku terpelanting beberapa meter lalu meringis karena perih. Rupanya ada sesuatu yang menabrak tubuhku dari belakang dengan sangat kuat. Agau! Bocah itu merangkak cepat bagai anjing, melompat-lompat dengan lincah di antara batang-batang katu, singkong dan ilalang.
Aku menahan napas, melihat Agau melompat di celah nyala api, menerjang wanita itu tepat di ulu hati.

Buuk!

Wanita itu hempas di kobaran api yang membara, Agau dan Bawi jatuh di atas rerumputan.
Di kejauhan, sayup-sayup terdengar suara orang berdatangan melalui jalan pintas melewati hutan.

Aku kembali berdiri dan berjalan terpincang, mendekati tubuh Agau yang hilang kesadaran. Panas api terasa menyengat kulit, tapi aku terus melangkah.
Bruuaak!

Tiang-tiang kayu ambruk, menimpa wanita tadi yang menjerit kesakitan. Dibakar api, lengkingan kematian wanita itu menggema ke seluruh penjuru ladang, menyebar di celah-celah pohon-pohon dan membuat tiap jengkal isi rimba bergetar.
Braak…praak…praak…!

Pondok kayu itu runtuh sepenuhnya. Asap hitam membubung ke udara, api kian menyala tertiup angin dan wanita tadi tenggelam dalam puing yang penuh bara. Menjerit-jerit dan meronta-ronta.
Kugendong tubuh Agau di punggung, kusampirkan lengannya di leher. Kubawa ia menjauh dari pondok yang terbakar di belakang, mendekati ayahnya yang sedang memeluk Sarunai.
Langkahku terhenti, karena Bawi tiba-tiba berdiri di hadapanku dengan sorot mata penuh amarah. Gadis itu menyeringai dengan sepasang taring dan cakar penuh darah.

"Astagfirullahul azim!"
Aku terhenyak lalu mundur perlahan. Rupanya, Kamiyak yang bersarang di tubuhnya belum pergi. Aku semakin gugup sewaktu ia mendekat, maju selangkah demi selangkah. Suaranya yang mengeram membuatku merinding setengah mati.
Kakiku terasa lemas sewaktu Bawi bersiap menerkam.

Dalam keadaan panik, kurogoh saku celana. Ketemu! Kuraih buntalan berisi beras kuning pemberian pak Salundik tadi. Mungkin, mungkin inilah maksud pak Salundik sore tadi.
"Kassssnoooo..!!! Tahan..!" jerit pak Salundik.

Bawi menerjang. Dengan sigap, kulempar beras kuning sebanyak-banyaknya.

Praakk…!

Bawi terpental, hempas ke tanah lalu menggelepar seperti ikan.
Tubuhnya kejang-kejang, taring dan cakarnya perlahan menghilang. Diiringi jeritan menyayat hati, Bawi perlahan kembali normal jadi manusia biasa. Tubuh kecilnya terkulai tak berdaya di atas belukar.
"Kasno, di belakangmu!" Sentak pak Salundik cemas. Wajahnya tegang dan matanya melotot hingga hampir keluar.

Menyadari ada yang tidak beres, aku segera memutar badan.

"Allahu Akbar!" pekikku, "Salah lempar…"
Di puing-puing yang membara, berdiri sosok yang mengerikan. Wanita tadi, dengan tubuh terbakar dan mata menyala, menatap tajam ke arahku. Rambutnya tergerai lurus, berkobar seolah ia memiliki rambut api.
Yang paling menyeramkan adalah wajahnya, terkelupas penuh darah. Sepasang taring tajam menyembul di mulutnya yang melepuh.

Belum sempat aku bergerak, wanita itu menerjangku. Aku tersungkur, muntah darah. Tubuh Agau telah terpental entah kemana.
Kepalaku terasa sakit dan pandanganku berputar-putar.
Menahan sakit, kulihat wanita itu sedang mencekik pak Salundik. Pak Salundik mencoba memukul-mukul, tapi percuma.

Pak Salundik kian melemah tatkala indu Pipin mencengkram batang lehernya, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi.
Dengan sisa tenaga, kuraih batu dan kulempar sekenanya.

Tuuk!

Berhasil! Batu kecil itu mengenai kepalanya. Namun sial, indu Pipin justru menoleh kearahku. Dilemparnya pak Salundik dan ia melompat lalu mendarat tepat di hadapanku.
Nafasku terasa sesak sewaktu ia mencengkram leherku. Diangkatnya tubuhku tinggi-tinggi, membuatku kelojotan dan mataku terbelalak lebar.

Aku mencoba berontak, tapi tenagaku terlalu lemah. Aku segera tersadar, nyawaku telah di ujung tanduk.
Aku pasrah, sewaktu ia memperlihatkan jari-jari tangan kanannya yang tajam. Dalam hitungan detik, cakar yang tajam akan menikam jantungku, menghentikan detak nadi dan mencabut nyawaku. Memejam mata, kuucap dua kalimat syahadat. Tak terasa, air mataku mengalir di pipi.

Heeekk!
Aku tersentak. Tubuhku terbanting ke atas rerumputan. Indu Pipin menjerit kencang, mandau mantikei menusuk jantungnya. Rupanya ibunya mendiang Ukar yang menyelamatkanku. Nenek tua itu mencabut mandau yang menancap di dada, lalu menebas batang leher wanita itu.
Kepala indu Pipin menggelinding di tanah seperti bola api, matanya terus melotot penuh kebencian.

Melangkah ringkih, si nenek kemudian menancapkan mandau ke kepala indu Pipin lalu melemparnya ke nyala api yang membara.
Berdiri dengan mandau di tangan, nenek renta itu terus memandang api yang menyala-nyala, memastikan wanita itu benar-benar binasa. Jerit kematian kembali menggema segala penjuru hutan. Warga yang berdatangan hanya bisa tercengang melihat keberanian mertuanya Gerson.
Aku kembali bangkit, melangkah tertatih. Beberapa orang warga menggotong Agau, sebagian menggotong Bawi. Pak Sekdes tampak sibuk memberi perintah, Pambakal Bahat dan mantir Tuweh terduduk sembari menenggak air putih dalam botol secara bergantian.
Malam itu, kaki bukit telunjuk dipenuhi warga Sei Bahandang.

Di kejauhan, samar-samar terlihat pak Salundik sedang berdiri membopong Sarunai. Ia sepertinya tengah berbicara dengan seseorang.
Tidak terlalu jelas, tampaknya ia sedang berbicara dengan seorang nenek tua yang berwajah pucat. Nenek itu berambut serba putih yang tersanggul rapi.
Setelah pak Salundik mengangguk, nenek itu menghilang dalam sekejap.
Entahlah, bisa saja yang kulihat barusan hanyalah halusinasi. Bisa jadi karena aku kelelahan. Kuhampiri dia lalu duduk tersungkur, bersandar pada pohon kelapa. Di samping, pak Salundik memeluk Sarunai, membelai-belai rambutnya yang terjuntai.
Aku mengatur nafas, menyeka keringat di wajah.

"Semua sudah berakhir. Api dendam telah padam. Penyihir itu telah binasa," ujar pak Salundik lemah.

Aku hanya menatap kosong ke puing-puing pondok yang membara. Seketika aku merasa lega namun hampa.
Entahlah, perasaanku campur aduk antara bahagia sekaligus sesal yang tak tahu kenapa.

"Aku bisa jadi adalah manusia terburuk bagi musuhku, tapi pahlawan bagi keluargaku," tutup pak Salundik lirih.
Aku lagi-lagi terdiam, menatap kosong ke arah api yang kian padam, menyisakan kayu yang menjadi bara. Malam ini, adalah malam yang takkan pernah kulupakan dalam hidup.

*****
Seminggu setelah peristiwa di pondok indu Pipin, Bawi beserta ibu dan neneknya menghilang. Tersiar kabar mereka pindah ke Banjarmasin, mengikuti keluarga di sana. Ada juga yang bilang mereka kini bermukim di Palangkaraya.
Entah mana yang benar, kuharap gadis kecil itu baik-baik saja. Yang kutahu, Bawi telah berganti nama untuk menghapus semua kenangan buruk masa lalu. Sedangkan rumah mereka di kampung ditinggalkan begitu saja.
Rumah itu kini telah menjadi rumah hantu. Konon, warga kerap melihat penampakan Ukar di situ.

Sementara itu, si Rinto ditetapkan polisi sebagai tersangka atas pembunuan Dehen dan beberapa orang lainnya sewaktu berburu.
Entah apa motifnya, masih belum jelas. Namun, ia keburu kabur ke hutan sebelum diringkus dan berhasil menewaskan dua orang polisi yang memburunya. Entah bagaimana nasibnya, hingga kini ia tetap buron.
Waktu pun terus berlalu seperti biasa. Saat libur kenaikan kelas, aku mendadak jadi gugup. Karena hari itu, adalah hari dimana aku akan bersanding di pelaminan dengan Sarunai.
Sebelum ritual pemenuhan hukum adat dimulai, Pak Salundik menyerahkan segelas air putih berisi daun cabe.

"Minum ini!"

"A-apa ini pak?"

"Sudah, minum saja. Kalau tidak, kubatalkan pernikahan kalian."
Dengan terpaksa kuminum air pemberian calon mertua. Seketika aku muntah yang sangat banyak. Seonggok daging seukuran jari kelingking keluar dari mulutku, menggeliat di atas tanah. Aku bergidik ngeri, karena daging itu terus bergerak seperti lintah.
"Sudah beres. Upacara adat bisa dilanjutkan," ungkap pak Salundik lagi.

Di samping, Sarunai yang duduk di atas lesung hanya tersenyum.

"Ilmu kebal abang sudah dicabut," tuturnya manja.

"Hah!? Kok dicabut?" balasku kesal.
Calon istriku tidak menjawab. Pagi itu, kami dimandikan untuk memenuhi hukum adat, sebab Sarunai akan berpindah keyakinan mengikuti kepercayaanku.

*****
Tujuh bulan setelah pernikahanku, tragedi kemanusiaan meletus di tanah Kalimantan. Sebuah peristiwa mengerikan yang membuat tanah banjir darah. Aku tidak tahu pasti, apakah peristiwa itu ada hubungan dengan lepasnya berbagai mahluk halus yang dikurung di telaga jimat.
Atau seperti yang diramalkan pak Salundik, sewaktu mandau mantikei terlepas dari kumpang adalah pertanda adanya petaka.

Yang pasti, peristiwa itu tidak bisa kuceritakan dan cukup dijadikan pelajaran.
Hingga sekarang, telaga jimat tetap kering kerontang tertutup rimbun belukar. Entah kapan, telaga angker itu akan kembali seperti sedia kala.

-TAMAT-
Ucapan Terima Kasih kepada yang udah setia membaca thread ini dari awal hingga tamat. Terima Kasih juga atas dukungan di karyakarsa.

Mohon maaf apabila ada kekurangan atau komen belum terbals. Semoga cerita ini berkesan dan menghibur. Ambil baiknya dan buang buruknya.

Tabe 🙏
Post Credit Scene.

2018.

Tidak terasa sudah lima tahun aku di sini, mengabdi menjadi kepala sekolah dasar di sebuah desa terpencil.
Desa ini menyimpan segudang misteri dan cerita paling mengerikan yang pernah kualami selama hidup di muka bumi. Bahkan, lebih mengerikan dari tragedi di desa Sei Bahandang 18 tahun lalu.
Sewaktu pertama kali menjejakkan kaki, aku tercengang melihat keadaan desa yang tak ubahnya kampung mati. Aku tahu, ada yang janggal di kampung ini. Penduduknya hanya beberapa orang saja. Itupun rata-rata berusia sudah tua.
Wajah mereka sangat muram dengan pakaian yang lusuh. Tubuh mereka kurus dan pucat, seperti orang yang terkena penyakit. Tatapan mereka kosong tanpa pengharapan, seolah-olah ajal siap menjemput kapan saja.
Rumah-rumah penduduk banyak yang kosong tanpa penghuni, seperti sengaja ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru. Sebagian telah lapuk tertutup tanaman merambat. Sebagian lagi sudah rata dengan tanah, tertutup rerumputan dan belukar.
Desa ini terlalu sepi. Tidak ada remaja, pemuda, apalagi anak kecil. Semua seolah lenyap ditelan bumi. Tersiar kabar, ratusan penduduk menghilang hanya dalam waktu semalam saja.
Sulit dipercaya, tapi penduduk banyak yang bungkam dan enggan buka suara. Mereka terlalu takut untuk bicara, karena ada sosok mengerikan yang mengintai di balik kegelapan, menelusup di rimbun dedaunan dan mengawasi tiap jengkal tanah.
Pada suatu sore, sepasang suami istri mendatangi kediamanku. Waktu itu, aku tengah mencangkul tanah untuk menanam sayuran di halaman rumah dinas.

Mereka diantar oleh seorang kakek, yang konon bisa menjelma menjadi panguluh hadangan, yaitu siluman kerbau berkepala manusia.
"Saya Bimo, pak. Bimo Santoso, guru baru yang ditugaskan di sini. Saya lolos tes CPNS tahun lalu," ujar si suami sembari mengulurkan tangan.

"Saya Sriatun, pak. Istrinya mas Bimo."
Kusambut uluran tangan pasangan suami istri ini dengan senyum getir. Untuk sesaat aku tertegun, juga merasa miris. Jauh-jauh merantau dari pulau Jawa hanya untuk mengantar nyawa. Sejak pertama kali menjejakkan kaki di desa ini, mereka telah masuk dalam bahaya.
Apalagi sang istri yang tengah mengandung, kematian telah mengikuti sejak melewati gerbang desa. Entah kejadian mengerikan seperti apa yang akan segera menimpanya. Andai ia tahu, semua anak kecil di desa ini TELAH MATI.

~~~~~~~~~~~~~*********~~~~~~~~~~
Penasaran bagaimana cara Kasno menyelamatkan Bimo dan Sri dari sekutu iblis? Bisa dibaca di novel KUYANG terbitan @GagasMedia

Bisa didapatkan di shopee, tokopedia, bukalapak maupun toko buku.

Makasih 😁😇🙏
shopee.co.id/product/303444…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bang Beben

Bang Beben Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @benbela

Jul 5
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 29 : Adat Diisi Janji Dilabuh

Bantu retweet dan quote tweet yak. Selamat membaca, tabe 😇🙏

@IDN_Horor
#ceritaserem #ceritahoror #ceritahorror #bacahoror #threadhorror #kasnoout
Setelah dipersilakan masuk, si nenek melangkah tertatih ke dalam rumah. Aku bertindak cepat, memapah tubuhnya yang renta untuk duduk di hadapan pak Salundik. Seorang tukang ojek yang mengantarnya memilih menunggu di teras dengan menggamit sebatang rokok di jemari.
Ibunya Ukar yang tidak kutahu namanya, menatap wajah kami satu-persatu. Sorot matanya menunjukkan rasa getir yang amat sangat akibat kehilangan anak lelaki kesayangan. Pambakal dan mantir yang duduk di samping, menanti dengan gelisah kata-kata yang akan diucapkan nenek ini.
Read 126 tweets
Jul 3
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 27 : Tambi Uban dan Ukar

Jangan like, komen, reply, retweet dan quote tweet yak.

#ceritaserem #threadhorror #bacahoror #ceritahoror #kalimantan
"Aku tidak tahu siapa namanya, tapi orang-orang memanggilnya tambi Uban. Nenek malang itu katanya warga desa Sei Bahandang. Entah apa yang merasukinya untuk berbuat sinting, pastilah ada dendam yang tak bisa ia tuntaskan jika ia masih hidup."
Haji Badri menarik nafas panjang dengan kedua tangan yang terus memegang kemudi kelotok. Sesekali kelotok bergerak ke kiri dan ke kanan menghindari batang-batang kayu yang hanyut dibawa arus.
Read 105 tweets
Jun 30
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 26 : Hantu Banyu

Bantu Retweet dan Quote tweet ya.

@IDN_Horor
#ceritaserem #ceritahoror #ceritamalamjumat #malamjumat #kasnoout
Aku tercekat beberapa saat menyaksikan pemandangan mengerikan di depan mata. Tangan pak Salundik melambai-lambai di permukaan, gelagapan meminta tolong. Helai demi helai terus membungkus badannya tanpa ampun.
Tubuhnya timbul tenggelam diseret arus sementera jeritnya semakin melemah.

Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hati kecilku merasa bersalah tapi memang tidak ada yang bisa kulakukan kecuali terdiam mematung.
Read 58 tweets
Jun 28
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 25 : Tipuan Penghuni Sungai

Jangan lupa retweet dan quote tweet ya. Selamat membaca

@IDN_Horor @ceritaht @P_C_HORROR
#ceritaserem #ceritahoror #threadhorror Image
Tepat pukul lima sore, aku dan pak Salundik ditemani pambakal Bahat dan mantir Tuweh sudah berada di tepi sungai Barito. Kami juga berhasil mendapatkan sebuah perahu jukung milik warga yang bersedia disewa untuk kepentingan ritual di tengah sungai.
"Ada pelampung, mang?" tanyaku.

"Kalau mau, ada ban dalam yang bisa dijadikan pelampung. Biasa digunakan anakku. Kayaknya muat dengan badan pian," sahut pemilik jukung.
Read 50 tweets
Jun 26
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 23 : Rahasia Di Balik Rahasia

@IDN_Horor #bacahorror #bacahoror #ceritaserem #ceritaseram #threadhorror #kalimantan #dayak #banjar #melayu #santet
"Gerson, apa yang kau sembunyikan," ujar pak Salundik lirih, hampir tidak terdengar.

"Sepertinya aku harus bertemu Gerson. Firasatku mengatakan ada yang ia sembunyikan. Mungkin, ada jawaban siapa pengirim parang maya misterius itu," lanjutnya.
Setelah pamit, rombongan kami lantas meninggalkan rumah duka, menyusuri jalan desa menuju rumah pak Gerson. Kali ini, pak Sekdes juga ikut, entah apa tujuannya.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami tiba di rumah pak Gerson.
Read 90 tweets
Jun 23
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak

Bab 22 : Banjir Darah di Belantara

Siapkan menthal untuk menikmati kentang kali ini. Jangan lupa Retweet dan Quotetweet ya 😇

#ceritaserem #ceritahoror #threadhorror #ceritamalamjumat #malamjumat #kalimantan #dayak #banjar #melayu Image
Pria itu lantas memperkenalkan dirinya dengan nama Rinto, yang ternyata masih sepupunya mendiang pambakal Dehen. Keterangan itu sontak membuatku dan pak Salundik kaget sekaligus waspada. Rupanya, Rinto adalah calon pambakal bohongan yang diceritakan pak Gerson tempo hari.
Kendati demikian, aku dan pak Salundik berusaha menahan diri dan bersikap biasa. Apalagi Rinto lantas meminta maaf atas kesalah pahaman beberapa malam kemaren.
Read 46 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(