Di tempat lain, Jaya dan amang Husni melangkah buru-buru melewati hutan serta menembus padang ilalang yang luas. Cuaca pagi itu masih dingin dan matahari belum terlalu tinggi, tujuan mereka adalah huma julak Sarkani.
Sebenarnya pagi-pagi sekali mereka sudah ke rumah julak, tapi kata istrinya, Julak sudah ke ladang setelah sholat subuh.
Dari jalan desa, perjalanan ke huma julak memerlukan waktu sekitar 40 menit, jarak yang cukup dekat bagi orang-orang kampung untuk berjalan kaki.
Setelah melewati hamparan ilalang, Jaya dan amang Husni tampak sumringah. Mereka mempercepat langkah, karena ladang padi tadah hujan milik Julak sudah terlihat, sangat kontras dikelilingi hutan lebat meski luasnya tak seberapa.
Tidak perlu waktu lama, mereka melihat julak yang mengenakan caping sedang memasang jaring untuk menghalau burung pipit. Julak tampak sangat hati-hati, agar jaring yang dibentangkan tidak mematahkan tangkai padinya yang tumbuh subur.
Julak menoleh, menghentikan aktivitasnya. Ia menyipitkan mata karena cahaya matahari menyilaukan penglihatannya. Ia sedikit terkejut, lantaran pagi-pagi sekali ada tamu yang berkunjung ke ladangnya.
Selang beberapa menit, Jaya sudah berdiri di pinggir ladang dengan nafas tersengal. Di samping, amang Husni yang lebih tua agak kesulitan mengimbangi langkah Jaya yang masih segar bugar.
Melihat ada tamu, Julak bergegas ke pinggir ladang, melangkah hati-hati di antara hamparan padi yang siap panen.
"Ada apa?" tanya julak sedikit heran.
Bukannya menjawab, Jaya justru terbengong melihat wajah dan tangan julak Sarkani penuh luka gores.
"Pian kenapa, Julak?"
Julak melepas capingnya lalu mengipas-ngipas ke badannya yang penuh keringat. Sesekali ia meringis, membuat Jaya dan amang Husni tambah penasaran.
"Kalian belum dengar, ada apa di kampung kita tadi malam?"
Jaya dan amang Husni hanya menggeleng.
"Sudah lah, bukan perkara penting. Ada apa kemari? Tidak biasa orang datang ke humaku ini?"
"A-anu julak. Minyak perunduk… Aku sudah menemukan minyak perunduk itu," tutur Jaya dengan napas mulai teratur.
Julak yang awalnya agak cemberut, langsung tersenyum lebar.
"Sudah ketemu?"
Jaya mengangguk.
"Mana? Sini, cepat serahkan," pinta Julak Sarkani sedikit memaksa.
"Sebentar, julak. Ulun haus."
Jaya melengos pergi, melangkah cepat menuju pondok julak Sarkani yang jaraknya hanya beberapa meter.
Tujuannya adalah mencari air putih di dalam gubuk reot itu. Di belakang, amang Husni melangkah terburu mengikuti si majikan.
Melihat polah Jaya, julak mendadak gusar. Berkali-kali ia memanggil, tapi Jaya tidak peduli.
Tergopoh ia berlari, tetap kalah cepat, Jaya sudah berhasil mencapai halaman pondok yang berdinding kulit kayu itu.
Begitu menginjakkan kaki di depan pondok yang dikeliling pohon rindang, Jaya langsung menghentikan langkah.
Ia dan amang Husni langsung memencet hidung, karena mencium aroma busuk yang menyengat. Entah kenapa, Jaya dan amang Husni merasa ada yang janggal dengan huma ini.
Jaya memutar badan, menatap ke arah julak yang semakin mendekat.
"Jaya, mana minyak perunduknya. Semakin cepat, semakin baik. Kita hanya perlu menemukan jasad Misnah, agar arwahnya bisa tenang," seloroh Julak yang sudah berdiri di hadapan Jaya.
Jaya menatap tajam ke wajah julak, batinnya tiba-tiba diselimuti kecurigaan.
"Julak, kenapa huma pian bau busuk?" cecar Jaya, masih menutup hidung dengan kerah kaosnya.
Julak Sarkani menggeleng, "entahlah. Mungkin tikus atau musang. Sudah kucari, tetap tidak ketemu dimana bangkainya."
Jaya yang curiga, menatap sekeliling. Baginya, terlalu janggal apabila bangkai hewan mengeluarkan aroma busuk semenyengat ini. Kecurigaannya semakin menjadi, ketika ekor matanya menangkap raut kecemasan julak Sarkani. Wajahnya terlihat pucat, menyembunyikan sesuatu.
"Julak, bangkai hewan apa yang aromanya sebusuk ini?" cecar Jaya.
"Sudahlah, jangan dipikir. Nanti kucari lagi bangkainya. Sekarang, serahkan dulu minyak perunduk itu."
"Jaya, di sini!" teriak amang Husni.
Jaya yang kaget mendengar teriakan, langsung balik badan. Ternyata amang Husni sudah berdiri di depan lumbung padi, melambai-lambaikan tangan, menyuruh mendekat.
"Sudah kuperiksa, tidak ada apa-apa di situ," terang julak.
Jaya tidak menggubris. Tanpa pikir panjang, ia berlari kecil mendekati amang Husni yang muntah-muntah di depan lumbung padi.
"Jaya, tidak ada apa-apa di situ!" teriak Julak, berusaha menyusul.
Jaya dan amang Husni tetap tidak peduli.
Menahan mual, mereka membuka paksa pintu lumbung yang digembok. Pintu lumbung di dorong, ditendang, dan didobrak berkali-kali hingga tiang penyangga mulai bergoyang. Bagai kesetanan, Jaya dan amang Husni sangat curiga dengan bau busuk menyengat dari dalam lumbung.
Wajah julak yang tadi polos, seketika berubah penuh amarah. Sorot matanya bengis, menyala-nyala bagai bara. Diam-diam, ia mengambil arit yang tergeletak di samping pondok, lalu melangkah menuju lumbung.
Braak…
Pintu lumbung berhasil dijebol, Jaya dan amang Husni bergegas masuk. Begitu di dalam, Jaya diam sejenak. Tidak peduli dengan amang Husni yang langsung keluar untuk memuntahkan isi perut, Jaya mengedarkan pandang.
Sembari menutup hidung menggunakan kerah baju, matanya menyapu seisi lumbung padi yang kosong.
Mengandalkan cahaya yang masuk dari celah atap dan dinding yang bolong, Jaya memperhatikan setiap jengkal sudut lumbung padi yang pengap.
Selang beberapa saat,ia tercekat. Matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan di pojokan, tergeletak di atas tikar purun ditutup kain tapih bahalai (jarik). Penuh curiga, Jaya setengah berlari mendekat. Begitu membuka kain penutup, Jaya kaget setengah mati.
Ia melongo, matanya melotot hampir lepas karena saking kagetnya.
"Astagfirullahul azim," ucapnya tak percaya.
Di hadapannya, tergeletak jasad Misnah berbungkus kain kafan kotor penuh tanah.
Bentuknya wajahnya tidak karuan, berwarna hitam penuh belatung. Namun, tetap saja Jaya mengenali itu adalah jasad istrinya yang hilang dicuri. Seketika amarahnya meledak, darahnya mendidih.
Berkali-kali dipangil, tidak ada sahutan. Tiba-tiba Jaya merasa ada yang tak beres, entah kenapa ia mendadak merasa cemas tanpa sebab. Jaya langsung berlari keluar, khawatir ada hal buruk menimpa amang Husni.
Begitu di depan pintu, Jaya langsung bergidik ngeri. Di atas tanah, orang yang ia cari telah tersungkur bersimbah darah, terbujur kaku tidak bernyawa.
Jaya langsung gemetaran, melihat julak Sarkani menggengam arit yang meneteskan darah.
Nyalinya segera ciut, sementara darahnya berdesir cepat dan bulu-bulu halus di lengan sampai tengkuk berdiri sangat tegak. Ia ingin lari, tapi ketakutan lebih menguasai. Kakinya seketika lemas, sedangkan lidahnya terasa sangat kelu untuk berteriak.
Badannya langsung keringat dingin sementara nafasnya sesak.
Dengan sorot mata dingin, Julak Sarkani menatap Jaya yang ketakutan. Wajah, baju dan telapak tangan julak penuh cipratan darah amang Husni yang malang.
"Ju-julak… Pi-piian kenapa?"
Dengan mata melotot, julak mengangkat arit agak menyamping ke udara.
Sreeett…
Ujung arit yang tajam merobek batang leher Jaya, membuat lelaki itu langsung ambruk bersimbah darah.
Lututnya terlebih dahulu membentur tanah, disusul kepalanya sedetik kemudian. Darah mengucur dari luka tenggorokannya yang menganga, membanjiri tanah liat yang penuh debu.
Selama beberapa saat, Jaya kejang-kejang meregang nyawa di atas tanah, menggelepar bak ayam yang disembelih. Kurang dari 15 detik, ajal telah menjemputnya. Jaya tewas mengenaskan dengan mata melotot dan mulut menganga mengeluarkan liur bercampur darah,
sementara darah terus mengalir tanpa henti bagai keran bocor dari luka memanjang yang merobek leher.
Di antara dua mayat, julak Sarkani berdiri tegak menggenggam arit yang penuh tetesan darah, diiringi suara kicau burung dari dahan pohon yang menjulang tinggi.
Pagi itu, dua nyawa melayang di huma julak Sarkani yang asri.
… berkentang…
Sampai jumpa malam senin. Terima kasih masih setia pada trit ini, tabe 😇🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Lagi iseng buka tiktok, ketemu berita mencengangkan.
"Seorang pendeta Tibet yang bertapa selama 201 tahun, ditemukan masih hidup."
Pendeta tersebut awalnya ditemukan secara tak sengaja oleh warga setempat di dalam sebuah goa.
Ia dikira telah menjadi mumi karena bermeditasi dalam kurun waktu yang lama. Tubuhnya saat itu berbalut jubah lusuh yang gampak sobek apabila disentuh.
Sekelompok ilmuwan lantas membawa tubuhnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dari hasil penelusuran, diketahui si pendeta telah bermeditasi selama 201 tahun, menjalani kondisi deep trance yang dikenal "takatet".
Seorang polisi tua dan dua polisi muda, melangkah gontai di sunyi malam menuju pertigaan yang sudah di depan mata. Seorang polisi paling muda, pratu Berto tampak masih gelisah. Apa yang dijelaskan letnan Johar barusan memang tampak masuk akal,
tapi masih ada beberapa pertanyaan di benaknya.
"Tapi, letnan, bagaimana caranya meracuni Apri? Lalu, tujuannya untuk apa?" sergah Berto masih penasaran.
"Itulah tugas kita. Semua pasti saling terkait, antara kematian Apri dan hilangnya jasad Misnah.
Selama beberapa detik Jaya termangu, tidak yakin dengan apa yang ia lihat. Setelah menepis rasa takut, ia melangkah perlahan melewati pintu belakang dan menyusuri selasar yang temaram.
Jaya menahan napas, karena semakin dekat, sosok nenek itu terlihat semakin jelas, berdiri mematung memamerkan wajahnya yang keriput. Entah atas dorongan apa, Jaya justru nekad mendekat.
Jaya menatap lurus ke arah ibunya yang terbaring di ranjang. Setelah meminum obat dari mantri, wanita paruh baya itu tertidur lelap bagaikan bayi. Sesekali ia merintih, menahan sakit di kepala meski lukanya sudah dijahit. Untung lah ada acil Lela & acil Ijum yang setia menemani.
Jaya juga merasa beruntung dengan kehadiran julak Sarkani. Saudara tertua mendiang ayahnya itu selalu setia membantu keluarganya di saat susah. Meski dikelilingi orang-orang baik, Jaya tetap merasa gamang.
Ketika malam datang, desa Tumbang Lais benar-benar sunyi. Sebelumnya, selepas magrib pun desa ini telah sepi. Apalagi setelah tersiar kabar ada warga yang mati jadi hantu, membuat kampung ini tak ubahnya desa mati.
Saat-saat seperti ini, biasanya ada beberapa warga yang membawa serapang untuk menombak ikan di sungai, menyusuri lanting demi lanting. Akan tetapi, tampaknya malam ini mereka lebih memilih berdiam diri di rumah sambil menonton sinetron di televisi.
Teror bermula sewaktu jasad Misnah yang selalu gagal dihadapkan ke arag kiblat ketika hendak dikuburkan. Selepas magrib, desa yang berada di salah satu sungai di kalsel itu dicekam ketakutan.