“Memang kene sangatke, Pakcik?” tanya Martin. Sang nelayan melotot dari buritan sampan. Wajahnya keras, hitam terbakar sinar matahari, dan menyeramkan.
Tapi betapa pun ganjilnya perintah itu Martin dan si pria tua mengikutinya.
Hanya kepala Martin saja yang panjang-lonjong tampak keluar dari satu sisi sampan: memandang buih ombak yang putih, teluk yang hampir tertinggal—seraya terbayang wajah seorang gadis desa yang senantiasa dia kenang.
Rinai gerimis turun di saat seorang nelayan tua sedang berusaha menghidupkan motor sampannya, sekali-dua kali belum berhasil. Dia mencobanya lagi, dalam gelap malam hari.
Warna langit sekelam air teluk yang menjurus ke laut lepas. Tak ada bulan saat itu. Tiada pula bintang-gemintang. Hanya desir kesiur angin yang ganjil dalam udara gigil bulan April.