“Memang kene sangatke, Pakcik?” tanya Martin. Sang nelayan melotot dari buritan sampan. Wajahnya keras, hitam terbakar sinar matahari, dan menyeramkan.
Tapi betapa pun ganjilnya perintah itu Martin dan si pria tua mengikutinya.
Hanya kepala Martin saja yang panjang-lonjong tampak keluar dari satu sisi sampan: memandang buih ombak yang putih, teluk yang hampir tertinggal—seraya terbayang wajah seorang gadis desa yang senantiasa dia kenang.
Sedikit demi sedikit sang nelayan terus menambah kecepatan. Di teluk tak ada kapal maupun sampan yang berlayar. Perairan sepenuhnya kosong.
Tapi di lautan, selepas teluk, motor dimatikan. Sampan dikayuh perlahan dengan kayu.
Sang nelayan mendayung dengan ketenangan seorang pertapa yang menyepi ke lautan lepas. Dia melempar kail ke kedalaman air, di kegelapan malam. Sejurus kemudian, dengan mancis, dia menyalakan petromaks tua: apinya menyala kecil seperti ketakutan.
Mata sang nelayan mencari-cari, mengamati ke arah jauh apakah di ujung sana terdapat kapal polisi penjaga lautan. Rencananya Martin pulang ke kampung halamannya dengan rute yang dia buat sendiri: dari Tanjung Piai di Johor, menyeberangi selat Melaka ke pulau Karimun Besar
di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Nah, ke pulau inilah tugas sang nelayan harus mengantar. Selanjutnya Martin akan menyeberang kembali ke Pulau Buru, Pulau Bela, Pulau Kundur, lalu turun ke Tanjungbatu sebelum mencari kapal lagi untuk menyeberang ke Danai di tepian selatan
Pulau Sumatera. Dari sana Martin bisa menyusuri daratan ke Ularbemban, Simpong, Bagankera, lanjut terus berkilo-kilometer melewati hutan dan perkebunan sawit hingga tiba di Jambi.
Dari sana Martin masih harus terus melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya yang jauh di ujung bawah pulang Sumatera.
Dari dalam kotak ikan yang basah Martin tiba-tiba berseloroh, setelah beberapa jenak terlelap. “Eh, Pakcik buat apa mancing ikan malam ni?”
“Awak diamlah. Banyak sangat cakap!” jawab sang nelayan.
Martin lupa jika Perdana Menteri belum memperkenankan pelabuhan untuk dibuka sehingga tak ada aktivitas laut. Kapal-kapal Ferry tiada yang beroperasi.
Tapi di mana-mana polisi dan militer berjaga di saban hari—tak terkecuali di air. Para nelayan pun dilarang melaut. Tetapi di saat itu perjarakan sosial sudah sedikit dilonggarkan. Oleh sebab itulah sang nelayan tua memberanikan diri:
Sang nelayan pelan-pelan menggulung pancingnya. Dia merasa aman melihat tak adanya kapal penjaga yang tampak. Sang nelayan menghidupkan kembali motor sampannya.
Tapi di dalam hati dia berlayar dengan cemas. Sementara kedua penumpangnya mungkin sedang tertidur di dalam kotak ikan.
Di depan sana sang nelayan melihat awan bergumpal-gumpal. Semakin lama cuaca semakin jelek. Sang nelayan mendapat firasat jika tak lama lagi bakal turun badai.
Itu artinya: saya mesti mempercepat laju sampan, batin sang nelayan.
Sampan berlayar mengarungi lautan. Ombak yang hitam makin lama makin tinggi. Rinai gerimis menjelma butir hujan yang besar-besar. Sang nelayan mengerahkan kemampuan terbaiknya menaklukan si monster air
—begitu dia menamai badai. Sebab pilihannya hanya dua: menerobos atau putar balik ke teluk.
Namun, tak terduga, kapal polisi penjaga perbatasan berlayar laju mengejar sampan sang nelayan. Membuatnya terperanjat sama sekali. Itu berarti sang nelayan, mau tak mau,
mesti menerobos sang badai. Tak peduli ombak setinggi apa pun msti dia takhlukan bila tak mau brakhir di penjara krn telah membantu pekerja asing ilegal melarikan diri.
Sang nelayan brusaha melarikan diri dari kejaran polisi laut. Sampan yg dikendalikannya berbelok ke kanan-kiri
Ombak-ombak hitam semakin meninggi menghantam mereka, membikin tubuh Martin dan si pria tua basah kebas. Di depan sana belum tampak bayang-bayang sebuah pulau. Hanya laut yang ombaknya tinggi bergulung-gulung seperti kue.
Di dalam hatinya Martin takut sama sekali. Tetapi dia tak berteriak. Martin hanya diam seraya terkenang wajah kekasih hatinya nun jauh di kampung halaman. Sebelum dia mengembuskan napas terakhir, Martin sungguh berharap dia dapat berjumpa dengan gadis itu.
Sementara si pria tua yang sejak awal keberangkatan selalu sepi kini menggigil ketakutan dan mengucap sumpah-serapah.
Selepas 30 menit diburu oleh kapal polisi, sampan sang nelayan berhasil kabur dari kejarannya. Sang nelayan dan kedua penumpangnya mengucap syukur sebab merasa telah selamat dari bayang-bayang penjara.
Mereka berteriak, bersorak-sorai: “horay!”, tanpa sadar sama sekali jika di hadapan mereka sudah menunggu sebuah ombak raksasa yang siap menghantam sampan ringkih itu.
Sampan sang nelayan terguncang, terhempas, dan berpusing-pusing. Para penumpangnya terlempar, terlepas dari sampan, dan tergulung-gulung dalam pusaran ombak. Hanyut di dalam air ke mana arus hendak membawa tubuh mereka.
Rinai gerimis turun di saat seorang nelayan tua sedang berusaha menghidupkan motor sampannya, sekali-dua kali belum berhasil. Dia mencobanya lagi, dalam gelap malam hari.
Warna langit sekelam air teluk yang menjurus ke laut lepas. Tak ada bulan saat itu. Tiada pula bintang-gemintang. Hanya desir kesiur angin yang ganjil dalam udara gigil bulan April.