Martin, pemuda itu, tak sadarkan diri. Martin seperti lupa atas apa yang baru saja terjadi. Martin terbangun dari tidurnya yang tak panjang di atas pasir putih di sebuah pantai. Seseorang baru saja mengecup hangat pipi kanannya dan membuat dia terjaga. Martin bangkit.
Pantalon katun tuanya robek. Pakaiannya basah.
Martin melayangkan pandangan. Semuanya gelap, hitam, sebab hari masih malam. Tapi di ujung sana Martin melihat seorang perempuan bergaun putih sedang berjalan.
Dari jejak kaki yang ditinggalkannya di atas pasir Martin yakin kalau perempuan itulah yang sudah memberinya hadiah sebuah ciuman.
“Hey, Nona …,” pekik Martin. Rambut perempuan itu hitam legam dan panjang sampai ke betis. Sejengkal kaki dan tangannya tampak putih mengagumkan.
Tapi sayang dia melangkah ke dalam hutan, tidak menoleh ketika dipanggil oleh Martin, meski larinya pelan sahaja. Seolah-olah memang minta dikejar.
Tiada siapa pun di tepian pantai itu. Tak ada sampan atau pun kapal yang bersandar.
Pun demikian halnya dengan sang nelayan dan si pria tua kawan seperjalanannya. Hanya Martin sahaja, yang kini berlari mengejar perempuan bergaun putih itu. Barangkali minta ditemani sehingga dia tidak merasa kesepian dan sendiri.
Atau mungkin hanya untuk sekadar bertanya: “pulau apakah ini?”
Martin memanggil, berteriak-teriak kepada perempuan itu. Tapi si perempuan tidak mendengar. Martin berlari mempercepat langkah. Entah kenapa Martin ingin sekali berjumpa dengannya.
Seolah hal itu adalah sesuatu yang penting.
“Nona… Nona…,” sapa Martin di belakang tubuh si perempuan. Masih tak berjawab. Martin menyalip langkah perempuan itu dan terperanjat!
“Isnama …? Benar kaukah itu?” tanya Martin, dalam pandangan terheran-heran.
Gadis jelita itu tersenyum malu. Parasnya semanis gulo palu, putih, dan menyenangkan. Kepalanya mengangguk.
“Sungguh sayang, Kaukah itu?” tanya Martin, sekali lagi, masih dalam kaget.
Si gadis mendongakkan kepalanya menatap wajah Martin. Pemuda itu tiba-tiba merasa waktu seperti berhenti. Pohon-pohon di sekeliling mereka seperti berhenti bergoyang. Dan jangkrik-jangkrik mati. Martin melihat betapa indah nan menawannya mata gadis itu, putih dan lucu,
sekaligus menenangkan, seperti mata kucing. “Iya, Bang…, ini Isnama.” Jawab si gadis, menyengir.
Martin merasa gembira bukan kepalang. Wajahnya sumeringah. Matanya berbinar-binar. Tak dipedulikannya hari yang masih gelap atau pakaian yang dikenakannya masih basah dengan air
-menetes-netes. Dipeluknya gadis itu seketika. Punggung si gadis yang kurus dan ringkih Martin elus-elus. Rambutnya yang panjang dan tebal Martin belai.
“Sayang,” kata Martin pelan, penuh cinta. Sudah begitu lama dia memeram perasaan rindu ini.
Martin memimpikan Isnama siang dan malam. Kadang-kadang dia melampiaskan kerinduannya dengan menelepon gadis itu. Kadang-kadang dengan memandang potretnya. Kadang-kadang dengan mendoakannya. Kadang-kadang dengan meloco. Martin melanjutkan, “aku kangen!”
“Saya juga,” kata Isnama. “Tapi pakaianmu basah!”
Martin buru-buru melepaskan pelukan. “Maaf,” ujarnya.
“Mari pulang…,” ajak Isnama.
Martin berjalan beriringan dengan gadis itu, seraya berpegangan tangan. Angin bertiup pelan menabrak tubuh Martin yang lembab, membuatnya menggigil. Mereka berjalan melewati beribu pokok-pokok kayu sebesar tiga kali pelukan Martin, dengan tinggi yang menembus langit.
Isnama mengajak Martin ke rumahnya, menyuruh dia mandi dan bebersih di sana. Martin bertemu ibunda dan ayahanda Isnama di ruang tamu. Mereka menyambut Martin seperti bagian keluarga sendiri. Tak ada kernyit dahi yang mereka tunjukkan walaupun Martin berkunjung di waktu sebelum
fajar menyingsing. “Eh, Nak Martin, rasanya sudah lama sekali tak berjumpa.”
Selepas mandi Martin dan Isnama bertemu di bilik. Sekali lagi mereka berpelukan. Lalu berciuman. Turun ke bawah Martin mencumbui leher si gadis, sesenti lalu sesenti lagi. Tapi Isnama menghentikannya.
“Pulanglah,” katanya. “Pun ini belum saatnya.” Isnama tersenyum kecil.
“Tapi di mana rumahku?” tanya Martin, lupa.
“Itu, lurus susuri tepian lapangan sepak bola, kemudian patah kiri di depan ladang jagung. Di balik ladang itulah rumahmu. Pergilah dan kau akan menemukannya.” Kata Isnama sembari berbaring miring di atas ranjang.
Maka pulanglah Martin, pagi sebelum matahari tampak. Di sebuah rumah panggung berbahan kayu, di balik ladang, Martin berjumpa dengan bapaknya yang membukakan pintu. Lelaki tua itu mengenakan sarung, kaus lusuh, serta kopiah hitam di kepalanya.
Tampak dia baru saja menunaikan ibadah shalat subuh. Kemudian lelaki tua itu memanggil anak-anaknya yang lain, dan tentu saja istrinya.
Martin berjumpa dengan keempat adik-adiknya yang masih kecil. Juga emaknya yang, seingat Martin, sudah lama meninggal dunia.
“Memang kene sangatke, Pakcik?” tanya Martin. Sang nelayan melotot dari buritan sampan. Wajahnya keras, hitam terbakar sinar matahari, dan menyeramkan.
Tapi betapa pun ganjilnya perintah itu Martin dan si pria tua mengikutinya.
Hanya kepala Martin saja yang panjang-lonjong tampak keluar dari satu sisi sampan: memandang buih ombak yang putih, teluk yang hampir tertinggal—seraya terbayang wajah seorang gadis desa yang senantiasa dia kenang.
Rinai gerimis turun di saat seorang nelayan tua sedang berusaha menghidupkan motor sampannya, sekali-dua kali belum berhasil. Dia mencobanya lagi, dalam gelap malam hari.
Warna langit sekelam air teluk yang menjurus ke laut lepas. Tak ada bulan saat itu. Tiada pula bintang-gemintang. Hanya desir kesiur angin yang ganjil dalam udara gigil bulan April.