Semenjak 3 tahun lalu Lebaran sudah berbeda, ibu sudah tidak ada lagi bersama kami, Tuhan
memanggilnya di awal tahun 2021. Beliau akhirnya kalah oleh komplikasi diabetes, jantung dan
gagal ginjal. Aku sudah hampir 8 tahun tidak tinggal berdekatan dengan kedua orangtua.
Perjalanan hidup membawaku tinggal di lain kota, beda propinsi. Mereka tinggal di kota Jakarta, justru aku yang pindah tinggal di daerah. Maka dari itulah setiap lebaran jika banyak orang “Pulang Kampung”, aku dan keluargaku justru “Pulang Kota”.
Karena janggal juga jika menyebut Ibu Kota Jakarta
“Kampung”. Hari Raya Idul Fitri, atau Lebaran merupakan momen yang spesial bagiku. Teringat saat aku
masih tinggal bersama orangtua sejak kala masih sekolah sampai di bangku kuliah hingga
tahun-tahun awal masa kehidupan dewasaku bersama istri, setiap menjelang Lebaran dapur
menjadi lebih hidup oleh kesibukan ibuku yang sedang mengolah kue sampai panganan khas Lebaran seperti opor ayam dan lainnya.
Aku merindukan momen-momen itu, bahkan kini sudah merasakan kehilangan. Ibu memang tidak tergantikan oleh siapapun.
Daerah yang aku tinggali meskipun cukup jauh dari kota Jakarta namun masih dapat ditempuh
dengan durasi perjalanan 6 sampai 8 jam. Maka itulah tidak ada alasan bagiku untuk tidak mudik pulang tiap lebaran. Aku hanya dua bersaudara dengan adikku.
Lain hal dengan adikku, dia berpenghidupan di luar
Pulau Jawa. Bekerja di perusahaan manajemen bandar udara. Setiap Lebaran dia tidak dapat pulang dikarenakan justru di momen hari raya aktivitas bandara menjadi lebih padat, karenanya
dia harus bertugas ekstra waktu.
Akhirnya hanya aku dan keluargaku yang bisa pulang
berlebaran sekaligus menengok orangtua.
Rumah masa kecilku adalah bangunan dua lantai. Dari segi luas bangunan memang tidak bisa dibilang kecil, bahkan cukup besar.
Dahulu saat aku dan adikku masih tinggal di rumah, rumah itu tidak pernah sepi. Karena aku maupun adikku sering membawa teman-teman karib sekedar
bermain bahkan ada yang sampai bermalam lebih dari sehari. Rumahku bagai rumah singgah.
Akan hal itu orangtuaku tidak keberatan, bahkan ibu kelihatannya malah senang rumah menjadi ramai. Ibu memang berlatar dari keluarga besar, ia merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara. Mungkin itulah yang membuatnya merasa senang apabila di rumah banyak orang.
Ayahku saat masih aktif bekerja jabatan di kantornya lumayan tinggi, penghasilannya terbilang
lebih dari cukup. Maka itulah dia membangun rumah kami menjadi cukup besar untuk keluarga
kecil.
Hal mana kondisi itu kemudian disesali ibu. Dia tak menduga jika kami anak-anaknya saat menjalani kehidupan dewasa akan pergi meninggalkan rumah.
Sebenarnya jika dipikir-pikir bukankah tak seorangpun dapat menerka akan masa depannya?,
akan kemana dan dimana nasib membawanya pergi, akan jauh, atau dekat dari rumah. “Rumah
ini terlalu besar buat kami berdua”, demikian keluh-kesah ibu yang sering disampaikannya.
Ia sering merasa kesepian.
Waktu itu aku sudah berencana pindah kembali ke rumah masa kecilku, mengingat anakku
yang paling besar sudah sma berencana kuliah di Jakarta. Matapencaharianku sebagai
pengusaha juga tidak terikat peraturan siapapun.
Aku sudah sampaikan perihal ini ke ibuku dan dia senang sekali mendengarnya, namun sayang seribu sayang, saat aku akan kembali pulang ke rumah justru ibuku yang “pergi”.
#
Di hari saat ibu meninggal, malamnya setelah ibu dikebumikan aku dan adikku beserta istri kami masing-masing mengadakan semacam rapat kecil. Membahas siapa yang akan menemani ayah sepeninggal ibu, mengingat umurnya juga sudah cukup sepuh.
Pastinya ada hal yang tidak dapat dikerjakan sendiri. Lagi pula rumah ini terlalu besar jika hanya ditinggali seorang kakek-kakek.
Aku dan adikku bersepakat, aku dan keluargakulah yang akan pindah kembali ke rumah
sekaligus menemani ayah.
Pertimbangannya adalah adikku merupakan karyawan, dia terikat
regulasi institusi. Tidak dapat minta mutasi begitu saja. Yang paling realistis untuk dapat pindah
sesegera mungkin adalah diriku, dikarenakan berprofesi sebagai wiraswasta atau pengusaha.
Namun dikarenakan usahaku ada di daerah, aku juga tidak dapat langsung serta-merta pindah
begitu saja meninggalkan usaha yang sudah berjalan. Kepindahanku itu harus berproses tahap demi tahap.
Sejalan dengan itu, sejak itulah sampai saat ini pola aktivitasku menjadi “nomaden”. Dalam sebulan 2 minggu di daerah 2 minggu di kota, bolak-balik. Meski aku tinggal di daerah selama 8 tahun terakhir ini bukan sama sekali aku tidak pulang ke
rumah.
Setidaknya jeda 3 bulan atau paling lama 6 bulan sekali aku ada saja pulang ke rumah. Dan setiap kali pulang itu aku tidur di kamarku yang lama di lantai atas mesti repot-repot bebersih terlebih dahulu.
Dikarenakan debu yang sudah menebal bahkan juga ada sarang laba-laba. Benar-benar seperti rumah kosong.
Sewaktu ibu masih ada, saat aku pulang, aku memperhatikan lampu-lampu di lantai atas dan
kamar-kamarnya selalu dalam keadaan menyala meski di siang hari.
Saat aku tanyakan mengapa lampu dibiarkan menyala demikian, dia tidak menjelaskan apa-apa selain “ga papa, biar ga ada yang lain yang ngisi”.
Aku memang sudah mendengar perihal apabila kamar atau rumah dalam keadaan kosong 3
hari saja maka ada makhluk halus yang akan mengisinya.
Dahulu mendengar perihal itu aku
menanggapinya hanya sebatas angin lalu saja. Ayahku pun demikian, dia adalah seorang yang mengedepankan logika.
Meskipun belakangan jika ada kesempatan aku bercakap dengan ayahku, dia pernah menyampaikan jika di lantai atas dia sesekali mendengar seperti ada orang. Kadang terdengar langkah-langkah, bahkan sampai terdengar seperti ada orang yang berlari.
Mendengar hal demikian keluar dari mulut ayahku cukup membuatku terperangah juga, “tumben banget bokap mikirin hal-hal begitu”, pikirku.
Memang saat ibuku masih adapun pernah suatu kali kami bercakap di ruang makan, tiba-tiba dia berseru sambil menatap ke arah sudut dekat wastafel, “heh!, siang-siang udah keluar”.
Melihatnya demikian aku jadi bergidig sendiri.
Aku memang sudah tahu dari keluarga besar ibuku bahwa beliau memiliki indra ke-6, berkemampuan melihat makhluk halus. Tapi kemampuan ibuku itu tidak diasahnya, hanya sekedar menjadi ciri khasnya yang membedakan dia diantara saudara-saudaranya dan juga orang kebanyakan.
Maksudnya, orang yang memiliki ketajaman indra ke-6 biasanya akan menjadi semacam cenayang atau semacam “orang pintar”, tapi tidak dengan ibu, dia merasa biasa-biasa saja bahkan cenderung penakut.
Kata ibuku di ruang makan ada sosok yang berwujud seperti bayangan, hitam belaka meski
berbentuk manusia. Sosok itu kerap keluar atau muncul kemudian hilang di sudut ruang makan sebagaimana aku sampaikan sebelumnya. Lain halnya di dapur, dia bilang ada sosok putih.
Pertama aku tak mengerti sosok putih apa yang dimaksudkannya itu.
Hingga suatu hari saat aku sedang berkunjung ke rumah, saat itu waktu shubuh. Aku terbangun
dan bersiap melaksanakan sholat Shubuh.
Di lantai atas tidak terdapat kamar mandi, kamar mandi terletak di ruang bawah, tepatnya bagian dari dapur. Maka aku harus turun untuk mengambil air wudhu sekalian terlebih dahulu kencing dan membasuh muka dengan air untuk mengusir rasa kantuk yang masih tersisa.
Di saat air kukucurkan dari keran, diantara suara gemericik air aku mendengar suara lain dari luar;
“BRUK!, BRUK!”. Telinga kiriku menangkap suara tersebut.
Aku merasa heran, bertanya sendiri, suara apa gerangan?. Untuk memperjelasya aku matikan aliran air dari keran, suara itu tak terdengar. Kemudian aku menyalakan aliran keran air
kembali, dan lagi aku mendengar suara; “BRUK!”, BRUK!”.
Bahkan kali ini suaranya semakin
dekat dengan pintu kamar mandi.
Otakku mencerna, itu adalah suara seperti ada yang melompat-lompat. Tapi siapa yang melompat-lompat di shubuh hari dan di dapur pula.
Aku mengabaikannya, tetap melanjutkan mengambil air wudhu. Kemudian suara itu terdenger lagi, “BRUK! BRUK!”, kali ini semakin
jelas terdengar. Suara seperti ada yang melompat itu berhenti tepat di depan pintu kamar mandi.
Heran juga, padahal sebagaimana ayahku aku juga termasuk orang yang mengedepankan logika. Aku tidak mudah percaya sesuatu di luar nalar yang berkenaan dengan hantu,
setan dan sejenisnya, tapi suara itu membuat bulu kudukku meremang berdiri, dan aku merasa was-was
menduga-duga akan apa, atau siapa yang sepertinya saat itu sudah berada berdiri persis di
depan pintu kamar mandi.
Saat akan membuka pintu kamar mandi aku mengumpulkan nyali terlebih dahulu. Jantungku
berdegub kencang. Namun ketika membuka pintu kamar mandi dengan cara segera, aku tidak
melihat siapapun atau apapun di sana.
Pada malam tertentu aku juga kerap terbangun karena mendengar ada suara orang yang
melangkah lalu lalang di luar kamar. Pada awalnya ku kira itu adalah ayahku atau ibuku, aku
panggil mereka, “pah! ... mah!”, tak ada yang membalas menyahut.
Lalu aku membuka pintu, tak ada siapa-siapa.
Pernah juga saat ada suara seperti orang sedang berjalan itu aku sengaja hanya mendiamkan tidak menyapa.
Namun kemudian pada bagian bawah celah pintu aku melihat bayangan kaki yang sedang berdiri saja persis di depan pintu kamarku. Lalu dengan hati berdebar aku menunggu apa yang akan selanjutnya terjadi, ternyata bayangan sosok itu hilang begitu saja.
Demikianlah, jika mendengar langkah-langkah atau melihat sosok bayangan di depan pintu
kamar akhirnya aku diamkan saja. Lama-kelamaan rasa takutku berkurang, aku sepertinya
menjadi terbiasa atau bahkan sudah “saling mengenal”.
Sekali waktu ibuku bercerita, dia minta dicarikan sesuatu di kamar gudang kepada seorang
pemuda tetangga. Kamar gudang letaknya juga di lantai atas. Namun yang terjadi kemudian pemuda itu turun tangga dengan terbirit. Ibu bertanya, “ada apa?”.
Pemuda itu menjawab dengan gemetaran bahwa sedari awal masuk kamar gudang hawanya
sudah beda, dia merasakan hawa panas yang berlebih juga lembab. Saat mencari-cari barang
yang dimaksud dia merasakan tidak nyaman, seperti ada yang memerhatikannya.
Namun yang
kemudian membuatnya sontak lari terbirit karena merasa tidak kuat adalah dia melihat boneka karakter anak perempuan tangannya bergerak seolah melambai kepadanya.
Aku menduga boneka di gudang itu adalah kepunyaan anak perempuanku saat dia masih
balita.
Sebagaimana sudah ku sampaikan, awal-awal menikah sampai anak perempuanku
duduk di sekolah dasar kelas 3 aku sekeluarga memang sempat tinggal di rumah ini bersama
orangtuaku.
#
Sekarang ini untuk sementara aku menjalani pola hidup “nomaden”. Aku membagi waktu di desa dengan di kota. Anak perempuan pertamaku sudah lulus SMA dan sebagaimana rencana dia melanjutkan kuliah di Jakarta. Tinggalnya tentu saja di rumahku.
Keberadaan anakku di
rumah menjadi sekalian menemai ayahku paska ibu meninggal. Seolah Tuhan sudah mengatur
demikian.
Istriku sementara masih di daerah mengurus operasional usaha.
Saat ini kami sedang mengkader karyawan yang bisa dipercaya, agar pada waktunya kami pindah sekeluarga nanti kegiatan operasional usahaku bisa dialihkan kepada karyawan yang terpercaya tersebut.
Anakku yang bungsu saat ini masih duduk di kelas 11 SMA, atau kelas 2. Rencananya saat si bungsu lulus SMA lah kami sekeluarga baru pindah kembali ke rumah di Jakarta.
Di lantai atas rumahku ada 4 ruangan, 2 kamar yang cukup besar adalah dahulu kamarku dan
satunya lagi kamar adikku, lalu 1 kamar yang luasnya tidak terlalu besar maksud awalnya akan dijadikan kamar pembantu rumah tangga sekaligus dijadikan ruang setrika pakaian,
satu ruangan lagi letaknya di ujung adalah difungsikan sebagai gudang. Anakku menempati kamar yang dahulu adalah kamarku. Sedangkan aku sekarang menempati kamar yang dahulu kamar adikku. Suatu malam sekitar jam 12 malam aku mendengarnya
berteriak histeris.
Teriakannya sontak membuatku terbangun dan segera berlari menuju kamarnya. “Kenapa kamu nak?, tanyaku kepadanya. Aku melihat keningnya dibasahi peluh keringat padahal kamarnya ber-AC. “A..a,, ada, ada po..po..pocong yah.....”, jawabnya terbata.
“Pocong?” tanyaku lagi. “Yang bener kamu nak? apa kamu ga salah liat? dimana kamu
liatnya?” lanjutku bertanya memburu.
“Engga yah beneran, aku liat pocong. Pocongnya berdiri di atas kasur persis depan aku.
Mukanya yah, mukanya...”, paparnya. Saat mengutarakan kalimat terakhir itu aku perhatikan
mimik wajahnya menyiratkan ketakutan.
Lalu dia melanjutkan, “....mukanya gelap item gosong
gitu yah..”, terangnya sambil menutup wajahnya dengan selimut.
Aku berusaha menguatkan hatinya, “udah nak, ga papa. Ada ayah di sini. Kamu tenang ya, berdoa aja minta perlindungan sama Allah”.
Aku menemaninya beberapa saat sebelum kembali ke kamarku. Lalu ku katakan kepadanya supaya jangan takut, “Ini kan rumah kita. Kita yang tinggal di sini. Merekalah justru yang numpang”.
Kata-kataku itu manjur membuatnya terlihat
lebih tenang.
Ketika sudah di luar kamar anakku, aku melakukan hal yang sebenarnya menurutku sendiri tidak logis. Aku berkata-kata sendiri sambil menyapu pandangan sekitar ruang lantai atas,
“Assalammualaikum siapapun kalian, ini rumah saya! Saya yang tinggal di sini, kalian yang menumpang. Silahkan kalau mau di sini, tapi jangan ganggu. Masing-masing aja!”
Kejadian serupa kembali terulang, kali ini dialami istriku. Kebetulan dia mulai bisa mencuri-curi
waktu pulang ke rumah di kota barang 3 hari 2 malam. Kangen sama si Kaka katanya yang
sudah kuliah di Jakarta.
Saat sedang tidur kembali aku terjaga dikarenakan mendengar teriakan yang kali ini dari istriku
yang tidur di sampingku. “Heh!, heh!... ada apa bun?! ada apa?!”, seruku sambil mengguncangkan pundaknya.
“Itu yah!, di pojok, ... ada pocong sama boneka melayang-layang!!”, jawabnya setengah histeris.
Aku bergegas menyalakan lampu kamar. Saat terang ku layangkan pandanganku ke pojokan
belakang meja televisi sebagaimana arah yang dia tunjuk. Tapi aku tak melihat apapun.
“Mana bun?! ga ada apa-apa...” seruku. “Ada yah, beneran. Bunda ngeliat pocong berdiri aja
di situ, mukanya item. Terus di sampingnya ada boneka melayang-layang!” balasnya dengan nada gusar karena merasa tidak dipercaya.
“Ya udah.. udah. Biarin aja, udah ga ada kan. Tidur lagi aja. Berdoa dulu yuk,” balasku sambil menghampiri kemudian membelainya supaya dia tenang. Sesudah berdoa lalu dia kembali merebahkan badannya mencoba tidur kembali.
Aku tidak langsung tidur dan mematikan lampu supaya istriku tidak merasa takut. Setelah dia
terlihat sudah kembali lelap tidurnya barulah kumatikan lampu kamar. Pada saat rebah, aku
tidak dapat langsung tidur.
Mataku masih terjaga, sambil aku berdoa yang aku hafal dan
sepanjang yang ku tahu dapat mengusir setan. Dalam keremangan dan hening suasana kamar ku dan lantai atas aku pasang juga telingaku,
ku pastikan apakah selanjutnya akan ada penampakan lagi
kemudian suara seperti orang yang berjalan lalu lalang di luar kamar? Terjaga dan terjaga, sambil terus mengucap doa, sampai rasa kantuk mulai kembali menghinggapiku dan tak sadar aku pun tertidur.
#
Lebaran tahun 2021 sebagaimana biasa aku dan keluargaku mudik pulang ke rumah. Kami
memilih sepuluh hari sebelum Lebaran sudah mudik agar banyak waktu di sana berkumpul
menemani ayah.
Kami sengaja pulang mudik jauh hari sebelum hari H untuk mengakali larangan mudik dari
pemerintah dikarenakan saat itu masih masa pandemi Covid 19. Lagi pula manalah aku tega
membiarkan ayah sendirian di rumah saat Lebaran.
Lebaran tahun itu terasa berat bagiku, kali pertama tanpa ada sosok ibu. Aku menatapi dapur,
meja makan, dan ruang keluarga, ada perasaan yang hampa. Lalu ada rasa yang menyesakkan di dada, rasa kehilangan yang mendalam.
Betapa setiap sudut rumah ini tergambar kenangan indah bersama ibuku. Hingga tanpa terasa air mataku meleleh. Lalu aku beranjak ke ruang tamu.
Aku jadi kembali teringat salah satu kebisaan ibu lainnya, yakni setiap mendekati Lebaran ia membeli bunga kesukaannya, bunga Sedap Malam.
Ibu meletakkan bunga Sedap Malam pada vas di ruang tamu sehingga di hari Lebaran ruang
tamu menjadi wangi semerbak segar alami. Kemudian aku duduk di bangku sofa ruang tamu sambil menatapi figura besar bergambar ibu.
Melihat senyumnya yang tersungging, tatapan matanya yang meneduhkan dan kemudian ingat
suka-citanya saat hari Lebaran. Kali ini tenggorokanku terasa tercekat, aku menahan tangis.
Tiba-tiba hidungku menangkap wangi yang tak asing, wangi yang setiap Lebaran memenuhi ruang tamu, wangi bunga kesukaan ibu, wangi Bunga Sedap Malam. Aku bergumam lirih..... Mamah....
Disclaimer: Dituturkan oleh narasumber bernama kak Yola. Nama karakter dalam cerita bukan nama sebenarnya. Nama kantor, pengelola rafting dan lokasinya dirahasiakan/disamarkan.
Kami tidak akan berkomentar atas pertanyaan dan juga dugaan kalian para pembaca. Mohon maaf dan terima kasih atas pengertiannya.
Telah setengah tahun usaha kafe tendaku berjalan. Pada suatu sore saat waku hendak
berdagang istriku menyampaikan kepadaku bahwa Teja mengiirim pesan wattsap mengabari
bahwa ia absen kerja hari itu dikarenakan demam.
Sebagai pengganti sementara tugas pekerjaannya dia mengajukan temannya. Namun demikian kondisi itu bukannya tidak ada masalah. Berganti orang artinya harus kembali mengajari lagi dari nol semua tugasnya.
3 hari kemudian Teja masuk kerja kembali.
Gunung Slamet, 3.428 mdpl, merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dan juga gunung
tertinggi ke 2 di pulau Jawa setelah Gunung Semeru di Jawa Timur. Sehingga dari itu Gunung
Slamet kerap disebut atap tertinggi Jawa Tengah.
Sebagaimana pada umumnya gunung-gunung yang ada di Indonesia, khususnya di pulau Jawa selain membuat terpana akan pemandangan indah yang menawan, gunung juga menyimpan sejuta kisah misteri dan angker. Termasuk juga Gunung Slamet.
Akhirnya niat Boy untuk mengenalkan calon istrinya kepada neneknya di Bandung terlaksana. Neneknya sejak semasa Boy masih duduk di bangku SMA sudah mewanti-wanti agar jika sudah memiliki calon istri hendaknya dikenalkan kepadanya terlebih dahulu,
Disclaimer: Nama cluster dimaksud dan narasumber sangat dirahasiakan. Nama-nama
karakter disamarkan. Kami tidak akan berkomentar atau menanggapi atas pertanyaan dan juga
dugaan para pembaca. Mohon maaf dan terimakasih atas pengertiannya.
Setelah kejadian itu pihak developer menanggapinya dengan “proporsional”, menganggap
bahwa kejadian itu tidak lebih dari musibah, namun juga mempertimbangkan pandangan dari sisi klenik sebagai masukan saran tindakan yang mungkin perlu diambil..
Disclamer: Nama cluster dimaksud dan narasumber sangat dirahasiakan. Nama-nama karakter disamarkan. Kami tidak akan berkomentar atau menanggapi atas pertanyaan dan juga dugaan para pembaca. Mohon maaf dan terimakasih atas pengertiannya.
“Halo mas Rae, apa kabar?”, sapa saya. “Eh elo …., kabar baik gue. Baru kliatan nih bro, kemana aja?” jawabnya lalu balas bertanya. “Iya mas, keliling kemana-mana. akhirnya balik
kandang juga nih. Biasalah, kehidupan,” jawab saya sambil terkekeh ringan.