Challenge is that our brain always finds a way to justify and rationalize our newly found needs. So in the end the trap is gonna be like, "It's worth to buy them."
Kalo di negara berkembang beda lagi.
Di sini kalo wa kerja pake sepeda/transportasi umum malah gak efisien. Dlm Waktu, biaya, tenaga.
Itu kenapa secara konsep 'don't buy things you don't need' ini tampak menarik & solutif tp secara praktis kurang universal.
So these books abt minimalism encourage us to simplify our lives by getting rid our stuffs based on their functionality: less functional, unfunctional, or to some extreme degree even the most functional ones.
Tantangan utamanya, bukan mengganti barang tapi mengurangi barang. Ini yg sulit.
Misal ya, butuh kemeja warna hijau utk kondangan. Karena gak punya jdnya mesti beli. Tp kan jarang dipake. Minjem jg gak nemu.
Terakhir lima malam di gunung, 3 minggu di jalan, total bawa baju 8 biji. Nyuci cuma sekali.
Sayangnya, beberapa baju ada yg harus diganti sama baju dry fit & light weight clothes.
I really like how Fumio Sasaki in 'Goodbye, Things' perceives possession of a thing:
"We’re desperate to convey our own worth, our own value to others. We use objects to tell people just how valuable we are."
Jadi memiliki itu harusnya bukan sebuah obsesi. Tp banyakan kita dibesarkan di lingkungan dmn semakin banyak barang, nilai diri kita semakin besar.
Gak deng, yg ini mah ngarang ✌️
Padahal bisa pinjem, tapi malah doyan beli dengan justifikasi pikiran: kalo minjem kan gak bisa ditempel catetan post-it atau ntar kalo pgn baca lg tp males minjem gimana?
Meanwhile most of the times we become unhappy because we cling too much to things and vices.
Misalnya udunan beli kamera terus dipakenya gantian. Atau tas gunung yg gak sering dipake.
But there's so much commitment in there. Balik lagi ke mental achievement kita, keinginan utk memiliki.
Don't quit your job and live as a hippie. Just don't.
I've been there and it sucks ass. Really.