Thread by @TheArieAir

Mengapa banyak peristiwa di negeri ini yang tak terkait dengan kebijakan dan sikap presiden namun dikait kaitkan?

Mungkin rakyat masih berpola pikir bahwa budaya politik lama dimana presiden bisa memberikan semua solusi atas permasalahan bangsa termasuk sosial dan hukum.

Ketimpangan keadilan dan hukum, toleransi dan hubungan sosial antar etnis dan agama.
Keberadaan pasal karet tentang penistaan agama.
Bahkan peristiwa TK Probolinggo pun disasarkan ke presiden.
Saya tak tahu apakah presiden sudah mendapat laporan resmi ttg hal bbrp kejadian tsb

Bagaimana peran presiden seharusnya mensikapi kasus2 hukum seperti kasus SP3, Kasus BTP, Kasus ibu M di sumut, TK Probolinggo, yg menyulut tafsir liar yg sensitif dan di tahun politik tentu semua hal akan mjd bahan yg bisa digoreng ke2 kubu.

Toleransi dan kebhinekaan adalah mjd bagian dari fungsi eksekutif dan juga (dulu) MPR.
Seberapa jauh upaya pemerintah untuk melakukan DERADIKALISASI, seberapa efektif peran BPIP, BNPT bahkan pembinaan masyarakat di fungsi2 keamanan dan pertahanan.

Peran2 deradikalisasi tentu tak bisa efektif tanpa partisipasi masyarakat, tokoh/penceramah agama tokoh masyarakat.
Karena masalah ini kompleks menyangkut sistem sosial yg telah lama terbangun dan tentu tak bisa dijawab dg solusi represif/hukum semata mata.

Hukum ditegakkan... persoalan sekunder muncul menyangkut penilaian "rasa keadilan" atas putusan peradilan.
Bagaimana memperbaiki sistem peradilan?
Apakah putusan hakim sudah adil?

Khusus peradilan yg menyangkut agama dan atau etnis serta yg sensitif thd tafsir2 SARA di masyarakat, saya pikir ada baiknya tokoh2 kerukunan antar umat beragama, LBH, ormas2 dan LSM terkait serta parpol yg peduli bisa melakukan advokasi dan menjembatani persoalan ini.

Rasa keadilan (aplg ditahun politik) dan menyangkut hal yg sensitif tentu akan mjd gorengan yg crispy dan tak akan habis habisnya utk diperdebatkan.

Hakim dalam memutus perkara adalah keputusan subyektif, hakim bukan robot dan yg diputus bukan soal matematika, tentu banyak hal yg bisa berpengaruh pd putusan termasuk kondisi sosial setempat.

Peristiwa yg sama persis, terjadi Papua mungkin beda vonisnya dengan perkara hukum yg terjadi Aceh, mungkin beda lagi jika peristiwa tsb terjadi di jakarta.

Kontrol sosial sdh sangat maju pesat saat ini tak hanya peran media (cetak, elektronik), aktivis mahasiswa, LSM".... MEDIA SOSIAL saat ini mengambil alih peran2 kontrol sosial yg pesat.

Disisi lain media sosial juga memiliki kelemahan ketika netizen dg informasi yg terpotong potong, lemah dasar logika/teori yg mendasari akan mudah diarahkan oleh pembentuk opini... dan ekstrimnya adalah fitnah/HOAX

Di era2 akhir masa ORBA, peran2 LSM sebagai kekuatan sipil yg melakukan kontrol sosial, masa itu masih dinilai netral dan perawan dari intervensi politik praktis.
Sekarang LSM2 sdh diragukan kenetralannya semenjak pilpres 2014.

Peran2 LSM tersebut melemah seiring dengan kredibilitas dan reliabilitas yg semakin diragukan...
NOW masyarakat bisa menyalurkan aspirasi secara langsung di media sosial tanpa perantara terkait kontrol sosial.

Khusus mengenai kasus penistaan ibu M,
SAYA menchallenge parpol baru yg memposisikan sbg suara toleransi...
Ini kesempatan emas bagi anda utk tampil...
Jangan lewatkan....

Sepanjang kontrol sosial diarahkan secara tepat, proporsional santun dan tidak tendensius yg justru untuk komoditas politik (pilpres) maka nurani rakyat akan mendukung aspirasi tersebut atau jangan justru diperlebar dan diperkeruh mjd provokasi SARA (Mayoritas vs minoritas).

Munculnya politik identitas sejak 2014 serta PR lama tentang toleransi yg belum tuntas, forum kerukunan antar ummat beragama perlu diberdayakan to the max.

Bila tjd masalah antar umat diselesaikan dulu di forum ini sebelum dibawa ke pengadilan.

Dan selama proses pengadilan forum ini beserta tim lawyer mendampingi terdakwa hingga banding/pk dsb dan putusan inkracht.
Sehingga minimal gejolak sosial di luar pengadilan bisa dijelaskan oleh forum ini.

https://twitter.com/TheArieAir/status/1032742817804603393