Profile picture
Daddy Without Sugar @glrhn
, 31 tweets, 5 min read Read on Twitter
Ulangan Mikael rata-rata bernilai 95an ke atas. Ketika ditanya Mommynya kenapa dia belakangan ini selalu dapat nilai bagus, dia cuma bilang "Aku mau bikin Daddy senang."
My heart broke. I don't know where I went wrong.
At one point, yes, I should be proud. On the other hand, if he study just to make me happy, that will end up bad for both of us.
Especially I know how he struggles with his academic life.
We know that he is not like any other kids that could sit whole day long to study in school. Yet, we put him in a Catholic school.
The first month is the hardest for him. He had to adjust so many things. In kindergarten, he could ask his teacher to take a 5 minutes break.
Di SD, dia harus belajar untuk duduk diam selama jam pelajaran.
"Ah. Manja banget sih. Kan anak emang harus disiplin." We note that very well. Dan "kesalahan" kami ya memasukkan dia ke sekolah konvensional.
Harusnya Mikael emang dimasukin ke sekolah inklusi. Semacam sekolah untuk menampung anak yang "berkebutuhan khusus." Tapi karena dia ga lulus test ke sekolah yang kami bertiga mau, ya kami sepakat untuk memasukkan dia ke sekolah Katolik.
Iya. Kami bertiga. Mikael, my wife, and I. Mikael setuju untuk sekolah di situ dulu sampai tahun depan, menunggu penerimaan di sekolah inklusinya.
We thought that everything's gonna be alright. We were wrong big time.
Bulan kedua di sekolah Katolil, dia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda stres. Dia banyak lupanya. Banyak hilang fokusnya. Jadi banyak minusnya. Di mata kami, dia menjadi jauh lebih "nakal."
Nakal kenapa? Ga mau ngerjain PR. Ga mau belajar.
Akhirnya, daripada marah-marah makin parah, kami coba ngobrollah sama dia baik-baik. Kami tanya kenapa dia main terus, dan dia jawab sangat sederhana: "Karena di otak aku isinya memang main."
Dheg. Kami tau ada yang salah pada pola pengajaran kami.
Lalu kami tanya lagi, supaya dia mau belajar, apa yang harus dilakukan. Dia jawab "Aku mau pindah sekolah aja. Aku mau ke Pratiwi."
Pratiwi School ini adalah sekolah inklusi yang kami taksir.
Alasan dia mau pindah? Di Pratiwi bisa bebas berlari.
Lalu kami jelaskan bahwa sekarang belum bisa pindah karena tahun ajaran baru aja dimulai. Kami tanya dia punya opsi apa lagi selain pindah sekolah. Dia jawab dia mau les aja sama gurunya waktu TK.
Kami setuju. Tapi ada syaratnya.
Kami tanya "Abang butuh berapa lama les biar abang mau belajar lagi?"
He said firmly "lima minggu." I thought he didn't knew what he was saying. I said to my wife "Give him ten weeks."
I was wrong.
Mulailah dia les. Guru lesnya ini memang dekat banget sama Mikael. Mikael malah cerita hal yang dia tak ingin kami tahu. Semacam tempat curhatnya.
Di sinilah semuanya mulai kebuka.
Mikael bilang ke guru lesnya, di rumah itu harusnya untuk bermain sama Mommy dan sama Daddy. Dia juga ga mau kerjain PR di rumah karena dia tahu Mommynya sudah cukup repot dengan mengurus Acia.
Dia juga ga mau membenani gw untuk membantu dia ngerjain PR, karena menurut dia gw pasti capek, pulang kerja malam terus.

Dari semua alasan yang terpikirkan oleh kami kenapa dia tak mengerjakan PRnya, alasan yang dia ungkapkan itu benar-benar di luar dugaan.
Imagine you have that kinda answer from a six years old kid. I shed so many tears.
After all these times we thought he was the bad boy, turned out, he was the good kid. Dia cuma tak mau menambah beban kedua orangtuanya.
When I was his age, I could have never ever had a thought like that. I only thought about my self.
Balik lagi ke jangka waktu 5 minggu yang dia janjikan, dia cuma butuh waktu 2 minggu untuk bisa mendongkrak nilai akademisnya. Dari yang 2 bulan pertama seringnya dapat nilai 60 ke bawah, setelah 2 minggu les dia mulai dapat 80 ke atas. Kami senang. Awalnya.
Everything seems to be problematic when you are a parent.
Kami senang dia dapat nilai bagus. Tapi di saat yang sama, dia jadi gampang stres. Dia memaksakan dirinya. Dia gampang cape. Gampang marah. Siklus ini akan berulang terus.
Akhirnya, gw dan @MrsEuscha berembuk soal sekolah. Kita mau cari sekolah inklusi lain.
Dapatlah satu sekolah inklusi yang dekat rumah dan bagus. Istri gw udah survey ke sana. Kita sudah menimbang baik-buruknya untuk memindahkan Mikael ke sekolah itu.
Seperti biasa, karena ini urusan sekolah, Mikael akan dilibatkan. Kita rencananya mau diskusi sama dia bertiga aja. Dia senang dengan calon sekolah barunya. Senang banget malah karena dia bisa lari-larian tanpa melanggar aturan sekolah.
Tapi dia menolak untuk berdiskusi bertiga. Dia bilang "Nanti aja kita omongin sama Anshel dan Acia. Karena Anshel juga sekolah. Acia juga nanti sekolah. Jadi mereka harus tau. Sekolahnya mahal, kan?"
Turned out, he is a lot more wiser than both of us. He put everything into accounts.
So we did. We talk about his soon to be new school with Anshel as well. All of us made an agreement that all of them will be going to that school we have chosen.
Problems solved? Not yet. Dia masih harus tetap mengerjakan PR. Cara terbaik adalah, PR dikerjakan dengan guru lesnya. Tapi sekarang doa ikut taekwondo, otomatis ada hari dia tak les. Gw dan istri bergantian mengajari dia untuk PRnya.
Sejauh ini, janji 5 minggu dia untuk mau belajar sudah lebih daripada sekadar terpenuhi. Dia sudah masuk ke tipe straight A's kinda student. But then again, he is doing it just to make me happy. Semoga setelah dia pindah sekolah nantinya, dia belajar karena dia mau belajar.
Tapi sekarang kami sudah tak terlalu ketat soal pengerjaan PR. Kalau dia mau mengerjakan seluruhnya, bagus. Kalau hanya sebagian, ya dia tau risikonya. Kalau tak mengerjakan ya dia harus siap dihukum gurunya.
Dan karena dia dapat jatah cuti 10 hari per tahun, ya dia kami izinkan untuk cuti.
Syarat dia biar cuti cuma satu: Dia harus ngirim video note ke gurunya dengan alasan jujur bahwa saat itu dia lagi pengen di rumah aja. Ga boleh bohong pake alasan sakit.
Glad that now he is enjoying his new life. Dia masih mau mengerjakan PR dengan gw. And about I'm doing my calligraphy thing, he is doing it as well with me. We both learn to write. Hopefully he will be doing better than me.
Sebelum diskusi bersama Anshel tentang sekolah barunya, Mikael bilang "Kalau mahal, aku di sekolah yang sekarang aja, Dad. Aku akan berusaha lebih keras lagi. Daddy nanti capek cari uangnya kalau aku pindah."
Nobody but him broke my heart this hard.
Life as a parent is a nonstop cycle of learning and learning and learning. Sticking to one routine/habit/knowledge is bad, for both the kids and the parents. Anak-anak itu makhluk yang bertumbuh dan berkembang. Menanganinya pun demikian. Or at least that's what I learn from mine.
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to Daddy Without Sugar
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member and get exclusive features!

Premium member ($3.00/month or $30.00/year)

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!