Om terkejut dengan pengereman mendadak yang dilakukan oleh Wahyu, karnanya kami nyaris terjatuh dari motor.
Wahyu gak menjawab pertanyaan, dia hanya menunjuk ke arah depan, tepatnya ke arah rumah kami yang sudah berjarak sekitar 30 meter.
Om melemparkan pandangan ke arah yang Wahyu maksud.
Masih tetap dengan posisi duduk di atas motor, dengan bantuan lampu motor yang masih menyala gak terlalu terang, om melihat pemandangan yang cukup aneh dan menyeramkan, yang terjadi tepat di depan rumah kami.
Pada awalnya om gak bisa melihat dengan jelas pemandangan yang sedang terjadi, tapi ketika mata sudah mulai beradaptasi dengan kegelapan, barulah om dapat melihat semuanya.
Om melihat, ternyata rombongan pembawa keranda mayat itu berhenti tepat di depan rumah, mereka berdiri diam menghadap ke pintu depan.
Beberapa sosok yang berdiri paling depan tetap dengan posisi memanggul keranda pada pundaknya.
"Matikan lampu yu.."
Om berbisik ke Wahyu untuk mematikan lampu motor.
Seketika itu pula suasana menjadi semakin gelap ketika lampu motor sudah dalam keadaan mati.
Tetapi kami masih tetap bisa melihat pemandangan di depan rumah, dengan bantuan siraman cahaya langit malam dan sinar bulan yang muncul sebagian dari balik awan.
Dalam keadaan gelap, om turun dari motor, Wahyu mengikuti.
Kami langsung berjalan mendekat ke arah pohon karet yang ada di sebelah kiri, kami bersembunyi dibalik pohon itu.
Mengintip dari kejauhan, kami memperhatikan dengan seksama "kegiatan" yang mereka lakukan..
Beberapa sosok yang memanggul keranda pada pundaknya, perlahan menurunkan keranda, kemudian meletakkanya di atas tanah.
Beberapa sosok yang sejak awal seperti berbaris ke belakang, mulai menyebar membentuk lingkaran kecil.
Di tengah-tengah lingkaran yang mereka buat, ternyata sudah ada lubang berukuran sekitar 1x2 meter..
Iya, itu adalah liang kubur, entah siapa yang menggali sebelumnya.
Beberapa sosok mulai membuka kain keranda yang berwarna gelap..
Di dalamnya terlihat seonggok jenazah yang sudah berbalut kain putih. Pocong seukuran manusia normal terbaring di atas keranda.
Kami masih berdiri mengintip dari balik pohon, hanya bisa berdiri diam memperhatikan, menjaga semaksimal mungkin agar gak mengeluarkan suara sedikitpun.
Memperhatikan detik demi detik pemandangan aneh yang tengah terjadi.
Beberapa sosok mulai menurunkan pocong tersebut dari dalam keranda, dan secara perlahan mulai memasukkannya ke dalam liang kubur.
Setelah jenazah sudah masuk, beberapa orang lainnya mulai menutup lubang kubur itu dengan tanah..
Kami semakin ketakutan dengan pemandangan yang mencekam itu, banyak pertanyaan di dalam benak kami.
Mereka itu siapa?
Siapa yang meninggal?
Kenapa menguburnya di depan rumah kami?
Gak berapa lama kemudian prosesi selesai..
Beberapa sosok mengangkat keranda kembali ke atas pundaknya, kemudian mereka semua membalikkan badan, mengarah ke tempat kami yang tengah berdiri mengintip dari balik pohon.
Beberapa detik mereka diam gak bergerak, hanya berdiri terpaku di dalam kegelapan.
Om dan Wahyu semakin ketakutan, ketika tiba-tiba mereka mulai berjalan ke depan, berjalan mendekat ke arah kami.
Berjalan melayang, dengan kaki bergerak seperti layaknya orang yang sedang melangkahkan kaki.
Mata kami mengikuti arah pergerakan mereka, yang berjalan semakin mendekat.
Berdiri berjajar di balik pohon, kami gak bisa lari, kaki seakan terpaku gak bisa bergerak, amat sangat berat untuk digerakkan.
Dan mereka semakin mendekat..
Tiba-tiba Wahyu jatuh terduduk, menunduk seperti menangis..
Om membaca semua doa yang om ingat, badan om gemetar, ketika perlahan rombongan pengangkat keranda itu mulai lewat persis di depan om berdiri..
Gak ada angin yang bergerak, gak ada bau atau wangi apapun,
dan yang pasti...gak ada suara sedikitpun ketika mereka melintas.
Berjalan dalam diam, dengan wajah mengarah ke depan semuanya..
Sekali lagi, om hanya bisa berdiri diam ketika mereka melintas, jantung berdegup kencang, om sangat ketakutan. Kami berjarak hanya sekitar tiga meter.
Hanya beberapa detik peristiwa itu terjadi, setelahnya mereka bergerak menjauh.
Mata om tetap mengikuti pergerakan mereka, yang kemudian perlahan menghilang di dalam gelapnya perkebunan karet.
Lega, om kemudian jatuh terduduk di sebelah Wahyu,
"Sudah selesai Yu, sudah aman.."
Wahyu mengangkat kepalanya, membasuh air matanya dengan tangan..
"Maaf Pak, saya gak kuat, badan saya lemas, saya ketakutan."
"Kita kembali ke kota aja ya Pak, saya gak berani masuk ke rumah. Kita menginap di rumah teman saya aja."
Om gak tega kalau harus memaksa Wahyu masuk ke dalam rumah, dia sangat ketakutan, jadi terpaksa om mengangguk setuju.
"Tapi biar saya yang bawa motornya ya Yu, kamu saya bonceng."
Wahyu setuju..
Kami langsung naik ke atas motor dan pergi meninggalkan tempat itu.
Cukup kencang om mengendarai motor, dengan maksud agar cepat keluar dari perkebunan karet itu.
Sesekali mata om melirik ke kaca spion, berharap gak ada yang mengikuti kami dari belakang.
Akhirnya, setelah sekitar satu jam perjalanan kami sampai di kota, langsung menuju ke tempat tinggal teman Wahyu, kami menumpang bermalam di situ.
***
Keesokan paginya kami kembali pulang ke rumah. Ketika matahari baru saja terbit, kami sudah berada di atas motor, sepagi mungkin kami berangkat supaya gak terlambat sampai perkebunan.
Sinar mentari mulai menembus sela-sela pohon karet, perlahan hangatnya mulai menyingkirkan kabut pagi, menyisakan embun di atas rerumputan.
Suasana sangat berbeda dengan pada saat kami melewati jalan yang sama pada malam sebelumnya. Suasana yang jauh dari menyeramkan.
Setelah satu jam perjalanan, kami sampai..
Pandangan langsung tertuju ke halaman rumah, tempat dimana kami melihat banyak sosok yang melaksanakan prosesi pemakaman jenazah pada malam sebelumnya.
Wahyu terlihat jalan agak berputar, menghindari "kuburan" di halaman..
Gak ada apa-apa, gak terlihat gundukan tanah kuburan, gak ada sisa-sisa kegiatan pemakaman, hanya tanah beralaskan rumput dengan kondisi yang sama dengan pada saat kami meninggalkannya kemarin.
Masih diam tanpa kata, kami masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk melaksanakan rutinitas seperti hari-hari biasanya.
***
"Maaf pak, semalam saya sudah gak kuat, saya sangat ketakutan, lutut saya lemas, saya gak berani melanjutkan melihat kegiatan mereka.."
Wahyu membuka percakapan ketika kami sudah berada di luar rumah, ketika sedang mengawasi perkebunan.
"Gak apa-apa Yu, wajar kalo takut, peristiwanya memang menyeramkan."
"Untuk nanti kedepannya, sebisa mungkin kita jangan keluar rumah malam-malam, kalau gak terpaksa." Begitu ucap om menenangkan Wahyu.
***
Sorenya, setelah menyelesaikan aktifitas pekerjaan, kami pulang kembali ke rumah.
Dalam perjalanan, Wahyu sempat melontarkan ide agar kami kembali bermalam di kota lagi, tempat tinggal temannya.
"Gak usah yu, kita bermalam di rumah aja. Rasa takut harus dihadapi, kalau kita menghindar, mau menghindar sampai kapan?"
Om coba memberi alasan agar kami tetap bermalam di rumah saja, padahal di lubuk hati paling dalam om juga takut, masih trauma dengan kejadian yang terjadi pada malam sebelumnya.
***
Malampun tiba, sekitar jam delapan malam om dan Wahyu sudah berada di dalam kamar.
Ruang tengah kami biarkan terang benderang, lampu petromak sengaja dibiarkan menyala.
Di dalam kamar kami berbincang banyak hal, tapi gak sedikitpun membahas peristiwa yang terjadi malam kemarin.
Kami mencoba sebisa mungkin mengalihkan pikiran takut yang masih berkecamuk di kepala masing-masing.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam..
Mata sudah sangat mengantuk akibat kekurangan tidur pada malam sebelumnya, tapi pikiran tetap belum bisa beristirahat, masih menerawang kemana-mana.
Berbaring bersebelahan, hanya sesekali om dan Wahyu terlibat percakapan singkat, itu dilakukan supaya suasana gak terlalu hening.
Om tau, perasaan Wahyu masih gak enak, masih trauma, masih merasa ketakutan untuk melewati malam itu.
Om juga sama, takut, di dalam hati om berdoa kapadaNya agar kami dapat melewati malam tanpa kejadian apa-apa.
***
Sudah jam sebelas malam..
Ketika yang tadinya suara jangkrik dan binatang malam lainnya terdengar bersahut-sahutan, tiba-tiba suaranya menghilang, suasana menjadi hening dan sepi.
Hembusan angin perlahan bertiup masuk ke dalam kamar, melalui sela-sela lubang jendela.
Kami yang sudah mulai terdiam, menjadi semakin diam.
Om lihat wajah Wahyu mulai tegang ketakutan ketika terdengar suara yang menarik perhatian...
"Sreeek...sreeeekk...sreekk.."
Suara yang cukup kami kenal..
Suara yang beberapa kali terdengar pada tengah malam..
Suara yang bersumber dari luar rumah..
"Sreeek...sreeeekk...sreekk.."
Suara nenek yang sedang menyapu menggunakan sapu lidi itu terdengar kembali..
Kami hanya diam, mendengarkan suara itu..
Gak ada niat sedikitpun untuk berdiri dan melihat ke luar jendela, gak ada..
Kami tetap terbaring diam, walaupun nenek itu mulai mengeluarkan suara yang terdengar pelan..
"Hihihihi..."
Dia terdengar tertawa ringkih di sela-sela suara sapunya yang menggeser tanah..
Kami tetap diam tak bergerak, membiarkan nenek itu beraktifitas di luar rumah, dan berharap semoga kegiatannya cepat berhenti..
Jam 12 lewat tengah malam...
Alhamdulillah, suara nenek sudah gak terdengar lagi, suasana menjadi hening dan sepi seperti sediakala.
Suara jangkrik dan binatang malam sudah mulai terdengar kembali.
Kami menjadi agak lega, beranggapan bahwa malam itu hanya ada sedikit gangguan dari nenek itu saja, dan sudah selesai.
Tapi ternyata kami salah,
Ini belum selesai..
***
Lima menit menjelang jam satu malam..
Tiba-tiba suasana menjadi hening kembali,
Sepi..
Dan mulai terasa mencekam, ketika suara lolongan anjing terdengar dari kejauhan..
Lolongan anjing yang biasanya menjadi pertanda akan kehadiran sesuatu..
Om melihat kalau lampu petromak di ruang tengah tiba-tiba mati, kelihatan dari sela-sela lubang angin yang terletak di atas pintu kamar.
Ruang tengah jadi terlihat gelap.
"Mungkin minyak tanahnya habis Pak, makanya petromak mati."
Wahyu berbisik dengan suara pelan memberi penjelasan, mencoba menenangkan om dan dirinya sendiri.
Keadaan menjadi sangat sepi, semakin mencekam, ketika suara lolongan anjing terdengar semakin sering intensitasnya dan semakin dekat terdengar jaraknya.
Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba terdengar suara...
Suara yang terdengar seperti suara pintu yang bergeser terbuka perlahan..
"Kriiiiiieeeeekk.."
Kami saling berpandangan, mencoba menerka kira-kira pintu mana yang terbuka..
"Sepertinya pintu depan Pak.." Wahyu berbisik pelan.
Om gak menjawab apa-apa, hanya diam dan menajamkan pendengaran..
Setelah suara pintu terdengar terbuka, berikutnya muncul suara yang lainnya..
Terdengar suara langkah kaki di ruang tengah, langkah kaki yang terdengar bukan dari satu orang saja, tapi beberapa orang.
Diiringi dengan suara yang terdengar seperti batang besi yang bergesekan.
Kami semakin ketakutan, gak ada nyali sedikitpun untuk membuka pintu dan melihat apa yang tengah terjadi di ruang tengah.
Dan tiba-tiba..
***
Tiba-tiba gagang pintu kamar bergerak perlahan, seperti ada yang mencoba membukanya dari luar.
Om dan Wahyu pelan-pelan duduk dan mundur mendekat ke tembok, dengan mata yang masih tetap mengarah ke pintu.
Kami panik, dan ketakutan.
Bait-bait doa terus mengalir dari dalam diri, meminta perlindunganNya.
Kami semakin merapatkan tubuh ke tembok ketika perlahan pintu kamar mulai terbuka.
Celah pintu semakin lebar, semakin jelaslah pandangan kami ke arah ruang tengah..
Ketika pintu kamar benar-benar terbuka sepenuhnya, akhirnya kami dapat melihat keadaan yang tengah terjadi di ruang tengah.
Pemandangan yang sangat menyeramkan, pemandangan yang gak akan om dan Wahyu lupakan sepanjang hidup.
***
Dalam gelapnya ruang tengah, yang hanya dibantu oleh cahaya lampu templok dari dalam kamar, kami dapat melihat semuanya.
Kami melihat ada beberapa orang berpakaian hitam-hitam berdiri megelilingi keranda mayat.
Keranda mayat tanpa penutup, yang di atasnya terbaring pocong yang dalam keadaan putih bersih seperti layaknya jenazah yang akan dikuburkan.
Pocong di atas keranda itu kami lihat dari sela-sela kaki dari sosok yang berdiri mengelilinginya.
Om mendengar, Wahyu mulai menangis pelan, dia ketakutan..
Sama, om juga sangat ketakutan..
Beberapa saat kemudian, sosok yang berdiri mengelilingi keranda mulai bergerak..
Bergerak meninggalkan ruangan..
Bergerak ke kanan menuju pintu keluar rumah..
Mereka pergi meninggalkan keranda itu di ruang tengah sendirian,
Keranda yang masih terlihat ada jenazah di atasnya, jenazah terbungkus kain putih, pocong..
Kami masih duduk ketakutan di pojok tembok kamar, duduk menghadap keranda yang tergeletak di ruang tengah.
Wahyu semakin menangis ketakutan ketika kami melihat pocong itu mulai bergerak-gerak..
Wahyu mencengkram tangan om dengan keras, lalu tiba-tiba gak sadarkan diri..
Wahyu pingsan...
Tinggalah om yang duduk tersadar sendirian berhadapan dengan pocong yang mulai bergerak-gerak..
Om semakin gemetar hebat ketika pocong itu terlihat mulai bergerak bangkit dari posisi tidurnya..
Dia perlahan mulai berposisi duduk di atas keranda..
Sangat mengerikan, jantung om berdegup kencang, keringat dingin mengucur deras..
Ketika sudah dalam posisi duduk, perlahan pocong itu menggerakkan kepalanya, pelan-pelan menolehkan wajahnya ke arah kanan..
Menolehkan wajahnya ke arah tempat om yang duduk ketakutan di dalam kamar..
Kami berjarak hanya beberapa meter, ketika dalam posisi duduk, pocong itu memperlihatkan wajahnya, wajah yang sangat menyeramkan..
Kami berpandangan..
Setelah itu penglihatan om mulai kabur..
Menghilang..
Setelah itu om gak ingat apa-apa lagi..
***
Balik ke Brii lagi ya..☺️
Cukup sekian cerita om Heri dan Wahyu malam ini, kapan-kapan dilanjut lagi..
Minggu depan kita lanjut cerita di #rumahteteh, Kangen Teteh kan?
:)
Met bobo, met istirahat...
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.