- legal, garansi, dan pengembalian
- perawatan/pengembangan sofwer/infrastruktur
- depresiasi dan amortisasi aset/paten
- biaya riset dan eksplorasi teknologi
- marketing sama branding
- profit yang sustainable
Hape saya LG G6. Alasan beli? Saya BLIИK dan LG G6 di-endorse BLΛƆKPIИK.
Beli kopi di kedai X yang penuh gimmick buat mengapresiasi dan ngebantuin usaha temen? Silakan. Beli Sbux biar bisa ngenet di gerainya? Silakan.
Beli Tissot buat naikin gengsi dan status sosial, biar lebih gampang dapet gebetan? Silakan. Mau beli PS4 demi memuaskan rasa penasaran? Silakan.
Semakin cepet dia nyesel [ketika mendapat informasi baru tentang produk itu atau kompetitornya], berarti semakin sedikit variabel dan risiko yang dia pertimbangkan sebelum beli produk.
Tanya semua pebisnis, hal tersusah setelah "cari untung dari hasil dagang" (profitability) adalah "menjaga kepercayaan konsumen" (sustainability).
Di titik konsumen kecewa [dan produsen nggak remediasi], konsumen akan berhenti bergantung produsen itu itu. "Brand" itu "jaminan mutu", dan membangunnya nggak gampang.
Xiaomi itu cepet panas (karena konduktornya aluminium bukan emas), mikrofon sama kameranya error mulu (karena update firmware dirilis terburu-buru dan nggak menuhin standar Android).
Yang dimonitor ya nggak seminim dan secetek "lebar layar", "RAM", "resolusi kamera", sama "versi Android".
Nggak tau 'kan apa ngaruhnya "sensor kamera BSI vs CMOS" dalam "akurasi analisis teks foto KTP"?
Cuma, kalo punya banyak kebutuhan mobile, termasuk ngambil foto dadakan dan main PUBG, Xiaomi itu termasuk "nggak layak".
Seluruh komponen-harga barang di luar biaya-penyediaan-materi dan biaya-penggabungan-materi itu tidak terjustifikasi dan, karenanya, merupakan sebuah penipuan.
Karena nilai barang/materi bukan cuma ditentukan oleh "apa aja unsur penyusunnya" dan "seberapa besar energi untuk mengikatnya"—tapi juga "bagaimana susunannya", "bagaimana cara kerjanya", dan "semampu apa dia memenuhi kebutuhan kita".
Jawabannya ya TERSERAH YANG BELI DASAR BANGKEEE LO AJA NGGAK BISA CARI DUIT KOK NYALAHIN ORANG EMANG SALAH BELI BARANG BUAT LUCU-LUCUAN HAH
Tapi bukan itu masalah utama kamu. Di twit ini jelas keliatan, masalah kamu adalah "sentimen negatif ke orang kaya".
"Saat sebuah transaksi jual-beli terjadi, siapa yang untung?" Di mindset kamu: Cuma penjual [karena cuma dia yang dapet profit].
Selanjutnya, kamu bertanya "kenapa pembeli tetap melakukan transaksi kalau itu merugikan dirinya"? Kamu mentok di sini, terus lompat ke kesimpulan "karena pembelinya goblok".
Jawaban kita akan berbeda untuk pertanyaan ini: "Berapakah harga barang-yang-tidak-laku?" Di pola pikir kamu, "harganya tetap sama".
Penyebab utama frustrasi kamu adalah karena YANG SELAMA INI KAMU YAKINI TERNYATA NGGAK SESUAI DENGAN REALITA dan "orang lain goblok" adalah penjelasan yang bisa bikin kamu tenang.
Ini salah. Nyatanya, ketika transaksi terjadi, kedua pihak sama-sama merasa diuntungkan [lewat cara yang berbeda, sesuai subjektivitas dan kebutuhan masing-masing]. Buktinya? Tanya pembeli.
Ini salah. Sebuah barang baru punya harga ketika dia terjual. Barang-nggak-laku itu harganya Rp 0. Makanya ada konsep "jual rugi".
Coba, kalo kamu dikasih uang semilyar, kamu bakal pakai buat apa—lalu sedalam apa kamu bisa menjelaskan alasannya?
- "Aku mau menghargai dan mendukung riset dan inovasi."
bahkan
- "Aku nggak tau lagi gimana caranya diterima di lingkungan sosialku kalo aku nggak punya/pakai barang ini."
"Mrka membeli atas dasar emosi (misal krn memburu prestise dan gengsi). Jadi bukan murni pertimbangan yg rasional."?
Laptop saya MacBook 40-jutaan; saya bisa ngasih alasan-rasional pemilihan.
- resolusi layar tinggi (jadi bisa pake Spectacle buat multitasking dan produktivitas);
- kalibrasi warna akurat (jadi bisa fine-tune desain UI);
- sistem stabil (karena instalasi tiap app terisolasi).
Kamu loncat ke kesimpulan "barang premium dibeli atas dasar gengsi" itu soalnya kamu mikir "orang beli barang mahal pasti buat nyombong".
Kamu ingin bikin personal brand bahwa (1) kesimpulan yang kamu kasih bisa dengan adil mencakup seluruh kemungkinan kasus, dan (2) semua orang harus nurut omonganmu.
Kalo kamu beneran nggak melihat kelayakan-diri seseorang dari materinya, kamu bakalan bodo amat orang mau punya apa dan beli apa.
Mungkin temen-temenmu yang punya barang-barang itu nggak berniat sombong—kamunya sendiri aja yang minder.
Mau memburu apa pun ya terserah asal l̶u̶l̶u̶s̶ ̶u̶j̶i̶a̶n̶ ̶H̶u̶n̶t̶e̶r̶ dilakukan secara etis: (1) Kalo minta nggak berniat maksa, (2) kalo ngomong nggak berniat bohong, (3) kalo janji nggak berniat ingkar.
Di Ravenclawisme, seseorang berhak bangga ketika di hari itu dia berusaha yang terbaik untuk memperjuangkan identitas dan cita-cita—tanpa melihat hasil akhirnya.
Sementara, kelayakan-diri seseorang itu dilihat dari kesadaran dan usahanya dalam menempuh Jalan Ninja demi mencari One Piece.