My Authors
Read all threads
Tidak Ada yang Terjadi....

Ke mana gerangan Rahayu?

Hanya di "Rahayu"

Selamat menyimak....

#ceritahoror #aksi #ceritaseram
"Sangat tidak bijak jika kita harus meninggalkan desa yang sudah sekian lama kita bangun, pak," ujar Pak Didin setelah mendengar pernyataan Pak Subhan soal akan dikosongkannya desa.

"Saya mengerti, Pak Didin. Tapi ini harus dilakukan. Mau tidak mau. Apalagi para penguasa
lelembut sedang memperlebar wilayahnya hingga ke desa. Apa yang sudah dicapai almarhum Abah Jahri dan Pak Marbun akan sia-sia karenanya. Namun, itu tidak lain karena kesalahan sedari awal, mengapa Abah Jahri menyanggupi permintaan Pak Marbun untuk mendirikan desa di tanah ini,"
tukas Pak Subhan.

"Jadi, Pak Subhan menyalahkan mereka?" tanya Pak Marwan.

"Saya tidak menyalahkan mereka. Saya hanya menyayangkan kenapa mereka berani mengusik tanah yang dihuni para lelembut itu," kata Pak Subhan seraya menatap ke kejauhan, tepat ke arah luar rumah.
Pak Marwan turut melihat ke arah luar jendela. Begitupun Pak Didin dan yang lainnya.

Mereka sejenak menundukkan kepala seraya membaca kalimat 'Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun.
Pada akhirnya di suatu upacara pemakaman di depan salah satu rumah warga di desa terdekat dari Desa Cikahuripan, yaitu Desa Kayu Jati.

"Pada akhirnya kita harus melepaskan kepergian saudara kita/kepala desa cikahuripan, Bapak Dodi Sanjaya bin Mahfud Sanjaya. Semoga amal baiknya
diterima di sisi-NYA serta diampuni segala dosa-dosanya," ucap Pak Subhan saat memberikan sambutan pada upacara pemakaman almarhum Pak Dodi.

Setelah itu prosesi pemakaman dimulai sebagaimana yang biasa dilakukan dalam agama Islam. Semua orang turut mengantar jenazah Pak Dodi ke
tempat peristirahatan terakhirnya.

Di antara para pelayat tampak sepupu Pak Dodi, yaitu Pak Andre yang jauh-jauh datang dari Jakarta. Ia masih tidak menyangka sepupunya akan meninggal dengan cara tidak biasa.

Pak Dodi meninggal karena menderita luka dalam setelah berjuang
menjeratkan kalung Sukma ke leher Sangkapati atau Rahayu.

Beberapa saat kemudian setelah prosesi pemakaman selesai. Di depan makam Pak Dodi, tampak Pak Andre sedang terpekur sendiri.

"Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahukan kabar buruk ini ke Irman. Ia masih koma setelah
ditemukan sekarat di hutan itu," gumamnya seraya meratakan taburan bunga di atas pusara.

"Pak Andre?" ujar Pak Subhan yang tampak menghampiri Pak Andre.

Pak Andre bangkit kemudian menatap ke arah Pak Subhan.

"Pak Subhan, bisakah bapak menjelaskan semua ini?" kata Pak Andre.
Di depan sebuah rumah bercat biru, Pak Andre dan Pak Subhan terlibat percakapan yang agak sengit.

"Mengosongkan desa sama dengan tidak menghargai jerih payah Dodi, Pak Subhan. Anda harusnya tahu dia mati untuk apa," ucap Pak Andre gusar.

"Saya tahu itu, Pak Andre. Sangat tahu
. Saya juga tidak ingin melakukannya. Tapi tetap bertahan di sana hanya akan membuat banyak korban kembali melayang," tukas Pak Subhan.

"Ki Rawuk sudah tidak ada. Siapa lagi yang akan memobilisasi para lelembut itu?" Pak Andre menghela nafas.

"Mereka punya pemimpin, pak.
Pemimpin itu yang sekarang sedang menggerakkan mereka menuju Cikahuripan." Pak Subhan menatap Pak Andre.

"Saya heran. Mereka telah disediakan banyak tempat untuk tinggal tapi serakah terhadap manusia," kata Pak Andre.

"Mereka adalah makhluk kekal, pak. Mereka terus bertambah
namun tidak pernah berkurang. Bapak pasti memahaminya bukan?" tukas Pak Subhan.

"Saya faham itu. Namun bagi saya tidak mudah untuk melupakan tempat itu. Saat-saat muda saya di sana dengan kejadian-kejadian unik nan menyeramkan," papar Pak Andre.
Pak Subhan sejenak terdiam. Ia kemudian teringat masa-masa kecilnya, di mana sang ayah pertama kali membawanya ke desa Cikahuripan.

Ia merasakan kembali kenangan itu terutama saat remaja, saat menemukan cinta pertamanya yang gagal menjadi cinta terakhirnya.

"Pak Subhan? kok
malah diam? Teringat sesuatu?" tanya Pak Andre.

"Tidak, Pak Andre. Saya hanya mengingat masa-masa kecil di sana. Tentu saja saya bukan satu-satunya yang mengalami kejadian menyeramkan di desa. Semua warga tampaknya pernah mengalami hal yang sama. Bahkan Abah Somad sekalipun,"
tukas Pak Subhan.

Waktu beranjak sore. Pak Andre bersiap kembali ke Jakarta.

Saat sedang menunggu sopir pribadinya mengeluarkan mobil dari parkiran balai desa ia melihat sebuah SUV melaju tepat ke arah tenggara atau jalur menuju Desa Cikahuripan.

"Siapa mereka? Jangan-jangan
mereka tersesat," gumam Pak Andre seraya berjalan sembari pandangannya melepas menghilangnya SUV tersebut di balik tikungan.

Pak Andre kemudian masuk ke dalam mobil. Saat Pak Subhan dan Pak Didin datang untuk melepasnya, ia berkata : "Ada sebuah mobil berwarna merah melaju ke
Cikahuripan. Saya yakin mereka salah jalan. Mungkin Pak Subhan dan Pak Didin bisa mencari tahu."

"Saya juga melihat mobil itu, pak. Setelah ini kami akan ke Cikahuripan. Hal buruk akan terjadi jika ada orang asing datang ke sana," tukas Pak Subhan seraya melihat ke arah jalan.
Cerita beralih ke SUV merah yang sedang melaju melalui jembatan yang terbentang di atas sungai yang curam.

SUV tersebut setidaknya berpenumpang lima orang terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki. Kesemuanya adalah para remaja kecuali yang menyopiri mobil itu.
"Bang Johan, tampaknya kita tersesat," ujar salah seorang gadis yang duduk di bangku belakang tepat belakang sopir.

"Tidak mungkin tersesat. GPS aja nunjuknya kemari," ucap remaja laki-laki yang duduk di samping Johan.

"Percaya banget sih sama GPS! Percaya itu sama Tuhan!"
ketus gadis yang duduk di bangku belakang tengah.

"Kalau aku sih percaya kalau kampung di depan kita kosong," ucap gadis yang duduk di sebelah kiri gadis tadi.

Tiba-tiba.....

'Ngiiiikkkkkkk'

Johan mendadak menginjak pedal rem hingga membuat mobil berguncang.
"Ada apa, bang?" tanya remaja lelaki di samping Johan.

"Aku merasa melihat sesuatu berkelebat tadi di depan. Makanya aku ngerem mendadak," tukas Johan membuat para gadis saling tatap khawatir.

"Paling juga kalong lewat, bang," sergah remaja itu seraya terkekeh.
"Ngaco kamu! Jam segini mana ada kalong lewat. Lagipula ini masih siang," sergah Johan.

"Tau nih, Ricky!" ucap teman-temannya di belakang.

"Yee, malah pada ngebulli aing!" umpat Ricky seraya menggaruk kepala.

Gadis yang duduk di sebelah kiri bangku belakang, yang berpakaian
atasan biru dengan rok warna hitam serta rambutnya dikuncir ke samping kiri tampak celingukan.

"Teman-teman, apa kita tidak sebaiknya putar balik saja?" ucapnya.

"Jangan ngaco kamu, lin. Kita sudah sejauh ini!" tukas Ricky tidak setuju.

"Jauh ya jauh tapi keselamatan lebih
penting, tau!" balas gadis bernama Lina itu dengan sengit.

"Keselamatan? Memangnya kita sedang berada di desa para demit apa!" sergah temannya yang duduk di sebelah kanan.

"Hei, hei, jangan berbicara sembarangan!" sergah Johan seraya menggebrak setir.

"Tau nih Rafika!" ucap
gadis yang duduk di tengah antara Lina dan Rafika (kok jadi mirip merek pelicin pakaian ya? Gk apa2 deh, lanjutkan saja)

"Iya nih, Rafika! Biangnya 3in1," ledek Ricky membuat gadis itu mendengus kesal.

"Kalian ini dari tadi ribut terus. Nggak di pantai nggak di hutan," komentar
Johan seraya melihat ke arah layar smartphone-nya. "Masih ada waktu untuk kita memutar balik," lanjutnya seraya memutar setir dengan tujuan memutar balik.

"Nah, begitu, dong. Tegas dikit sama anak-anak bau kencur," ujar Ricky seraya cengengesan.

"Huuh, padahal aku ingin lihat
desa itu," ucap Rafika seraya bersandar. "Geseran, vi. Jangan tempatin jatahku," ucapnya.

"Tahu begini, aku duduk di belakang saja sama barang-barang," celetuk Silvi, gadis yang duduk di tengah.

SUV melaju meninggalkan area tersebut kembali menuju jembatan. Setelah melewati
jembatan, mobil mencapai hutan dengan banyak tikungan. Namun suatu hal aneh terjadi saat petang menjelang. Johan merasakan mobil yang dikendarainya tidak juga tiba di desa terdekat.

Hal yang lebih tidak ia mengerti terjadi. Alih-alih mencapai desa terdekat, ia malah mengemudikan
mobilnya kembali ke desa kosong yang adalah Desa Cikahuripan itu.

"Lho, bang Johan! Kenapa malah kembali kemari!" ujar Ricky kaget saat menyadari mobil kembali berada di desa kosong.

"Aku tidak tahu. Padahal mobil ini sudah melaju sesuai jalur waktu kita lewat tadi sore," tukas
Johan seraya berusaha memutarbalik mobil ketika tiba di depan sebuah rumah besar serba kayu.

"Rumah itu besar sekali. Sepertinya kayu semua," ucap Rafika sembari memperhatikan rumah itu.

"Mungkin kampung ini sebenarnya tidak kosong. Mungkin ada warga di dalam rumah-rumah itu?"
ucap Silvi sesaat tercekat saat melihat beberapa rumah dalam kondisi rusak parah serta hangus seperti bekas kebakaran.

Jregggg

Tiba-tiba mesin mobil mati saat hendak memutarbalik. Otomatis mobil jadi melintang di tengah jalan.

"Ahhh, kenapa harus mati mesin segala. Padahal
bensin belum habis," umpat Johan seraya berusaha menghidupkan kembali mesin.

Gagal. Berkali-kali Johan men-starter mesin namun tidak juga berhasil menghidupkannya.

"Kalau begini caranya, kita harus mendorong mobil. Kalian harus keluar terus dorong mobil," ujar Johan dengan
jengkel.

"Iiih aku nggak mau!" tolak Rafika seraya bergidik.

"Ricky, kamu kan laki-laki. Kamu saja yang keluar, gih," kata Silvi membuat Ricky mendengus.

"Semua harus keluar. Aku tidak bisa mendorong mobil sendirian!" ucap Ricky sewot.

Cklikk, pintu belakang bagian kiri
dibuka Lina. Gadis itu kemudian turun dari mobil.

"Ricky, ayo kita dorong mobilnya. Setidaknya kita berdua bisa dorong mobil," ucap Lina seraya menutup pintu kemudian berlalu ke belakang mobil.

Ricky pun turut keluar dari mobil kemudian berlalu menuju Lina.
Mereka berdua kemudian berjibaku mendorong mobil. Terasa berat ketika mendorong mobil dalam posisi berbelok.

"Uuh, beratnya!" umpat Lina seraya mendorong mobil sekuat tenaganya.

"Kalian berdua keluar, dong. Jangan membebani begini!" ujar Ricky seraya mengetuk-ngetuk jendela.
"Nggak mau. Takut tau!" tukas Rafika dari dalam mobil.

"Iya, nih. Mana gelap lagi," timpal Silvi.

"Berat bukan karena mereka!" ucap Johan dengan pandangannya lekat menatap ke depan tepat ke arah sesosok laki-laki berpakaian serba hitam dengan wajah hampir tidak terlihat.
"Siapa itu?" ucap Rafika yang turut melihat ke depan.

"Entahlah, aku pikir dia penduduk desa," tukas Johan.

"Lalu kenapa abang bilang mobil berat bukan karena kita?" kata Silvi penasaran.

"Mobil ini ditahan sama sesuatu yang tidak terlihat. Posisinya tepat di depan bapak itu,"
ucap Johan membuat Silvi dan Rafika menjerit.

"Aaahhhhh......."

"Ada apa, sih? Kenapa kalian teriak-teriak?" seru Ricky dari belakang mobil.

Lina menatap ke arah depan mobil di mana sosok bapak itu berdiri.

"Dia bukan warga manusia!" ucap Lina.

"Apa!" Ricky terkejut.
Di dalam mobil, Silvi menjerit sejadi-jadinya ketika melihat seraut wajah mengerikan muncul dari kaca spion tengah.

"Aaaaa......"

Rafika yang juga melihat penampakan tersebut turut menjerit. Sementara Johan hanya bisa celingukan panik.

"Aaah, kenapa ini harus terjadi! Tidak
seharusnya kita kemari," ucap Johan seraya berusaha menenangkan kedua gadis itu. "Kalian berdua tenanglah. Aku sudah sering melihat ini dulu waktu di Pedukuhan Papat."

"Ada sih di sana?" seru Ricky.

"Hari sudah gelap, rick. Desa ini sama sekali tidak ramah kepada kita," ucap
Lina seraya mengajak Ricky kembali memasuki mobil.

"Rumah itu meski terlihat menyeramkan tampaknya akan menjadi tempat yang aman bagi kita berlindung," ucap Johan seraya keluar dari mobil.

"Lho, kok malah keluar, sih!" kata Rafika dengan gusar.

"Kalian juga keluar. Kita sement
ara bermalam di rumah itu," tukas Johan.

"Aku tidak mau! Rumah itu seram, tau!" teriak Rafika.

"Jangan teriak-teriak, 3in1!" ucap Ricky seraya membuka pintu mobil di mana Rafika di baliknya.

"Jangan paksa aku, bodoh!" Rafika menepis tangan Ricky yang mencoba menariknya keluar.
"Fika, ayo. Kita tidak mungkin bermalam di mobil. Lihat rumah-rumah itu," ucap Silvi sambil menunjuk reruntuhan rumah yang sebagian telah hangus.

"Fika, jangan berpikir mobil adalah tempat paling aman. Kita harus mencari tempat berlindung. Rumah itu satu-satunya yang meyakinkan.
Ayolah," pinta Johan seraya perlahan membimbing Rafika keluar dari mobil. "Sekarang tutup semua pintu mobil. Sebelumnya bawa beberapa barang yang perlu dibawa," lanjutnya.

Setelah itu, Johan bersama rekan-rekan menuju rumah besar yang terletak agak jauh dari jalan utama.
Mereka berjalan beriringan. Hingga di depan rumah itu, Johan melangkahkan kaki menuju pintu utama.

Selanjutnya ia mengetuk pintu seraya mengucap salam.

Tidak ada jawaban dari dalam rumah pertanda rumah itu dalam kondisi kosong.

Johan kemudian membuka rumah kunci dengan obeng
dan pisau kecil.

Setelah pintu terbuka ia pun masuk ke dalam rumah sembari menyalakan lampu senter.

"Aman. Setidaknya untuk saat ini, rumah dalam kondisi aman," ucap Johan disambut tatapan bingung teman-temannya.

"Ayo, sebaiknya kita masuk," ucap Lina yang berada di belakang.
Johan memeriksa seisi rumah tersebut. Mulai dari ruangan depan hingga dapur. Setelah itu kembali ke teman-temannya yang sedang menunggu di ruang tengah.

"Rumah ini berlantai dua?" ucap Silvi sambil menunjuk ke arah tangga yang berada di ruang tengah tepat di belakang barisan
sofa.

"Sebentar. Rumah ini kalau dilihat dari luar tidak terlihat seperti rumah bertingkat," tukas Johan sambil memperhatikan tangga berukir dengan cat hitam mengkilat itu.

"Aku penasaran di atas ada ruangan apa saja," ucap Rafika disambut gelengan kepala Johan.

"Bersikap
sopanlah di rumah orang, fika. Kita sudah melakukan hal yang tidak sopan dengan membuka paksa pintu rumah orang. Jangan ditambah lagi," kata Johan sembari mengarahkan senternya ke arah suatu sudut ruangan.

"Padahal kita penasaran, lho," kata Ricky mendukung Rafika.

"Simpan saja
kepenasaranan kalian. Ingat kata-kataku. Bersikap sopanlah di rumah orang. Oke?" tukas Johan tetap melarang mereka untuk memeriksa lantai dua rumah yang misterius itu.

"Terus sekarang kita ngapain?" tanya Rafika gusar.

"Ada dua kamar yang berdekatan dengan ruangan tengah. Fika,
Lina, dan Silvi di kamar kanan. Sementara aku bersama Ricky di kamar sebelah kiri," kata Johan seraya menunjuk dua pintu kamar bergantian.

Johan kemudian memeriksa dua kamar itu. Setelah memastikan kedua kamar itu aman untuk ditempati ia pun menuju kamarnya bersama Ricky.
Sedangkan Lina bersama Silvi dan Rafika langsung menutup pintu setelah berada di dalam kamar.

"Eh, ngomong-ngomong pintu depan sudah dikunci belum, ya?" ujar Rafika tiba-tiba.

"Aku tidak tahu. Seharusnya bang Johan sudah menguncinya. Memangnya kenapa, fika?" tanya Silvi.
"Bang Johan sudah menguncinya. Aku pastikan itu, fika. Ada apa, sih? Kok raut wajahmu seperti ketakutan begitu?" ucap Lina kemudian menatap bingung ke arah Rafika.

"Kamu coba dengar, deh. Seperti ada suara orang sedang membuka pintu tapi perlahan-lahan." Rafika dengan wajah
panik menyilangkan telunjuk di depan bibirnya.

Lina dan Silvi memperdengarkan apa yang didengar Rafika. Ternyata benar, mereka mendengar suara decitan seperti pintu yang sedang dibuka namun secara perlahan.

"Bang Johan, apa itu kamu di luar?" seru Rafika membuat Silvi dan Lina
terkejut.

"Jangan berteriak, iiiih!" gerutu Silvi kesal.

Dari luar terdengar suara Johan menyahut.

"Aku sedang di kamar. Ricky juga sedang di kamar. Memangnya ada apa?"

Rafika saling pandang dengan Silvi. Sementara Lina bangkit dari duduknya kemudian menghadap pintu.
Tiba-tiba terdengar suara Ricky berteriak diikuti bentakan Johan.

"Aaaaahhhh.......!!!"

"Ricky, jangan main-main!"

"Ada apa, bang Johan?" teriak Rafika.

"Ricky kerasukan!" teriak Johan.

"Apa?"

Rafika dan Silvi terperanjat kemudian berpelukan karena saking takutnya.
"Aaaaahhhh, aing macan tutul!!"

"Jangan main-main, Ricky! Kau harus tahu kapan dan di mana kamu bisa bercanda!"

"Grrrrrr........!!!"

"Aaaahhhh.......!!!" Rafika dan Silvi menjerit histeris tatkala mendengar suara auman seperti harimau dari kamar sebelah.

'Brakkkkk' Terdengar
suara pintu terbanting keras.

"Kamu benar-benar, ya!" Johan yang berada di luar mengunci kedua tangan Ricky yang sedang mengamuk itu.

Lina yang baru keluar dari kamar terkejut melihat adegan itu. Ia bingung kenapa Ricky menjadi seperti itu.

"Lina, kenapa malah keluar?" ucap
Johan seraya memegangi Ricky yang mengamuk.

"Tadi ada seseorang masuk rumah, bang. Lebih tepatnya sesuatu karena itu bukan manusia. Sepertinya dia yang merasuki Ricky," ucap Lina membuat Johan terkejut.

"Apa? Kamu tahu soal itu?" tanya Johan.

"Seekor macan, bang. Wujudnya
mirip seperti macan tutul namun berdiri dengan dua kaki seperti manusia," kata Lina seraya menepuk kening Ricky dengan telapak tangannya.

"Aaaahhhhhh..... Grrrrr...... Aing macan!!" aum Ricky dengan suara serak.

"Keluar kau, macan!" teriak Lina seraya menepuk-nepuk kening Ricky
"Waaaaggghhhh....!!!" Ricky berteriak panjang sebelum ia terkulai jatuh ke atas lantai rumah yang berupa papan itu.

'Bruggggg....' tubuh Ricky menimpa lantai papan hingga menimbulkan bunyi keras itu.

Johan terkejut setelah melihat kemampuan Lina mengeluarkan roh dari tubuh
Ricky. (Roh jahat)

Setelah selesai mengeluarkan roh lelembut dari tubuh Ricky, Lina mengetuk-ngetuk pintu kamar di mana Silvi dan Rafika masih ketakutan.

"Fika, Silvi. Sudah beres, kok. Jangan takut lagi," ucap Lina.

"Lin, tampaknya ini belum selesai," ucap Johan sambil
melihat ke arah pintu depan yang terbuka.

Dari ruang tengah, pintu depan dapat terlihat. Di tengah-tengah pintu terdapat siluet sesosok seperti seorang perempuan sedang berdiri menatap ke arah Johan, Lina, dan Ricky.

"Dia tidak jahat. Posisi dia sebenarnya tidak sedang di pintu
itu, melainkan sedang di suatu tempat yang sangat jauh," ucap Lina seraya menatap ke arah pintu itu. "Masalah yang sebenarnya adalah gerombolan yang di belakangnya. Sebaiknya kita masuk kamar!"

Setelah berkata demikian, Lina langsung masuk ke dalam kamar kemudian menguncinya
dari dalam. Begitupun Johan yang langsung membawa Ricky ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.

Setelah mereka masing-masing telah di dalam kamar, mendadak terdengar suara riuh dari luar. Ditambah lagi suara daun pintu yang berderik-derik seperti sedang tertiup angin kencang.
"Aku ingin pulang!!" jerit Rafika ketakutan.

"Aku juga!" sahut Silvi sambil menangis.

"Kita semua ingin pulang. Bersabarlah sampai besok pagi," ucap Lina seraya memperdengarkan dengan seksama suara-suara aneh yang berasal dari luar.

Suara-suara tersebut di antaranya seperti
suara kambing mengembik namun dengan suara yang sangat besar. Juga terdengar suara cekikikan hantu perempuan yang dikenal sebagai Kuntilanak.

"Hihihihihihi........" Suara cekikikan hantu tersebut terdengar melengking pertanda jaraknya cukup jauh dari rumah itu.

Suara hembusan
angin ribut terdengar sangat kencang dari luar. Angin malam itu terasa begitu kencang hingga mengacak-acak furnitur yang ada di ruangan depan.

"Sebaiknya kita tidur. Jika terus terbangun begini, pasti kalian akan terus ketakutan," ujar Lina seraya membalikkan sprei di atas
tempat tidur di kamar itu.

"Di saat begini? Kami mana bisa tidur, lin! Coba kau dengar suara-suara mengerikan itu!" tukas Rafika sambil menatap dengan kedua mata berkaca-kaca ke arah Lina.

"Aku hanya menyarankan untuk tidur. Kalau tidak mau ya sudah," ucap Lina enteng seraya
membaringkan badan di tempat tidur.

"Kamu gila ya, lin. Di saat begini bisa-bisanya tidur!" ketus Silvi seraya memandang gusar ke arah Lina.

"Kalau nggak tidur memangnya mau ngapain lagi? Mendengarkan mereka?" ucap Lina santai.

Akhirnya Silvi dan Rafika mau tidak mau ikut
berbaring bersama Lina.

Mereka harus melupakan ketakutan itu dengan harapan pagi segera tiba. Tentu saja mereka hanya berbaring tidak benar-benar tidur.

Mereka takut sesuatu yang buruk akan terjadi dan menimpa mereka. Terlebih para lelembut tersebut sedang mengepung rumah itu.
Beberapa saat kemudian, Rafika dan Silvi masih juga belum dapat tidur. Mereka gusar dengan Lina yang sudah terlelap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi sebelum itu.

"Gila nih anak. Pulas banget tidurnya. Di saat horor begini bisa-bisanya tidur," keluh Rafika dengan gusar.
"Biar saja, Fika. Ini anak emang kebo!" tukas Silvi jengah dengan keluhan Rafika.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara gruduk-gruduk seperti suara seekor tikus besar sedang berlari.

"Vi, itu apaan? Suaranya berisik banget," kata Rafika seraya menutup kedua telinganya.
"Tikus kali, fika. Tapi kok suaranya besar sekali?" tukas Silvi sembari memperdengarkan suara-suara riuh itu.

Saat ini suara riuh yang lama telah menghilang. Tinggallah suara riuh lain seperti langkah-langkah seekor tikus sebesar domba garut. Hal itu membuat Rafika dan Silvi
tidak dapat tertidur seperti Lina.

'Gruduk, gruduk' Suara tersebut semakin keras terdengar. Suara langkah lari-lari sesuatu yang besar dan cepat itu terdengar melewati lorong di antara kamar Rafika dan kawan dengan kamar Johan dan Ricky.

Rafika dan Silvi terdiam dan saling
berpandangan ketika suara tersebut berhenti persis di depan pintu kamar mereka.

Tiba-tiba....

'Durugdugdugdugdug........'

Suara serudukan binatang terdengar beradu dengan pintu kamar Rafika dan kawan-kawan. Otomatis Rafika dan Silvi menjerit-jerit ketakutan.
Semakin mereka menjerit-jerit, suara terjangan makhluk itu terhadap pintu semakin keras saja. Otomatis Lina yang sudah tertidur menjadi terbangun karenanya.

"Kalian ini punya sopan santun, nggak, sih!" ketusnya seraya menatap jengkel ke arah Rafika dan Silvin yang masih menjerit
-jerit.

"Sopan santun otak lu lepas!" balas Rafika sengit.

"Makhluk itu tidak akan menerjang-nerjang pintu jika kalian diam!" bentak Lina sambil menatap marah kepada dua temannya yang berisik itu.

Silvi dan Rafika pun akhirnya hanya bisa menangis setelah dibentak Lina.
Lina kemudian memperhatikan pintu kamar yang terlihat bergetar-getar keras karena serudukan makhluk yang mungkin binatang buas dari luar.

Ia kemudian melihat ke arah lemari kecil yang berada di samping tempat tidur. Selanjutnya ia membuka pintu lemari tersebut kemudian mengeluar
kan sebilah kujang berukuran 15 sentimeter dari dalam lemari.

"Apapun itu, pasti bukan sesuatu yang ramah. Kalian juga harus waspada. Jangan hanya bisanya takut dan takut. Semakin kalian takut, makhluk itu semakin cepat mendatangi kalian," ucap Lina seraya menghunus kujang itu.
'Brakkkkk'

Pintu terbuka setelah didorong dengan kuat oleh makhluk tersebut. Kemudian terlihatlah sesosok tikus berukuran sangat besar. Bahkan sangat besar persis seperti yang diperkirakan sebelumnya.

"Aaaahhhhhh!!!" jerit Silvi dan Rafika sembari terpojok di sudut kamar.
Lina berdiri menghadang kedatangan tikus raksasa itu dengan kujang terhunus di tangan kanannya.

"Setan tikus, majulah! Aku tidak akan lari meninggalkan teman-temanku," ucap Lina menantang tikus itu.

'Ciiiiittttttttt' Suara cicitan tikus besar itu bergema membuat telinga
berdengung.

Di saat itu juga, sang tikus menerjang ke arah Lina yang sudah siap dengan kujangnya.

"Hiaaaahhhh....!!!" Lina menebaskan kujang tepat mengenai
leher tikus itu seraya berkelit.

Setelah berkelit, tikus itu tidak mengejar Lina. Justru malah melihat ke arah Rafika
dan Silvi dengan pandangan buas. Setelah itu sang tikus menerjang ke arah mereka.

"Aaaaaahhhhhh!!!" Silvi dan Rafika menjerit sekuatnya ketika tikus itu menerjang ke arah mereka.
"Lihat aku, binatang!" teriak Lina seraya menebas leher tikus itu hingga tenggorokannya terputus.

Tikus tersebut gagal mencapai Rafika dan Silvi karena keburu terbunuh oleh kujang yang ditebaskan Lina. Di saat itu pula Ricky dan Johan datang masuk ke dalam kamar dan terkejut
melihat Lina tengah berdiri sambil melihat ke arah bangkai tikus raksasa di antaranya dan Silvi serta Rafika.

"Lina? Apa itu?" ucap Ricky masih terkejut.

"Kau sudah sadar, hah?" tukas Lina tanpa menjawab pertanyaan Ricky.

"Aaaahh.....!!" Sembari menjerit, Silvi dan Rafika
menghambur keluar dari kamar hingga menabrak Johan dan Ricky.

"Berhenti teriak-teriak, oyy!" seru Lina.

"Berarti makhluk ini yang tadi sangat berisik," ucap Johan sambil mengamati bangkai tikus besar itu.

"Fika, Silvi?" ucap Ricky ketika mendengar suara langkah-langkah cepat
seperti sedang menaiki tangga di ruang tengah.

"Oh, tidak. Mereka naik ke lantai atas!" Johan dengan segera beranjak ke ruang tengah diikuti Ricky dan Lina.

"Di lantai atas ada apa, sih? Kok sepertinya gawat sekali, bang?" tanya Ricky penasaran.

"Kau macan diam saja!" sergah
Johan seraya menaiki tangga ketika tiba di ruang tengah.

Ia kemudian menelusuri lorong di lantai atas tersebut sembari menyoroti lorong itu. Ia melihat ada sedikitnya empat kamar dengan pintu yang berbeda-beda warnanya. Ada merah, hijau, kuning, dan abu-abu.

"Kok mereka seperti
menghilang ya?" ucap Johan.

"Fika, Silvi!!" panggil Lina dari belakang Johan. Sementara Ricky mengikuti seraya ikut memanggil-manggil kedua gadis labil itu.

"Fika, Silvi... Di mana kalian??" panggil Ricky.

"Di alam kubur!! Hihihihihi.......!" Tiba-tiba terdengar suara serak
nenek-nenek dari balik pintu salah satu kamar yang tidak dapat dipastikan kamar yang mana.

"Waaaaaa....!!" Ricky berteriak ketakutan saat mendengar suara tersebut.

Johan dan Lina hanya dapat saling pandang. Mereka berdua tidak mengerti apa maksud perkataan 'Di alam kubur' itu.
Brug, brug, brug,

"Tolong! Bang Johan, bukain pintunya!" teriak Rafika dan Silvi dari balik salah satu pintu, namun tidak dapat dipastikan pintu yang mana.

"Fika, Silvi. Kalian di kamar yang mana?" sahut Johan seraya memeriksa semua pintu kemudian mencoba membukanya.
Nihil, keempat pintu kamar tidak ada yang dapat dibuka.

"Bang Johan, aku sama Silvi di kamar berpintu abu-abu!" teriak Rafika seraya menggedor-gedor pintu.

"Aku coba bukain!" tukas Lina seraya mencongkel pintu abu-abu dengan kujangnya.

Sementara Johan dan Ricky menunggu.
Namun tiba-tiba,

Brakkkk,

Terdengar suara berderak keras dari balik pintu berwarna kuning. Otomatis Johan dan yang lain mengalihkan perhatian ke arah pintu itu.

"Aaaaaaahhhhhh!!!!" Rafika dan Silvi terdengar berteriak histeris.

"Fika, Silvi!! Bertahan!" teriak Lina.
Lina dengan cepat mencongkel pintu abu-abu, namun sesuatu terjadi.

Suatu bayangan besar mengangkang di belakangnya dan Johan juga Ricky.

Bayangan itu adalah dari sesosok makhluk serba hitam dengan taring besar dan panjang.

"Apa itu, bang?!!" pekik Ricky ketakutan.
Johan hanya terperangah ketika melihat sosok negatif tersebut. Begitupun Lina yang berhenti mencoba membuka pintu abu-abu.

"Aku merasa kita tidak usah membuka semua pintu karena Fika dan Silvi tidak berada di dalam kamar-kamar ini," ucap Lina membuat Johan dan Ricky terkejut.
"Apa? Tapi bukannya mereka tadi berteriak dari dalam sana?" tukas Johan bingung.

"Mereka memang berada di dalam kamar yang mirip dengan kamar-kamar ini tapi bukan di dunia ini," jelas Lina semakin membuat Johan terkejut.

"Maksudmu mereka di alam lain?" tanya Johan bingung.
"Benar, kak Johan. Mereka ada di alam lain," tukas Lina seraya melihat waspada ke arah sosok angker itu.

"Apa yang akan kita lakukan, lin? Kita harus mencari Fika dan Silvi. Mereka berdua sangat penakut," kata Johan turut melihat ke arah sosok itu.

"Bagaimana cara kita pergi
dari sini? Setan itu menghalangi jalan keluar," kata Ricky dengan cemas.

Lina berjalan ke arah sosok itu seraya menodongkan kujangnya.

"Biarkan kami lewat. Siapapun kamu, tolong jangan menghalangi kami," ucap Lina.

"Hati-hati, lin. Dia kelihatan buas. Matanya menyala merah.
Dia juga bergerak ke arah kita, lin," ucap Johan khawatir.

"Ricky, sepertinya hanya kamu yang bisa menghadapinya," kata Lina membuat Ricky terkejut.

"Apa katamu? Jangan ngawur! Aku lihatnya saja sudah takut. Jangan paksa aku menghadapinya!" sergah Ricky dengan gemetar.
Tiba-tiba Lina berbalik ke arah Ricky kemudian menepuk dahinya dengan cepat.

"Lina?" pekik Johan kaget dengan apa yang dilakukan gadis itu.

Tiba-tiba Ricky jatuh kemudian berguling. Selanjutnya ia merangkak sembari mengaum seperti seekor macan.

"Aing macan!!!!"
"Dengan cara ini kamu pasti berani, Rick," ucap Lina seraya mundur ke arah Johan.

"Apa-apaan ini, lin?" Johan terbelalak melihat Ricky yang sedang kerasukan.

"Makhluk di dalam tubuh Ricky aku bangkitkan, kak. Itu satu-satunya cara kita mengusir makhluk hitam itu," jawab Lina.
Terlihat kemudian Ricky yang sedang kerasukan merangkak cepat dengan gerakan seperti seekor macan menerkam ke arah sosok mistis di hadapannya.

Groarrrrr.... Ricky mengaum kemudian mencakar-cakarkan kedua tangan ke arah sosok yang balik melawannya dengan tamparan.
Sebuah tamparan makhluk hitam membuat Ricky terbanting menghantam dinding.

"Ricky!" pekik Johan khawatir.

"Tidak apa-apa, kak. Ricky tidak akan kenapa-kenapa. Makhluk di dalam dirinya akan selalu melindungi Ricky," ucap Lina menenangkan Johan.
"Syukurlah kalau begitu. Kita bisa pergi sekarang, lin," ucap Johan.

"Tunggu dulu, kak. Ricky belum selesai dengan makhluk itu," ujar Lina seraya melihat ke arah Ricky yang sedang meninju makhluk hitam berkali-kali hingga terdengar suara gemeretak.

Lina dan Johan terkejut saat
menyaksikan wujud Ricky perlahan berubah menjadi sesosok macan loreng yang buas. Saking buasnya, lawan di hadapannya menjadi tidak berkutik.

"Ini tidak benar!" ucap Lina kalut.

"Apa yang harus kita lakukan? Lin, kamu sebaiknya tepuk jidatnya biar dia kembali ke wujud Ricky.
Lagipula makhluk hitam itu sudah kalah," kata Johan seraya menatap waspada ke arah harimau jelmaan Ricky yang sedang menginjak leher makhluk hitam dengan kuat.

"Umm." Lina hanya terpaku untuk kemudian berseru "Lari!"

Akhirnya Lina dan Johan berlari kemudian menuruni tangga.
Johan dan Linar lari pontang-panting keluar dari rumah kayu. Mereka terus berlari hingga ke arah jalan desa.

Sedangkan Ricky dalam wujud harimaunya turut berlari keluar dari rumah. Kemunculannya dari balik pintu membuat Johan dan Lina panik. Mereka pun kembali berlari.
"Celaka! Ricky benar-benar menjadi harimau!" ucap Lina seraya terengah-engah.

"Kenapa kamu tidak tepuk jidatnya, lin?" tanya Johan seraya berlari di samping Lina.

"Menepuk jidat harimau? Aku tidak sekonyol itu kali!" sergah Lina.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang.
"Woyyy, tungguin!!" itu adalah suara Ricky. "Jangan tinggalin gue, dasar bungul!!"

Lina dan Johan menghentikan langkah seraya melihat dengan kaget ke arah sosok harimau yang menyusul mereka.

"Ricky?" ucap Lina tercengang.

"Ricky sekarang jadi harimau?" ucap Johan.
"Woyy, Lina. Tanggung jawab lu ya udah bikin gue jadi kayak begini!" seru Ricky sambil berjalan ke arah Lina dan Johan.

"Lin, mumpung dia sadar, coba tepuk jidatnya," ujar Johan disambut anggukan Lina.

"Ke sini, Ricky. Aku akan mencoba menolongmu," ucap Lina seraya perlahn maju
Ricky dalam wujud harimau menghampiri Lina dan Johan. Ia kemudian berhenti setelah tiba di hadapan keduanya.

Lina tanpa membuang kesempatan langsung menepuk dahi Ricky dengan mantap. Namun, sesuatu tidak terduga terjadi.

Alih-alih Ricky ke wujud manusianya, ia malah menjadi
beringas dengan aumannya yang mengerikan.

"Aaaaahhhhh!!" Lina berteriak ketakutan seraya melompat mundur ke arah Johan.

Mereka berdua pun lari pontang-panting kembali untuk menghindari amukan harimau jelmaan Ricky.

"Ahh, kenapa malah menjadi begini??" Johan mengerang frustrasi
"Aku tidak tahu, kak. Lagipula menepuk jidatnya pas dia menjadi harimau hanya berdasar pada dugaan kita saja," tukas Lina seraya berlari di samping Johan tanpa menoleh ke belakang.

Sementara Ricky dalam kondisi beringas mengejar kedua orang di depannya.
Johan dan Lina terus berlari hingga mencapai suatu lahan di mana terdapat suatu tugu yang hampir rubuh. Lahan tersebut ditumbuhi beberapa batang pohon berukuran sedang.

"Tunggu, tunggu, kita semakin jauh dari desa," ujar Johan sambil menoleh ke arah Lina.

"Tapi Ricky terus
mengejar kita," tukas Lina sambil melihat ke belakang. "Eh, dia tidak ada," lanjutnya.

"Lin," ucap Johan pendek seraya menyentuh pundak gadis itu.

"Apaan, kak?" tanya Lina.

"Itu!" Johan menunjuk ke arah depan.

Lina mengalihkan pandangannya ke depan dan mendapati sesosok
perempuan berpakaian serba hitam bertudung menatap ke arah mereka berdua. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup tudung yang menjuntai hingga ke wajah.

"Siapa itu?" ucap Lina sambil memberanikan diri mendekat ke arah sosok itu.

"Jangan, lin!" kata Johan khawatir.
Saat Lina tinggal satu meter lagi dari sosok itu, tiba-tiba sosok tersebut melotot ke arahnya dengan kedua matanya menyala merah.

"Haaah?" Lina terperangah melihat sosok tersebut menatapnya dengan garang.

"Lina, sebaiknya kita pergi!" kata Johan seraya berusaha menarik Lina.
Tiba-tiba sosok tersebut melayang ke arah mereka berdua.

"Lina, dia bisa melayang. Sepertinya itu setan!" kata Johan seraya menarik Lina mundur dari posisi semula.

'Rrroarrrrrr.................

Sosok tersebut mengeluarkan suara auman melengking membuat telinga rasanya seperti
hendak pecah.

Di saat itu juga, Lina dan Johan melihat sosok lain yang muncul di belakang sosok perempuan bertudung itu. Suatu sosok besar dengan kepala bertanduk seperti kambing.

"Kambing Mendez?" ucap Johan perlahan.

"Itu berarti iblis," gumam Lina saat menyaksikan itu.
"Jangan-jangan waktu di rumah kayu itu, yang bersuara seperti kambing itu dia," kata Johan seraya menarik Lina.

Namun tiba-tiba ia berhenti saat mendengar suara dengusan dari belakangnya.

"Ricky?" Lina menoleh ke belakang dan mendapati Ricky sedang menatap ke arah depan.
"Lu nggak berhasil ngubah gue, Lina. Gue malah hilang kesadaran abis lo tepuk jidat gue," ujar Ricky yang dalam wujud harimaunya.

"Maafin aku, Ricky. Aku tidak tahu harus bagaimana. Lagipula roh itu masuk ke dirimu bukan karena aku, lho," tukas Lina gusar.

"Mereka itu setan?"
ucap Ricky sambil menatap ke arah dua sosok yang sedang berjalan ke arah mereka.

"Bisa jadi mereka adalah setan. Sebaiknya kita kabur!" tukas Johan seraya berlari kemudian menggaet tangan Lina.

"Hei, hei, tungguin gue!" teriak Ricky yang kemudian turut berlari mengikuti mereka.
"Baru kali ini aku melihat harimau penakut," ucap Johan seraya berlari.

"Tapi gue bukan harimau! Gue cuma kena sihir!" sergah Ricky sambil berlari layaknya seekor macan.

Mereka bertiga mendadak berhenti saat sosok perempuan dan kambing mendez itu sudah ada di hadapan mereka.
"Waaa, ada Shawn Mendez!!" teriak Ricky sambil menghentikan larinya.

"Matamu Shawn Mendez!" balas Lina seraya mundur diikuti Johan.

Johan menatap waspada ke arah dua sosok misterius itu. Keduanya sama-sama menyeramkan dan dipastikan memiliki maksud tidak baik terhadapnya dan
kawan-kawan.

Lina, Johan, dan Ricky menatap waspada ke arah dua sosok yang semakin mendekati mereka.

"Kita harus lari melewati jalur itu," bisik Johan sambil menunjuk jalur sebelah kanan.

Ricky bergidik saat mengikuti telunjuk Johan dan menyaksikan sesosok mayat berbalut kain
kafan sedang meloncat-loncat.

"Kun, kun, kuntilanak!!" teriak Ricky.

"Itu pocong, woyy!" balas Lina sambil menjewer telinga Ricky.

"Jangan sampai kamu menepuk jidatnya lagi atau kita akan celaka," kata Johan mengingatkan.
"Sekarang kita harus bagaimana?" tanya Ricky yang tampak celingukan seolah sedang jalan untuk kabur.

"Kita harus kabur. Kita bertiga rasa-rasanya mustahil bisa melawan dua setan itu," ucap Lina seraya mundur.

"Apa kita kembali saja ke lapangan itu?" ucap Johan seraya berancang-
ancang untuk kembali ke tanah lapang tempat mereka menemukan kedua sosok iblis itu.

Lina mengangguk. Tiba-tiba ia melompat ke punggung Ricky kemudian menungganginya.

"Hei, apa-apaan lu!" pekik Ricky seraya terlonjak membuat Lina hampir terjatuh.

"Kak Johan, cepat naik!" ujar
Lina seraya mencubit tengkuk Ricky.

"Oww, sialan! Lepasin, bodoh!" pekik Ricky merasa geli oleh cubitan Lina.

Sementara Johan, meski ragu-ragu segera menaiki punggung Ricky.

"Sekarang lari!" teriak Lina seraya menarik tengkuk Ricky yang ia cubit.

"Aaaahhhh!" Ricky berlari
menembus gelap sembari membawa kedua orang itu di punggungnya. Anehnya ia tidak merasa berat membawa mereka berdua.

"Kalian berdua enteng sekali, ya. Seperti sedang membawa balon," ucap Ricky seraya berlari dalam kecepatan macan.

"Terus lari, rick. Aku pikir di seberang lahan
itu ada semacam benteng. Mungkin itu bisa menjadi tempat kita berlindung atau setidaknya memperlambat mereka," ucap Lina sambil menunjuk ke arah barat lahan kosong dengan tugu yang kini mereka datangi.

Benar saja, di seberang lahan dengan tugu yang roboh terdapat suatu bangunan
mirip benteng yang menjulang. Bangunan tersebut tidak kentara megah mengingat terbatasnya penglihatan karena gelapnya malam.

"Ternyata ada bangunan seperti itu di sini ya?" gumam Johan sambil melihat takjub ke arah bangunan itu.

"Apa mereka mengikuti kita? Kuntilanak itu?"
tanya Ricky tanpa menoleh.

"Aku rasa begitu," ucap Lina saat melihat ke belakang.

Sesampainya di depan benteng itu, Ricky berhenti. Lina dan Johan kemudian turun dari punggung Ricky.

"Bagaimana cara kita masuk?" tanya Johan sambil memperhatikan bangunan di hadapannya.
#sedang mencari jalan
"Tangga itu," tukas Lina sambil menunjuk sebuah tangga yang tergeletak di depan bangunan.

Mereka pun menaiki benteng itu menggunakan tangga panjang yang mereka temukan. Masalah kemudian muncul ketika tiba giliran Ricky.

"Gimana aku naiknya?" tanya Ricky sambil memperhatikan
kedua kaki depannya.

"Mungkin kamu berjaga di situ aja, rick," tukas Lina dari atas benteng.

"Enak aja! Jangan samain gue sama harimau beneran, ya!" sergah Ricky seraya berupaya memanjat tangga itu.

"Kau pasti bisa, rick. Kucing saja bisa memanjat tangga," kata Johan.
Ricky terus berusaha memanjat tangga hingga kemudian ia mendengar suara besar kambing mengembik di belakangnya.

"Shawn Mendez datang!" pekiknya seraya gelayutan di tangga.

"Di mana-mana kambing yang takut sama harimau, bukan sebaliknya!" ujar Johan sambil mencoba membantu Ricky
"Itu bukan kambing sembarangan tapi kambing setan! Jangan samakan dengan kambing yang dipiara!" ketus Ricky seraya menggapai tangan Johan.

Ia pun akhirnya berhasil menaiki tangga meski dengan susah payah.

"Kambing Mendez itu datang dengan nyonya hitam. Mereka mengincar kita!"
kata Lina seraya menatap waspada ke arah dua sosok yang kini berada di bawah tangga.

"Jatuhkan tangganya!" kata Ricky setelah tiba di atas.

"Percuma! Mereka juga punya tangan dan kaki!" tukas Lina.

"Lin, lihat itu," ucap Johan sambil melihat ke arah barat di atas benteng itu.
"Perapian? Kau bawa korek?" tanya Lina.

Johan menggeleng.

"Aku akan mencakar-cakar kayunya. Dengan cara itu kita dapat menyalakan perapian," tukas Ricky seraya berlari ke arah perapian dengan setumpuk kayu bakar di dekatnya.

Ricky kemudian mencakar-cakar sebatang kayu kering
dengan cepat.

"Eh, aku bawa ini!" ucap Lina seraya menunjukkan sebuah senter kecil dengan korek gas di ujung lainnya.

Ricky termangu sambil mendengus.

"Dasar bocah setan!"
Beberapa saat setelah api menyala, Lina dan kawan-kawan dapat melihat penjuru tempat itu dengan jelas. Dengan nyala api, mereka kini tidak lagi merasa waswas. Kecuali terkait Rafika dan Silvi yang hingga kini masih menghilang.

"Kedua setan itu tidak naik?" tanya Ricky.
"Mereka tidak naik tapi mereka sedang menggempur kastil ini," tukas Lina diikuti getaran pada benteng di mana mereka berada.

"Astaga! Mereka membawa pasukan! Kita tidak sedang berada di abad pertengahan, bukan?" pekik Johan saat menyaksikan sekumpulan pasukan merangsek ke arah
benteng.

"Pasukan zombie?" pekik Lina.

"Kita tidak bisa berdiam diri di sini. Kita harus kabur!" pekik Ricky.

"Lalu untuk apa kita susah payah kemari? Tempat ini bisa untuk kita berlindung," tukas Lina waswas.

Ricky saat menoleh ke belakang terperanjat melihat sesosok
perempuan bergaun putih gombrong dengan rambutnya yang panjang menatap bengis ke arahnya.

"Hihihihi......!!"

"Uwaaaa, kuntilanak beneran!" teriak Ricky sambil menutup kedua matanya.

"Harimau takut kunti?" gumam Lina.

Sementara Johan menatap waspada ke arah sosok menakutkan
tersebut seraya membaca-baca doa yang dia bisa.

Tiba-tiba seseorang muncul dari sebuah pintu di sebelah tenggara puncak benteng itu. Sembari berlari, orang tersebut mengibaskan selendang berwarna hijau ke arah kuntilanak.

(Maaf ceritanya jadi ngaco)
"Itu?" Lina terkejut melihat kemunculan seseorang yang adalah perempuan itu.

"Maaf, aku terlambat. Kalian pasti sedang mencari dua teman kalian, kan?" ucap perempuan itu yang ternyata adalah Rahayu.

"Mbak siapa?" tanya Ricky kemudian melihat ke arah kuntilanak yang melayang
menjauh.

"Aku Rahayu. Aku baru tiba di sini saat pasukan Embe Liar mengepung kalian," tukas Rahayu memperkenalkan diri.

"Mbak tinggal di sini?" tanya Lina heran.

"Tidak. Justru aku terkejut ketika melihat benteng ini. Padahal dulu di sini tidak ada apa-apa," kata Rahayu.
"Mbak bukannya tadi keluar lewat pintu itu?" ucap Ricky sambil melihat ke arah pintu darimana Rahayu muncul.

"Haaah, ada harimau bisa berbicara!" Rahayu tersentak melihat Ricky seraya mundur.

"Ke mana aja, sih mbak? Kok baru sadar?" ucap Lina seraya menepuk dahi.
"Sumpah aku tadi tidak memperhatikan kalau yang tadi bertanya adalah harimau. Tapi ini aneh bagaimana mungkin harimau bisa berbicara," ucap Rahayu sambil menatap ngeri ke arah Ricky.

"Aku bukan harimau, mbak. Aku manusia yang terkena sihir!" tukas Ricky.

"Sihir? Dari siapa?"
tanya Rahayu.

"Dia mengada-ada, mbak. Bukan sihir tapi jin harimau menempati tubuhnya. Mungkin karena jin itu sangat sakti sehingga bisa mengubah wujud Ricky menjadi harimau," tutur Lina.

"Wooow!" Johan terpekik saat lantai tempatnya berpijak berguncang keras.

"Embe Liar!"
ucap Rahayu seraya melongok ke bawah tepat ke arah pasukan zombie yang sedang berupaya merobohkan dinding benteng dengan beberapa batang pohon besar.

"Mereka sebenarnya dari jaman mana, sih? Seperti sedang berperang di era kerajaan jaman dulu aja," kata Lina seraya celingukan.
"Kalian tenang. Aku akan menghadapi Embe Liar. Dia adalah biang keroknya," ucap Rahayu seraya bersiap hendak melompat.

"Lalu bagaimana dengan dia?!" Lina menunjuk ke arah sosok perempuan berpakaian serba hitam dengan tudung menutupi wajah.

"Juga bagaimana dengan dia?" tunjuk
Ricky ke arah sesosok besar berwarna hitam yang sedang berjalan melewati pasukan zombie ke arah benteng.

"Kau hadapi gorila itu, rick! Aku akan menghadapi nyonya hitam," ujar Lina seraya mendorong Ricky.

"Lalu bagaimana dengan bang Johan? Dia menghadapi siapa?" tanya Ricky.
"Aku jaga-jaga saja di sini," tukas Johan sambil menatap ngeri ke arah nyonya hitam yang telah berada di atas benteng.

Rahayu tiba-tiba melompat seraya mengibaskan selendangnya ke arah sosok berpakaian serba hitam itu. Sosok tersebut melayang menghindari serangan Rahayu.
Sosok tersebut berbalik menyerang Rahayu dengan selendang hitamnya, dan Rahayu mengelak seraya melontarkan selendangnya ke wajah sosok itu.

Wuuuuttttt, selendang Rahayu sukses menyingkap tudung yang menutupi wajah sosok itu. Rahayu pun terkejut saat melihat wajah di balik tudung
itu.

"Dita?" Rahayu menjejakkan kakinya kemudian menatap bingung ke arah sosok yang ternyata adalah Dita.

"Mbak mengenalnya?" tanya Lina yang berada di belakang Rahayu.

Rahayu mengangguk. "Tapi aku merasa dia bukan Dita yang dulu. Dia sudah tercemar."

"Tercemar?" ucap Johan.
"Apa dia air? Kok pake tercemar segala?" timpal Ricky.

"Bukan, tapi dia udara yang tercemar polusi mulutmu!" sergah Lina.

"Haah, haah, aku belum memakan apapun sejak kita tiba di dusun ini. Wajar dong kalau sedikit bau," tukas Ricky.

Rahayu menatap ke arah Dita kemudian
berjalan ke arahnya.

Baru dua langkah, tiba-tiba Dita melancarkan serangan ke arah Rahayu yang kemudian berhasil ditangkisnya.

Sementara Lina, Ricky, dan Johan dengan panik mencoba bertahan saat benteng bergoncang karena serangan dari bawah. Rupanya pasukan pendobrak sedang
dibantu oleh raksasa hitam.

"Gorila itu memukuli tembok!" pekik Ricky setelah melongok ke bawah.

"Kambing itu sedang mengacung-acungkan kedua tangan. Apa dia sedang melakukan sihir?" gumam Johan.

"Mungkin kita harus menyerangnya. Ricky, lakukan tugasmu!" seru Lina.
"Enak aja! Yang ada aku mati diseruduknya! Lagipula aku sudah PW di sini!" tolak Ricky dengan gusar.

"Harimau kok penakut begini, ya? Kalah sama mayat-mayat itu, dong," tukas Lina.

Tiba-tiba petir menyambar membuat gelapnya malam menjadi terang sejenak.

Glederrrrr......
Dari arah utara terlihat pancaran cahaya-cahaya berkilauan menyorot ke arah lokasi di mana pasukan zombie sedang mengepung benteng.

"Siapa mereka?" ucap Johan.

"Warga desa. Dua teman kalian yang membawa mereka," tukas Rahayu seraya merangsek ke arah Dita.

"Apa?" Johan, Lina,
dan Ricky terkejut.

Di saat itu juga, Rahayu berhasil mendorong Dita hingga jatuh dari atas benteng. Sosok Dita terjatuh kemudian menghilang di belakang benteng.

"Ada seseorang yang membuatnya tidak dapat melawanku. Orang itu bersama warga," ucap Rahayu.
Mendadak terdengar suara kokok ayam hutan dari pinggiran hutan tidak jauh dari benteng. Tidak hanya itu, sang surya mulai menampakkan diri di ufuk timur.

Semua orang yang berada di atas benteng dapat menyaksikan pasukan zombie menguar menjadi serpihan kemudian menghilang.
Sedangkan sosok Embe Liar masih berada di depan benteng. Berlari-lari tak tentu arah.

Hingga kemudian seseorang yang membawa tombak menghampirinya kemudian menusuknya dengan tombaknya.

"Aku tidak ingin apa yang sudah dibangun ayahku sia-sia begitu saja," ucap Irman, orang yang
menusuk Embe Liar dengan tombak.

"Irman, apa mereka ada di sana?" seru Rina yang bersama para warga yang datang.

"Iya, mereka ada di atas sana," tukas Irman. "Rahayu?" ucapnya saat melihat Rahayu di atas benteng bersama yang lain.

"Mbak Ayu....." teriak Rina seraya berlari.
Lina, Johan, Ricky, dan Rahayu kemudian turun dari benteng melewati pintu di belakang atas bangunan itu. Mereka kemudian menuruni tangga untuk selanjutnya keluar dari dalam benteng.

"Fika, Silvi?" ucap Lina ketika melihat dua kawannya datang bersama warga.

"Kalian ke mana saja,
sih?" tanya Ricky saat tiba di hadapan Rafika dan Silvi.

"Aaaahhhh... Ada harimau!" jerit Rafika dan Silvi saat melihat Ricky.

"Hei, hei, ini aku Ricky!" teriak Ricky. "Oh, sial. Wujudku belum berubah juga, padahal sudah pagi!" keluhnya.
"Fika, Silvi. Semalam kalian lari ke desa sebelah?" tanya Lina saat tiba di hadapan dua temannya itu.

Rafika dan Silvi tidak langsung menjawab. Mereka berdua malah saling pandang.

"Semalam kita semua kan emang lari ke desa sebelah. Terus kamu sama Ricky, dan bang Johan tiba-
tiba hilang begitu saja," ujar Rafika membuat Lina, dan Johan juga Ricky terkejut.

"Kalian yang hilang semalam di rumah itu. Kami pikir kalian terkurung di salah satu kamar di lantai dua," kata Ricky.

"Aaahhh... Harimau itu bisa berbicara!" jerit Silvi disambut jitakan di
kepalanya oleh Lina.

"Sudah jelas-jelas kita semua keluar dari rumah itu terus lari ke desa sana. Kita bersama melewati jalan yang membelah hutan itu," papar Rafika semakin membuat Johan dan kawan-kawan bingung. "Kalian tidak ingat?" tandasnya.

Johan, Lina, dan Ricky tercenung.
"Aku hanya ingat kalian berdua lari keluar setelah melihat tikus itu mati. Kemudian kami mendengar suara langkah naik ke lantai dua. Kami pikir itu kalian," tutur Lina.

"Jangan ngarang, lin. Setelah kamu mengalahkan tikus itu, kita semua lari keluar dari rumah. Kita semua
semalam setuju untuk pergi dengan jalan kaki ke desa terdekat itu. Eh, sejam setelah kita di desa, kalian bertiga tiba-tiba menghilang," tukas Rafika menjelaskan.

"Ini aneh," gumam Johan.

"Benar-benar aneh," timpal Ricky.

"Aaaa, aku takut harimau!" jerit Silvi.
Ketika mereka sedang terlibat perbincangan, Irman dan Rahayu bersama Rina menghampiri mereka.

"Jadi harimau ini adalah manusia?" ujar Irman sambil menatap bingung ke arah Ricky.

"Bukan, harimau ya tetap harimau. Di mana-mana juga pasti selalu begitu, kan?" tukas Lina sambil ter
kekeh.

"Mas, tolongin saya, dong. Saya tidak tahan dengan wujud ini. Rasanya susah sekali bergerak," kata Ricky sambil memutar-mutar badannya.

Irman menghampiri Ricky. Ia kemudian mengamati sosok Ricky yang saat ini adalah harimau itu.

"Coba kamu berdiri seperti biasanya,"
kata Irman.

"Seperti biasanya?" tanya Ricky bingung.

"Maksudnya berdiri seperti kita-kita ini, lho," tukas Irman.

"Oh begitu. Baiklah," ucap Ricky seraya mencoba berdiri dengan dua kaki yaitu kaki belakangnya.

Awalnya ia merasa kesulitan, namun setelah berdiri tegak sempurna
tiba-tiba wujudnya berubah ke wujud manusia. Perubahan wujud Ricky tersebut tentu membuat semuanya terkejut. Apalagi para gadis yang langsung membuang muka.

Kenapa?

"Astaga, kenapa aku jadi telanjang?!" pekik Ricky seraya dengan cepat berjongkok.

Irman menggeleng. "Ini persis
seperti werewolf. Jika berubah jadi binatang maka pakaiannya semuanya akan rusak dan terlepas."

"Lin, ambilkan tasku di mobil, dong. Semua pakaianku ada di sana," seru Ricky dalam posisi membelakangi para gadis.

Tiba-tiba Rahayu maju ke hadapannya seraya menyodorkan pakaian
yang masih terlipat. Ricky pun menerima pakaian tersebut. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih.

"Mbak Ayu melihat Dita?" ujar Rina seraya melihat ke arah matahari yang mulai bersinar.

"Dia sudah tercemar, rin. Dia terlalu lama berada di sana. Pasti Getah Damar telah
mengotorinya," tukas Rahayu.

"Getah Damar? Ada seseorang yang mengotori Dita dengan getah damar?" ucap Rina bingung.

"Bukan. Getah Damar itu nama Pangeran Demit di Rawa Gaib, yang membawa Dita ke istananya," tukas Rahayu.

"Terus bagaimana cara kita mengeluarkan Dita dari sana?
Sudah sekali aku bersama Laela ke sana, namun tidak berhasil membawa pulang Dita sama sekali," kata Rina seraya menghela nafas.

"Dita sudah keluar, rin. Tidak perlu dikeluarkan lagi," tukas Rahayu membuat Rina terkejut. "Sekarang dia menjadi entitas Pejalan Malam yang baru. Coba
temuin dia nanti di malam Jumat Kliwon di gerbang masuk Rawa Gaib," lanjutnya membuat Rina bergidik.

"Tapi, mbak. Kan dia sudah tercemar. Bukan tidak mungkin dia sudah tidak mengenaliku lagi," tukas Rina.

"Itu jelas, rin. Tapi kamu bisa bersama Laela menemuinya. Setidaknya
untuk melepas dan merelakannya," kata Rahayu membuat Rina menepuk dahi merasa kecewa.

Irman yang sedari tadi menguping pembicaraan Rahayu dan Rina langsung turut nimbrung.

"Aku akan melenyapkan Getah Damar. Aku ikut kamu, rin," ucapnya.

Rina dan Rahayu menatap bingung ke arah
Irman.

"Jangan ngarang kamu, man. Dengan melenyapkan Getah Damar tidak serta merta dapat mengembalikan Dita kembali menjadi manusia," kata Rahayu mengingatkan.

"Maaf, mbak. Aku tidak rela gadis secantik dia menjadi gundik pangeran demit. Aku rela menikahinya tidak peduli dia
sisa Wewe Gombel banci!" tegas Irman membuat Rahayu menepuk dahi.

"Dasar mata keranjang!" umpatnya.

"Kamu sudah jatuh hati pada Dita sejak melihat kembaran gilanya itu, kan?" ucap Rina ke Irman.

Irman hanya terkekeh.

Sementara Lina dan teman-teman sibuk dengan obrolannya.
"Paman pasti marah setelah aku pulang. Apa yang harus aku katakan padanya?" ucap Silvi sembari menatap ke arah Johan dan Rafika bergantian.

"Aku akan berbicara baik-baik dengan pamanmu, Silvi. Pak Erbi pasti akan memaklumi meski dia tidak percaya hal-hal gaib," tukas Johan.
Silvi menghela nafas. "Pamanku sudah terlalu lama tinggal di Amerika. Saat pulang ia membawa semua keyakinannya yang didapat dari pergaulannya di sana," ucapnya.

"Akan sulit meyakinkan pamanmu. Dia sudah kadung terkontaminasi rasionalisme," tukas Ricky. "Ah aku bicara apa, sih?"
"Dia akan percaya kalau kita bawa kemari untuk bertemu para penghuni wilayah ini," tutur Lina seraya tersenyum miring.

"Biasanya hantu tidak akan menampakkan diri di hadapan orang seperti Pak Erbi. Hantu kan hanya menampakkan diri di hadapan penakut dan memiliki masalah kejiwaan
kata para rasionalis," kata Johan.

"Bang, jangan bicarakan soal itu. Bahasanya terlalu berat. Pembahasanmu bukan untuk anak kecil," sergah Ricky. "Kami yang di sini bisa sakit kepala mendengar kata-katamu," lanjutnya.

Johan terkekeh. "Sebaiknya kita ke mobil. Jangan lupa
berpamitan pada mereka yang telah menolong kita."

"Memangnya mobil sudah bisa dihidupkan?" tanya Ricky.

"Barangkali sudah bisa. Kan sudah siang," tukas Johan seraya berlalu menuju kelompok Irman dan kawan-kawan.

Johan berjalan menghampiri Irman, dan sejenak ia tercekat melihat
sesosok nenek berkebaya oranye sedang berdiri di samping pintu benteng.

"Ada apa, mas?" tanya Irman yang heran melihat kedatangan Johan namun dilanjutkan dengan termangu.

Johan hanya menatap ke arah sosok nenek tersebut. Ia masih tidak berbicara.

"Nenek?" ucapnya pelan.
Beberapa saat kemudian. Di dalam mobil terjadi pembicaraan serius antara Johan dan Ricky. Juga dengan Irman dan Rahayu yang berada di luar.

"Pak Subhan memang benar. Tempat ini tidak bisa dipertahankan," ucap Irman dengan nada lirih.

"Nenek itu adalah salah satu Bala Pati. Dia
adalah yang terkuat. Jika kita memaksakan diri menghidupkan kembali desa ini, maka korban akan kembali berjatuhan," ucap Rahayu.

"Aku tidak percaya nenekku diserupai oleh demit. Tapi aku juga tidak percaya jika nenek masih hidup. Beliau sudah lama meninggal dalam kebakaran rumah
tiga tahun yang lalu bersama kakek," kata Johan sambil mengurut kening.

"Lagipula neneknya kak Johan jika pun masih hidup tentu tidak akan berada di sini, bukan?" tukas Lina yang duduk di belakang Johan.

Johan mengangguk mengiyakan.

"Bala Pati itu sebenarnya apa, sih, mbak?"
tanya Rafika penasaran ke Rahayu.

"Bala Pati itu pasukan demit yang berasal dari Paninggaran, sebuah kerajaan demit yang memiliki nama yang mirip dengan Kerajaan Paninggalan, kerajaan keluargaku," tukas Rahayu sambil menatap ke arah rumah kayu.

"Aku tidak mengerti," ucap Rafika
"Terus nenek itu sebagai apanya di Paninggaran? Sebagai juru rumpi?" ujar Ricky.

"Dia adalah ratu demit yang ke-#$@%#," tukas Rahayu dilanjutkan dengan kata-kata aneh.

"Bicara apa, sih?" kata Ricky bingung.

"Sebaiknya kita segera pulang. Lagipula kita harus bantu Silvi menemui
pamannya," ujar Johan seraya menyalakan mesin.

Tak lama kemudian mesin mobil berderu pertanda berhasil dinyalakan.

"Mohon maaf, nih. Mobilnya tidak cukup untuk membawa semuanya," ucap Johan seraya menatap ke arah Rahayu dan Irman juga Rina yang baru tiba bersama Pak Subhan.
"Tidak apa-apa. Kami tadi pagi kemari menumpang mobil losbak milik Pak Subhan. Mobilnya itu tuh," tukas Irman sambil menunjuk ke arah sebuah pikap yang terparkir di depan puing-puing rumah sakit.

"Mas Irman, kalau boleh tahu kenapa rumah-rumah di sini pada rusak bahkan sebagian
besar seperti habis mengalami kebakaran?" ujar Lina sambil melihat ke arah Irman.

"Biar saya yang menjawab, dik. Bala Pati yang menyebabkannya. Sekarang dusun ini harus dikosongkan bahkan seluruh desa. Jika tidak, akan ada kejadian yang sama yang akan terulang," tukas Rahayu.
"Kalau begitu kami mohon pamit. Terima kasih untuk bapak dan teman-teman yang telah rela datang kemari hanya untuk menolong saya dan teman-teman saya. Mohon maaf jika kami telah membuat kalian semua kerepotan," ucap Johan tatkala berada di luar mobil karena ingin berpamitan
secara sopan.

"Tidak masalah, nak. Lagipula kalian tidak tahu-menahu soal tempat ini. Tapi setelah kejadian ini tolong beritahu teman-teman kalian yang lain agar jangan coba-coba kemari jika tidak ingin berurusan dengan para penghuni sekitar desa ini," tukas Pak Subhan.
"Baik, pak. Kami akan sampaikan kepada para kenalan kami agar tidak datang kemari," tukas Johan kemudian menyalami Pak Subhan selanjutnya Rina, Irman, dan Rahayu.

Saat Johan menyalami Rahayu, mendadak ia merasa kepalanya agak pusing serta hidungnya rasanya seperti mengisap asap
berbau menyengat.

"Bang Johan?" ucap Ricky saat sedang menyalami Irman sembari melihat bingung ke arah Johan.

Rahayu yang sedang disalami Johan lantas menarik tangannya. Ia menatap seksama ke arah pemuda itu.

"Dewi Lajer mengincarmu. Kalian sebaiknya segera pergi," ucap Rahayu
"Dewi Lajer apa Dewi Razor?" ucap Ricky sambil menatap bingung ke arah Rahayu.

"Tidak usah nanya yang aneh-aneh!" sergah Lina yang berada di belakangnya.

Ricky dan Lina pun membimbing Johan masuk ke dalam mobil. Ricky pun bersedia menggantikan Johan menyetir mobil.
Setelah itu, mobil yang dikendarai Ricky melaju meninggalkan Rahayu dan yang lainnya yang masih berdiri terdiam di depan rumah kayu besar.

"Kita juga sebaiknya pulang. Para warga telah kembali ke desa. Tempat ini memang semakin tidak aman. Benteng yang dibangun Pak Dodi di bekas
rumahnya tidak ada artinya sama sekali. Itu sama sekali tidak mampu membendung serangan demit dari gerbang Alas Kawuni barat daya," ucap Pak Subhan.

Irman yang mendengar kata-kata Pak Subhan hanya terdiam. Sementara Rina yang berada di sampingnya hanya menghela nafas.
Mereka pun beranjak meninggalkan Desa Cikahuripan yang kini menjadi desa mati. Apapun yang telah terjadi di desa itu akan dilupakan sedalam-dalamnya oleh mereka yang pernah mengalami tragedi di sana.

Langkah radikal pun dilakukan. Salah satunya adalah menghancurkan jembatan
yang menghubungkan desa itu dengan dunia luar.

Lalu bagaimana dengan rencana Irman dan Rina untuk mencari Dita?

Mereka seolah telah melupakan niat itu hingga pada suatu malam di Desa Kayu Jati.

Rina yang saat ini bekerja di puskesmas desa setempat juga tinggal di salah satu
rumah sewaan milik Pak Subhan.

Malam itu ia sedang bekerja di puskesmas. Setelah selesai dengan pasien terakhir, ia menunggu beberapa saat sebelum jam shift-nya selesai.

Ia sejenak menatap keluar tepat ke arah sebatang pohon yang tidak terkena pencahayaan lampu di depan
puskesmas.

Ia melihat sesosok nenek-nenek berkebaya oranye sedang berdiri menatap ke arahnya.

Rina pun lantas menuju depan puskesmas agar dapat melihat dengan jelas siapa nenek tersebut.

"Nek, ada yang bisa saya bantu?" ujar Rina ketika ia mencapai tempat di mana nenek itu
berdiri.

Nenek tersebut tidak menyahut. Ia malah menatap tajam ke arah Rina membuat gadis itu menjadi bingung.

"Nek, kenapa menatap saya seperti itu?" tanya Rina penasaran.

"Kawula sumping arek neang salira!" (Aku datang untuk menjemputmu!) tukas nenek itu dengan suara berat.
"Aaaaaahhhhh.......!!!"

Warga desa malam itu langsung geger saat mendengar suara teriakan keras dari arah depan puskesmas. Mereka berbondong-bondong ke arah puskesmas.

"Rina!! Kamu di mana?" teriak Irman yang tampak panik sembari mencari-cari.

"Celaka! Dewi Lajer mendatangi
desa ini juga!" ucap Pak Didin dengan panik.

"Siapa yang sudah membawa iblis itu kemari!" teriak salah seorang warga yang mendengar perkataan Pak Didin.

Rahayu yang turut mendatangi lokasi kejadian hanya bisa mengeluh prihatin. Ia menyesal tidak menemani Rina sewaktu di
puskesmas.

"Aku harus mencari Rina. Pasti Dewi Lajer membawanya ke Paninggaran!" ucap Rahayu seraya berlalu dengan langkah cepat.

"Rahayu, tunggu!" seru Irman sambil berlari mengejar Rahayu. "Aku ikut," lanjutnya.
Tap, tap, tap

Rahayu bersama Irman berjalan setengah berlari melewati jalur menuju tengah hutan Alas Kawuni. Mereka sedang mencari Rina yang dibawa pergi Dewi Lajer.

Mencapai reruntuhan dengan pepohonan yang hangus dan tinggal setengah, mereka kemudian berhenti.
"Jika waktu bisa diulang, aku ingin yang berada di sana menggantikan Rasmi menghadapi Saba Raka. Gadis itu tidak seharusnya mengorbankan diri seperti itu," ucap Rahayu sembari mengedarkan pandangan.

"Apa mbak tidak ingat di mana tepatnya pintu masuk istana Paninggalan?" tanya
Irman sambil menatap Rahayu.

"Itu sudah lama sekali. Kerajaan Paninggalan sudah lama musnah di tangan Bala Pati kiriman Prabu Shoka Lima," tukas Rahayu. "Aku tidak ingat sama sekali pintu itu letaknya di mana."

Irman menghela nafas.

"Aku akan mencoba mencarinya tapi mbak
bantu aku dengan mengingat tempat-tempat yang mungkin dapat menjadi petunjuk untuk kita menemukan Rina. Bahkan untuk menemukan Dita," kata Irman.

"Baiklah, man. Ayo kita telusuri pusat hutan ini," tukas Rahayu setuju.
Mereka berdua kemudian mulai menelusuri situs yang ditengarai bekas istana kerajaan itu. Dimulai dari tunggul pohon besar yang hangus dengan keris menancap di sana.

"Kalau keris itu kita cabut, apa yang akan terjadi, mbak?" ujar Irman sambil melihat ke arah keris milik Rasmi.
"Tidak ada yang akan mencabut keris itu, dan tidak akan pernah bisa. Meskipun kamu meledakkan pohon itu dengan senjata terkuat di dunia," tukas Rahayu optimis.

"Mbak berlebihan sepertinya. Tidak ada yang mustahil, mbak. Termasuk dengan keris itu," sanggah Irman.
Rahayu terkekeh. "Kamu benar. Ayo kita lanjutkan pencarian," ucapnya.

"Mbak bukannya bisa membawa kita langsung ke alam gaib. Kenapa tidak menggunakan cara itu saja?" tanya Irman.

"Jangan bodoh. Aku harus menjadi Sangkapati jika ingin pergi ke alam gaib. Kau sudah pernah
menghadapiku dalam wujud Sangkapati, bukan?" tukas Rahayu.

"Susah juga, ya," gumam Irman.

Mereka berdua kemudian mencapai sebuah tempat dengan banyak pohon beringin tumbuh di sana. Pepohonan tersebut dikelilingi tembok yang tinggal setengah dan berlumut juga diselimuti semak-
semak.

Terdapat juga gugusan bebatuan dengan bercak-bercak merah.

"Darah Rasmi?" ucap Irman tertegun.

Rahayu menghentikan langkahnya menatap ke arah bebatuan itu.
"Rasmi waktu itu menghantam bebatuan ini. Anehnya dia dapat bertahan meski kepalanya terluka parah. Apa ada sesuatu di balik gundukan bebatuan ini?" ucapnya sambil melihat ke arah gundukan batu di antara gugusan bebatuan.

"Aku akan mencoba menggalinya," tukas Irman seraya
menghampiri gundukan batu itu.

Ia pun segera menggali gundukan batu dengan tombaknya. Lama ia menggali hingga akhirnya ia berhenti tiba-tiba.

"Aku menemukan ini, mbak," ucapnya seraya memperlihatkan sebuah mahkota terbuat dari emas yang terlihat kusam karena lama terkubur.
Mahkota tersebut merupakan mahkota raja yang dapat dikenakan baik oleh raja maupun ratu. Mahkota tersebut tampaknya memang milik kerajaan keluarga Rahayu yang telah lama menghilang.

"Itu mahkota mendiang ayahanda. Bagaimana mungkin itu selama ini terkubur di sini?" ucap Rahayu.
"Mau kita apakan mahkota ini, mbak? Mau dikembalikan ke tempat semula?" tanya Irman.

"Sebaiknya kamu simpan, man. Barangkali itu akan kita butuhkan nanti. Tentunya bukan untuk mendirikan kerajaan seperti keinginan Saba Raka," tukas Rahayu. "Barangkali kalau kita gali lebih
dalam lagi, kita akan menemukan apa yang kita cari," tambahnya.

Irman kemudian menyimpan mahkota itu ke dalam tas yang ia gendong.

Selanjutnya ia kembali menggali. Setelah beberapa lama kemudian mata tombaknya menyentuh sesuatu yang ganjil di dalam lubang bekas galiannya.
Di tempat lain, di suatu kota yang baru berkembang, Lina bersama Johan dan Ricky terpaksa menginap di rumah pamannya Silvi. Hal itu dikarenakan ada perdebatan panjang antara Johan dan teman-teman dengan Pak Erbi, pamannya Silvi.
"Kalian ini sudah stres! Kok percaya sekali dengan hal yang sebenarnya tidak ada!" ucap Pak Erbi dengan nada tinggi.

"Sudah berapa kali saya bilang, pak. Saya bersama Silvi dan teman-teman benar-benar mengalaminya. Kalau tidak ya mana mungkin kami sampai telat pulang begini,"
tukas Johan gusar.

"Alah, bohong! Hantu itu tidak ada! Setan itu tidak ada! Jangan bicara ngawur dengan saya!" kata Pak Erbi sambil menatap tajam ke arah Johan.

"Paman, sudahlah. Kalau memang masih tidak percaya kenapa tidak paman abaikan saja? Juga bang Johan, tolong jangan
ngotot," ucap Silvi mencoba menengahi.

"Masalahnya Pak Erbi ini memarahi kamu terus, vi. Aku hanya menjelaskan yang sebenarnya. Tidak menambah-nambahi apalagi mengarang cerita," kata Johan.

"Kalian para bocah ingat ya! Sesuatu itu ada jika kita berpikir bahwa itu ada. Begitu
pun sebaliknya. Apa yang kalian pikir ada itu hanyalah prasangka dari pikiran kalian," kata Pak Erbi.

"Sudah malam. Apa tidak sebaiknya kita sudahi obrolan ini?" ucap Lina mencoba menengahi.

"Pak Erbi, saya tidak masalah jika anda berpikir seperti itu. Tapi tolong jangan
racuni pikiran anak-anak dengan kalimat-kalimatmu. Anda akan bertanggung jawab jika mereka menjadi bimbang atas keyakinan mereka!" kata Johan tegas.

Pak Erbi menatap sengit ke arah Johan.

"Itu tergantung mereka mau dengar kata saya atau tidak," katanya.

"Umm, sebenarnya
kalian sedang bahas apa, sih? Aku nggak mudeng," timpal Ricky yang sebelumnya sibuk dengan game di smartphone.

"Kamu maniak game tidak usah tahu urusan orang tua!" sergah Pak Erbi.

"Saya perlu tahu juga, pak. Tadi bapak bilang bahwa setan itu tidak ada. Kalau saya percaya
seratus persen bahwa setan itu ada," kata Ricky dengan mantap.

"Kalau setan itu benar-benar ada tunjukkan pada saya bagaimana wujudnya dan di mana sekarang!" tantang Pak Erbi sambil melotot ke arah Ricky.

"Lah, itu setannya," pungkas Ricky sambil menunjuk wajah Pak Erbi.
Diceritakan di post sebelumnya bahwa Johan dan kawan-kawan terpaksa menginap di rumah paman Silvi. Namun saya mengubah jalan ceritanya karena Ricky sudah kadung membuat Pak Erbi marah.

Akhirnya mereka minus Silvi terpaksa pergi dengan waswas. Mereka takut Silvi akan kenapa2.
"Pamannya Silvi memang edan. Tidak percaya kalau setan itu ada tapi dianya malah mirip setan," ucap Ricky di dalam mobil tatkala mereka sedang bimbang karena akan meninggalkan Silvi.

"Tidak seharusnya kamu membuatnya marah, rick. Lihat kita jadi terlantar begini," sergah Rafika
"Aku hanya ingin menghentikan perdebatan bang Johan dan dia yang tidak berkesudahan itu. Pusing aku dengernya. Sudah begitu, dia nyerocos kayak bekicot dibakar aja," tukas Ricky.

"Untuk itu aku minta maaf. Aku hanya bingung harus bilang apa agar Silvi tidak lagi dimarahi," kata
Johan.

"Bicara dengan orang seperti pamannya Silvi memang tidak mudah. Sepertinya kita hanya perlu menunggu sesuatu terjadi dulu. Aku merasakan ada yang mengikuti kita sejak dari desa kosong itu," ucap Lina membuat Ricky dan Rafika mendelik ke arahnya.
"Jangan mulai lagi, lin!" sergah Rafika. "Sudah cukup kejadian yang di desa itu. Jangan sampai itu terjadi lagi," lanjutnya.

"Lin, aku kok jadi kepikiran pada gadis semampai itu ya. Dia yang datang bersama Irman dan Pak Subhan. Dia..." kata Johan tidak dilanjutkan karena
dipotong Ricky.

"Dia memangnya kenapa, bang? Cantik ya? Pasti bang Johan naksir dia. Hahaha," cerocos Ricky seraya tertawa.

"Bukan begitu. Okelah aku naksir dia tapi bukan itu intinya. Dia memiliki nama yang mirip sama nama kamu, lin," kata Johan menjelaskan.
"Maksud kak Johan? Namanya mirip dengan namaku tapi maksudnya apa?" tanya Lina heran.

"Kamu ingat dengan nama Paninggalan dan Paninggaran? Keduanya mirip tapi berada di alam yang berbeda," jelas Johan.

"Lantas?" ucap Lina.

"Dua orang yang pernah berada di tempat yang sama
mengandung unsur mistik bisa jadi salah satunya akan atau sedang di alam lain. Tapi entah kenapa aku mengatakan hal ini. Ini sangat aneh," kata Johan.

"Jangan membuat semua orang bingung, bang. Kami jadi pusing mendengarnya," sergah Ricky.

Lina tampak tercenung setelah
mendengar perkataan Johan. Ia mencoba mencerna kata-kata Johan.

"Duuh, kok malah pada diam, sih?" rengek Rafika merasa tidak nyaman dengan suasana saat ini.

Tiba-tiba dari arah rumah pamannya Silvi terdengar suara ribut disusul suara jeritan Silvi.

"Aaaaaaahh, toloooong!!"
"Silvi!" pekik Johan seraya keluar dari mobil kemudian berlari ke arah rumah Pak Erbi.

Ricky, Lina, dan Rafika pun menyusul. Mereka tergopoh-gopoh mencapai rumah di mana Silvi berada.

Mereka terhenyak saat menyaksikan Pak Erbi mengamuk sembari mengeluarkan suara auman seperti
harimau.

Sementara Silvi tampak terpojok di sudut ruangan saat Pak Erbi sedang mengamuk. Tampaknya pamannya Silvi tersebut sedang kerasukan.

"Silvi, bertahan di sana. Aku akan memancingnya!" teriak Johan seraya menghadang laju Pak Erbi.
"Hati-hati, kak Johan. Aku melihat sesuatu yang mengerikan di dalam Pak Erbi!" seru Lina seraya mendekati Ricky.

Ricky yang didekati Lina tampak heran.

"Kamu mau apa!" katanya.

"Kamu diam saja, rick. Kita lihat apa yang akan dilakukan makhluk itu di dalam tubuh Pak
Erbi," ucap Lina.

Sementara Johan tampak sibuk mengalihkan perhatian Pak Erbi agar tidak terus-terusan mengejar Silvi. Ia menggunakan sapu untuk menghalau Pak Erbi.

"Hei, musuhmu di sini!" serunya seraya memukul Pak Erbi dengan sapu.

Rrroaaaarrrrr.....

Pak Erbi mengaum.
Pak Erbi melompat ke arah Silvi. Johan menghadangnya dengan cepat. Ia lantas mendorongkan gagang sapu ke Pak Erbi.

Rrrooooaaaarrrrr....

Pak Erbi mencakarkan tangannya ke arah Johan.

"Whoaaa!" Johan terlonjak kemudian mundur.

Lina yang melihat itu mendadak menepuk dahi
Ricky.

"Hei!" Ricky berseru pendek sebelum ia kerasukan jin harimau yang beberapa waktu lalu merasukinya.

Ricky yang kerasukan melompat dengan garang ke arah Johan.

"Woooyy, jangan serang gueee!" pekik Johan seraya mundur menjauh.

Kini Ricky pun berhadapan dengan Pak Erbi
"Lina, apa kamu mendengar sesuatu?" ucap Rafika saat menyaksikan pertarungan antara Ricky dan Pak Erbi.

"Aku hanya dengar suara mereka berdua dan suaramu," tukas Lina.

"Aku mendengar seperti suara nenek-nenek sedang berbisik," kata Rafika sambil mencoba menelusuri asal suara
'Huaheeehehe, kula datang pikeun anjeun' (aku datang untukmu)

Rafika bergidik mendengar suara tersebut terus merangkul tangan kiri Lina.

"Fika? Kamu mendengar apa, sih?" Lina menengok ke arah Rafika dengan bingung.

"Suara nenek itu muncul lagi, lin. Duuh, mana cuma aku yang
mendengarnya," tukas Rafika dengan cemas.

Lina yang penasaran mencoba memperdengarkan apa yang didengar Rafika.

Sementara Johan telah berhasil membawa Silvi keluar dari rumah. Ia pun lantas meminta Rafika dan Lina ikut keluar juga.

"Fika, Lina, ayo. Bahaya kalau di dalam
terus!" serunya.

Brakkkkk,

Tiba-tiba Pak Erbi terlontar menghantam pintu setelah diterjang Ricky.

Grrrrrrrr....

Sosok harimau dalam diri Pak Erbi mengaum. Di saat itu pula sesosok nenek-nenek berwajah hancur muncul, menyerang Ricky dengan telekinetik.

Ricky terlempar
menghantam jendela kaca hingga hancur. Ricky pun terjatuh di halaman setelah menabrak jendela tersebut.

"Ouuwwww, sakit sekali!" ringis Ricky mendadak sadar dari kerasukannya.

Lina bersama yang lain lantas menghampiri Ricky.

"Ricky!" ucap Lina.

"Kenapa aku di sini?" tanya
Ricky sambil berusaha bangun.

"Astaga!" Silvi berteriak saat melihat sesosok nenek berwajah hancur di belakang Ricky.

"Ricky! Lari!" teriak Rafika.

Lina yang berada paling depan lantas menggapai Ricky dan menariknya menjauh.

"Dia menyerangku?" ucap Ricky seraya berlari.
"Dia majikan harimau itu!" pekik Lina saat melihat Pak Erbi dengan patuh menghampiri sosok mengerikan itu.

"Kita harus segera pergi! Ayo!" kata Johan seraya berlari diikuti yang lain.

Mereka segera memasuki mobil yang terparkir di pinggir jalan. Setelah itu, Johan segera
melajukan mobilnya.

"Apa mereka mengejar kita?" ujar Johan sambil memacu mobilnya.

"Entahlah, kak. Tapi aku masih merasakan aura kehadiran sosok itu," tukas Lina.

"Mereka mengikuti kita, bang. Tapi mereka tidak menampakkan diri," ucap Ricky membuat semuanya bingung.

"Pak
Erbi juga tidak menampakkan diri?" tanya Lina penasaran.

Ricky tidak segera menjawab. Ia tampak melihat-lihat keluar jendela. Ia terhenyak saat melihat Pak Erbi melayang di pinggir jurang dengan seutas tali tambang melilit di lehernya dan menggantungnya.

"Lihat itu!" ujarnya.
"Allahu akbar!" pekik Johan saat menengok ke arah sosok Pak Erbi yang menggantung.

"Paman!!" teriak Silvi histeris.

"Na'udzubillahi min dzaalik!" pekik Rafika.

Lina yang tampak kaget segera menguasai keadaan.

"Itu bukan Pak Erbi. Itu hanya tipuan yang dibuat nenek itu,"
ucapnya.

Semua orang melihat ke arahnya, kecuali Johan yang fokus mengemudi.

"Hati-hati, kak. Bisa saja ia muncul di depan," kata Lina sambil melihat ke arah kaca depan.

Benar saja, tiba-tiba sosok nenek berwajah rusak muncul di kaca depan.

"Whoaaaa!" Johan lantas
menginjak rem.

"Aaaahhh....!" Silvi dan Rafika menjerit.

"Jurang!" teriak Lina saat menyadari mobil berhadapan dengan jurang yang dalam.

Johan segera menghentikan mobilnya. Ia kemudian memundurkan kendaraannya.
"Di mana makhluk itu?" ucap Johan sambil mengarahkan mobilnya ke jalur semestinya.

"Kak Johan, hati-hati. Aku merasakan itu masih ada di sekitar sini," kata Lina sambil melongok ke belakang.

Di belakang mobil hanya gelap tanpa penerangan selain lampu belakang.
Saat kembali melihat ke depan, mendadak teman-temannya tidak ada di dalam mobil. Tidak hanya itu, Lina pun kini tidak berada di dalam mobil, melainkan sedang duduk di sebuah bangku taman di suatu taman yang baginya tidak asing.

"Lho, ini kan Taman Ramayana?" ucapnya.
"Teman-teman, kalian di mana?" serunya sambil bangun dari duduknya.

Ia kemudian melangkah melewati jalan kecil di taman tersebut. Ia sejenak berhenti saat mendengar suara tangisan dari sebuah bangunan di utara taman.

"Rumah itu? Seingatku di sana tidak ada rumah," gumamnya.
Tiba di depan rumah itu, Lina melihat seorang gadis kecil berpakaian serba merah sedang bersimpuh di depan pintu. Gadis itu rupanya yang barusan terdengar tangisannya.

Lina penasaran. Ia mendekati gadis itu tanpa curiga.

"Dik, kamu kenapa? Tidak bisa masuk rumah, kah?" ucap
nya sambil mendekati gadis cilik yang sedang menangis itu.

Si gadis berusaha menghentikan tangisnya. Sembari terisak, ia mengangguk.

"Ibu, dan ayahmu ada di dalam, kah?" tanya Lina sembari menatap penasaran ke arah gadis itu.

Si gadis hanya diam namun masih terisak sembari
menyeka kedua matanya.

Lina yang merasa penasaran lantas mengetuk pintu dengan harapan pemilik rumah mendengarnya.

Tok, tok, tok, ketukan pintu berkali-kali tidak mendapatkan respons apapun.

Lina pun berinisiatif membuka pintu tersebut. Ketika kunci angin diputar, pintu
ternyata dapat dibuka.

Dari balik pintu terlihatlah ruangan gelap tanpa pencahayaan sama sekali. Namun, betapa terkejutnya Lina saat melihat dua sosok tubuh tergantung di langit-langit dengan tali tambang.

Ia terperangah melihat itu. Kedua mayat yang tergantung itu adalah
laki-laki dan perempuan berusia di atas 30 tahun. Keduanya tampak membusuk dengan lalat nengerubungi dibarengi bau busuk yang menyengat.

Saat menengok ke si gadis, Lina terperanjat karena gadis itu sudah tidak ada.

Saat mengembalikan pandangan, ia kembali terperanjat saat
melihat si gadis itu terbujur dengan leher hancur di bawah mayat kedua orangtuanya.

"Na'udzubillahi min dzaalik!" seru Lina seraya mundur.

Brakkk!!

Tiba-tiba pintu tertutup membuat Lina tidak melanjutkan langkahnya. Ia lantas berbalik kemudian mencoba membuka pintu.
Sia-sia saja. Lina tidak dapat membuka pintu tersebut. Ia hanya menggedor-gedor pintu setelah gagal membukanya.

Kemudian terdengar suara seperti seseorang sedang berbisik. Lina lantas melihat ke arah sumber suara. Namun tidak ada apa-apa di sana.

"Apa aku sedang dipermainkan?
Apapun itu pasti tidak bisa dianggap remeh," gumamnya seraya menyoroti seluruh ruangan dengan senter hp-nya.

Tidak ada apa-apa di ruangan itu selain ketiga mayat yang dalam kondisi mengerikan itu.

Mendadak terdengar suara lirih dari atas plafon. Seperti suara tangisan namun
dengan nada yang berat.

'Hiiiihhhiiii....'

Suara lirih dengan nafas berat itu terdengar mengerikan di telinga. Lina meyakini suara tersebut berasal dari sesuatu yang mengerikan.

Benar saja. Saat ia mendongak ke arah plafon, terlihatlah sesosok perempuan berambut panjang
dengan kedua matanya menyala merah, melihat ke arah Lina.

"Haaaa?" Lina tercekat melihat sosok tersebut.

Mendadak sosok itu menghilang, namun suara rintihannya masih terdengar.

'Hiiiiihhhhiiii....'

Lina mencari-cari sumber suara yang kini berpindah-pindah.
Tiba-tiba seraut wajah mengerikan muncul di hadapan Lina. Jumpscare tersebut sukses membuat Lina berteriak kaget.

"Aaaahhh!" Lina lantas mundur. Ia pun waspada. "Sial! Kenapa aku jadi dipermainkan begini!" umpatnya.

Lina mencoba mencari cara untuk menemukan sosok mistis itu.
Di saat ia sedang sibuk mencari-cari keberadaan sosok mistis itu, mendadak terdengar suara riuh dari arah halaman depan rumah itu. Lina lantas menyorotkan senternya ke arah luar rumah melalui kaca jendela tanpa gorden.

Ia melihat setidaknya ribuan bahkan lebih binatang-binatang
terbang seperti tawon namun dalam ukuran yang besar terbang ke arah rumah.

Lina lantas panik karena tawon-tawon besar itu berhamburan menerjang kaca jendela hingga retak-retak.

Tak, tak, tak, tak, ribuan tawon besar itu menabraki kaca jendela. Sementara Lina di dalam terlihat
sangat panik. Ia mencoba mencari tempat bersembunyi. Karena bagaimana pun tawon-tawon tersebut pasti sangat ganas dan agresif.

Di saat itu pula, Lina tidak lagi mendapati serangan kejutan dari sosok Wewe Gombel yang sebelumnya menakutinya.

Ia kemudian menuju tangga naik yang
berada tepat di samping dua mayat yang tergantung.

Ia menaiki tangga tersebut kemudian menelusuri ruangan di lantai dua rumah tersebut. Ia lantas menemukan sebuah kamar yang pintunya dapat dengan mudah ia buka.

Ia pun memasuki kamar dan menguncinya dari dalam.

Dari dalam kamar
dapat terdengar suara dengungan tawon-tawon besar itu mengitari kamarnya. Artinya tawon-tawon tersebut berhasil memasuki rumah.

Lina dapat mendengar tawon-tawon itu sedang menabraki pintu kamar di mana ia saat ini berada.

"Celaka, tawon-tawon itu mengincarku! Apa yang harus
aku lakukan agar dapat keluar dari sini? Aku juga ingin kembali pada teman-temanku," keluhnya seraya mencoba memikirkan cara agar ia dapat keluar dari tempat itu.

Mendadak terdengar suara benda jatuh di belakangnya. Ia lantas menoleh ke belakang dan melihat sebuah rak penuh
dengan buku. Rupanya ada salah satu buku yang cukup tebal jatuh dari rak.

Lina lantas menghampiri buku tersebut dan mengambilnya. Buku tersebut bersampulkan kulit dengan warna cokelat agak kusam. Di bagian depan sampul buku tersebut terdapat judul bertuliskan 'BERTEMU DIA'.
Lina kemudian membuka buku tersebut dan membaca isinya yang rupanya sulit ia fahami. Isi buku tersebut sama seperti kebanyakan isi buku pada umumnya. Hanya saja padanan katanya seperti acak atau tidak padu.

Misalnya : dia di keremangan senja kutemui yang terbersit saja....
Lina mengernyitkan kening. Tidak mengerti dengan kalimat-kalimat yang baru ia baca dari buku tersebut. Namun ia merasa kepalanya seperti terasa berat setelah membaca tulisan tersebut.

Mendadak terdengar suara hantaman benda keras ke arah pintu kamar di mana ia berada.
Tentu saja Lina terkejut bukan main. Ia lantas mundur sembari membawa buku tersebut. Kepalanya terasa semakin berat saja. Apalagi setelah ia membaca lanjutan dari kalimat yang sebelumnya ia baca.

'Senja hari, melaut, di tepi danau, kakek tua, jernih, Rawuk, Ki'
Lina mendadak merasakan pandangannya gelap setelah membaca kata terakhir dari kalimat tersebut. Ia kini tidak dapat melihat tulisan-tulisan di halaman buku itu. Padahal lampu senternya terus menyorot ke arah halaman buku.

"Aaahhhh, kenapa jadi begini!" ucapnya panik.
Lina terhuyung kemudian bertumpu pada rak di hadapannya. Sementara suara hantaman itu kembali terdengar membuat lantai yang dipijaknya terasa bergetar.

"Duuuh, apa yang harus aku lakukan? Ayo berpikirlah, Lina!" geram Lina sembari menjambak rambutnya sendiri. "Mbak Rahayu!"
Lina tanpa sadar menyebut nama 'Rahayu'. Padahal ia tidak begitu mengenal wanita asing yang ditemuinya di desa kosong itu.

Entah kenapa ia menyebut nama itu begitu saja, seolah itu bisa membantunya keluar dari rumah horor yang saat ini sedang dikerubungi tawon-tawon besar.
Brakkk,

Pintu terdengar berderak seperti dihantam oleh sesuatu yang besar dan berat. Lina lantas melihat ke arah pintu itu dengan cemas meski pandangannya masih gelap efek dari membaca tulisan di buku misterius itu.

Di saat itu juga, mendadak ia merasa tubuhnya seperti tertarik
menembus lantai yang dipijaknya. Lina pun terperosok ke dalam lantai padat untuk selanjutnya menghilang dari dalam kamar tersebut tepat ketika pintu kamar berhasil didobrak oleh sesuatu berpostur tinggi besar membawa kapak.

Sosok besar itu rupanya yang mendobrak pintu kamar.
Sosok tinggi besar itu menggeram keras ketika tahu buruannya telah menghilang dari dalam kamar.

'Groaaaarrrrrr'

~~~ S ~~~
Rahayu dan Irman tersentak seraya mundur saat seseorang tiba-tiba muncul keluar dari permukaan tanah.

"Lho? Itu, kan?" Irman menatap ke arah sosok yang baru muncul itu.

"Kamu bukannya yang tersesat di desa?" Rahayu menatap ke arah Lina yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Aku sedang di mana ini? Kok bisa tiba-tiba di sini?" ucap Lina seraya melihat sekeliling dengan bingung.

"Hei, lihat ke sini. Dengerin kami," kata Irman membuat Lina tersentak.

"Haah, kalian? Sedang apa kalian di sini?" tanya Lina dengan raut wajah bingung.

"Seharusnya kami
yang bertanya begitu," tukas irman.

"Kamu habis dari mana? Sepertinya ada sesuatu yang gawat yang kamu alami," kata Rahayu sembari menghampiri Lina.

"Uhh, aku sendiri juga bingung kenapa aku bisa begini, dan tiba-tiba jadi ada di sini," tukas Lina.

Rahayu tertegun saat melihat
buku yang dibawa Lina. "Kamu dapat buku itu dari mana?"

Lina terpaku sejenak kemudian melihat ke arah buku yang digenggamnya. "Buku aneh, mbak. Aku tidak mengerti kata-katanya."

"Boleh kupinjam?" tanya Rahayu.

Lina mengangguk kemudian menyerahkan buku itu.

"Itu sebuah relik,"
ucap Irman sembari mengamati buku itu.

"Lebih dari itu, man. Buku ini berisi mantra-mantra sakti yang disamarkan dengan tulisan-tulisan modern. Itulah dia kenapa tulisan-tulisannya sangat membingungkan ketika dibaca. Namun satu hal yang sangat penting adalah, munculnya buku ini
menjadi pertanda yang tidak baik," jelas Rahayu membuat Lina dan Irman menggeleng tidak mengerti.

"Maksudnya, mbak?" tanya Lina.

"Dewi Lajer menuntunmu ke alam lain yang disebut Batang Rotan. Tujuannya tidak lain agar kau mengambil buku ini untuk selanjutnya ia akan mengambil
sendiri buku ini darimu setelah kamu berhasil keluar dari Batang Rotan," tutur Rahayu.

Lina terkejut, lantas berucap, "Apa yang akan terjadi jika buku ini aku serahkan padanya?"

Rahayu terdiam sejenak. Ia lantas melihat ke arah buku itu.
"Dewi Lajer adalah tangan kanan penguasa Paninggaran. Ia adalah lelembut terkuat yang dapat mengalahkan Saba Raka hanya dengan umpatan. Jika buku ini jatuh ke tangannya, maka dunia manusia akan bercampur dengan dunia para lelembut. Itu akan buruk mengingat lebih banyak manusia
penakut daripada pemberani," jelas Rahayu.

"Apakah itu gawat?" tanya Irman.

"Jelas, man. Bagaimana tidak gawat. Coba kamu bayangkan manusia setiap hari harus bertarung dengan sesuatu yang tidak dapat disentuh, didengar, dan dilihat. Apalagi tujuan Dewi Lajer sudah jelas, yaitu
membenturkan manusia dengan lelembut. Setelah itu, ia akan leluasa menguasai dunia manusia dan lelembut secara bersamaan," terang Rahayu.

"Terdengar aneh dan berlebihan. Tapi itu bisa jadi benar," gumam Irman.
"Terus apa yang harus kita lakukan?" tanya Lina.

"Kita? Kamu nggak. Ini sudah tugasku untuk menghadapi Dewi Lajer. Oh, iya, buku ini kamu pegang. Hanya kamu yang bisa menjaganya," kata Rahayu sembari memberikan buku ke Lina.

Lina hanya tercengang setelah Rahayu memberikan buku.
"Apa ini tidak salah, mbak? tanya Irman. "Kita meresikokan keselamatannya demi buku tidak jelas itu. Kenapa bukan kita saja yang menjaganya?"

Rahayu menatap ke arah Irman. "Hanya Lina yang bisa menjaga buku itu karena dia yang menemukannya. Di samping itu, ada teka-teki yang
harus ia pecahkan mengenai pengalamannya di Batang Rotan. Mungkin itu hanya ilusi tapi di masa lalu bisa jadi itu adalah hal nyata."

Lina menggernyitkan kening mendengar perkataan Rahayu. Ia pun teringat dengan mayat-mayat keluarga muda itu. Ia memang sempat berpikir jika itu
hanya ilusi. Begitupun dengan rumah yang berada di dekat taman itu.

"Sebaiknya kita bergerak. Kita harus menemukan Rina. Dewi Lajer pasti membawanya ke Paninggaran. Kita masih tiga gerbang lagi menuju keraton Paninggaran," ucap Rahayu membuat Lina terkejut.

"Apa?" ucapnya.
"Mungkin sebaiknya hanya aku yang pergi ke sana. Kamu antarkan Lina kembali ke teman-temannya, man," kata Rahayu lantas disambut sanggahan Irman.

"Pergi ke sana akan sangat berbahaya jika sendirian, mbak. Lagipula apa kita tidak sebaiknya mengantar Lina bersama-sama?" ucapnya.
Rahayu menatap ke arah Irman. Pandangan kedua matanya seolah menyiratkan suatu hal yang sulit ditebak.

Irman seolah memahami makna dari tatapan Rahayu yang baginya tidak biasanya.

"Baiklah, mbak. Aku akan mengantar Lina sekalian mencari teman-temannya. Aku berharap mbak dapat
menjaga diri baik-baik. Pesanku, tolong jangan bertindak bodoh," ucap Irman dengan nada bergetar.

Sementara Lina yang menyaksikan hal tersebut menjadi bingung karenanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan Irman dan Rahayu.

"Aku akan menemukan Rina, dan secepatnya
mengantarnya kepada kalian," tukas Rahayu seraya bersiap pergi.

"Mbak Rahayu," ucap Lina pendek seraya menatap ke arah Rahayu yang menghentikan langkahnya seraya menoleh ke arahnya. "Tolong kembalilah dengan selamat."

Rahayu hanya menatap Lina seraya tersenyum. Selanjutnya ia
pergi meninggalkan Irman dan Lina yang sedang terpaku.

"Aku tidak mengerti ada apa sebenarnya," ucap Lina.

"Tidak usah dipikirkan. Ayo kita pergi. Teman-temanmu pasti sedang mengkhawatirkanmu," tukas Irman seraya beranjak sembari menggandeng Lina ke arah berlawanan dari
jalurnya Rahayu.

Mereka berdua melewati jalur yang diapit dua dinding tebal bebatuan yang tinggi. Jalur yang dilewati pun terkadang menanjak dan menurun.

"Kami sudah melewati jalur ini sekitar dua jam yang lalu. Artinya kita selama dua jam akan melewati jalur ini hingga keluar
dari jalan di tengah-tengah parit ini," ucap Irman seraya melangkah di belakang Lina.

Sementara Lina tidak menyahut. Ia fokus dengan suara-suara aneh di sekitar jalur yang ia dan Irman lewati.

"Suara-suara itu berasal dari roh-roh yang terjebak di atas parit ini. Mereka sedang
berteriak meminta sang penguasa semesta membebaskan mereka dari kungkungan itu," ucap Irman membuat Lina menggernyitkan kening.

"Kau benar-benar percaya kalau roh bisa bersuara?" tanya Lina.

Irman menggeleng. "Aku hanya pernah mendengar dari para pemabuk itu. Kata mereka roh
yang terperangkap akan menjerit-jerit minta dibebaskan."

Lina tertawa kecil seraya menggeleng. Ia terus melangkahkan kedua kakinya hingga dua jam kemudian tiba di depan mulut sebuah goa dengan pernak-pernik menyeramkan menghiasi pinggirannya.

Lina dapat melihat banyak sekali
potongan tubuh manusia dan binatang yang menempel di bibir goa dalam kondisi masih meneteskan darah. Bahkan ia melihat setidaknya empat kepala manusia yang terpenggal namun memiliki tanduk seperti kambing terpampang di kiri dan kanan mulut goa.

Ia pun bergidik melihat itu.
"Simpan kepenasarananmu. Nanti kamu akan tahu mengenai benda-benda mengerikan ini," tutur Irman.

Lina mengangguk lantas memasuki mulut goa yang terlihat begitu gelap jika dilihat dari luar. Namun sesampainya di dalam, Lina dapat melihat deretan obor yang menyala sepanjang jalur
perjalanannya.

"Tunggu dulu!" ucap Irman seraya menarik lengan Lina. "Aku merasa jalur ini telah dialihkan secara gaib oleh seseorang atau sesuatu lebih tepatnya," lanjutnya.

Lina tercengang. Ia lantas melihat ke arah buku yang dibawanya.

"Dewi Lajer?" ucapnya.
Mendadak terdengar suara gemuruh dari arah belakang mereka berdua. Otomatis Irman dan Lina segera menyingkir mencari tempat perlindungan.

"Dia datang?" tanya Irman sembari menatap Lina penasaran.

"Buku ini bergetar keras, kak. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan agar buku
ini tidak jatuh ke tangannya," tukas Lina cemas.

Irman celingukan kemudian melihat ke arah gumpalan asap yang menghambur bersama material dari arah mulut goa di mana mereka sebelumnya lewat.

"Aku akan melawannya!" Irman mengambil sesuatu dari pinggangnya. Sebuah mata tombak.
Mata tombak tersebut memiliki gagang pendek yang dapat digenggam Irman. Padahal sebelum-sebelumnya tombak tersebut memiliki gagang yang panjang sebagaimana tombak biasa.

Irman menatap tajam ke arah serpihan material yang sedang menghambur memasuki goa bersama gumpalan asap tebal
"Lina, coba kamu sebut nama kamu sendiri kemudian diikuti nama Rina sambil membuka buku itu halaman 15," seru Irman membuat Lina terkejut.

"Tapi..." Lina berucap pendek.

"Lakukan!" kata Irman menegaskan.

Lina pun menuruti permintaan Irman meski pikirannya diliputi tanda tanya.
"Lina, Rina....." ucapnya seraya melihat ke arah halaman 15 dari buku yang ia bawa. "Katingali ku abdi, anjeun bade angkat deui ka kota!" ucapnya saat membaca kalimat dalam buku itu.

Mendadak buku tersebut menghilang dari genggamannya. Sontak Lina terkejut kemudian berteriak
histeris. Ia kaget bercampur takut setelah buku itu hilang begitu saja dari genggamannya.

Sementara Irman yang telah bersiap dengan serangan, langsung membendung serangan yang datang tiba-tiba. Mata tombaknya menggores sesuatu yang berada di balik serpihan material yang sedang
bergejolak.

"Kak Irman! Bukunya!" teriak Lina dengan cemas.

Irman menoleh ke arah Lina. "Mbak Ayu bilang jangan panik! Buku itu sekarang aman!"

Lina menatap bingung ke arah Irman. Ia lantas mengalihkan perhatiannya saat sesosok tinggi besar muncul dari balik kegelapan.
"Hanya ini satu-satunya cara! Lina kita tidak perlu kabur. Biarkan mereka menyerang kita!" Irman melompat ke arah Lina kemudian menggenggam tangan gadis itu kuat-kuat.

"Apa!" Lina terkejut mendengar perkataan Irman.

Sebuah sapuan besar dari sosok tinggi besar itu mengarah ke
Irman dan Lina.

Namun di saat itu pula muncul sesosok perempuan berkebaya merah menangkis serangan sosok besar itu. Selanjutnya perempuan kebaya merah mendorongkan kedua tangannya ke arah sosok besar yang kemudian sosok itu terjerembab masuk ke dalam dinding goa yang berbatu.
Sosok perempuan berkebaya merah itu melihat ke arah Irman dan Lina dalam posisi membelakangi. Terlihat lirikan matanya yang memiliki bulu mata yang lentik.

Jika dilihat secara sepintas, perempuan tersebut pasti sangatlah cantik. Namun entah kenapa dia tidak mau berbalik
menghadap ke arah mereka berdua.

Irman tercekat melihat lirikan perempuan berkebaya merah itu. Ia merasa bingung siapa perempuan itu dan kenapa bisa ada di tempat antah-berantah ini.

Sedangkan Lina menatap waspada ke arah perempuan tersebut. Ia curiga jika perempuan itu adalah
musuh yang dalam hal ini adalah Dewi Lajer.

"Kalian tunggullah dulu sampai ada seseorang menabrak pasar dengan mobilnya," ucap perempuan itu membuat Irman dan Lina saling pandang tidak mengerti.

"Maksudmu?" tanya Irman penasaran sembari menatap ke arah perempuan itu.
Perempuan tersebut hanya meliring dengan ekor matanya seraya tersenyum kemudian menghilang begitu saja di dalam kegelapan goa.

Setelah perempuan itu menghilang, tiba-tiba tanah tempat Irman dan Lina berpijak bergetar hebat disusul runtuhnya dinding dan langit-langit goa.
Irman dan Lina melompat mundur untuk menghindari terjangan material runtuhan goa. Di saat itu pula mereka menyadari jika reruntuhan goa tersebut berubah menjadi barang-barang pasar dan material lapak yang berhamburan.

Tidak hanya itu, posisi Irman dan Lina kini tidak lagi di
Di dalam goa melainkan di tengah-tengah sebuah pasar yang sedang kacau-balau karena bagian terdepan pasar ditabrak oleh sebuah mobil yang mengalami kecelakaan.

Kecelakaan tersebut menimbulkan kemacetan panjang di jalur yang melewati pasar itu. Orang-orang tampak berlarian ke
arah lokasi kecelakaan itu.

Lina dan Irman lantas keluar dari dalam pasar kemudian menyaksikan beberapa orang yang sedang mengevakuasi mobil dan pemiliknya yang mengalami kecelakaan.

Mereka juga membantu pedagang yang terkena tabrak mobil itu.


Sabar ya, nanti dilanjut lgi cerita nggk jelas ini...
Lina dan Irman melangkah melewati kerumunan orang-orang di lokasi kecelakaan. Mereka berdua sayup-sayup mendengar suara obrolan beberapa orang yang turut berkerumun.

"Mungkin sudah karma kali, ya. Melakukan usaha dengan bantuan setan memang tidak akan bertahan lama.
Suatu saat pasti akan kena batunya." Begitulah apa yang dibincangkan orang-orang itu.

"Intinya mah ambil hikmahnya dari kejadian ini. Yang julid mah pasti akan mendapat batunya pada akhirnya," timpal yang lain.

Irman menyikut Lina agar terus berjalan. Ia tahu Lina sedang
menguping pembicaraan orang-orang itu.

"Aku tahu pasar ini, kak. Namanya Pasar Buah Huni. Dulu sekali aku pernah kemari," ucap Lina. "Kenapa kita bisa tiba-tiba ada di sini, ya? Apa perempuan itu sengaja membawa kita kemari?" tambahnya.

"Aku tidak tahu, lin. Siapapun perempuan
itu, pastilah dia jelmaan makhluk halus berilmu tinggi. Aku merasakan auranya waktu di goa itu," tukas Irman.

Lina terdiam sembari terus melangkah. Ia sesekali melihat ke arah bangunan pasar yang tampak begitu semrawut oleh lapak-lapak pedagang yang tidak beraturan.
Sesaat ia terhenyak saat melihat seorang nenek-nenek berpakaian kebaya warna oranye sedang menatap garang ke arahnya dari salah satu lapak pedagang.

Irman mendadak menarik tangan Lina lantas menariknya menjauh dari area pasar.

"Jangan meliarkan pandanganmu! Atau kita tamat!"
bisik Irman dengan nada tegas.

Mereka berdua lantas menuju halte di mana terdapat sebuah angkot bercat biru muda sedang ngetem.

"Cibaraya, Cibaraya..." seru sopir dari balik kemudi.

Lina dan Irman pun menaiki angkot itu.

"Pak, apakah angkot ini lewat Taman Ramayana?" ujar
Irman membuat Lina mengernyitkan kening.

"Tentu saja, den. Taman Ramayana mah selalu saya lewati tiap hari," tukas sopir angkot.

"Kalau begitu, antar kami ke sana, pak," ucap Irman.

Sopir mengangguk kemudian melambaikan tangan ke arah para calon penumpang yang akan menyeberang
ke arah mobilnya.

Setelah para penumpang tersebut duduk di dalam angkot, sopir pun melajukan mobilnya melewati jalanan dengan aspal yang sebagian telah rusak.

Lama angkot melaju di jalanan rusak tengah kota kecil agak kumuh itu. Sesekali terdengar para penumpang mengobrol.
"Kota ini dulunya ramai. Jalannya juga mulus-mulus. Gedung-gedung dan pasar juga megah. Sekarang malah jadi seperti ini. Kenapa ya?" ucap seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi laki-lakinya.

"Biasalah, ceu. Kota ini dibangun dengan cara tidak benar," tukas ibu-ibu
di sampingnya.

"Tidak benar bagaimana, bu?" tanya ibu muda itu.

"Konon walikotanya membangun sendiri kota ini menggunakan uangnya.Uang tersebut kata orang-orang berasal dari hasil pesugihan," tukas ibu lantas membuat semua penumpang terperangah kaget berikut pak sopir.
"Maaf, bu. Bukannya lancang. Hal-hal seperti itu sebaiknya tidak dibahas serampangan. Saya khawatir ada yang menguping pembicaraan ibu," ucap Irman seraya menatap ke arah ibu tersebut yang tampak balik melihatnya dengan heran.

"Lho, saya hanya menyatakan kabar dari orang-orang
tentang kota ini. Apa salahnya memberitahu?" tukas ibu itu gusar.

"Bu, saya bilang bagaimana jika ada yang menguping pembicaraan ibu barusan? Bukan kita yang ada di dalam mobil tapi yang di luar mobil," kata Irman sembari menunjuk ke arah kaca jendela di belakangnya dengan sudut
mata kanannya.

Ibu tersebut tampak terkejut mendengar kata-kata Irman. Ia lantas tidak berkata-kata lagi.

"Kalian berdua sebaiknya tetap bersama saya dan teman saya ini. Mereka sedang membuntuti kita," ucap Irman membuat suasana menjadi mencekam.
Sopir yang sedang menyetir melihat ke arah kaca spion tengah. Wajahnya mendadak pucat dan dari keningnya keluar keringat dingin.

"Pak Sopir bagaimana, kak? Ia melihat juga," ucap Lina.

"Ini di luar dugaan. Berarti semua orang yang ada di mobil ini jangan ke mana-mana," ucap
Irman.

Waktu beranjak sore, namun angkot tersebut belum juga tiba di Taman Ramayana. Padahal menurut sopirnya, perjalanan ke tujuan tersebut seharusnya tidak selama itu.

Keterangan sopir jelas membuat seisi angkot merasa ketakutan.
Semua orang hanya menunduk dalam keheningan di dalam angkot. Mereka merasa telah melakukan kesalahan yang dapat berujung pada terancamnya keselamatan mereka.

"Apa kehadiran kita membawa malapetaka, kak?" tanya Lina setengah berbisik ke arah Irman.

"Bisa jadi, ya. Kita membawa
serta para lelembut itu dari Paninggaran hingga kemari. Ditambah lagi lelembut kota itu turut memburu kita dan kedua ibu ini," tukas Irman seraya mengatupkan kedua tangan.

Saat mobil melaju melewati jalanan pinggir lapangan, Lina sontak melihat sebuah mobil SUV merah sedang
terparkir di lapangan itu.

"Pak, stop!" ucap Lina lantang membuat sopir lantas menginjak rem.

"Mobil itu, lin?" ucap Irman disambut anggukan kepala oleh Lina.

Angkot pun berhenti di pinggir lapangan itu setelah mundur terlebih dahulu karena sempat melampaui lokasi tersebut.
Lina dan Irman lantas keluar dari angkot kemudian menghampiri SUV merah yang ternyata kosong.

"Di mana kak Johan, Ricky, Rafika, dan Silvi, ya?" ucap Lina lirih sembari melihat ke dalam mobil itu.

Di saat itu tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dari belakang mereka berdua.
Saat menoleh, Lina dan Irman menyaksikan angkot telah terbakar hebat dan mengepulkan asap pekat ke udara.

"Allahu akbar!" teriak Lina saat menyaksikan angkot tersebut telah musnah bersama penumpang dan juga sopirnya. Bahkan ia sempat mendengar suara jerit tangis dan teriakan
dari dalam angkot.

"Subhanallah!" pekik Irman seraya berlari ke arah angkot yang ludes tersebut. Ia mengitari angkot tersebut untuk memeriksanya.

Ia terpaku, tercekat saat melihat sosok-sosok terbakar di dalam angkot dalam keadaan sudah tewas.
"Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun!" ucapnya sembari menundukkan wajah.

Lina menangis tersedu-sedu di samping angkot yang sudah ludes itu. Terbayang wajah lucu bayi laki-laki itu dalam gendongan ibunya. Namun bayi lucu itu kini telah tiada.

Irman berjalan menghampiri Lina
kemudian berlutut.

"Jika saja kita pergi sendiri tanpa bersama mereka, tentu kejadiannya tidak akan kayak begini," ucapnya.

"Tanpa kita bersama mereka belum tentu mereka tetap selamat, kak. Apalagi pembicaraan ibu itu sudah mengarah pada gosip yang berbahaya, dan itu ternyata
didengar oleh sang penghuni yang juga anak buah sang walikota," tutur Lina seraya menutup mata kanannya dengan telapak tangan kanan.

Irman mengangguk kemudian melihat ke arah SUV merah yang telah kosong itu. "Kita gunakan itu. Kita harus mencari teman-temanmu," ucapnya.
Malam itu di Taman Ramayana.

SUV yang dikemudian Irman telah mencapai tempat tersebut. Irman mengemudikan mobil itu ke arah suatu titik di mana menurut Lina terdapat sebuah rumah.

Sesampainya di sana, tidak ada rumah yang dimaksud. Di sana hanya terdapat sebuah lahan kosong
yang ditumbuhi ilalang serta rerumputan liar.

"Kamu yakin tempatnya di sini?" tanya Irman.

"Aku yakin sekali, kak. Harusnya rumah itu di sini," tukas Lina. "Ngomong-ngomong untuk apa kita kemari?" tanyanya.

"Mengembalikan buku itu ke tempat semula," tukas Irman membuat Lina
terkejut.

"Untuk apa kita kembalikan buku ini ke tempat semula? Dewi Lajer justru akan mendapatkannya dengan mudah," kata Lina tidak setuju.

"Kalau kamu tidak keberatan diikuti mereka ya tidak usah dikembalikan ke tempat semula. Memangnya kamu nyaman dibuntuti terus?" tanya
Irman.

Lina menatap Irman penasaran.

"Jelas aku tidak nyaman, lah.Setiap langkah selalu saja mereka mengikutiku. Tapi buku ini akan rawan jika dikembalikan," ucapnya.

"Kamu keliru, lin. Jika buku ini sudah dikembalikan ke rak itu, maka Dewi Lajer tidak dapat mengambilnya. Kau
tahu kenapa dirimu tiba-tiba dituntunnya ke kamar itu? Itu karena dia tidak bisa mengambil buku itu sendiri. Maka harus ada seorang manusia yang memiliki kelebihan, mengambil buku itu, dan kau berhasil mengambilnya. Waktu itu tentu saja dia datang untuk merebut buku itu jika saja
kau tidak memanggil nama mbak Rahayu," tutur Irman membuat Lina bingung.

"Aku tidak mengerti," tukas Lina.

"Kamu tidak perlu mengerti. Sekarang yang penting adalah kita masuk ke lahan itu. Ayo," ucap Irman seraya keluar dari mobil.

"Jadi, mengambil buku itu adalah kesalahan?"
ucap Lina.

"Tidak juga. Kau telah mempelajari setidaknya 100 halaman dari seribu halaman isi buku itu. Untungnya yang 100 halaman itu bukan incaran Dewi Lajer, jadi kau aman," tukas Irman.

Mereka berdua memasuki lahan yang dipenuhi rerumputan itu. Sesekali mereka melihat
beberapa ekor tikus berlarian.

Irman menyorotkan senter ke arah barat laut lahan kosong itu.

"Inilah kamar itu. Ayo," ucapnya seraya berlalu ke arah area itu.

Tiba-tiba tanah bergetar. Semakin kencang dirasa. Gempa pun melanda tempat tersebut.

"Cepatlah, lin! Mereka datang!"
Lina berlari bersama Irman menuju area di mana diperkirakan adalah kamar gaib di mana sebelumnya ia menemukan buku itu.

"Sekarang kita harus apa, kak? Hanya ditaruh begitu saja bukunya?" tanya Lina setelah tiba di area yang dipenuhi rerumputan dengan kontur tanah berair itu.
"Sebentar. Mbak Rahayu pernah bilang padaku 'taruh saja buku itu di rak'. Tapi rak yang ia maksud tidak terlihat ada di sini," tukas Irman.

"Pasti yang ia maksud rak itu, kak. Tapi bagaimana cara kita ke sana?" ucap Lina.

Di saat mereka berdua sedang berdiskusi mencoba
mencari cara menemukan rak yang dimaksud, mendadak dari arah jalan muncullah sosok-sosok menyeramkan menyeruak dari kegelapan. Saat itu malam telah tiba di mana keadaan di tempat tersebut begitu angker.

Sosok-sosok lelembut yang terdiri dari banyak jenis mulai dari pocong,
kuntilanak, genderuwo, sundel bolong, bahkan wujud mini tuyul turut muncul berlarian ke arah Irman dan Lina.

"Kak, bagaimana ini? Mereka keburu datang! Kita terlambat, kah?" tanya Lina dengan panik.

"Tidak, selama Dewi Lajer dan pengawalnya yang berkepala kambing itu tidak
bersama para lelembut ini. Mereka pasti sedang bertarung dengan mbak Rahayu," tukas Irman seraya menghunus tombaknya kemudian menggenggam gagangnya yang pendek.

Lina yang hanya membawa buku hanya bisa panik sembari celingukan. Terkadang terbersit di pikirannya untuk membuka buku
itu lagi, namun tidak dilakukannya.

Tiba-tiba dari arah kerumunan para lelembut itu muncul sesosok makhluk tinggi besar berkepala dengan sepasang tanduk melengkung seperti tanduk domba. Mungkin sosok ini yang dimaksud Irman.

"Gawat! Satu biangnya muncul. Berarti mbak Rahayu
cuma menghadapi Dewi Lajer." Irman menatap waspada ke arah kemunculan makhluk kepala domba itu.

Suara langkah kaki makhluk tersebut terdengar sangat berat. Langkahnya terdengar menggruduk-gruduk saat berlari di antara rombongan lelembutnya.
"Kita harus bagaimana, kak? Kita semakin terpojok. Kita tidak mungkin dapat melawan mereka semua," ujar Lina seraya menggenggam erat-erat buku itu.

Makhluk kepala domba itu berhenti berlari ketika tiba di hadapan Irman dan Lina. Makhluk tersebut menatap sangar ke arah mereka
berdua. Selanjutnya makhluk itu mengaum seperti seekor macan dengan suara yang sangat besar membuat yang mendengarnya pasti merasakan ngeri yang luar biasa.

"Lin, rencana cadangan. Pegang buku itu seperti ini," kata Irman seraya membentangkan tangan Lina ke samping sambil
memegang buku persis seperti seorang matador yang sedang membentangkan kain merah.

Seolah sudah tahu apa yang akan dilakukan Irman, makhluk kepala domba itu lantas melompat sembari menjejakkan kaki kanannya ke arah Irman.

Tentu saja Irman tidak diam saja. Ia lantas melompat
menghindar kemudian menusukkan mata tombaknya ke arah buku yang sedang dipegang Lina.

Nihil, suatu sapuan makhluk tak kasat mata melemparnya jauh hingga ke pinggir jalan, meninggalkan Lina sendiri di dalam kepungan para lelembut.

"Kak Irman!" teriak Lina seraya terperangah
melihat banyaknya demit yang mengelilinginya.

"Bertahanlah Lina!" sahut Irman seraya bangkit kemudian melompat ke arah kerumunan demit dan menyapunya dengan tebasan mata tombaknya.

Selusinan demit terlempar berhamburan saat terkena tebasan mata tombak Irman. Namun, sosok tak
terlihat kembali menyerangnya hingga terpental menghantam sebatang pohon.

"Ughhh! Makhluk yang menyerangku tidak kelihatan!" makinya seraya bangkit kemudian menodongkan mata tombaknya ke arah depan.

Sementara Lina yang kini didekati makhluk kepala domba hanya bisa pasrah. Ia
tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika para demit itu berhasil mencapainya.

Tiba-tiba sesosok makhluk seperti harimau namun berdiri tegak melompat dari arah belakang kemudian menerjang semua demit dan mencakarinya. Para demit tersebut mengeluarkan suara riuh
saat terlontar ke belakang karena serangan sosok harimau tegak itu.

"Lina, kau tidak apa-apa?" ujar sosok harimau tersebut membuat Lina terkejut. Ia terkejut karena mengenali suara harimau itu.

"Ricky?" ucapnya pendek.
"Kau tenanglah di sini, lin. Aku akan hadapi domba Garut itu," ucap Ricky dalam wujud harimaunya kemudian melompat ke arah si kepala domba.

Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Keduanya saling bertarung hingga mencapai ujung lahan itu di mana di sana terdapat pagar kawat yang
cukup tinggi.

Ricky beberapa kali terdorong mundur oleh kuatnya tenaga si kepala domba.

"Kali ini aku tidak takut dengan makhluk sepertimu!" ucapnya seraya menerjang ke arah si kepala domba kemudian mencabiknya dengan kuku-kukunya.

Groarrrrrrr......... Si kepala domba
berteriak kesakitan.

"Aku tidak tahu demit juga ternyata bisa kesakitan," ucap Ricky seraya merangsek.

Namun sebuah tendangan makhluk itu sukses melontarkannya hingga melampaui pagar kawat di belakangnya.

"Aaaah! Kampret!" sungut Ricky setelah mendarat di belakang pagar.
Melihat lawannya berada di luar pagar, si kepala domba mengalihkan targetnya ke Lina yang sedang terpojok karena kepungan demit yang tersisa.

Si kepala domba lantas melompat sembari menggapaikan tangan hendak merebut buku di tangan Lina. Namun tiba-tiba.

Crasssshhhhh
"Lain kali pastikan lawanmu sudah mati, bodoh!" Ricky tahu-tahu telah menancapkan kuku-kukunya yang panjang dan tajam ke leher si kepala domba.

Makhluk itu pun melotot menatap ke arah Lina kemudian jatuh terjerembab. Makhluk itu pun rubuh kemudian wujudnya menguar menjadi asap.
Tanpa membuang kesempatan, Ricky menghabisi sisa demit yang sedang mengelilingi Lina. Sementara Irman sedang sibuk oleh serangan makhluk tak kasat mata.

Bahkan Irman mengalami luka-luka yang cukup mengkhawatirkan akibat tidak dapat memperkirakan posisi di mana penyerangnya.
Irman pun mencoba memfokuskan pendengarannya. Ia mendengar suara gemerisik datang dari arah depan. Namun tiba-tiba ia menusukkan mata tombaknya ke sebelah kiri.

Jressssss.....

"Aaaaaahhhh!" terdengar suara jeritan seperti seorang perempuan kesakitan setelah senjata Irman
mengenai sasaran.

Setelah itu, Irman langsung melihat seorang perempuan muncul tiba-tiba dari arah kiri dalam kondisi berlumuran darah akibat dari serangannya.

"Bukannya kamu?" Irman menatap perempuan berpakaian serba hitam dengan tudung kepala itu.

Perempuan tersebut jatuh
tidak sadarkan diri. Irman lantas memeriksanya kemudian mencoba mengobatinya.

Ia tahu perempuan tersebut bukanlah demit melainkan seorang manusia yang memiliki kemampuan menghilang.

"Rina dan mbak Rahayu akan terkejut melihat ini," gumamnya.
Setelah dipastikan para demit telah menghilang, Irman bersama Lina dan Ricky berembuk untuk menaruh kembali buku itu di tempatnya. Namun karena tidak kunjung menemukan apa yang mereka cari, akhirnya suatu cakaran besar Ricky sukses mengoyak-ngoyak buku tersebut hingga musnah.
Tidak ada yang terjadi. Setelah buku itu dihancurkan, keadaan tetap seperti biasa. Mungkin ada yang salah.

"Memangnya harus terjadi apa? Bukannya keadaan di sini begini-begini saja, kan?" ujar Ricky yang masih dalam wujud harimaunya.

Irman terlihat berpikir. "Mbak Rahayu masih
bertarung dengan Dewi Lajer. Ini tidak akan sebentar. Kita hanya perlu menunggu," ucapnya.

"Ricky, ke mana kak Johan, Fika, dan Silvi?" tanya Lina ke Ricky.

"Mereka sedang di suatu pesantren sekarang, lin. Mereka aman, Insya Allah," tukas Ricky.

"Lalu bagaimana bisa kau
berubah seperti ini?" tanya Irman.

"Abah Haji Qodir yang mengajariku," tukas Ricky tanpa memberitahu siapa itu orang yang namanya baru ia sebut.

Irman kemudian menatap ke arah wajah perempuan berpakaian hitam yang masih dalam kondisi tidak sadarkan diri itu.
"Aku ingin mencakarnya dari dulu. Dia yang waktu itu bertarung dengan mbak Rahayu di benteng," kata Ricky turut memperhatikan lekat-lekat wajah perempuan itu.

Mendadak dari arah pagar kawat muncul seberkas sinar berwarna merah yang kemudian membesar. Cahaya tersebut menguar dan
dari baliknya muncullah Rahayu dengan kebaya warna merah sedang dipapah oleh Rina. Hal itu tentu membuat semuanya terkejut.

"Mbak Rahayu?" Irman lantas menyambut kedatangan dua perempuan itu.

Rina menatap ke arah Irman sembari menggeleng dengan kedua matanya seperti sedang
menahan tangis.

"Jadi, yang mengarahkan kita ke pasar itu mbak Rahayu?" ucap Lina saat melihat kebaya merah yang dikenakan Rahayu.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ricky sembari melihat penasaran ke arah Rina.

"Mbak Ayu kehilangan kekuatannya. Ia kalah bertarung,"
tukas Rina seraya menyandarkan tubuh Rahayu ke sebatang pohon di mana di bawahnya juga ada perempuan berpakaian serba hitam yang sedang pingsan.

"Terus di mana sekarang Dewi Lajer?" tanya Irman.

Rina tidak menjawab. Ia fokus dengan Rahayu yang masih tidak sadarkan diri.
"Dia di sana, kak!" ucap Lina sontak membuat Irman terkejut seraya melihat ke arah Lina menunjuk.

Tampak sesosok nenek berkebaya oranye sedang menatap garang ke arah mereka sembari menggenggam buku yang telah hancur.

"Kurang ajar! Berani sekali kalian menghancurkan bukuku!"
Irman dan Ricky lantas menjadi yang terdepan mewaspadai kemungkinan terburuk jika Dewi Lajer mengamuk.

Namun, Dewi Lajer hanya terpaku di tempat sembari menatap buku yang telah hancur itu. Ia hanya bisa memaki-maki.

"UAAAAAAGGGGGHHHHHHH!!"

Dewi Lajer berteriak kemudian
terbang ke udara untuk selanjutnya menghilang begitu saja.

"Hanya begini?" ucap Ricky bingung.

"Kita berhasil. Itu buktinya," kata Irman sembari melihat ke arah serpihan buku yang telah hancur. "Aku baru ingat kalau itu bukan buku yang asli. Buku yang asli telah tertanam dalam
diri Lina. Dewi Lajer mengetahui itu namun ia tidak dapat mengambilnya," lanjutnya.

Ricky menggaruk-garuk kepala karena bingung dengan ucapan Irman.

(Para pembaca juga pasti bingung dengan cerita asal jadi ini. Mohon maafkanlah)
"Dita?" ucap Rina ketika melihat perempuan berpakaian serba hitam yang sedang pingsan itu.

"Temanmu yang lama hilang, bukan?" tanya Irman.

Rina mengangguk. "Mudah-mudahan kali ini aku bisa membawanya pulang. Aku tidak akan membiarkannya menghilang lagi."

Irman tercengang
mendengar ucapan Rina yang demikian. Namun ia segera menepis pikiran negatifnya.

"Ayo kita pergi. Ricky, bantu aku bawa mbak Rahayu," kata Irman.

Selanjutnya mereka meninggalkan area tersebut dengan membawa Rahayu dan Dita. Menggunakan SUV merah milik Johan, mereka pun pergi.
~~~TOMAT~~~
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Acep Saepudin

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!