My Authors
Read all threads
- Cerita Fiksi -

PANINGGARAN

#ceritafiksi #ceritahorror #bukanceritaht #testupload
Kota S, di mana sekarang salah seorang tokoh dari cerita sebelumnya berada. Di sebuah rumah bercat putih yang dikelilingi pagar tembok berwarna putih juga, Rina sedang mengepel lantai.

Maklum saja beberapa hari ini asisten rumah tangganya sedang pulang kampung. Otomatis ia harus
mengerjakan rutinitas sehari-hari.

Belakangan ini, Rina sudah tidak lagi bekerja di puskesmas Desa Kayu Jati setelah mengalami peristiwa Dewi Lajer. Ia ingat betul bagaimana sosok nenek tersebut membawanya ke suatu tempat antah-berantah yang disebut PANINGGARAN.
"Rin, nanti siang temani ibu ke pasar, ya," seru ibunya Rina dari ruangan tengah. "Si mbok kalau sudah pulang kampung pasti lama kembalinya. Dia terlalu betah di kampung daripada di sini," tambahnya.

"Iya, mah. Kebetulan aku mau top-up Gopay. Lumayan buat pesan makan kalau
sedang nggak sempat masak," tukas Rina kemudian memeras kain pelnya.

"Jangan buang-buang uang, rin. Itu hasil jerih payah kamu di kampung. Sementara kamu sekarang sudah tidak kerja lagi," sahut ibunya Rina.

Rina hanya terkekeh tanpa membalas kata-kata ibunya.
"Bagaimana itu si Laela? Kok sekarang dia jarang sekali main kemari, rin?" tanya ibu Rina.

"Laela sekarang di Jakarta, mah. Ia bernasib baik, kerja di rumah sakit besar dengan gaji yang tentu tidak main-main, mah," tukas Rina.

"Kamu yang sabar aja, rin. Rezeki tidak akan ke
mana. Suatu saat pasti kamu akan mendapat pekerjaan yang bagus. Atau jika tidak, kamu akan menikah dengan laki-laki yang mapan segalanya, tidak hanya soal uang," kata ibu Rina yang terlihat sedang membereskan buku-buku di rak.

"Aamiin. Terima kasih, mah. Mamah memang is the
best," ucap Rina seraya menghampiri ibunya kemudian merangkulnya.

"Tidak usah sok Inggris. Jangan sampai biar bingung asal British," tukas ibu Rina seraya terkekeh.

Lina tertawa. Ia sejenak teringat akan kebiasaan ibunya mendengarkan musik-musik hard rock seperti Jamrud.
Singkat cerita. Menjelang hari agak siang, Rina dan ibunya berangkat ke pasar dengan menumpang bajaj listrik. Rencananya mereka akan membeli segala keperluan dapur dan mandi.

Sesampainya di pasar Rina melihat seseorang yang sepertinya ia pernah bertemu dengannya.
"Johan?" ucapnya seraya memperhatikan laki-laki yang sedang sibuk memilih-milih barang di salah satu lapak dagangan. "Mah, boleh aku tinggal sebentar? Aku ada teman di sana," ucapnya ke ibunya.

"Oh, ada teman? Ya sudah, samperin dia, gih," tukas ibu Rina.
"Hai," ucap Rina ketika tiba dekat Johan membuat laki-laki itu menghentikan kegiatannya.

"Oh, Rina? Kamu di sini?" ucap Johan terkejut dengan kedatangan Rina.

"Iya, aku di sini. Bagaimana kabarmu?" kata Rina seraya menatap lekat Johan.

"Seperti inilah kabarku, rin.
Baik selalu. Bagaimana kabar ayah dan bundamu?" tukas Johan seraya tersenyum hangat ke arah Rina.

"Papah dan mamahku alhamdulillah sehat semuanya tak kurang apapun. Kamu jadi menanyakan kabar papah mamahku seperti sudah pernah bertemu mereka saja," ucap Rina seraya terkekeh.
"Justru aku ingin bertemu ayah dan bundamu, rin. Hitung-hitung silaturahmi sebagai calon... Ehmm," Johan menghentikan kata-katanya sendiri dengan deheman.

"Calon apa, nih? Calon menantu, kah?" kata Rina membuat Johan tergelak.

"Yakin aku cocok denganmu? Hahaha," tukas Johan.
Rina dan Johan terlihat begitu akrab. Mereka sebenarnya telah akrab sejak bertemu di pondok pesantren itu. Saat itu Rina baru bebas dari kungkungan Dewi Lajer setelah Rahayu berhasil membawanya keluar dari Paninggaran.

Sejak itulah, hubungan keduanya semakin intens.
Hal itu terlihat pada seminggu sebelum Rina pulang ke rumah kedua orang tuanya. Saat itu Rina sedang menikmati semangkuk mi ayam di sebuah kios di desa tempat pesantren itu berada.

Bersama Lina, Silvi, dan Rafika, ia menikmati makanannya sembari berbincang-bincang.
Seharusnya : Sesampainya di pasar, Rina melihat seseorang yang baginya tidak asing. Itu adalah Johan, laki-laki yang mulai kenal dekat dengannya setelah ia diselamatkan Rahayu.
"Mbak Rina, ngomong-ngomong mas Johan suka nanyain mbak, lho. Hihihi," ucap Rafika membuat Rina menghentikan makannya. Ia lantas menaruh sumpit di mangkok.

"Menanyakanku? Ada perlukah dia denganku?" tanya Rina sembari mengerutkan kening.

"Bang Johan menyukaimu, mbak," ucap
Silvi to the point membuat wajah Rina memerah.

Lina yang melihat itu lantas memberi isyarat teman-temannya agar berhenti menggoda Rina.

"Nggak apa-apa, kali. Setidaknya kita sudah membantu bang Johan juga. Ya, nggak, Fika?" ucap Silvi seraya menatap dengan pandangan penuh arti
ke arah Rina.

"Kalian mengada-ada. Aku tidak percaya kalau bukan dia sendiri yang berbicara langsung padaku," tukas Rina disambut riuh oleh Silvi, Lina, dan Rafika.

Rina hanya dapat menepuk jidat saat dirinya digoda gadis-gadis remaja itu. Ia pun melanjutkan makannya meski
tidak bernafsu karena kepikiran kata-kata mereka barusan.

"Ciyee yang kepikiran," goda Lina saat melihat Rina seperti sedang tidak bernafsu menghabiskan makanannya.

"Kalian sih berisik!" sergah Rina disambut kekehan Lina dan kawan-kawan.
Saat sore tiba, Lina dan kawan-kawan telah kembali ke pondok. Sedangkan Rina tetap di kios karena menunggu pedagang mi ayam menukarkan uang karena tidak ada kembalian.

Saat itu muncul dua orang laki-laki bertampang sangar dengan tatto memenuhi sepasang tangan mereka.
"Halo cantik. Sendirian aja, nih. Mau kami temani?" ujar salah seorang laki-laki yang dipastikan adalah preman itu.

Rina tidak menyahut. Hatinya dag,dig,dug tidak karuan. Ia merasa dua orang tersebut bukan orang baik-baik.

Kecurigaannya semakin menguat ketika preman satunya
menggodanya dengan kata-kata tidak senonoh.

Bahkan ia berani mencolek pipinya dengan tangannya yang burik penuh tatto. Rina hanya dapat mengumpat seraya menepiskan tangan preman itu.

Namun preman satunya bergegas hendak melecehkan Rina. Di saat itu secara tidak disangka, Johan
muncul.

Tanpa banyak bicara, Johan menyergap kedua orang itu. Ditambah lagi ia saat itu datang bersama Ricky. Maka otomatis kedua preman itu lari tunggang-langgang.

"Dasar kurap!" umpat Ricky yang tidak sedang dalam wujud harimaunya.

"Kamu tidak apa-apa, nona?" ucap Johan ke
Rina.

Rina mengangguk. "Terima kasih sudah menolongku, mas Johan," ucapnya disambut tatapan tidak dapat ditebak dari Johan.

"Oh, itu sudah menjadi kewajibanku. Mereka memang pantas mendapatkan itu. Jika mereka kembali, aku siap menghajar mereka lagi," tukas Johan.
Sejak saat itulah, mereka berdua menjadi dekat. Mereka terkadang pergi bersama jika hendak makan atau ke suatu destinasi wisata yang ada di wilayah itu.

Kini kembali ke masa sekarang, di mana Rina memperkenalkan Johan kepada ibunya.

"Mah, ini lho mas Johan yang aku ceritakan,"
ujar Rina ketika tiba di tempat ibunya sedang memilih belanjaan.

"Oh, kamu nak Johan itu?" ucap ibu Rina seraya menerima salam dari Johan dengan ramah.

"Iya, bu. Saya Johan. Temannya Rina," tukas Johan setelah menyalami ibu Rina.

"Hanya temankah?" tanya ibu Rina membuat Johan
menggaruk kepala.

"Tenang aja, mah. Mas Johan hanya teman, kok. Nggak pake dilebih-lebihkan. Benar kan, Mas Johan?" ucap Rina seraya menyikut Johan.

"Iya, betul sekali, bu. Rina betul. Kami hanya berteman," kata Johan agak gelagapan.

"Kalau bisa mah jangan sekedar teman.
Jika kalian berdua cocok kenapa tidak menikah saja?" kata ibu Rina membuat wajah Johan dan Rina memerah.

Ibu Rina terkekeh melihat raut wajah putrinya dan Johan. Ia melihat kecocokan di antara mereka berdua.

Tinggal memberitahu papah soal ini, begitu pikir ibu Rina.
Setelah selesai berbelanja, Rina dan ibunya pulang diantar Johan menggunakan SUV merah setianya.

Di rumah Rina, Johan cukup lama duduk mengobrol dengan tuan rumah. Niatnya sih untuk bertemu langsung dengan ayahnya Rina.

Namun hingga petang menjelang, ayahnya Rina belum pulang.
"Papah kok lama sekali, ya? Sudah berulang-ulang ditelpon tapi nomornya tidak aktif," ujar ibu Rina dengan risau.

Rina pun turut menelepon ayahnya, namun selalu tidak tersambung. Ia pun menjadi khawatir karenanya.

"Kalau boleh tahu, memangnya ayahnya Rina pergi ke mana, bu?"
tanya Johan.

"Papah sih tadi pagi bilangnya mau pergi ke Warung Kiara. Katanya diundang teman lamanya yang sedang nikahan anaknya," jawab Rina.

"Warung Kiara? Kenapa saya jadi ingat dengan Irman, ya?" ucap Johan saat teringat sesuatu yang pernah ia bicarakan bersama Irman.
"Memangnya ada apa dengan Irman, mas?" tanya Rina.

"Warung Kiara itu sebenarnya di mana, nak Johan?" ibu Rina pun turut bertanya karena penasaran.

Johan menghela nafas berat. Ia merasa berat untuk membeberkan fakta terkait kota itu. Sebab, ia pernah mendengar cerita Irman dan
Lina saat berada di kota itu.

"Warung Kiara adalah sebuah kota yang cukup terpencil. Akses ke sana tidak mudah karena terletak di pegunungan serta dikelilingi hutan lebat yang belum terjamah tangan manusia. Konon kota itu dibangun bukan oleh manusia," tutur Johan membuat Rina
dan ibunya terlonjak kaget.

"Kamu mengada-ngada, nak Johan!" sergah ibu Rina.

"Saya pernah mendengar desas-desus itu dari Irman. Rina mungkin pernah bercerita tentangnya. Irman pernah mengatakan ada suatu kota bernama Warung Kiara. Kota ini sangat terpencil. Akses ke sana
sangat sulit karena jalannya yang rusak dan terdiri dari banyak tanjakan dan turunan curam. Wilayah terdekat dari Warung Kiara adalah Taman Ramayana yang merupakan taman kota yang jaraknya jauh dari kota utama. Kami sempat berada di sana, di Taman Ramayana ini hingga seorang
Kiyai datang kemudian membawa kami ke pondoknya. Sebelum itu kami sedang diteror demit yang menjadi penghuni kota itu," jelas Johan membuat Rina dan ibunya saling pandang dengan raut wajah khawatir. "Saya minta maaf karena telah membuat Rina dan ibu khawatir. Kita sama-sama
berdoa, semoga ayah Rina pulang dengan selamat," lanjutnya.

Rina dan ibunya hanya dapat duduk dengan raut wajah muram di hadapan Johan. Bagaimana tidak, mereka sangat mengkhawatirkan ayahnya Rina yang ternyata sedang berada di kota Warung Kiara.
Malam menjelang. Johan saat itu bersiap hendak pulang dengan berpamitan kepada Rina dan ibunya.

"Hati-hati di jalan, nak Johan. Kalau sudah malam susah untuk melihat jalan. Apalagi jalan dari sini ke rumah nak Johan tidak ada penerangan jalannya," ucap ibu Rina setelah Johan
berpamitan.

"Tentu saja, bu. Saya akan berhati-hati," tukas Johan kemudian menatap ke arah Rina. "Kamu jaga kesehatan. Jangan sering-sering nonton sinetron. Hehehe," lanjutnya seraya terkekeh.

"Enak aja. Begini-begini juga aku anti sinetron, lho," sergah Rina seraya menatap
kalem ke arah Johan.

"Itu terdengar melegakan. Baiklah, aku pulang. Bu, rin, sampai ketemu lagi," tukas Johan seraya undur diri.

"Iya, hati-hati di jalan, mas," kata Rina seraya melepas Johan dari teras rumah bersama ibunya.

Johan tampak melangkah menuju mobil yang terparkir
di pinggir jalan depan gerbang rumahnya Rina.

Saat membuka pintu mobil, Johan terhenyak melihat seorang perempuan berkebaya merah duduk di samping bangku sopir. Perempuan tersebut tidak ia kenali dan sangat misterius.

"Kkamu siapa!" Johan sontak mundur.
Rina dan ibunya yang masih berada di teras lantas berlari ke arah Johan. Mereka melihat tingkah Johan yang dirasanya janggal.

"Nak Johan, ada apa?" seru ibu Rina.

"Mas, ada apa? Kok seperti kaget begitu?" seru Rina.

Johan mundur ke arah Rina dan ibunya.

"Perempuan itu
tiba-tiba ada di dalam mobil. Padahal saya sudah mengunci pintu tadi siang," ucap Johan gemetar.

"Lho, Dita?" ucap Rina ketika melihat perempuan tersebut.

Perempuan yang adalah Dita itu menoleh pelan ke arah Rina. Wajahnya tampak pucat membuat semuanya terkejut.

"Nak Dita?"
ujar ibu Rina ketika perempuan itu tidak juga berucap.

Rina lantas menghampiri Dita yang masih duduk di bangku depan samping bangku sopir.

"Dita? Kenapa kamu bisa ada di sini? Please, bicaralah," ucap Rina seraya menatap bingung ke arah gadis itu.

"Rin, tolong kembalikan aku
ke Rawa Gaib. Aku tidak bisa hidup normal lagi. Aku sudah bukan Dita yang kamu kenal. Aku sekarang sudah menjadi setengah lelembut. Tolonglah, rin. Aku ingin kamu kembalikan aku ke sana," Dita berucap pelan seraya menatap sayu ke arah Rina.

Rina lantas terkejut kemudian menangis
setelah mendengar kata-kata Dita. "Dit, aku tidak mau. Kamu itu temanku, kenapa aku harus mengembalikanmu ke dunia gaib? Aku sudah susah payah membawamu pulang tapi kamu malah ingin kembali," katanya seraya terisak-isak.

Ibunya Rina dan Johan hanya dapat menatap pilu ke arah
Dita yang sedang berbicara dengan Rina.

Johan sejenak menyadari ada sesuatu yang memperhatikan mereka dari suatu rumah berjarak kira-kira 6 meteran dari lokasi mereka. Rumah tersebut tampaknya tidak berpenghuni karena tiadanya lampu yang menyala di sana. Ditambah lagi rumah itu
sebagiannya telah dirayapi tanaman merambat.

"Bu, rumah itu sepertinya kosong, ya?" ucap Johan seraya melihat rumah itu.

"Iya, nak Johan. Memangnya kenapa?" tanya ibu Rina.

"Ada sesuatu di sana. Saya sepertinya tidak bisa meninggalkan ibu dan Rina dalam keadaan begini,"
ucap Johan seraya memberitahu Rina. "Rin, sebaiknya ajak Dita masuk. Aku merasa ada yang tidak beres."

Rina lantas menatap cemas ke arah Johan. Ia lantas menarik tangan Dita agar ikut ke dalam rumah. Namun Dita malah menolak.

"Tidak apa-apa, rin. Aku di sini saja. Aku akan
menghadapinya jika dia berani mengganggu kalian," ucap Dita seraya keluar dari mobil kemudian menghadap ke arah rumah yang dicurigai Johan.

"Duuh, kenapa sejak dari sana hidupku selalu runyam. Hal-hal itu terus saja membuntutiku," ucap Rina dengan kesal.
"Tidak perlu dipikirkan, rin. Ayo masuk," ucap ibu Rina seraya berjalan diikuti Johan dan Rina.

Sementara Dita tetap berada di dekat mobil Johan. Ia masih memperhatikan rumah itu. Tak lama kemudian tubuhnya melesat cepat ke arah rumah kosong itu.

Sesampainya di sana ia melihat
sesosok jurig (setan dalam bahasa sunda) sedang mengerang dengan tatapannya yang mengerikan ke arahnya.

Jurig tersebut berwujud mengerikan seperti seekor babi hutan namun dapat berdiri tegak dan bertanduk melengkung seperti tanduk domba.

'Grrrrrrrr' Jurig tersebut melihat
dengan buas ke arah Dita.

"Kau pasti dari Cikahuripan. Maaf saja aku tidak mau mengembalikan jimat itu. Kecuali aku telah mendapatkan apa yang aku ingin," ucap Dita seraya menunjuk jurig itu dengan telunjuknya.

'Groaaaaahhhhhhrrhhhrrr' Jurig tersebut berteriak nyaring saat
lidah api menyelimutinya. Sosok menyeramkan tersebut bergolek kemudian meleleh setelah terbakar oleh lidah api dari telunjuknya Dita.

"Hmm, aku harus menemui Rina. Dia harus membawaku kembali ke Rawa Gaib," ucap Dita seraya melesat ke arah rumah Rina.
Di dalam rumah, Rina bersama ibunya dan Johan terkejut melihat kemunculan Dita yang tiba-tiba. Sebab, gadis berkebaya merah itu muncul begitu saja, padahal pintu sudah ditutup dan dikunci.

"Dita?" Rina terkejut melihat kemunculan temannya itu.

Dita tanpa berkata-kata menyambar
lengan Rina dan menariknya. Ia rupanya hendak membawa Rina melesat pergi ke tempat yang ingin ia tujunya.

Namun suatu tepukan tangan Johan sukses membuat Dita mundur kemudian melepaskan genggamannya.

"Kau ingin membawa Rina ke Rawa Gaib? Langkahi dulu mayatku!" Johan menatap
tajam ke arah Dita seraya mencabut sebilah keris dari pinggangnya. Sebilah keris yang tidak asing bagi para pembaca MEMBURU KI RAWUK.

Dita lantas terbelalak melihat keris yang dibawa Johan. Ia mundur seperti ketakutan dengan keris itu.

"Aku dititipi keris ini oleh seseorang
agar tidak ada demit yang berani menggangguku dan orang-orang yang dekat denganku!" Johan mengarahkan keris itu ke arah Dita.

"Dita, apa benar kau ingin membawaku ke Rawa Gaib?" tanya Rina seraya menatap tajam ke arah Dita.

Dita tidak menjawab. Ia malah berbalik hendak pergi.
"Mau ke mana kau!" ucap Johan tiba-tiba menyayat punggung Dita dengan kerisnya.

"Aaaaahhhhh.....!" Dita menjerit kemudian jatuh telungkup di atas lantai.

"Mas Johan! Apa-apaan kamu ini!" teriak Rina kaget.

"Entah ini kebetulan atau tidak, Dita muncul di sini, rin. Aku
sebenarnya ditugaskan untuk mencarinya oleh Abah Qodir. Sayangnya waktu itu aku tidak tahu rupa wajahnya Dita hingga akhirnya dia muncul di mobilku," ucap Johan seraya menyarungkan kerisnya.

Ia selanjutnya mengeluarkan handphone-nya kemudian menelepon seseorang.
Menjelang hampir tengah malam, Rina dan ibunya juga Johan kedatangan tamu, yaitu Abah Qodir yang jauh-jauh datang dari pondoknya bersama beberapa orang santrinya menemani.

Dengan sebuah minibus, mereka tiba di depan rumah Rina.

"Assalamu'alaikum Wr Wb," ucap Abah Qodir.
"Wa'alaikumsalaam Wr Wb," ucap Rina bersama ibunya dan Johan serempak. Mereka lantas menemui Abah Qodir.

"Maafkan kami karena mengganggu waktu istirahat kalian. Kami hanya ingin menjemput nak Dita. Terima kasih nak Johan sudah membantu melumpuhkannya," ucap Abah Qodir seraya
melihat ke arah Dita yang terbaring di sofa.

"Sejak kapan Dita kabur dari pondok, Abah?" ucap Rina seraya menatap ke arah Abah Qodir.

"Tepat dua hari setelah kamu pulang, nak. Kebetulan waktu itu abah ketemu nak Johan ini. Abah pun menugaskannya untuk mencari Dita," tukas Abah
Qodir.

"Abah, saya juga ingin meminta bantuan soal ayah Rina yang sampai sekarang belum pulang juga. Beliau tadi pagi berangkat ke Warung Kiara untuk menghadiri undangan pernikahan anak temannya," ucap Johan lantas membuat raut wajah Abah Qodir berubah.

"Na'udzu billah!
Ini bukan masalah sepele. Nak Johan harus menghubungi nak Irman. Hanya dia yang dapat menembus tirai gaib Warung Kiara. Buktinya dia dapat keluar dari sana bersama nak Lina," tukas Abah Qodir seraya mengucap doa berkali-kali.

Johan menatap cemas ke arah Abah Qodir kemudian
berbicara, "Baiklah, abah. Saya akan menghubungi Irman. Dia pasti bersedia membantu saya."

Beberapa lama kemudian Abah Qodir bersama para santrinya berpamitan untuk pulang membawa serta Dita.

Setelah itu suasana hening. Johan pun berniat untuk pulang karena ia tidak mungkin
menginap di rumahnya Rina.

Rina dan ibunya pun melepas kepergian Johan yang dengan mobilnya membelah gelapnya malam.

Mereka berdua pun kembali ke dalam rumah untuk beristirahat meski perasaan takut menggelayuti.
"Bu, perasaanku kok nggak enak begini, ya. Jadinya aku tidak bisa tidur. Masih kepikiran Dita dan kata-kata soal keinginannya," ucap Rina saat berada di ruang tengah bersama ibunya.

Saat itu mereka berdua memilih tidak masuk ke kamar masing-masing karena kejadian tadi.
"Ibu juga, rin. Ibu merasa itu tidak berhenti sampai di nak Johan melumpuhkan nak Dita." Ibunya Rina menatap ke arah suatu sudut di dalam rumah. Ia lantas memalingkan wajah kemudian menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Ada apa, bu?" Rina yang penasaran lantas melihat ke
arah sudut di ruangan tersebut.

Ia hanya dapat terbelalak tanpa mampu berkata-kata.

Rupanya sesosok makhluk mistis sedang menyeringai dari kegelapan sudut ruangan itu. Kedua matanya yang menyala merah menatap dengan buas ke arah Rina dan ibunya.
Sosok tersebut berbulu dan berpostur tubuh bongkok. Terdengar suara erangannya yang membuat bulu kuduk merinding.

"Rin, apa tidak sebaiknya kita pergi mengungsi ke rumah tetangga?" ucap ibu Rina dengan cemas.

"Jangan, bu. Aku tidak ingin kita dituding membawa mereka, Kita harus
bertahan," tukas Rina gemetar seraya kembali melihat ke arah sosok yang ternyata telah menghilang.

Saat mengembalikan pandangan ke depan.

Baaaammmm!

Raut wajah mengerikan itu muncul begitu saja di hadapannya.

"Aaaaaaahhhhh!" jerit Rina disambut teriakan ibunya.
Mendadak dari luar terdengar suara orang berteriak seraya menggedor-gedor pintu.

"Rina, ibu, buka pintunya! Aku Johan!" teriak orang di luar yang adalah Johan.

Rupanya Johan memilih kembali ke rumah Rina. Di saat tiba di rumah Rina, ia telah mendapati kekacauan itu.
Baik Rina dan ibunya ingin sekali membuka pintu. Namun apa daya sosok bongkok mengerikan tersebut membuat keduanya terpaku di tempat.

Tubuh mereka berdua seolah terkunci sehingga tidak dapat bergerak.

Di luar, Johan merasa sangat panik karena tidak ada tanggapan dari dalam.
Ia mencoba mengintip ke dalam namun terhalang gorden. Ia pun mencoba mencari celah kaca yang terkena cahaya lampu.

Nihil, ia masih tidak dapat menemukan Rina dan ibunya. Johan pun berinisiatif membuka paksa pintu dengan dongkrak yang diambilnya dari mobil.
Pintu berhasil ia buka paksa meski menyisakan kerusakan parah di daun pintu. Ia lantas memasuki rumah kemudian mendapati Rina dan ibunya sedang berdiri mematung dengan wajahnya menghadap ke atas.

"Rina! Ibu!" pekik Johan seraya menghampiri mereka berdua. Namun suatu kekuatan tak
kasat mata mendorongnya mundur.

"Apa-apaan ini!" Johan lantas mencabut keris yang dibawanya.

Tiba-tiba ia melihat bayangan hitam mirip angin puyuh sedang mengitari ruangan di mana ia berada. Johan mengarahkan kerisnya ke arah bayangan angin puyuh itu terus-menerus.
"Lepaskan mereka!" teriak Johan seraya menusukkan kerisnya ke arah angin puyuh hitam saat itu mencapai jarak terdekatnya.

'Groaaaarrrrrrr' Suara auman membahana terdengar dari bayangan angin puyuh disusul setidaknya lima sosok berlompatan keluar.

Mereka semua berdiri
mengelilingi Johan. Sosok-sosok bongkok demit dengan penampilan yang sangat mengerikan.

Johan mengarahkan kerisnya seraya memutar, mewaspadai serangan yang bisa saja datang kepadanya.

"Katakan siapa yang menyuruh kalian!" bentak Johan seraya mengarahkan keris ke salah satu
sosok itu.

'Hrrrrrrrrrrr' Suara geraman terdengar dari sosok-sosok mengerikan itu. Makhluk-makhluk tersebut tampaknya tidak memahami kata-kata Johan. Atau bisa saja mereka tidak mau menjawab.

"Mungkin aku harus merobohkan kalian!" kata Johan seraya memulai pertarungannya dengan
menebas salah satu sosok yang paling dekat. Sosok tersebut menggeliat kemudian mengerang keras hingga membuat seisi ruangan seperti bergetar.

Di saat itu, empat sosok sisanya menyerang Johan secara serentak. Akibatnya Johan kewalahan karenanya.

Ia pun dengan tidak terarah
menebaskan kerisnya. Meski demikian, ia berhasil merontokkan pertahanan salah satu sosok itu hingga mengaum keras.

Tiga makhluk sisanya lantas mengeroyok Johan dengan berbagai serangan yang sulit untuk dihindari.

Pemuda itu pun terpojok dengan luka-luka sayatan memenuhi tubuh.
Kerisnya pun terlempar saat ia berusaha menyerang ketiga makhluk itu sekaligus. Ia pun kini terjatuh di hadapan Rina dan ibunya yang masih mematung.

Saat itu Johan sudah kelelahan. Ditambah luka-luka yang dialaminya benar-benar parah. Di situ ia merasa seolah hidupnya sudah
berakhir.

Apalagi serangan pamungkas tiga jurig itu tampaknya akan sukses mengakhiri hidupnya jika saja keajaiban tidak muncul.

Ketika tiga jurig itu menyerang Johan dengan cakarannya, mendadak sesosok perempuan berpakaian serba biru, muncul menghadang serangan para jurig itu.
Tidak hanya itu, si perempuan menghantam para jurig dengan sebilah golok yang ditentengnya.

"Nyingkah sia! (pergi kamu!)" teriak perempuan itu disusul menghilangnya sosok para jurig itu.

Selanjutnya ia menyarungkan goloknya kemudian memeriksa kondisi Johan.
"Kamu terluka parah, mas. Sebaiknya beristirahat dulu. Saya akan mencarikan obat dulu," ucap perempuan itu seraya berlalu menuju sebuah lemari kemudian beralih ke lemari lain dengan pandangannya mencari-cari sesuatu yang dapat membantunya menolong Johan.

Sedangkan Johan terkapar
di atas lantai dengan pakaiannya sobek-sobek memperlihatkan luka-luka irisan di badannya.

Sementara Rina dan ibunya masih dalam kondisi mematung. Tampaknya jiwa keduanya masih berada di jauh. Entah di mana masih belum diketahui.
Tak lama kemudian perempuan itu kembali dengan membawa sebuah kotak kecil P3K. Ia kemudian lantas membuka kotak itu kemudian mengeluarkan sejumput kapas serta sebotol antiseptic.

Selanjutnya ia mencecap luka-luka di tubuh Johan dengan kapas yang telah dibasahi antiseptic.
"Aku terlambat. Kak Rina dan uwak dibawa para demit itu. Uwak Hamid juga sepertinya mengalami hal yang sama. Warung Kiara bisa jadi adalah tempat di mana mereka ditahan," ucap perempuan itu.

Johan dalam kondisi lemah sebenarnya ingin bertanya, namun ia lebih memilih meringis
karena sakit dan perih yang dirasakan tubuhnya.

"Namaku Lidia, mas. Aku juga belum tahu nama kamu. Tapi nanti saja, lagipula masnya lagi terluka begini," ucap perempuan bernama Lidia itu.

Johan hanya mengangguk. Ia sejenak melirik ke arah Rina dan ibunya yang masih berdiri
dalam kondisi tidak sadar.

Beberapa lama kemudian setelah Lidia selesai merawat luka-luka Johan. Ia mengambil keris Johan yang tergeletak di salah satu sudut ruangan, kemudian menyerahkannya ke laki-laki itu.

"Aku butuh bantuanmu, mas. Kita harus ke Warung Kiara," ucapnya.
Sekitar sejam lebih kemudian, SUV merah yang dikendarai Johan melesat meninggalkan rumah Rina. Di dalam mobil tersebut tentu Johan yang mengemudikan mobil meski luka-lukanya belum seratus persen sembuh.

Di sampingnya, Lidia tengah menatap penuh konsentrasi ke depan. Sedangkan di
barisan bangku kedua ada Rina dan ibunya yang masih dalam kondisi kaku mematung terikat seat bealt di bangku masing-masing.

"Tampaknya itu sudah mengikutiku sejak dari pasar," ujar Johan seraya melihat ke arah spion kanan.

"Kalian memang telah diikuti sejak dari desa itu, mas,"
ucap Lidia. "Kamu melihat apa di spion, mas?" tanyanya.

"Terlihat seperti kuntilanak yang sedang terbang. Mereka berjumlah setidaknya ada lima," tukas Johan. "Kenapa mereka membuntuti kita?"

"Kita? Tidak, mereka membuntutimu, mas. Mereka telah menargetkanmu," kata Lidia.
Mendadak dari arah depan muncul sesosok mengerikan seperti Dementor, membuat Johan refleks menginjak rem.

"Whoaa, kita sebenarnya sedang ada di mana, sih? Padahal tadi siang tempat ini ramai," pekik Johan seraya melihat ke kiri dan kanan di mana lapak-lapak dagangan yang tutup
berjejer.

Lidia menoleh ke arah Rina dan ibunya. Jelas ia melihat Dementor tersebut sedang berusaha masuk melalui jendela mobil.

"Dia berusaha mengambil Rina. Sebenarnya ada masalah apa sih tadi sore?" ucap Lidia.

"Teman lama Rina, namanya Dita, datang ke rumah, dan ingin
membawa Rina ke Rawa Gaib. Jelas aku tidak membiarkannya. Aku sayat punggungnya dengan keris kemudian menyerahkannya kepada pimpinan ponpes di Desa Kayu Jati," ucap Johan seraya melajukan kembali mobilnya.

Lidia tampak seperti sedang berpikir. Ia berkali-kali menengok ke
belakang. Ia masih dapat melihat Dementor tersebut sedang menggapai-gapai dari balik kaca jendela.

"Apa itu tidak apa-apa?" tanya Johan.

"Tidak apa-apa selama semua pintu tertutup rapat dan terkunci. Kita harus waspada ketika tiba di Taman Ramayana. Di sana mereka sangat ganas.
Kita sepertinya membutuhkan bantuan," ucap Lidia saat mobil melewati suatu jalur menikung agak menanjak di tengah suatu hutan yang gelap.

Lampu mobil menyorot ke depan tepat ke arah barisan pepohonan di mana terdapat siluet wajah raksasa yang mengerikan di sana.
"Aku sudah menghubungi temanku. Dia bersedia menyusul kita," ucap Johan seraya melihat dengan ngeri ke arah siluet tersebut.

"Kita membutuhkan lebih banyak bantuan. Siapapun orang pintar dalam hal ini sangat kita butuhkan. Apalagi kita akan menghadapi bukan hanya satu atau dua
demit tapi bisa beribu-ribu jenis dari mereka," ucap Lidia.

Setelah sekitar dua jam melaju, tibalah mereka di suatu persimpangan yang disebut Taman Ramayana. Di sana mereka dapat dengan jelas melihat sekumpulan makhluk asing di dalam taman.

Mereka terlihat sangat beringas.
Mereka semua tampak menatap ke arah mobil yang ditumpangi Johan dan Lidia. Tatapan garang dan mengerikan itu terlihat jelas meski hanya dilihat melalui sudut mata.

Beberapa di antaranya terlihat beringsut hendak mengejar mobil yang melaju kencang di jalanan yang hanya diterangi
lampu mobil.

Johan menginjak dalam-dalam pedal gas saat menyadari makhluk-makhluk tersebut membuntuti mobilnya.

Sedangkan Lidia, beringsut mencabut golok dari sarungnya. Ia sepertinya merasakan jika para makhluk tersebut akan segera melakukan serangan awal.
Bruaggggg.......

Mobil berguncang saat suatu suatu serangan dari belakang menghantam bagian belakang mobil. Johan berusaha mengendalikan kendaraannya agar tidak keluar jalur saat mobilnya bergoncang.

Serangan tersebut benar-benar kuat. Mobil pun melindas bahu jalan yang berupa
tanah dan bebatuan.

Duk, duk, duk, dari belakang terdengar suara hantaman ke pintu bagasi. Jelas makhluk-makhluk tersebut sedang mencoba memecahkan kaca belakang mobil.

Johan pun semakin dalam menginjak pedal gas agar dapat melaju lebih cepat lagi.

"Hati-hati, mas Johan. Kita
bisa celaka bila terlalu cepat," ucap Lidia dengan khawatir.

"Mereka sedang mencoba menghancurkan pintu belakang. Akan sangat gawat jika pintu hancur. Makhluk yang melayang itu akan membawa Rina," tukas Johan dengan nada panik.
Tak lama kemudian, mobil mencapai suatu jalan berkelok-kelok yang menanjak. Johan tentu saja harus lebih berhati-hati karena jalan tersebut bisa saja menjadi akhir baginya dan juga Lidia.

Namun, makhluk-makhluk masih berada di belakang mobil, menggebuk-gebuk kaca belakang seraya
mengeluarkan suara menyeramkan.

"Kita harus tiba secepatnya di Warung Kiara atau kita kalah. Mereka cepat atau lambat pasti dapat memecahkan kaca itu," ucap Lidia seraya melongok ke belakang.

Johan tidak menyahut. Ia lantas menghidupkan wiper belakang yang seterusnya membuat
beberapa makhluk yang menempel di belakang mobil berjatuhan.

Namun sisanya dengan ganas menangkap wiper tersebut dan mematahkannya. Selanjutnya mereka kembali memukuli kaca belakang.

"Aah, padahal aku baru menggantinya kemarin!" umpat Johan jengkel.

"Nanti bisa diganti lagi,"
tukas Lidia.

Dengan kecepatan naik turun, mobil yang dikendarai Johan akhirnya tiba di ujung tanjakan. Dari sana ia dan Lidia dapat melihat samar-samar lampu jalanan kota.

Namun mereka tidak melihat satupun kendaraan di sana. Kota tersebut seperti kota yang tidak berpenduduk.
Mereka tidak melihat seorang pun di kota tersebut. Padahal di suatu kota umumnya akan terlihat setidaknya beberapa orang maupun kendaraan yang berlalu-lalang meski sudah tengah malam.

Tapi di kota ini sama sekali tidak ada seorang pun terlihat, apalagi kendaraan lain yang
melintas.

Beberapa bangunan yang berjejer di pinggir jalan terlihat gelap tanpa penerangan. Hanya lampu jalan dengan warna kuning yang sedikit memberi penerangan pada jalan.

Ketika memasuki kota tersebut, makhluk-makhluk yang menempel di belakang mobil satu persatu melompat
kemudian berlari menjauh ke belakang.

"Mereka kembali ke taman itu?" ucap Johan.

"Sepertinya begitu. Taman itu adalah tempat mereka berkumpul. Mungkin mereka tidak diperbolehkan memasuki kota ini oleh yang punya kota," tukas Lidia seraya menyarungkan goloknya.

"Mungkin ada hal
yang tidak kalah buruk dari mereka yang ada di kota ini?" kata Johan seraya memperdengarkan suara asing yang datang dari salah satu tempat yang begitu gelap yang diapit bangunan-bangunan di pinggir jalan.

"Bangunan pendopo itu?" ucap Lidia saat melihat samar-samar sebuah
bangunan pendopo yang berada dalam area gelap itu.

Ia juga dapat melihat secara samar-samar tenda berwarna biru yang tampaknya adalah tenda bekas melangsungkan suatu acara hajatan.

Johan yang turut melihat hal tersebut langsung teringat ayahnya Rina.

"Sepertinya ini tempatnya!
Kita harus mencari ayahnya Rina. Kita juga harus menemukan iblis yang membawa sukma Rina dan ibunya. Kita harus paksa iblis itu mengembalikan Rina dan ibu," ucap Johan seraya memarkir mobil tepat di depan gapura di depan pendopo dengan tenda biru itu.

Lidia mencabut goloknya
kemudian membuka pintu mobil untuk selanjutnya ia keluar. Ia kemudian melihat ke arah gapura kemudian ke arah tenda biru dan pendopo itu.

Johan melihat ke arah Lidia. "Apa tidak sebaiknya aku saja yang ke sana? Biar kamu jaga Rina dan ibu di sini," ucapnya.

Lidia menggeleng.
"Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Kita tidak mungkin pergi bersama-sama. Aku juga tidak mau membiarkanmu masuk ke dalam bahaya," ujar Johan menatap bingung ke arah Lidia.

"Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Biarkan aku pergi. Aku akan menemukan Pak Hamid," tukas Lidia
"Kamu sudah menyelamatkanku. Aku merasa berhutang padamu. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri. Di sisi lain aku juga tidak bisa meninggalkanmu bersama Rina dan ibu. Namun, alangkah baiknya kamu tetap di sini menjaga Rina dan ibu sembari menunggu temanku datang," kata Johan.
Lidia kembali menggeleng.

"Maafkan aku, mas Johan. Aku tidak bisa menurutimu. Ini soal para demit penghuni kota ini. Aku tidak yakin mas Johan sanggup menghadapi mereka," ucap Lidia membuat Johan menunduk.

Johan sejenak teringat pengalamannya bertarung dengan para demit hingga
ia hampir sekarat. Ia mengakui dirinya tidak sekuat Lidia meski membawa keris Ki Ambar yang ia peroleh dari Abah Qodir. Namun ia juga merasa tidak berani membiarkan Lidia pergi sendiri memasuki area yang sudah pasti sangat berbahaya itu.

Lamunan Johan mendadak buyar ketika Lidia
tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara dengan kedua matanya membeliak yang selanjutnya menyala berwarna hijau muda.

"Lidia!" pekik Johan ketika melihat gadis itu terangkat ke udara dengan wajah mendongak ke atas.

Tubuh Lidia perlahan turun ke atas tanah. Dengan kedua matanya
yang menyala hijau muda, ia menatap ke arah Johan sembari menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang entah bagaimana bisa muncul.

"Lidia? Kau kenapa?" Johan panik melihat Lidia yang kini berubah menjadi liar tidak seperti sebelumnya.
"Aing Salasatri! Aing putri Margon! Aing datang rek pertahankeun ieu kota! (Aku Salasatri! Aku putri Margon! Aku datang untuk mempertahankan kota ini!)" Lidia berucap dengan suara serak diiringi suara dengingan aneh.

"Lidia! Kamu kenapa sebenarnya? Kamu kerasukan?" Johan panik
seraya mundur ketika Lidia mengangkat tangan kanannya yang menggenggam golok.

Tanpa disangka, Lidia tiba-tiba menyerang Johan dengan goloknya.

'Srett'

"Aaahhh!" teriak Johan kesakitan saat golok tersebut menyayat lengannya.

Ia lantas melompat mundur seraya sigap mencabut
kerisnya.

"Aku tidak peduli siapa yang merasukimu, Lidia. Aku tidak bisa menyerangmu yang telah menyelamatkanku," ucap Johan seraya bersiaga untuk menyambut serangan berikutnya dari Lidia.

Lidia dengan kecepatan penuh menyerang Johan dengan goloknya. Johan lantas
menangkisnya dengan keris hingga menimbulkan suara benturan yang keras.

Pertarungan antara Johan dengan Lidia yang kerasukan pun tidak terhindarkan. Pertarungan tersebut jelas tidak imbang mengingat Lidia dirasuki oleh sesuatu yang sangat kuat. Sedangkan Johan belum pulih betul
dari luka-luka sebelumnya. Ditambah lagi sabetan golok Lidia barusan membuat lukanya bertambah.

Johan begitu berhati-hati ketika menghadapi Lidia mengingat gadis itu sedang kerasukan. Ia tidak ingin melukai gadis yang telah menyelamatkannya itu.
Lidia mencecar Johan dengan goloknya disambut tebasan keris. Kedua senjata itu kembali beradu hingga menimbulkan suara berdenting keras.

"Aku tidak tahu bagaimana cara menyadarkannya," gumam Johan seraya melompat mundur.

Lidia yang sedang gencar lantas melompat ke arah Johan
kemudian menebaskan goloknya.

Johan dengan segera melompat ke samping hingga tebasan goloknya Lidia tidak mengenainya.

"Ini gawat! Apa aku harus melukainya?" gumam Johan bimbang. "Aaah, tidak ada waktu untuk berpikir!" ucapnya seraya menyambut serangan Lidia yang berikutnya.
Johan pun akhirnya terpaksa balik menyerang Lidia menggunakan kemampuan silat yang ia miliki. Ia juga lantas menggunakan kemampuan karate untuk mengimbangi serangan Lidia yang sangat mematikan itu.

Beberapa terjangan kemudian, Johan berhasil memasukkan pukulannya ke punggung
Lidia hingga gadis itu terhuyung ke depan. Namun suatu sabetan golok yang didorong kekuatan gaib sukses menyayat dada Johan. Akibatnya, pemuda itu pun terjengkang ke belakang.

Luka sabetan golok jelas terpampang di dadanya serta mengeluarkan darah. Johan pun meringis kesakitan.
Johan saat itu tampaknya tidak akan diberi kesempatan oleh makhluk yang merasuki Lidia. Itu terlihat saat Johan berusaha bangun, Lidia kembali menyerangnya dengan serangan yang tampaknya akan mengakhiri pertarungan itu.

Namun kemudian tiba-tiba sesosok harimau muncul menyergap
Lidia kemudian mencabiknya hingga memuncratkan darah yang jelas terlihat begitu deras.

Johan lantas berteriak kaget.

"Lidiaaaa.......!"

Tubuh Lidia terkulai kemudian jatuh ke atas tanah.

Harimau yang baru saja mencabik Lidia lantas melihat ke arah Johan.

"Maaf, kalau aku
terlambat," ucap harimau tersebut.

"Ricky! Kau telah membunuhnya!" teriak Johan seraya bangkit kemudian menunjuk ke arah wajah Ricky.

"Apa? Memangnya kenapa, bang?" tanya Ricky seraya melihat ke arah tubuh Lidia yang sudah tidak bergerak lagi.

"Aaaahh!" teriak Johan frustrasi.
Beberapa saat kemudian setelah Johan berhasil mengontrol emosinya.

"Maafkan aku, bang. Aku tidak tahu kalau dia adalah temanmu. Aku pikir dia demit yang menyamar yang ingin membunuhmu. Yah, aku lihat dia memang hendak membunuhmu," ucap Ricky setelah ia kembali ke wujud manusia.
"Dia sudah menolongku. Hiks," Johan tampak terisak sembari menyeka air matanya.

"Aku benar-benar spontan menyerangnya, bang. Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak... Ya sudahlah, itu mengerikan sekali," kata Ricky sambil melihat ke arah tubuh Lidia
yang ditutupi kain batik.

Johan masih terlihat lesu. Ia tidak menyahut perkataan Ricky. Ia merasa begitu hancur. Niat hati ingin menolong Rina dan keluarganya, malah dihadapkan dengan hal pahit.

Secepat inikah perkenalannya dengan Lidia?
Sejenak ia melihat ke arah jasad Lidia. Ia kemudian berdiri seraya menggenggam gagang keris di pinggang.

"Apa yang akan kamu lakukan, bang?" Ricky melihat dengan terkejut ke arah Johan yang roman wajahnya seolah menggambarkan kemarahan yang sangat.
"Dia sudah menyelamatkanku. Aku merasa tidak bisa begitu saja membiarkan pembunuhnya hidup!" ucap Johan membuat Ricky semakin terkejut.

Ricky lantas mundur seraya menatap waspada ke arah Johan.

"Bang, itu kamu yang berbicara, hah? Atau makhluk yang sama yang merasuki dia?"
Ricky menatap ngeri ke arah Johan yang tampak mencabut kerisnya.

"Ini aku sendiri yang berbicara. Aku ingin menuntut keadilan! Kau sudah membunuh Lidia, maka kau juga harus mati!" Ricky terhenyak mendengar kata-kata Johan. "Seharusnya kau membiarkanku mati dan tidak menyerang
nya!" lanjut Johan setengah berteriak.

"Bang, sadarlah! Kau sedang dipengaruhinya!" seru Ricky seraya menatap waspada ke arah Johan.

"Aku tidak sedang dipengaruhi siapapun!" teriak Johan seraya melompat ke arah Ricky sembari menusukkan kerisnya.

"Aaahhh, brengsek!" Ricky
melompat mundur menghindari serangan Johan.

Johan yang sedang diliputi amarah, dendam, dan kesedihan, menerjang ke arah Ricky.

'Dugggg'

Tendangannya tepat mengenai perut Ricky hingga remaja itu terlontar ke belakang sembari mengaduh.

"Ahhh, hentikan itu, bang! Kau benar-benar
akan membunuhku? Kau akan menyesal setelah iblis itu keluar dari ragamu!" teriak Ricky seraya melompat kemudian berlari mengitari Johan.

"Tidak ada iblis yang merasukiku! Ini murni niatku!" teriak Johan dengan suara parau.

Ia kembali menyerang Ricky dengan kerisnya.
Ricky menyambut serangan itu seraya membaca kalimat yang biasa ia lakukan ketika hendak berubah wujud ke sosok harimau.

'Trang'

Keris dan kuku tajam Ricky beradu. Dalam wujud harimaunya, Ricky mencoba membendung serangan Johan yang seolah tidak dapat dihentikannya.
Bahkan cakarannya seolah tidak dapat menyentuh Johan sama sekali. Dari situlah, Ricky yakin jika Johan sebenarnya sedang dirasuki namun tandanya tidak terlihat.

"Bang Johan, dia merasuki hatimu! Tahan emosimu!" teriak Ricky seraya berusaha mendorong Johan yang kini menekannya
sembari mengarahkan ujung keris ke lehernya.

"Kau matilah, setan!" Johan terus menekan gagang keris hingga ujung keris hampir mencapai leher Ricky.

"Sadar, bang! Kau sedang diperdaya iblis itu!" teriak Ricky seraya mendorong Johan, namun tidak bisa karena kuatnya dorongan
laki-laki itu.

Saat itu Ricky sedang terpojok di bawah sudut pagar tembok. Hal itu jelas membuatnya tidak dapat kabur dari cengkeraman Johan yang sedang dipengaruhi kekuatan jahat.

Di saat ujung keris yang tajam hampir mengenai leher Ricky, mendadak dari salah satu pohon
terlihat sesosok perempuan berkebaya cokelat sedang tertawa-tawa kegirangan. Kedua matanya memancarkan sinar berwarna hijau muda, persis seperti saat Lidia kerasukan.

Johan yang sedang dirasuki secara halus itu tidak mempedulikan kemunculan perempuan itu. Ia terus menekan keris
nya ke arah leher Ricky yang tampaknya sudah tidak dapat melawan lagi.

"Bang Johan, Rina, bang, Rina!" teriak Ricky spontan menyebut nama gadis yang masih tidak sadarkan diri di dalam mobil.

Johan tiba-tiba tertegun. Mendadak ia melemparkan kerisnya ke arah sosok perempuan di
depan pohon itu.

Keris tersebut dengan kecepatan tinggi lantas menancap ke dada sosok perempuan tersebut hingga tembus ke punggung dan menancap di pohon di belakangnya.

"Aaaahhhh.......!!" perempuan tersebut menjerit seraya meronta saat tubuhnya tertusuk keris yang dilempar
Johan.

"Ricky, katakan apa yang telah aku lakukan!" Johan lantas mundur saat menyadari dirinya dalam posisi mengancam Ricky.

"Syukurlah kau sadar, bang. Aku hampir mati, lho!" tukas Ricky seraya bangun setelah Johan melepaskannya.
Johan dan Ricky lantas melihat ke arah sosok perempuan yang sedang meronta-ronta kesakitan dengan keris yang memancangnya ke pohon di belakangnya.

"Iblis ini yang merasuki Lidia. Dia telah membuat Lidia terbunuh," ucap Johan seraya menatap tajam ke arah sosok Salasatri.
"Apa yang kita lakukan terhadapnya, bang?" tanya Ricky.

"Dia adalah Salasatri. Aku tahu namanya saat ia merasuki Lidia. Dia mengaku putrinya Margon. Aku tahunya Mardan Suharma, pembantai dari Buni Asri," tukas Johan. "Ayo bantu aku, rick. Aku harus mengambil kerisku."
Johan lantas mendekat ke arah Salasatri yang masih meronta sembari meraung-raung dengan suara mengerikannya. Ia kemudian menyentuh gagang keris seraya memejamkan kedua matanya.

Sementara Ricky di belakang hanya memperhatikan apa yang dilakukan Johan.

"Ricky, tempelkan telapak
tanganmu ke pundakku," ujar Johan masih dalam kondisi kedua matanya terpejam.

"Hati-hati, bang. Dia hendak melepaskan tangannya dari keris," tukas Ricky seraya melompat ke arah Johan kemudian langsung menempelkan kedua telapak tangan di pundak Johan.
Johan memusatkan pikirannya pada keris yang menancap secara rangkap di tubuh Salasatri dan pohon. Tampaklah setitik api yang perlahan membesar di bilah keris yang menancap di tubuh Salasatri.

"Akhhhhhhrrrr.....!!!" Salasatri menjerit kepanasan saat api mulai berkobar menyulut
tubuhnya kemudian melebar dan membakar seluruh tubuhnya.

Di saat bersamaan, Johan berhasil mencabut kerisnya dan membiarkan Salasatri jatuh ke atas tanah dalam kondisi terbakar.

Johan dan Ricky pun mundur sembari menyaksikan Salasatri yang meronta-ronta dibalut api yang
membakarnya.

Tak lama kemudian tubuh Salasatri terkulai ke atas tanah. Selanjutnya sosok Salasatri menguar menjadi bulir-bulir api yang terbang untuk selanjutnya menghilang.

"Sekarang dia sudah tidak ada. Selanjutnya apa yang akan kita lakukan, bang?" ujar Ricky setelah
Salasatri benar-benar menghilang.

Johan tanpa menjawab, menunjuk ke arah tenda biru dan bangunan pendopo.

"Bang, sepertinya kita kedatangan tamu," ucap Ricky saat merasakan hawa panas muncul seolah menghembus ke tengkuknya.

"Ternyata dedengkotnya masih ada. Makhluk apa lagi
yang akan muncul sekarang?" kata Johan seraya melihat sekeliling dengan waspada.

Mendadak terlihat api menguar dari kolong mobil Johan yang terparkir di depan gerbang.

"Oh, tidak! Kita harus keluarkan Rina dan ibu!" teriak Johan seraya berlari ke arah mobil.

Ricky lantas
menyusul Johan, kemudian membantunya mengeluarkan Rina dan ibunya. Setelah itu suatu ledakan besar sukses menghancurkan mobil Johan.

DUUAAAAARRRRRRR

Mobil Johan pun musnah setelah ledakan tersebut. Seluruh bodi mobil habis dilalap si jago merah.
"Subhanallah! Mobilku!" pekik Johan saat menyaksikan mobil kesayangannya musnah dilalap api

Ricky yang berada dekat Johan tidak mampu berbuat apa-apa karena ia yakin memadamkan api di mobil tersebut tidak akan membantu sama sekali. Mobil tersebut telah hancur karena ledakan.
Di saat itu dari arah pendopo muncul suatu sosok yang sangat tinggi dan besar. Suara langkahnya pun terdengar berat.

Johan dan Ricky lantas melihat ke arah sosok tersebut seraya mundur.

"Manusia raksasa, bang!" pekik Ricky saat melihat sosok tersebut semakin jelas.

Johan hanya
tertegun melihat penampakan itu. Sesosok raksasa yang memiliki rupa seperti manusia dengan pakaian serba hitam serta berambut klimis. Kedua bola matanya yang besar memiliki pupil berwarna oranye dan seperti menyala.

"Selamat datang di Paninggaran, Johan Febriansyah putra
Khaerul Bahri, dan Ricky Sulistioputra putra Arsid Muchlisin," ucap sosok manusia raksasa tersebut dengan suara bergema.

"Siapa kau? Kau tahu kami?" Johan menatap waspada ke arah sosok raksasa itu.

"Aku Margon. Kau pernah menyebut namaku sebelum ini, bukan," tukas raksasa itu.
"Aku hanya mengulang kata-kata iblis yang telah kami kalahkan," tukas Johan seraya melirik ke arah Ricky.

"Oh, Salasatri yang memberitahumu. Putriku malang, dia ternyata tidak sanggup menghadapi kalian," kata Margon seraya menatap datar ke arah Johan dan Ricky.
"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah dia kami kalahkan?" kali ini Ricky yang berbicara.

"Kau petarung harimau, memiliki kemampuan bertarung yang tidak dapat dianggap remeh. Aku hanya ingin menguji kalian dengan permainan maut. Jika kalian bisa melewatinya, maka aku akan
pergi dan membebaskan sukma mereka dan juga dia," tukas Margon seraya menunjuk ke arah Rina dan ibunya yang masih tidak sadarkan diri. Ia juga menunjuk ke arah seorang laki-laki setengah baya yang terlihat seperti sedang berlari di tempat di antara bangunan pendopo dengan pagar.
"Itu ayahnya Rina!" pekik Johan saat mengetahui siapa laki-laki itu. Ia lantas berlari hendak menghampiri laki-laki itu.

"Percuma saja. Dia tidak akan melihat dan mendengarmu. Kamu juga tidak akan bisa menyentuhnya," kata Margon membuat Johan terhenyak.
"Hei raksasa, sebaiknya kembalikan mereka semua! Sudah cukup iblis itu membuat temanku terbunuh!" teriak Johan seraya berdiri tanpa takut di hadapan Margon.

"Bagus sekali. Ternyata putriku sudah dapat membunuh sebelum akhirnya dia lenyap," ucap Margon seraya terkekeh.
"Ricky, ayo kita hadapi dia!" teriak Johan yang langsung disambut Ricky dengan transformasinya menjadi harimau.

Mereka berdua pun kini berhadapan dengan Margon yang masih terlihat santai.

"Sudah kubilang, kalian harus melewati ujian dariku terlebih dahulu. Setelah itu kalian
baru bisa pergi dengan membawa teman-teman kalian yang diculik putriku," kata Margon santai. "Tahun 1917 di daratan Eropa sedang terjadi perang yang sangat berdarah. Barangkali kalian ingin terlibat di dalamnya. Silahkan bermain-main di sana," tambahnya seraya mengibaskan
tangan kanannya.

Mendadak terdengar suara seperti sirine yang meraung-raung disusul suatu benda menukik jatuh ke atas tanah.

DUARRRRRRRR

Benda tersebut meledak ketika mencapai tanah menyerpihkan tanah dan material ke segala arah.

Johan dan Ricky yang belum siap lantas
terlempar jauh ketika ledakan tersebut membuncah.

Mereka berdua pun tidak sadarkan diri. Ledakan tersebut rupanya berasal dari sebuah proyektil altileri yang entah datang darimana setelah Margon mengibaskan tangannya.
Serpihan tanah dan material berjatuhan ke arah tubuh mereka berdua. Area tempat mereka berdua terbaring terlihat sangat berantakan dengan gedung-gedung yang telah hancur dan sebagiannya terbakar.

Suara dentuman meriam terdengar di kejauhan disusul suara benturan keras di salah
satu sudut area di mana gedung-gedung yang telah hancur berada.

Suara benturan keras tersebut membuat Ricky terbangun. Ia lantas melompat ketika suatu serpihan besar mengarah kepadanya.

"Apa-apaan ini! Di mana aku?" Ricky celingukan setelah berhasil meloloskan diri dari
serpihan tersebut.

"Bang Johan! Kamu di mana?" teriak Ricky seraya kedua pandangannya mencari-cari.

Tidak ada jawaban. Hanya suara dentuman altileri yang terdengar menggelegar memenuhi udara. Ricky pun merasakan kedua kupingnya pengang setelah mendengar suara dentuman itu.
"Bang Johan!" Ricky kembali memanggil Johan yang kini entah berada di mana. "Jangan-jangan ledakan tadi?" Ricky mulai berpikir buruk.

Ia lantas berlari ke arah bekas proyektil altileri jatuh sebelumnya. Ia kemudian mencari-cari di sekitar gundukan tanah hingga memasuki lubang
besar bekas ledakan hingga berdiameter 7 meter lebarnya.

Tak lama kemudian menatap ke arah sepasang jejak sepatu yang sepertinya belum lama ini terbentuk di atas tanah bekas ledakan.

"Bang Johan?" Ricky kemudian menelusuri jejak sepatu tersebut ke arah sebuah bangunan yang
kondisinya tidak terlalu rusak.

'Dorrrrr' Tiba-tiba suatu tembakan dari arah yang tidak diketahui melesatkan peluruh ke arah Ricky. Beruntung ia dapat menghindari terjangan peluru yang bisa saja membunuhnya.

"Sial! Siapa yang menembakiku!" umpat Ricky seraya bersembunyi di
balik tembok.

'Dorrrrr' Sebutir peluru kembali melesat ke arah Ricky dan menghantam tembok. Sepertinya penyerang kesulitan untuk menembak dengan tepat ke arah Ricky.

"Siapa sih yang menembakiku? Apa dia tidak lihat aku tidak bersenjata?" ketus Ricky seraya merunduk saat
tembakan berikutnya kembali datang.

Ricky kemudian merapal doa yang pernah diajarkan Abah Qodir untuk bertransformasi menjadi harimau. Namun ia gagal berubah karena setelah berkali-kali membaca doa itu, ia tidak juga berubah.

"Margon telah mematikan kekuatanku? Dia pasti
iblis!" umpat Ricky jengkel.

Ia pun lantas berjalan mengendap-endap di antara reruntuhan bangunan. Ia kemudian terkesiap melihat beberapa mayat bergeletakan dalam kondisi hancur.

Ia pun merasa mual melihat pemandangan tersebut. Ditambah bau bangkai bercampur mesiu yang membuat
mual.

Sejenak Ricky melihat ke langit. Hari itu pasti siang, namun matahari hampir tidak terlihat karena tertutup kabut hitam dari ledakan-ledakan altileri di medan perang.

"Jadi ini Perang Dunia? Aku tidak dapat membayangkan jika keadaannya separah ini," gumam Ricky seraya
melihat ke arah sepucuk senapan yang masih utuh.

"Mungkin aku harus balas menembak keparat itu!" Ricky memungut senapan tersebut kemudian memperhatikan magasinnya yang ternyata terisi.

Artinya si pemilik senapan belum sempat menggunakannya saat terjadinya serangan udara.
"Aku pernah berlatih menembak meski hanya sekali waktu kegiatan ekskul. Kali ini bukan latihan. Minimal aku bisa membuatnya berhenti menembakiku." Ricky kemudian mengarahkan moncong senapan ke arah sebuah bangunan berlantai dua yang ia yakini di mana tembakan berasal.

'Dorrrrr'
Benar saja, suatu tembakan yang berasal dari lantai dua bangunan tersebut kembali mengarah ke Ricky. Ia pun lantas menarik pelatuk saat moncong senapan mengarah ke jendela lantai dua bangunan tersebut.

'Cklekk' Ricky gagal menembak karena ternyata senapan Lee Enfield tersebut
rupanya masih terkunci.

Ia lantas merobohkan diri kemudian tiarap di bawah pagar tembok yang memisahkannya dengan bangunan tersebut.

"Sial! Aku tidak tahu cara menggunakan senjata ini. Apa ini penguncinya?" Ricky sembari tiarap menekan pengunci senapan tersebut kemudian
mencobanya dengan menembak ke udara.

'Dorrrrr' Letusan senjata membuncah membuat popor senapan tersebut terbenam ke dalam tanah yang sudah gembur.

Setelah peluru pertama keluar, Ricky menarik baut (Bolt) kemudian mendorong peluru dengan baut tersebut. Selanjutnya ia kembali
mengarahkan moncong senapan ke arah jendela di mana ia dapat melihat seseorang yang dengan cepat menembakkan senjatanya ke arahnya.

Ricky lantas menembakkan senjatanya dengan cepat.

'Dorrrrr' Sebutir peluru yang ditembakkan Ricky melesat menghantam helm besi yang dikenakan
musuh hingga terpental.

Ricky melihat musuhnya terjengkang kemudian tidak muncul lagi. Namun ia tidak yakin musuh telah terbunuh. Oleh karenanya ia lantas menghampiri bangunan tersebut kemudian memasukinya seraya menodongkan senapan.
Ricky memasuki bangunan tersebut. Ia lantas melewati ruangan menuju tangga ke lantai dua. Dengan waspada ia menodongkan senjata sembari berjalan perlahan menghampiri pintu yang setengah tertutup.

Dengan laras senapan ia mendorong daun pintu perlahan.

Tiba-tiba....

'BUKKKK'
Sebuah tinju melayang tepat ke wajah Ricky dari arah kiri. Ricky pun terpelanting jatuh dengan senapannya terlempar hingga jatuh ke bawah tangga.

Orang yang meninjunya tersebut berpakaian seragam militer berwarna hitam berkulit putih bermata biru. Ricky dapat menebak jika orang
itu adalah tentara Jerman.

Tanpa memberi kesempatan, tentara Jerman tersebut menyerang Ricky bertubi-tubi sembari menghunus pisau.

Ricky yang dalam posisi jatuh tentu tidak sempat menghadapi serangan brutal itu.

Namun keberuntungan masih berpihak. Mendadak terdengar letusan
tembakan disusul terjatuhnya tubuh tentara Jerman tersebut.

Ricky melihat seorang tentara dengan seragam warna khaki sedang tergopoh menaiki tangga sembari menenteng senapan.

"Are you okay?" ujar tentara tersebut dalam bahasa Inggris.

Ricky tercenung mendengar ucapan tentara
tersebut karena ia tidak terbiasa berinteraksi menggunakan bahasa Inggris dengan siapapun.

"Ya, I am okay." Ricky menjawab tergagap.

"Okay, soldier. We need to go. This place will be ruined soon. The Germany still bombards this city," ucap prajurit itu kemudian memeriksa
area di lantai dua itu.

"Why?" tanya Ricky seadanya.

"Our friends are still here and Germany troops knew it. But we can't escape because this city is surrounded," jawab prajurit tersebut seraya menuruni tangga diikuti Ricky. "What is your name, sir?I have never seen you before"
"I am Ricky. I'm lost," jawab Ricky.

"What is your division, corporal? Oh, by the way, I'am Michigan, Robert Michigan. I'am from New Castle division," kata prajurit bernama Robert Michigan itu.

Sementara Ricky hanya tercenung bingung harus menjawab apa mengingat ia bukanlah
tentara yang sedang berperang. Ia hanyalah orang yang sedang digunai-gunai musuh dari dunia lain.

"Why didn't you answer?" tanya Robert.

"Honestly, I am not soldier, sir," ucap Ricky membuat Robert menghentikan langkah kemudian menoleh.

"What is this, corporal?" ucap Robert
sambil menunjuk pakaian yang dikenakan Ricky serta papan nama.

Ricky terkejut saat menyadari jika pakaian yang dikenakannya adalah seragam tentara Inggris dengan namanya sendiri di papan nama.

Kalau ada papan nama kenapa Robert harus menanyakan siapa namanya?
"Never mind, corporal. The important is we must survive and get out from this hell." Robert tanpa ambil pusing langsung pergi diikuti tatapan bingung Ricky. "Don't forget. Take your weapon and kill all Germany soldiers you encounter!"

"Yes, sir!" sahut Ricky agak tergagap.
JELEGERRRRRR

Sebuah proyektil altileri jatuh tepat beberapa meter di depan mereka berdua, meledakkan tanah hingga berlubang. Beberapa bangunan yang telah hancur yang berada di dekatnya menjadi semakin hancur saja.

"That's so close!" umpat Robert seraya memberi isyarat Ricky
agar mengikutinya melalu jalan lain. "Be careful, there are many enemies there," ucapnya sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan katedral yang sedang terbakar.

Dorrrr, dorrrr, dorrrr

Beberapa tembakan beruntun meletus ke arah Ricky dan Robert. Keduanya lantas lari kemudian
bersembunyi di balik tembok yang berbatasan dengan pagar tembok yang melingkupi katedral tersebut.

"They burn holy place. What is religion they profess?" gumam Robert seraya menarik baut senjatanya.

Ricky pun melakukan hal yang sama. Ia lantas mengintip melalui ujung tembok
dan disambut tembakan musuh.

Dorrr....

"Damn!" umpat Ricky seraya merunduk.

"We must move. They will bombard us with bombshell!" ucap Robert seraya beringsut.

Ricky dengan waspada mengawasi jalur yang dilewatinya bersama Robert.
"So, you are looking for your friend? What is his name?" ucap Robert ketika mereka berada di area yang dirasa tidak terjangkau pantauan musuh.

"Yes, sir. His name is Johan," tukas Ricky.

"Johan what? Just Johan? Everyone must have at least two names ; first name and last name,"
kata Robert sembari menatap ke arah Ricky sambil berjalan.

"Johan Febriansyah, sir. That is his complete name," tukas Ricky disambut tatapan bingung Robert.

"What kind of name is that?" ucap Robert.

"Sir, I think we walk on wrong way. This road is likely toward enemy's area,"
kata Ricky saat melihat pergerakan pasukan Jerman disertai deru truk pengangkut.

"Oh, no. We will die here. We will be same like the other," ucap Robert dengan nada putus asa.

Ricky lantas merasa bingung dengan pria itu. Padahal sebelumnya tentara tersebut terlihat begitu
optimis dan seolah bisa menjadi malaikat penyelamat baginya.

"Sir, we must go back. We will not survive if keep moving forward!" kata Ricky seraya berbalik hendak kembali ke jalur sebelumnya.

Namun Robert tidak mengikuti Ricky. Ia malah berdiri mematung.
Ricky yang melihat itu lantas berlari kemudian menarik Robert agar ikut dengannya. Namun Robert malah menolak dengan kibasan tangannya.

"Go, save yourself!" ucap Robert setengah berteriak.

"No, we must stick together! I will not let you die here!" Ricky memaksa.
"Let me stay here, boy! You have to run, I will hold them!" ucap Robert seraya mengisi ulang magasin senapannya.

"I refuse, sir! We die together!" balas Ricky seraya mengokang senjata setelah mendorong baut senjatanya.

"Aaah, fuck off! Lets run!" Akhirnya Robert mengalah.
Ia pun berlari ke arah dari mana mereka muncul. Ricky pun mengikuti dari belakang sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Don't look at back or you will fall!" ujar Robert tanpa menoleh ke arah Ricky.

Mereka berdua terus berlari hingga kemudian terdengar suara teriakan.
"Shit! They see us!" ucap Robert panik.

Ricky tanpa menyahut, terus berlari hingga melampaui Robert.

"Keep running, boy!" ujar Robert.

'Dorrrrrr'

Tiba-tiba sebutir peluru menembus punggung Robert hingga pria itu pun jatuh tersungkur.
"Oh, tidak!" ucap Ricky seraya menghampiri Robert yang tersungkur.

"Watch out, boy!" teriak Robert disusul beberapa tembakan mengarah padanya.

Ricky lantas mundur setelah beberapa butir peluru menerjang tubuh Robert yang memang telah lemah akibat tembakan sebelumnya.

"Sir!"
teriak Ricky seraya berusaha membantu Robert.

"Let me, boy. I knew I will not survive. Please, take this and give it to my uncle," ucap Robert terbata seraya meringis menahan sakit.

"No, sir. You must live. I will take care of you. I don't know what will I do if you don't make
it," kata Ricky dengan panik seraya berusaha menutupi pendarahan di tubuh Robert.

"Son, this is our first and last met. Please let me here. Take this. It will help you to find way out," kata Robert dengan suara melemah seraya memberikan gulungan peta kepada Ricky.
'Dorrr, Dorrrr'

"Hurry, son! They come to us! Run, run, boy!" kata Robert saat tembakan berikutnya datang dengan peluru berdesingan ke arahnya dan Ricky.

Ricky pun dengan terpaksa meninggalkan Robert. Ia ingin sekali menyelamatkan pria itu namun desingan peluru telah mengakhiri
hidup tentara malang tersebut.

Ricky hanya mampu menatap pilu dari kejauhan ke arah jasad Robert sebelum ia berlari kembali.

Saat itu menjelang sore, lembayung hanya terlihat samar-samar dari ufuk barat, tertutup kabut gelap hasil peperangan.
Ricky terus berlari sembari menenteng senjata yang terisi penuh. Namun ia memilih tidak menggunakannya meski beberapa orang tentara musuh memergokinya serta menyerangnya dengan tembakan.

Ricky lebih fokus berlari. Ia lebih memikirkan mencari jalan keluar yang ditunjukkan peta
pemberian Robert.

Setelah berhasil melewati beberapa rintangan, Ricky pun mencapai pinggiran kota di mana banyak sekali tentara musuh berkeliling dengan senjata lengkap.

"Sial! Bagaimana aku bisa keluar dari sini? Benar kata Robert, reruntuhan ini sedang dikepung," gumam Ricky.
Ricky termangu sejenak di dalam kegelapan bayangan bangunan tinggi di dekatnya. Saat itu malam, di mana tidak ada penerangan selain suar yang ditembakkan dari kejauhan.

Ricky dapat mendengar suara riuh para tentara yang sedang berpatroli. Mereka sepertinya sedang memperbincang
kan kesuksesan mereka merebut kota yang telah jadi puing-puing itu. Mereka berbicara dalam bahasa yang Ricky tidak mengerti. Sesekali terdengar suara tertawa.

"Aku tidak mungkin membunuh orang lebih dulu kecuali orang itu yang lebih dulu hendak membunuhku. Apa ini harus aku
lakukan?" gumam Ricky seraya beringsut kemudian meraba pinggangnya di mana sebilah pisau tersarung di sana.

Ia kemudian menggendong senapannya kemudian menghunus pisau. Selanjutnya ia bergerak perlahan di dalam kegelapan.
Ia lantas mencari-cari celah, berharap menemukan jalur yang tidak terawasi pasukan Jerman. Namun yang lihat adalah sepanjang jalur selalu ada tentara yang berjaga.

Ricky lantas memutar otak, bagaimana cara menghindari kontak dengan para tentara tersebut.

Mendadak suar menguar
di udara, menimbulkan cahaya yang menerangi seluruh area termasuk di mana Ricky berada.

"Sial, cahaya suar itu bisa membuatku ketahuan!" Ricky lantas tiarap di belakang tembok.

'Dorrrrr' Mendadak suatu tembakan kepadanya.

Ia lantas beringsut memasuki area gelap lainnya. Namun
tiba-tiba seseorang menyergapnya kemudian menghantamnya dengan popor senapan.

Popor senapan tersebut tidak berhasil mengenai Ricky karena ia berhasil menghindar dengan cara menggelindingkan tubuhnya ke kiri. Tidak hanya itu, Ricky lantas bangun kemudian menikam penyerangnya itu.
Jresss, pisau yang ditikamkan Ricky menancap tepat di punggung musuh, seorang tentara Jerman. Tanpa membuang kesempatan, Ricky mendorong tentara itu kemudian membenturkannya ke tembok.

Beberapa lama kemudian, tentara tersebut terkulai tewas. Ricky lantas pergi meninggalkan mayat
tentara itu saat terdengar suara teriakan dari arah selatan.

Ia berlari saat melihat beberapa orang tentara berlarian ke arah lokasi di mana Ricky sebelumnya berada.

"Bang Johan, di mana sih kau? Aku khawatir dia bernasib tidak lebih baik dariku," gumam Ricky seraya berlari.
Ricky menghentikan larinya saat beberapa meter di belakangnya terlihat pasukan Jerman sedang kalang kabut karena sedang diserang entah oleh siapa. Suara tembakan terdengar jelas dibarengi tembakan mortir yang meledakkan beberapa area.

Tak lama kemudian terdengar suara ledakan
lain yang lebih besar menghantam area di mana serangan berasal. Itu adalah serangan altileri.

Ricky menyarungkan pisaunya kemudian mengokang senjata untuk selanjutnya berlari ke arah area di mana penjagaannya mulai longgar.

'Dorrr, dorrr' Suara letusan senjata api mengarah
kepadanya. Ia lantas balas menembak tepat ke arah sebuah bangunan yang berdiri di pinggir jalan.

Ricky dalam posisi tiarap kembali menembak ke arah jendela bangunan di mana tembakan berasal.

Tiba-tiba

Duarrrrrr....

Bangunan tersebut meledak terkena serangan altileri.
Ricky kemudian bangkit perlahan dari tiarapnya. Dilihatnya beberapa orang tentara yang berjaga berjatuhan setelah berjuang menembaki lawan yang sedang merangsek.

Ricky hanya menunggu di balik pagar tembok yang memisahkan kota dengan jalan raya yang memisahkannya dengan area
lapang dari mana serangan berasal.

Tak lama kemudian Ricky melihat para tentara dengan seragam yang serupa yang dipakainya muncul sembari meneriakkan yel-yel.

"Victory! The royal army wins ones more!" (kata-kata ini diambil dari game Stronghold Crusader :D)
Ricky menunggu sejenak kemudian ia keluar dari persembunyiannya dan berpura-pura menjadi bagian dari pasukan yang baru datang tersebut.

"Halo, pak. Apakah anda kenal dengan Letnan Alfred Phillipson?" tanya Ricky dalam bahasa Inggris kepada salah seorang tentara terdekat.

"Apa?
Pasti kau sedang stress. Masa tentara Inggris tidak mengenal Letnan Alfred?" ucap tentara tersebut heran.

"Oh, maaf. Saya hanya ingin bertemu dengannya. Di mana saya bisa menemuinya?" tanya Ricky.

Prajurit tersebut berhenti berjalan kemudian menatap bingung ke arah Ricky.
"Aku tidak tahu kamu orang baru atau bukan di dalam resimen. Aku hanya sekedar memberitahu, jika kamu ingin bertemu sir Alfred, artinya kamu sama saja ingin masuk neraka," ucap prajurit tersebut membuat Ricky terkejut.

"Tapi, pak. Saya mendapat amanat memberikan ini kepadanya,"
ucap Ricky seraya menunjukkan kalung tali hitam dengan liontin (dog tags).

"Apa? Jadi kau berasal dari resimen New Castle? Aku pikir kau satu resimen denganku," kata prajurit itu terkejut saat melihat kalung yang ditunjukkan Ricky. "Jika kau ingin menemui sir Alfred, kau harus
melewati wilayah Jerman. Keadaannya akan sangat buruk, lebih buruk daripada yang terjadi di kota ini," lanjut prajurit dengan papan nama William Bright itu.

"Aku tetap akan menemuinya meski mungkin aku akan gagal karena terbunuh. Aku harus menyampaikan ini," ucap Ricky bertekad.
"Pastikan dirimu tidak terbunuh, prajurit! Untuk apa kau berusaha kalau ujung-ujungnya hanya untuk terbunuh!" ucap William seraya menepuk pundak Ricky. "Bawa ini, kau pasti memerlukannya di jalan," lanjutnya seraya memberikan botol besar berisi air minum kepada Ricky.
"Hei, ada apa, Willy?" ujar seorang prajurit yang datang menghampiri William dan Ricky.

"Dia ingin menemui Sir Alfred, Ron. Aku sudah mengatakan untuk menemuinya harus memasuki neraka terlebih dahulu," tukas William.

"Oh, kamu dari resimen New Castle? Kami menemukan mayat teman
-temanmu di dalam kota. Kami turut merasa kehilangan karena bagaimana pun kita sebangsa setanah air," kata prajurit bernama Ron itu.

"Terima kasih, pak. Mungkin saya harus pergi sekarang, mumpung masih gelap," tukas Ricky.

"Sebaiknya begitu, prajurit. Segeralah berangkat.
Semoga sukses," ucap William seraya menepuk kembali pundak Ricky diikuti Ron.

"Sampaikan salam kami kepada Letnan. Katakan, kota pinggiran telah aman," kata Ron seraya melepas kepergian Ricky.

Pada akhirnya Ricky pun pergi dengan membawa kalung Robert. Ia sebetulnya tidak
mengerti kenapa harus bersusah payah demi memberikan kalung itu kepada Letnan Alfred. Kalung itu bukan surat perintah atau apapun yang menyangkut hal demi kepentingan perang.

Apapun itu misterinya, mungkin ada hal lain yang akan ditemui Ricky nanti di perjalanan.
Lahan tersebut merupakan bekas pertempuran berdarah. Sejauh mata memandang hanya tanah lapang sedikit bergunduk dengan banyak parit besar serta pagar kawat berduri dan juga bunker.

Terlihat di atas lahan bekas pertempuran tersebut mayat-mayat tentara yang belum sempat diambil
bergeletakan di atas tanah. Sebagian di antaranya ada yang tersangkut di pagar kawat berduri dengan beberapa ekor gagak mematukinya.

Di dekat salah satu parit, dalam gelapnya malam, Ricky sedang berjalan setengah merunduk sembari menenteng senjatanya. Ia sesekali tengkurap
ketika melihat cahaya suar meski di kejauhan.

Ricky kemudian menuruni ceruk menuju ke arah ujung parit. Di sanalah Ricky dapat melihat mayat-mayat tentara bergelimpangan. Mereka bercampur antara tentara Jerman dengan tentara Inggris.

"Ukkhh, lebih baik aku tidak ke sini!" ucap
Ricky seraya mengurungkan langkahnya, bersiap untuk mencari jalur lain. Namun dilihatnya pagar kawat berduri menghalangi di atas bibir parit. Ditambah lagi ia mendengar suara gemerisik langkah-langkah serta obrolan dalam bahasa Jerman mendekat ke arahnya.

Ricky lantas menembus
tumpukan mayat-mayat tersebut dengan hati-hati. Ia terus menyusuri parit hingga mencapai bunker. Pintu bunker dalam keadaan terbuka, dan Ricky pun memasuki ruangan bunker meski gelap.

Ia tidak berusaha menyalakan api agar tidak menimbulkan kecurigaan dari para tentara Jerman.
Namun kemudian ia dapat mendengar jika para tentara tersebut mengarah ke bunker tempatnya berada.

"Sial!" Ricky lantas menghunus pisau kemudian memasangkannya ke laras senapan.

Pisau yang dipasang di laras senapan biasa disebut sebagai bayonet. Dengan itu, ia bisa menyerang
musuh yang jaraknya terlalu dekat.

Suara-suara langkah tersebut semakin dekat disusul nyala lampu dari arah itu. Cahaya semakin mendekat membuat Ricky semakin kalut saja.

Mereka pasti ada lebih dari satu orang. Ricky pun harus bersiap untuk melarikan diri jika ia tidak dapat
menghadapi mereka sekaligus.

Ricky beringsut kemudian mencoba mencari jalan keluar lain. Namun ia kesulitan menemukannya karena gelapnya kondisi di dalam bunker.

Tanpa sadar ia menendang suatu benda yang tampaknya adalah kaleng hingga menimbulkan suara gaduh.

Terdengar
teriakan salah seorang tentara Jerman dari arah pintu masuk bunker.

Ricky lantas bersembunyi ke balik dinding dekat posisi ia menendang kaleng. Selanjutnya ia menunggu sampai cahaya lampu semakin menerangi ruangan tersebut.

Ricky memperhatikan dengan seksama dua tentara
Jerman yang berjalan sembari memeriksa seisi ruangan bunker itu. Tak lama mereka mengarah ke lokasi di mana Ricky berada.

Alhasil Ricky pun kelabakan. Sedangkan di sekitarnya buntu, tidak ada jalan melarikan diri sama sekali.

Tiba-tiba salah seorang tentara Jerman berteriak
seraya menunjuk ke arah di mana Ricky berada.

Melihat itu, Ricky langsung melepaskan tembakan.

'Dorrrr' Tentara yang berteriak itu roboh bersimbah darah diiring jerit kesakitannya.

Sementara rekannya lantas berteriak kemudian melepas tembakan ke arah Ricky, namun meleset.
Tanpa membuang kesempatan, Ricky lantas melontarkan senapannya seperti sedang melempar lembing ke arah tentara tersebut.

'Jressss' Tentara tersebut berteriak kesakitan saat bayonet menembus dadanya.

Ricky kemudian menghampiri tentara tersebut kemudian mencabut senapan dengan
bayonet yang menancap di dada tentara itu.

Belum sempat ia menyentuh popor senapan, mendadak seseorang di belakang meninjunya hingga terjatuh. Bahkan orang tersebut menghantamnya dengan popor senapan saat ia terjatuh.

"Du stirbst!" teriak tentara Jerman yang menjatuhkan Ricky.
Ricky mengaduh kesakitan sembari berguling menghindari serangan berikutnya dari tentara Jerman tersebut. Ia kemudian berusaha bangkit namun hantaman popor senapan membuatnya kembali jatuh.

Ketika ia membalikan badan, mendadak tentara Jerman tersebut tertegun.

"Ricky?"
Tentara Jerman tersebut berucap, membuat Ricky lantasi memperhatikan dengan seksama wajah tentara tersebut.

"Bang Johan? Apa ini benar-benar kamu?" Ricky menatap penuh selidik ke arah tentara Jerman yang wajahnya tidak terlalu terlihat karena cahaya lampu yang tidak sempurna
menerangi ruangan itu.

"Kau tentara Inggris?" tentara Jerman itu menatap bingung ke arah Ricky.

"Aku bukan tentara manapun. Begitupun dengan dirimu, bang. Kita sedang disesatkan penyihir itu," tukas Ricky lantas bangkit kemudian mengambil lampu yang tergeletak di samping mayat
salah seorang tentara Jerman.

"Aku tidak mengerti, kenapa kita bisa menjadi dua tentara di pihak yang berbeda?" ucap Johan bingung seraya melepas topi besinya kemudian memperhatikannya.

"Sudah kubilang, kita bukan tentara manapun, bang. Kita harus segera keluar dari ilusi ini!"
tukas Ricky agak gusar dengan sikap Johan yang seolah-olah menganggap bahwa dirinya tentara betulan.

"Jujur, aku agak sedikit linglung setelah bertemu denganmu, rick. Apa mereka telah mencuci otakku, ya?" kata Johan setengah bergumam.

"Apa pada masa ini Jerman sudah mengenal
teknologi cuci otak?" tanya Ricky seraya memeriksa kepala Johan yang ternyata memiliki luka yang belum benar-benar sembuh.

"Itu, aku tertembak tentara Inggris di Leine Sapre, tepat di kepala. Topi ini untungnya kuat, jadinya kepalaku hanya terluka seperti ini," kata Johan.
"Mungkin kau harus pakai lagi topi ini, bang. Kita harus pergi. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan ke garis depan parit pertahanan Inggris di Kalmeines. Mungkin ini akan menjadi jalan kita kembali," ujar Ricky sambil memperlihatkan peta dan kalung milik Robert.

"Apa! Aku tidak
mungkin ikut. Kau sama saja dengan membawaku ke kematianku," tukas Johan gusar sambil menatap tajam ke arah Ricky.

"Kenapa harus susah-susah? Bukankah wajahmu juga terlihat seperti orang Inggris? Pakai aja seragam tentara Inggris. Di luar sana banyak mayat yang memakai itu,"
ucap Ricky membuat Johan tercengang.

"Kau gila, huh? Aku tidak mungkin mengenakan pakaian mayat!" tolak Johan.

Ricky terdiam sejenak. Ia terlihat berpikir.

Ia kemudian berbicara, "Begini saja, kamu pakai bajuku dan aku pakai bajumu. Dengan begitu kita akan terlihat lebih
netral. Bagaimana?" kata Ricky membuat Johan terkejut.

"Itu bukan ide yang bagus tapi aku setuju," kata Johan membuat Ricky bernafas lega.

Ricky dan Johan pun akhirnya bertukar baju seragam. Mereka bertukar tidak dengan celananya juga karena Ricky menginginkan mereka berdua
terlihat lebih netral.

Mereka berdua dengan seragam sepotong Jerman sepotong Inggris pun keluar dari bunker kemudian pergi mengendap-endap.

"Aku tidak tahu apa alasanku harus membantumu mengantarkan kalung dan peta itu," ujar Johan.

"Ini amanat, bang. Lagipula ini bukan peta
biasa. Aku melihat ada semacam kode-kode tidak terlihat di belakangnya," tukas Ricky.

"Hei, aku selama menjadi tentara Jerman sudah melihat banyak hal mengerikan. Pembunuhan, orang-orang terbakar hingga perempuan diperkosa sudah menjadi pemandangan umum di depanku," kata Johan
bercerita.

"Aku juga pernah melihat orang-orang terbakar dan juga orang-orang yang lehernya tertusuk bayonet, namun aku tidak melihat ada pemerkosaan. Tempat yang aku lewati biasanya hanya kota yang hancur dengan tentara musuh yang mengejar-ngejarku," tukas Ricky.
Johan termangu kemudian menggeleng. "Aku bersama pasukan pernah melewati pedesaan yang tenang. Namun kemudian pedesaan itu menjadi kalang kabut tak tentu arah. Aku melihat para lelaki berseragam biru pudar membantai warga desa dan memperkosa para perempuannya. Mereka membakar
rumah-rumah warga bersama pengisinya," papar Johan.

"Lantas kau dan pasukanmu turut melakukan hal yang sama dengan para tentara seragam biru pudar itu?" tanya Ricky.

"Sebagian besar pasukanku, ya. Mereka melakukannya. Namun aku bersama beberapa tentara junior memilih
tidak ikut-ikutan. Setelah peristiwa itu aku merasa menyesal kenapa aku tidak berusaha mencegah mereka melakukan itu," tukas Johan.

"Jika kau melakukannya mungkin sekarang kau sudah menjadi mayat yang terapung di sungai, huh," kata Ricky seraya memberi isyarat Johan agar
berhenti.

"Korps Bergwolf. Pasukan seragam biru pudar yang aku maksud, rick. Mereka telah mencapai tempat ini," ujar Johan.

"Ini kabar buruk. Hei, apa kau tidak memiliki teman baik di pasukanmu?" ucap Ricky seraya bertanya sembari merunduk di belakang gundukan tanah.
"Tentu saja, rick. Ia adalah seorang pria yang baik. Ia tidak suka peperangan. Ia turut ke medan perang bukan untuk berperang tapi untuk mengobati prajurit yang terluka. Aku pun tertarik untuk mengikutinya. Sayangnya ia..." Johan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ricky tahu apa
yang seharusnya Johan katakan mengenai temannya tersebut.

"Sersan Robert Michigan, memintaku memberikan kedua benda ini ke Letnan Alfred Philipson di parit garis depan Hellberg. Aku berutang nyawa padanya," tutur Ricky.

"Mungkin kau lebih baik, rick. Aku malah diminta
mengantarkan surat ini kepada kaisar langsung," ucap Johan seraya memperlihatkan amplop coklat yang sedikit lusuh dengan watermark lilin berwarna merah.

"Apa? Yang benar saja. Bertemu kaisar Jerman tidak semudah itu. Apalagi mana ada yang akan mengizinkanmu memasuki istana,"
kata Ricky sangsi.

"Kecuali kaisar sedang berada di luar istana," tukas Johan.

"Sebaiknya kita pergi mumpung posisi mereka masih jauh," kata Ricky seraya melihat ke arah kelip-kelip cahaya di kejauhan.

Johan mengangguk, kemudian menuju area yang mengarah ke sebuah pemukiman.
"Kampung ini sepi sekali. Tampaknya para penduduk sudah pergi mengungsi," ucap Ricky saat melewati barisan rumah-rumah dengan sebagian di antaranya sudah hancur.

"Jelas, lihat saja rumah-rumah yang rusak itu. Terkadang kedua belah pihak menyerang pemukiman karena mengira di
dalamnya ada musuh yang sedang bersembunyi," tukas Johan seraya menghentikan langkah kemudian melihat ke arah salah satu rumah yang berada di belakang rumah lain dan jauh dari jalan utama.

"Rumah itu tidak kosong, huh? Kita harus hati-hati, bisa saja di dalamnya ada tentara yang
akan menyerang kita," kata Ricky turut memperhatikan rumah tersebut.

Johan merentangkan telapak tangan kiri ke samping bawah kemudian mengokang senjata untuk selanjutnya melangkahi pagar kecil menuju rumah tersebut.

Ricky lantas mengikuti. Ia pun turut mengokang Lee Enfieldnya
Sesampainya di depan pintu, Johan memasang pendengaran baik-baik. Ia dapat mendengar deru nafas naik turun dari seseorang yang menurutnya adalah seorang perempuan serta bayi yang sedang tertidur.

Johan pun mengetuk pintu seraya berucap.

"Bitte öffnen. Wir sind keine Bösen."
"Kau bisa bahasa Jerman?" tanya Ricky.

"Sedikit. Itu juga aku dapat belajar dari temanku yang aku ceritakan itu," tukas Johan seraya menurunkan senjatanya.

Tak lama kemudian pintu terbuka, dan di baliknya muncul seorang perempuan berambut pirang dengan bola mata berwarna biru.
Perempuan tersebut sangat cantik dengan gaun berwarna pink pudar yang terlihat agak lusuh. Rambutnya yang pirang tergerai begitu saja.

"Maaf nona, kalau boleh tahu kenapa anda bertahan di sini? Sementara perkampungan ini sudah ditinggalkan penduduknya," ujar Johan dalam bahasa
Jerman.

Perempuan berusia di atas 25 tahun tersebut tidak langsung menjawab. Ia malah menatap penuh selidik ke arah Johan dan Ricky.

"Kalian tentara Inggris atau Jerman?" ucap perempuan itu dengan nada ragu.

"Bukan dua-duanya, nona. Kami hanya tersesat dan terseret dalam
perang," jawab Johan.

"Aku bisa menebak kamu pasti tentara Bohemia dan dia tentara Inggris," tunjuk perempuan itu ke arah Johan kemudian Ricky.

"Bohemia? Saya tidak tahu apa itu, nona. Kami sedang mencari jalur terdekat menuju pos terdepan Hellberg," kata Johan.
Perempuan itu terdiam. Lalu kemudian ia memberi isyarat agar Johan dan Ricky masuk.

Setelah di dalam rumah, perempuan itu menutup pintu kemudian duduk di samping ranjang bayi.

"Jadi kami harus mulai dari mana?" tanya Ricky dalam bahasa Inggris. Tentu saja perempuan itu bingung.
"Mungkin sebaiknya aku saja yang bicara, rick. Dia tidak mengerti bahasa Inggris," ucap Johan.

Beberapa lama kemudian perempuan itu bercerita mengapa ia tetap bertahan di tengah-tengah perkampungan yang dikosongkan itu.

"Jadi kamu menunggu kekasihmu pulang?" ucap Johan.
"Aku tidak tahu kalau di masa ini orang barat sudah menjalani gaya hidup bebas," gumam Ricky.

"Dia bukan anakku. Dia anak bibiku yang terbunuh waktu penyerangan tentara Jerman ke kampung ini," kata perempuan itu membuat Johan dan Ricky terkejut.

"Kamu mengerti kata-kataku?"
tanya Ricky.

"Itu hanya kebetulan, rick. Bukan berarti dia mengerti ucapanmu," kata Johan setengah berbisik sambil menoleh ke arah Ricky.

"Kalian berbicara apa? Aku tidak mengerti," kata perempuan itu.

"Ngomong-ngomong nama kamu siapa?" tanya Johan.
"Aku Paulina von Häusern. Siapa nama kalian?" tanya Paulina.

"Lina, rick. Kau tidak ingat dia, kah?" ucap Johan seraya menoleh ke arah Ricky.

"Jangan ngawur, bang. Lina tidak bersama kita, kecuali Lina yang ini," tukas Ricky.

"Aku Johan, dan dia Ricky. Kami sebenarnya berasal
dari masa depan di suatu negeri yang jauh dari sini," kata Johan memperkenalkan diri dan Ricky.

Paulina terlihat bingung, kemudian ia tertawa ditahan sambil menutup mulut.

"Mungkin kita tidak usah terlalu jujur sama orang-orang, bang," kata Ricky.
Setelah selesai tertawa, Paulina kembali bercerita mengenai kekasihnya yang disebutnya merantau ke Berlin untuk ikut wajib militer yang dicanangkan Kaisar Wilhelm II.

"Otomatis dia menjadi tentara Jerman. Bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu pelaku perusakan kampung itu,"
ucap Johan setengah bergumam.

"Apa? Itu tidak mungkin! Dia laki-laki yang bermartabat. Tidak mungkin ia melakukan perbuatan itu!" sergah Paulina dengan nada naik.

"Menjadi tentara Jerman harus bengis, nona. Setidaknya di dalam divisi tertentu. Aku sudah menyaksikan sendiri
bagaimana resimen seragam biru pudar itu memporakporandakan perkampungan dan ...." Johan tidak melanjutkan perkataannya saat Ricky tiba-tiba bangkit kemudian mengambil senjatanya.

"Wolfberg!" ujar Ricky membuat Johan lantas menyambar senjatanya.

Johan pun meminta Paulina
bersembunyi beserta bayinya.

"Bergwolf, itu yang benar," ucap Johan seraya beringsut ke arah jendela.

Dari celah-celah jendela ia dapat melihat satu kompi tentara Jerman berseragam biru pudar sedang bergerak dalam barisan yang rapi melewati jalur yang membelah kampung.
Beberapa saat setelah pasukan tersebut semakin jauh dari rumah tersebut, Johan dan Ricky bernafas lega.

"Syukurlah mereka tidak menggeledah rumah-rumah," ucap Ricky.

Mendadak terdengar suara derit pintu dari belakang rumah, membuat Johan dan Ricky terperanjat kemudian
bersembunyi dengan senjata yang siap diletuskan jika ada ancaman datang.

Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki memanggil-manggil Paulina.

"Paulina, Paulina, bist du noch hier?"

Paulina yang sedang bersembunyi di kamar lantas keluar menemui laki-laki itu.
Johan dan Ricky pun lantas keluar membuat laki-laki yang adalah tentara Jerman tersebut terkejut dan spontan menodongkan senjata ke arah Johan.

"Hei, hei, kau tidak lihat aku ini orang Jerman?" ucap Johan dalam bahasa Jerman.

"Sedang apa kalian di sini! Jangan-jangan kalian
sudah menodai kekasihku!" bentak tentara tersebut dengan telunjuk menempel di pelatuk.

"Stein, mereka tidak melakukan apa-apa terhadapku. Mereka hanya tentara yang tersesat," kata Paulina mencoba menenangkan kekasihnya itu.

"Aku harus membunuh mereka! Mereka tentara Inggris
yang berpura-pura menjadi tentara Jerman!" Stein yang dalam kondisi curiga, marah, dan kaget melepaskan tembakan ke arah Johan.

'Dorrrrrr'
Peluru melesat mengenai tembok ketika Ricky berhasil menepis senapan itu. Kemudian ia mendorong Stein hingga terjatuh.

"Kau bajingan! Kalau jantan kalian duel, tidak usah menggunakan senjata!" bentak Ricky dalam bahasa yang hanya dimengerti Johan.

Johan lantas mengambil senjata
Stein kemudian membuangnya.

"Aku di sini bukan untuk mencari musuh. Aku sedang mencari jalur yang benar menuju Hellberg. Kau tahu itu di mana?" kata Johan sambil menatap dingin ke arah Stein.

"Kau Jerman tapi kenapa ingin pergi ke pos musuh?" Stein balik menatap tajam ke arah
"Untuk menghentikan perang! Hanya orang bodoh yang mau diperalat agar rela mati di medan perang demi keegoisan!" tukas Johan tegas.

"Kau pikir menghentikan perang itu mudah?" Kali ini Paulina yang menyahut, di mana ia masih berdiri di dekat Stein.
"Memangnya kau pikir mereka tidak egois? Inggris dan sekutunya telah membabat habis sekutu kaisar. Mereka menjajah banyak wilayah yang telah mereka rebut," kata Stein seolah mencari pembenaran.

"Berhenti mencari pembenaran. Aku hanya ingin kau tunjukkan jalur ke Hellberg. Kami
akan segera pergi setelah jalurnya kami rasa sesuai dengan yang di peta ini," kata Johan sambil menunjukkan peta dari Ricky.

Stein kemudian melihat peta tersebut lekat-lekat. Ia kemudian berdiri.

"Ayo kita tinggalkan tempat ini. Lebih cepat lebih baik," ucapnya.
Setelah Stein berkata demikian, Johan bersama Ricky pun bersiap melanjutkan perjalanan. Terlebih dahulu mereka membantu Paulina dan Stein mengemasi barang-barang yang mungkin dapat dibawa.

Setelahnya mereka berempat ditambah bayi keponakannya Paulina, beranjak meninggalkan
pemukiman itu.

Saat itu sore hari di mana lembayung samar-samar terlihat di antara gelapnya langit karena kabut asap bekas perang.

"Kau menjadi desertir?" Johan melihat ke arah Stein.

"Aku melakukan ini karena kalian berjanji akan menghentikan perang," tukas Stein.
"Perang memang akan berakhir. Namun aku tidak menjamin bahwa aku dan temanku yang menghentikannya," ucap Johan.

"Lantas seberapa keyakinanmu soal berhentinya perang?" tanya Paulina kemudian berhenti untuk bergantian dengan Stein menggendong bayinya.

"Siapa namanya?" tanya Ricky
"Kalian sudah memberinya nama?" Johan memperjelas pertanyaan Ricky mengingat temannya itu hanya mengatakan dalam bahasa Inggris.

"Namanya Leo. Leopold von Häusern," kata Paulina dengan mantap.

"Bakal calon raja, nih," tukas Ricky.

"Kekaisaran Jerman dan Kerajaan Prussia
berakhir setelah perang ini. Selain itu, Leo belum tentu bagian dari keluarga Hohenzolern," kata Johan dalam bahasa yang dimengerti Ricky.

"Kalian berbicara dalam bahasa apa sebenarnya?" tanya Stein penasaran.

"Bahasa Indonesia. Mungkin kau tidak pernah tahu bahasa itu," tukas
Johan.

"Di mana itu Indonesia?" tanya Paulina.

"Di timur jauh sana. Lagipula pada masa ini namanya bukan Indonesia," tukas Johan seraya menghentikan langkah kemudian berlari ke sebatang pohon yang berbatasan dengan ujung pemukiman dengan lahan landai.
"Bahaya! Korps Bergwolf yang lain!" ujar Johan seraya memberi isyarat kepada yang lain agar bersembunyi.

"Kita mencari jalur yang tidak mereka lewati," ucap Stein seraya membimbing Paulina menuju lereng terjal di sebelah timur laut perkampungan.

Ricky dan Johan pun mengikuti ke
mana Stein dan Paulina pergi. Setelah beberapa meter menuruni lereng kecil tersebut mereka berhenti terpaku.

"Sial! Kita harus menunggu malam," ucap Stein seraya merunduk.

Mereka kemudian diam di tempat hingga malam pun tiba.

"Kita tidak bisa mengambil resiko dengan
melakukan kontak senjata dengan mereka," tutur Johan.

"Sebaiknya kalian tunggu di sini. Aku ada ide," ujar Ricky seraya beringsut hendak pergi.

"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Johan.

"Hanya mengalihkan, bang. Tapi kalau terpaksa mau tidak mau aku menghabisi sebagian dari
mereka," tukas Ricky seraya menunjuk pisau di pinggangnya.

"Jangan ceroboh. Mereka itu Bergwolf. Stein pasti tahu bagaimana kekejaman mereka," kata Johan.

Ricky tidak menyahut. Ia lantas pergi setelah menepuk pundak Johan dua kali.

"Mau ke mana dia?" tanya Stein.

"Hunting."
Dalam kegelapan di tengah lahan yang landai itu, Ricky berjalan setengah merayap sembari menghunus bayonet. Ia sejenak berhenti kemudian celingukan saat mendengar seperti suara orang-orang sedang berjalan.

"Melewati jalan ini sangat beresiko ketahuan musuh. Tidak ada objek untuk
bersembunyi," gumamnya seraya kembali berjalan.

Sejenak ia berhenti kembali saat mendengar suara menderu dari atas langit, deru pesawat tempur yang tidak diketahui dari pihak siapa.

Pesawat tersebut memiliki lampu sorot yang terkadang mengarah ke daratan membuat Ricky harus
tiarap.

Tak lama kemudian Ricky melihat suatu pemukiman kecil yang berada di area landai tersebut, di mana para tentara Jerman sedang berkumpul.

Ricky kemudian mendekat ke arah pemukiman tersebut. Ia melihat setidaknya ada sepuluh orang tentara yang beberapa di antaranya sedang
berkeliling.

"Benar, kalau perjalanan dilanjutkan akan menjadi gawat jika mereka masih ada. Ini akan menjadi akhir yang buruk bagiku dan yang lain," gumam Ricky.

Ia kemudian beringsut kemudian mengamati area lain yang mungkin dapat dilewati.
Ia hanya melihat jurang yang kedalamannya tidak dapat ia perkirakan mengingat saat itu kondisinya tidak begitu terang. Cahaya rembulan yang mengintip melalui celah-celah awan tidak mampu menerangi area itu

Ricky kemudian berpikir bagaimana cara melewati pemukiman kecil itu tanpa
diketahui musuh.

Tampaknya ia harus nekat menerobos pemukiman itu dan melumpuhkan satu persatu musuh yang ada di sana.

Ia pun akhirnya beranjak menuju pemukiman kecil itu, kemudian menyelinap melalui belakang salah satu rumah. Selanjutnya ia terperangah saat seorang tentara
memergokinya.

"Wer bist du? Was machst du hier?" kata tentara Jerman berseragam biru pudar dengan helm besi bundar berlambang kepala serigala itu.

Ricky tidak dapat berkata apa-apa karena tidak mengerti kata-kata tentara Jerman tersebut.

"Bist du verloren?" kata tentara itu.
Tentara tersebut menatap Ricky penuh selidik. Sesaat kemudian ia memberi isyarat kepada Ricky agar mengikutinya.

"Kau tentara Inggris, huh?" ucap tentara itu dalam bahasa Inggris membuat Ricky terkejut. "Jangan takut, aku di sini tidak sedang dalam rangka memerangi kalian."
"Ah, kau tentara, masa iya takut dengan tentara musuh? Sama halnya denganku yang tidak takut padamu, orang Inggris," kata tentara itu lagi seraya melihat ke arah kumpulan rekan-rekannya yang tidak menyadari kehadiran Ricky.

"Untuk apa kau mengajakku bicara?" tanya Ricky.
"Aku pernah menemui seorang peramal yang mengatakan bahwa negaraku akan mengalami perang yang sama buruknya dengan perang saat ini. Aku hanya ingin itu tidak terjadi," kata tentara itu. "Ngomong-ngomong aku Ulrich von Palast. Siapa namamu, orang Inggris?" lanjutnya.
Ricky terdiam beberapa lama. Ia tidak tahu apakah ia harus memperkenalkan diri atau tidak. Ia juga tidak tahu apakah tentara Jerman bernama Ulrich itu benar-benar orang baik atau hanya berpura-pura.

"Terserah kaulah mengira aku ini sama dengan mereka yang di sana. Tapi aku
adalah aku." Ulrich menatap Ricky seraya tersenyum kecut sambil menggeleng.

"Aku Ricky, dan aku bukan orang Inggris. Bahkan aku bukan tentara," tukas Ricky akhirnya.

"Kalau kau bukan orang Inggris lalu siapa? Orang Prancis? Kau tidak ada tampang Prancis sama sekali," ucap Ulric
"Itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana aku dan teman-temanku bisa melewati tempat ini tanpa ketahuan teman-temanmu," kata Ricky sambil memperhatikan ke arah para tentara Jerman yang sedang berkumpul.

"Kau bawa teman? Mereka orang-orang Inggris?" tanya Ulrich.
Ricky menggeleng, "Mereka justru orang-orang Jerman, dan mereka ingin meninggalkan zona perang. Kau pasti mengerti alasannya, bukan?"

"Itu bisa diatur. Tapi pertemukan aku dengan mereka terlebih dahulu. Kau bisa mempercayaiku," tukas Ulrich.

Sementara Ricky tampak ragu.
"Baiklah, aku akan mempertemukanmu dengan mereka. Tapi ada satu hal, jika kau melakukan hal yang macam-macam, akan ada konsekuensinya," ucap Ricky akhirnya dengan nada seperti mengancam.

"Apa itu konsekuensinya?" tanya Ulrich dengan nada seolah mengolok-olok.

"Kau akan tahu."
Setelah berkata demikian, Ricky berlalu meninggalkan Ulrich. Ia meninggalkan tempat itu, sementara Ulrich menyusul kemudian setelah mengamati gerak-gerik teman-temannya.

Ricky kemudian mencapai tebing kecil yang membentengi jalan kecil di mana seharusnya Johan bersama yang lain
berada.

Namun mereka tidak berada di situ, membuat Ricky terkejut. Ia lantas segera menelusuri tempat itu untuk menemukan Johan, Paulina, dan Stein.

"Sial! Kenapa mereka bisa-bisanya meninggalkanku!" rutuk Ricky seraya terus berjalan hingga ia tidak sengaja menendang sesuatu.
Ricky pun lantas memeriksa benda apa yang menyandungnya tersebut. Sebuah senapan yang patah menjadi dua.

"Ini senapan yang dibawa bang Johan. Kenapa bisa patah begini? Apa yang telah terjadi?" gumam Ricky.

Tak lama kemudian Ulrich muncul sambil celingukan.

"Ada apa, bung?"
tanya Ulrich membuat Ricky menoleh.

"Mereka tidak ada," tukas Ricky.

"Tentu saja mereka tidak ada. Aku tadi mendapat kabar dari teman-temanku bahwa sebagian dari mereka beberapa waktu lalu kemari melakukan penyisiran," kata Ulrich membuat Ricky terkejut.

"Apa!" Ricky langsung
menatap tajam ke arah Ulrich. "Kau tidak memberitahuku sebelumnya!" geramnya, namun kemudian ia sadar siapa yang ia hadapi.

Selanjutnya ia terlihat seperti sedang berpikir.

"Aku tidak tahu apa-apa sampai aku bertemu temanku sesama tentara di pemukiman tadi," kata Ulrich.
Ricky tidak menyahut. Ia masih terlihat berpikir hingga beberapa saat kemudian ia merogoh peta yang berada di sakunya.

"Mungkin aku harus melakukannya," ucap Ricky setengah bergumam.

"Melakukan apa?" tanya Ulrich tampak bingung.

"Membunuh teman-temanmu!"
Ricky berlari dengan Ulrich yang menyusul di belakangnya.

"Aku juga membenci mereka tapi membunuh bukan jalan keluar," seru Ulrich.

"Apa alasanmu membenci mereka? Bukannya kau bagian dari mereka?" sahut Ricky.

"Mereka telah membunuh gadis yang baru aku taksir. Mereka juga
memperkosanya," tukas Ulrich.

"Kau tahu kenapa ada orang yang bilang bahwa tidak semua orang pantas hidup?" kata Ricky lantang.

"Terserah katamu, tapi membunuh bukan jalan keluar. Lagipula memangnya kau sanggup membunuh mereka semua?" teriak Ulrich.

"Iya!" balas Ricky.
Ricky yang seolah sudah kerasukan iblis, memasuki pemukiman kemudian membokong satu persatu tentara Jerman yang berada di sana tanpa ampun.

Dalam kegelapan ia bergerak, mencari target yang dapat menjadi sasaran empuknya.

Sementara Ulrich kebingungan karena kehilangan jejak.
"Sialan! Dia ternyata nekat. Dari mana ia mendapatkan kemampuan itu?" gerutu Ulrich seraya berjalan menelusuri jalan pemukiman yang tampak lengang.

Ia kemudian dikejutkan dengan suara erangan halus disusul suara gedebuk dari dalam salah satu rumah. Ia pun lantas menuju rumah itu
kemudian mendobrak pintunya.

"Oh Tuhan!" serunya saat melihat salah seorang tentara Jerman tergeletak bersimbah darah di atas lantai.

"Rombber!" pekiknya saat mengenal rekannya sesama tentara Jerman itu. "Apa salah dia harus terbunuh seperti ini? Ricky, di mana kau sebenarnya?
Apa dirimu sebenarnya?" gumam Ulrich dalam kepenasaranannya.

Ia kemudian beranjak keluar dari dalam rumah itu. Sejenak ia melihat pergerakan di balik kegelapan. Ia dapat meyakini jika itu adalah Ricky.

"Ricky, tunggu!" serunya.

Dorrr, dorrr, terdengar suara tembakan diiringi
suara riuh orang-orang di seberang area gelap tersebut. Tak lama terdengar suara jeritan orang-orang sekarat.

"Astaga! Apa-apaan itu?" Ulrich lantas berlari ke arah lokasi di mana pembantaian terjadi. "Ricky, hentikan itu!" teriaknya.

Ia kemudian mendapati setidaknya dua orang
tentara terbujur bersimbah darah dekat perapian.

"Orang ini tidak berasal dari masa ini. Aku sempat melihat sorot mata yang seperti mata harimau itu. Untuk apa dia berada di masa ini?" gumam Ulrich seraya beranjak untuk menelusuri jalur di area itu.

Sejenak ia tertegun.
"Oh, tidak! Aku harus menemukannya. Aku harus menghentikannya. Ada sesuatu yang sangat jahat berada di balik obsesinya membunuh para tentara. Bukan tidak mungkin ia akan membunuh semua orang tanpa terkecuali," gumamnya seraya berlari secepat mungkin. "Margon, iya Margon. Dia
biang keroknya!"

Ulrich kemudian memasuki area gelap dengan harapan dapat menemukan Ricky, namun nihil. Ia lantas keluar kemudian menelusuri tempat lain yang sebelumnya para tentara berkumpul di sana.

Ulrich cuma menemukan para tentara rekannya sudah terbujur kaku di lokasi itu
"Ke mana dia?" gumam Ulrich seraya meninggalkan lokasi itu. "Aku harus menemukan teman-temannya sebelum dia."

Ulrich terus melangkah hingga melewati perbatasan pemukiman dengan suatu hutan dengan pepohonan tinggi serta sungai dengan airnya yang mengalir deras.
Samar-samar ia melihat kelap-kelip cahaya di kejauhan. Ia menduga merekalah teman-temannya Ricky yang berhasil melewati pemukiman.

Namun kemudian ia menghentikan langkah ketika sungai yang lebar dengan airnya yang deras menghadang langkahnya.

Ia pun menggernyitkan kening.
"Apa itu bukan mereka ya? Kalaupun memang mereka, lalu bagaimana cara mereka menyeberangi sungai deras ini?" gumamnya.

Ulrich pun menelusuri tepian sungai dengan harapan menemukan area dangkal ataupun jembatan yang dapat dilewati.

Pencariannya nihil karena tidak ada area
dangkal ataupun jembatan yang ia temukan.

Ulrich tidak mau mengambil resiko menyeberangi sungai yang sangat deras itu. Ia pun termangu di pinggir sungai, tidak tahu harus melakukan apa.
Mendadak terdengar suara letusan bersahutan dari dalam hutan di belakangnya.

Ulrich lantas berlari ke arah sebatang pohon kemudian bersembunyi seraya mengintip ke arah sumber suara baku tembak itu.

"Tentara Inggris?" gumamnya saat melihat beberapa orang tentara Inggris sedang
berlarian.

Di antaranya ada yang menjatuhkan diri untuk tiarap. Tampak kilatan-kilatan tembakan berseliweran di tengah gelapnya malam di hutan tersebut.

Terdengar suara teriakan kesakitan disusul suara seperti geraman harimau yang membahana.

"Apa itu? Tidak mungkin ada harimau
di sini," gumamnya seraya dengan waspada melihat ke arah lokasi pertempuran itu.

Ulrich melihat beberapa orang tentara Inggris berjatuhan seperti terkena serangan sesuatu yang tidak terlihat. Meski di antaranya terdapat kilatan tembakan yang dilontarkan pihak lain.
Ia juga dapat mendengar teriakan dalam bahasa Jerman. Artinya di hutan tersebut memang sedang terjadi pertempuran antara pasukan Inggris dengan Jerman. Namun ada sesuatu yang lain di antara kedua pihak yang bentrok tersebut. Sesuatu yang mengerikan.

"Ricky? Apa itu dia?" gumamny
Ulrich menyelinap di antara pohon-pohon dalam gelapnya malam. Ia kemudian mengintip dari salah satu batang pohon, melihat ke arah lokasi di mana pertempuran berkecamuk.

Ia dapat melihat bayangan asing seperti harimau yang berdiri dengan dua kaki, sedang menyerang para tentara
baik tentara Inggris maupun tentara Jerman yang sedang bertempur.

"Ini tidak benar! Aku harus menghentikannya tapi bagaimana caranya?" gumam Ulrich.

Ia merasa bingung bagaimana cara menghentikan pembunuhan itu sekaligus menghentikan pertempuran antara dua pihak.
Ulrich pun mengokang senjatanya kemudian membidik ke arah sosok harimau yang kini posisinya cukup dekat. Ia kemudian menarik pelatuk.

Dorrrr...

Harimau tersebut lantas berbalik ke arah Ulrich kemudian berlari ke arahnya.

Ulrich lantas berlari ke arah sungai dengan tujuan
menceburkan diri agar terhindar dari serangan harimau jadi-jadian itu. Namun, akar pohon membuatnya tersandung hingga ia pun terjatuh.

"Sial!" umpatnya ketika menyadari makhluk tersebut telah berada beberapa inci darinya bersiap menyerang.

"Ricky!" teriak seseorang yang muncul
dari balik sebatang pohon seraya menodongkan senapan dengan lampu menyala menggantung di ujungnya ke arah sosok harimau itu.

"Kita berdua telah diperalat oleh makhluk yang sama. Kau tahu iblis perempuan itu tidak benar-benar setelah aku lempar keris waktu itu!" ucap Johan, orang
yang baru muncul tersebut. (ralat : tidak benar-benar mati)

Harimau yang adalah Ricky lantas mengalihkan pandangan ke arah Johan dengan tatapan buas.

"Ricky, kau harus melawannya! Membunuh banyak orang membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Kau harus tahu itu yang diinginkan
Margon supaya kita tidak kembali ke dunia kita!" kata Johan sembari waspada.

Ulrich yang masih terduduk di atas tanah hanya mengamati. Ia tidak berusaha untuk bangun mengingat kakinya terkilir.

"Jerman, sebaiknya kau pergi. Aku yang akan menghadapinya," kata Johan membuat
Ulrich bingung.

Johan perlahan maju ke hadapan Ricky yang terlihat begitu buas dengan sorot matanya yang berwarna merah menyala.

"Tenanglah, macan. Kita akan pulang. Kita hanya perlu mencapai Hellberg kemudian bertemu kaisar agar kita bisa pulang," kata Johan seraya
maju perlahan ke arah Ricky.

Namun kemudian dari arah belakang Ricky terdengar suara riuh para tentara yang berdatangan ke arah tempat itu.

"Oh, tidak," gumam Ulrich seraya beringsut ke arah sebatang pohon.

"Ini tidak akan berjalan dengan baik. Stein dan Paulina pasti sudah
jauh," gumam Johan.

Tak lama kemudian para tentara Inggris bermunculan mengepung tempat tersebut dengan senjata semuanya terarah ke Johan dan Ricky.

"Menyerahlah, Jerman!" teriak salah seorang tentara.

"Jangan mendekat!" teriak Johan berusaha untuk mencegah Ricky kembali ....
mengamuk dan membunuh banyak orang lagi.

Namun apa yang dilakukan Johan sia-sia. Para tentara Inggris terus merangsek. Akibatnya mereka menjadi korban keganasan Ricky berikutnya.

Suara jerit kematian serta suara letusan senjata dan dentingan pedang menggema di area tersebut.
"Hei Jerman! Bantu aku hentikan dia!" ucap Johan ke Ulrich yang masih bertumpu di atas tanah sambil meringis.

"Kaki keseleo. Lagipula memangnya kau pikir kau bukan orang Jerman?" sahut Ulrich seraya berusaha berdiri.

"Aku memang bukan Jerman. Tapi raksasa itu mengirimku kemari
untuk mati!" kata Johan seraya menghampiri Ulrich kemudian membantunya berdiri. "Dia adalah temanku. Jika dia sudah ketagihan membunuh seperti itu, besar kemungkinan dia tidak akan kembali lagi ke kehidupan semula," tambahnya.

"Aku tahu siapa raksasa yang kau maksud. Aku akan
berusaha membantumu. Aku tahu betul jika dia biang kekacauan dari semua ini," tukas Ulrich.

"Kalau begitu bantu aku mengalihkan perhatiannya. Hentikan pembantaian yang dia lakukan, aku akan menyadarkannya," kata Johan setelah Ulrich berhasil berdiri.
Ulrich kemudian mengokang senjatanya kemudian mengarahkan senjatanya ke arah pergerakan Ricky di antara pepohonan yang kini mulai terlihat seiring fajar datang.

Sementara Johan berlari ke sisi timur dari barisan pepohonan. Sembari melewati mayat-mayat tentara yang bergelimpangan
, Johan mengawasi pergerakan Ricky yang sedang kerasukan tersebut.

"Namanya adalah Salasatri yang artinya 33. Entah kenapa angka itu sering disebut-sebut sebagai angka keramat bagi kaum satanis," gumam Johan.

Selanjutnya ia mengamati pergerakan Ulrich yang sedang berupaya
memancing Ricky dengan tembakannya. Namun, Ricky yang sudah kerasukan tersebut tampaknya tidak peduli dengan tembakan dari Ulrich. Apalagi dia dalam wujudnya tersebut kebal senjata.

"Ricky! Hentikan itu! Kau harusnya tahu sedang berada di mana!" teriak Johan seraya melompat ke
hadapan Ricky.

"Awas!" teriak Ulrich saat melihat Ricky mengayunkan cakarnya ke arah Johan.

Johan lantas menjatuhkan diri sehingga cakaran Ricky menghantam angin. Selanjutnya ia menusukkan sesuatu yang dari tadi ia genggam, sebilah keris yang ternyata terbawa.
Ia menusukkan keris Ki Ambar itu hingga menancap di perut Ricky.

"Maafkan aku. Ini lebih baik daripada kau tidak kembali," ucap Johan seraya melompat mundur.

"Apa yang kau lakukan?" ujar Ulrich seraya mundur bersama Johan.

"Keris itu kuncinya," tukas Johan.
"Sekarang apa yang akan terjadi?" tanya Ulrich.

"Kita tunggu saja," kata Johan seraya melihat ke arah Ricky yang berlutut di atas tanah kemudian jatuh telungkup hingga keris yang menancap di perutnya tembus hingga ke punggung.

"Oh, sial!" kata Ulrich saat menyaksikan hal itu.
Setelah Ricky tidak sadarkan diri. Johan dan Ulrich segera mengobati pemuda itu. Tentunya mereka mencabut keris tersebut terlebih dahulu.

"Tempat ini tuntas sudah. Mereka tidak ada yang selamat. Aku tidak tahu apakah ini akan termaafkan. Tapi yang jelas, kehidupan kami
dipertaruhkan," ucap Johan.

"Pasti ada cara untuk kalian kembali ke masa kalian hidup. Bukankah misi kalian mengantarkan surat-surat itu, kan?" kata Ulrich.

"Pasti Ricky pernah bercerita kepadamu. Aku jawab 'iya'. Aku malah harus bertemu kaisar mengenai hal itu," tukas Johan.
Siang hampir menjelang, Johan bersama Ulrich menggotong Ricky menggunakan tandu seadanya. Mereka pergi ke arah barat dengan panduan kompas.

"Aku harap kita menemukan jembatan atau bagian dangkal sungai ini," ujar Ulrich yang berada di posisi depan.

"Tapi tentara Jerman akan
menemukan kita," tukas Johan.

"Tidak perlu khawatir. Aku akan mengatasinya jika kita berpapasan dengan mereka," kata Ulrich.

Mereka terus berjalan melewati bantaran sungai yang ditumbuhi pepohonan tinggi dan juga rerumputan. Hingga akhirnya mereka tiba di suatu jembatan gantung
yang telah rusak.

"Kita tidak mungkin melewatinya. Tapi kita tidak bisa mengambil risiko terus bergerak ke barat. Di sana adalah garis depan Bergwolf. Sedangkan jika kita ingin ke Hellberg, kita harus menyeberangi sungai dan pergi ke utara," kata Ulrich.

"Kau tidak bisa
mengatasi Bergwolf?" ucap Johan.

"Jangan menggampangkan. Mereka adalah binatang buas. Ratusan kota mereka hancurkan. Penduduknya mereka bantai. Mereka sangat sadis," tukas Ulrich.

"Aku juga pernah melihatnya sendiri bagaimana mereka membunuh rekan satu divisiku," ungkap Johan.
Johan dan Ulrich bahu-membahu menyeberangi sungai menggunakan jembatan gantung yang rusak tersebut. Tentu saja mereka kesulitan karena selain kondisi jembatan yang telah rusak, juga mereka harus menggotong Ricky yang masih belum sadarkan diri.

"Talinya berderit. Sepertinya
hendak putus," kata Johan seraya menghentikan langkah.

"Lebih baik kita cepat. Jika berhenti di tengah-tengah, justru jembatannya akan cepat putus," tukas Ulrich yang berada di depan sembari bersiap mengambil langkah seribu. "Dalam hitungan 1 sampai 3!" lanjutnya.
"1,2,3!" secara serentak Ulrich dan Johan berlari secepat mungkin saat jembatan dengan cepat terputus.

'Brukkkkk' Ulrich dan Johan yang membawa Ricky jatuh di atas tanah seberang sungai. Mereka berhasil melewati jembatan yang kini telah runtuh itu.

"Uhh, hampir saja," kt Johan.
"Hei, kau sudah sadar, kawan," ujar Ulrich sambil melihat ke arah Ricky yang tampak kebingungan.

"Ricky? Kau sudah sadar, hah?" Johan langsung menatap ke arah Ricky.

"Di mana aku? Apa yang telah terjadi?" ucap Ricky.

"Beruntunglah kau sudah sadar. Aku pikir iblis itu tidak
akan melepaskanmu," tukas Johan.

"Iblis? Siapa?" tanya Ricky.

"Wanita iblis Salasatri merasukimu, membuatmu membunuh banyak sekali orang," kata Johan membuat Ricky tercengang.

"Apa? Bukannya dia?" kata Ricky terkejut. "Jadi aku sudah membunuh banyak orang?"
"Dia tidak benar-benar mati. Buktinya dia kembali dan merasukimu. Semoga saja jumlah tentara yang kau bunuh tidak membuatmu terjebak di sini," kata Johan sambil melihat sekeliling.

Ricky yang dalam posisi terbaringnya kemudian bangun untuk selanjutnya melihat sekeliling.
"Aku mendengar suara tabuhan genderang dari arah sana. Kita tidak bisa terus di sini. Kita harus pergi," kata Ulrich seraya menghampiri Johan dan Ricky.

"Kita harus ke mana?" tanya Johan.

"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Ricky.

"Kami bertemu pas kau kerasukan,"
kata Johan. "Saat itu, aku melihatmu sangat buas hingga kami pun ragu untuk mendekat. Aku pikir kamu akan menghabisi kami juga," lanjutnya.

"Sebaiknya kita pergi. Obrolannya nanti saja," kata Ulrich seraya menunjuk ke arah jalan yang akan mereka lalui. "Hati-hati dengan ranjau."
"Area ini masuk medan perang?" tanya Johan.

"Tentu saja. Seluruh wilayah Prancis utara hingga perbatasan Jerman adalah medan perang. Hutan, perkampungan, bahkan kota pasti telah dipasangi ranjau darat," tukas Ulrich.

"Ngomong-ngomong kota, itukah kota?" kata Johan sambil
menunjuk ke utara sambil memandang ke arah area yang terbentang di antara hutan, di mana terlihat siluet kota yang begitu jauh.

"Paulina dan Stein?" ujar Ricky.

"Kota itu bernama San Zabou. Kabar baiknya, Hellberg tidak jauh dari sana," kata Ulrich seraya melihat ke arah kota.
"Kabar buruknya?" tanya Ricky.

"Kota itu adalah tempat pertempuran sengit. Hujan artileri hampir setiap hari memborbardir kota. Intinya memasuki kota itu artinya mempertaruhkan nyawa," ucap Ulrich.

"Apa tidak ada jalur lain untuk mencapai Hellberg tanpa melewati kota itu?"
tanya Johan.

"Tentu saja ada tapi lebih jauh dan lebih merepotkan. Apalagi kita sewaktu-waktu menjumpai pasukan Bergwolf yang sadis itu," ungkap Ulrich.

"Kota ini sepertinya lebih baik meski dihujani artileri daripada bertemu Bergwolf," kata Johan kemudian.
Kalimat yg cocok sepertinya : Apalagi sebagian pasukan Bergwolf ada di sana dan bisa saja memergoki kita.
Dentuman artileri membuncah di tengah-tengah kota yang telah hancur itu. Beberapa orang pasukan Inggris berlarian menghindari hujan proyektil yang dapat meledak itu.

"Watch out!" teriak seorang tentara disusul sebuah proyektil jatuh meledakkan area di mana ia dan rekan-rekannya
berada.

Dari balik salah satu bangunan, Johan, Ricky dan Ulrich mengintip, melihat ke arah lokasi ledakan itu.

"Kota ini sempat direbut Inggris, namun Jerman membombardirnya untuk merebut kembali kota," kata Ulrich.

"Kita maju tanpa senjata?" tanya Ricky.

"Kita akan punya.
Lagipula pasti banyak senjata berceceran di dalam kota. Kita bisa gunakan itu," tukas Ulrich.

"Apa di sini ada Bergwolf juga?" tanya Johan.

"Kemungkinan besar ada. Makanya kita harus mendapatkan senjata. Mereka pantas mati karena mereka sudah seperti manusia yang otaknya
sudah dicuci. Mereka akan membunuh siapapun tanpa terkecuali," kata Ulrich.

Beberapa saat kemudian, mereka bertiga bergerak menuju lokasi yang diperkirakan menjadi tempat para tentara Inggris berakhir.

Sesampai di sana, mereka melihat mayat-mayat tentara bergelimpangan.
Di sana juga banyak senjata tercecer termasuk senjata berat seperti senapan mesin.

"Lebih baik ambil yang praktis. Senapan mesin sama sekali bukan pilihan. Kecuali jika kau ingin menjadi pahlawan yang bisa membunuh banyak musuh seorang diri," ujar Ulrich.

Mereka lantas
mengambil beberapa pucuk senjata api yang kebanyakan adalah Bolt Action.

"Tidak ada senjata otomatis, kah?" gumam Ricky.

"Tentu saja kalau mau mencari. Lebih baik kita gunakan yang ada saja," tukas Ulrich.

Setelah mendalatkan senjata, mereka kemudian bergerak ke arah pusat
*mendapatkan
kota.

Tak lama terdengar suara letusan senjata dari arah timur laut, membuat ketiganya tiarap sembari mencari arah dari mana suara letusa n tersebut.

"Tentara Inggris," ucap Ricky.

"Kita lebih baik menghindar. Kecuali jika dia sudah keterlaluan," kata Ulrich.
Di jalan kecil yang memisahkan bangunan-bangunan itu, Ricky bersama Johan dan Ulrich berjalan mengendap-endap. Mereka sesekali berhenti ketika mendengar suara seperti pergerakan seseorang dari salah satu bangunan.

Ulrich memberi isyarat agar semuanya kembali bergerak.
Namun Johan dan Ricky kembali berhenti kemudian saling pandang.

"Salasatri." Keduanya berucap secara bersamaan membuat Ulrich mengerutkan kening.

"Awas!" teriak Ricky seraya mendorong Ulrich hingga jatuh terjengkang.

Sedetik kemudian bongkahan reruntuhan bangunan berjatuhan
ke arah jalan di mana mereka berada.

Gurudug, gurudug, gurudug,

Bongkahan material tersebut menimbun jalan setapak tersebut, memisahkan Johan dan Ricky dengan Ulrich.

"Ulrich, kau baik-baik saja?" seru Johan seraya memperhatikan timbunan material yang tingginya hingga tiga
meter itu.

Tidak ada jawaban. Ricky dan Johan pun dibuat penasaran.

"Ulrich, kau masih di situ?" seru Ricky seraya berupaya memanjat gundukan itu namun dicegah Johan.

"Ini akan runtuh. Sebaiknya kita pergi. Ulrich pasti akan menemukan kita," ujar Johan seraya mengawasi
sekeliling. "Salasatri ada di sini. Margon rupanya yang menyuruh dia mengikuti kita."

"Aku tidak mau kerasukan dia lagi. Berapa banyak orang yang aku bunuh," tukas Ricky.

Johan sejenak termangu kemudian ia langsung menarik Ricky untuk selanjutnya pergi meninggalkan lokasi itu.
"Ada apa?" tanya Ricky yang terkejut dengan apa yang dilakukan Johan.

"Ulrich. Iblis itu sekarang mengendalikannya," tukas Johan membuat Ricky terkejut.

"Lantas kita harus bagaimana?" tanya Ricky.

"Kita akan menghadapinya setelah kita keluar dari tempat ini," kata Johan.
Mendadak terdengar suara gemuruh dari belakang mereka berdua. Saat menoleh, rupanya gundukan material tersebut beterbangan untuk kemudian berhamburan ke arah mereka berdua.

"Astaga! Lari!" teriak Johan seraya berlari kencang diikuti Ricky.

Material-material berat yang
beterbangan tersebut terus mengarah ke Johan dan Ricky. Sementara dari arah berlawanan terlihat sepasukan tentara Jerman yang dengan segera membubarkan diri ketika melihat material beterbangan ke arah dua orang yang sedang berlari ke arah mereka.

"Lari!" teriak Johan.
Grrrrrr.....

Terdengar suara geraman membahana dari arah belakang tepatnya dari kumpulan material yang beterbangan yang mengikuti Johan dan Ricky ke mana pun.

"Iblis itu sepertinya hanya mengincar kita," ucap Johan.

"Lalu di mana gerangan Ulrich?" kata Ricky sambil melihat ke
belakang dalam keadaan berlari.

"Perhatikan langkahmu! Banyak lubang bekas ledakan!" kata Johan seraya melompati salah satu lubang di hadapannya.

Mereka berdua berlari secepat mungkin. Namun, material hidup yang mengejar mereka dapat mencapai posisi di mana mereka berada.
"Sial! Dia berhasil mencapai kita!" pekik Ricky saat menyadari material beterbangan tersebut telah mencapainya dan Johan.

"Di sini!" teriak Johan seraya menarik Ricky kemudian menjatuhkan diri bersama Ricky ke dalam sebuah lubang menganga di tengah jalan, sebuah lubang drainase.
Lubang drainase tersebut terbuka begitu lebar karena bagian paling atas hancur bekas ledakan.

Johan dan Ricky yang kini berada di dalamnya hanya menunggu sampai material tersebut melewatinya. Mereka tidak menyadari jika material tersebut ternyata bersiap menimbun mereka berdua.
Grudug, grudug, grudug

Material terbang tersebut berjatuhan ke arah lubang drainase di mana Ricky dan Johan berada. Akibatnya mereka berdua tertimbun dan terkurung di dalam saluran air tersebut.

"Sial! Kita terperangkap!" umpat Ricky seraya melindungi kepalanya dengan kedua
tangan.

Johan pun melakukan hal yang sama. Ia setengah tiarap melindungi kepala belakangnya dari runtuhan material.

"Kita bisa menelusuri saluran air ini. Lihat, sebuah lorong yang panjang," ucapnya seraya melihat ke arah lorong saluran air yang cukup lebar itu.
Ia bersama Ricky pun lantas bergerak setelah menyingkirkan reruntuhan yang menghalangi jalan. Mereka berdua pun menelusuri lorong drainase tersebut seraya memperdengarkan suara-suara di luar.

Mereka berdua dapat mendengar suara gemuruh diiringi teriakan orang-orang.
Mereka dapat menduga jika para tentara yang sedang berperang sedang disibukkan oleh sosok mistis berkekuatan tinggi. Apapun sosok itu tidak dapat dihadapi menggunakan senjata manusia.

Terlebih sosok tersebut merupakan kiriman Margon, titan yang mengirim Ricky dan Johan ke masa
lalu.

Kembali ke Johan dan Ricky yang kini telah mencapai ujung lorong di mana suatu area terbuka bekas ledakan artileri berada di sana.

"Jalan keluar. Tapi kita harus berhati-hati. Musuh bisa saja menemukan kita," ucap Johan seraya keluar dari area tersebut dengan merangkak.
Ricky pun melakukan apa yang dilakukan Johan. Namun ia sejenak mundur saat peluru berdesingan di atasnya.

"Mereka tidak menembaki kita. Mereka menembaki Salasatri," ujar Johan yang berada di bibir lubang bekas ledakan itu.

"Mereka menembaki Ulrich?" tanya Ricky.
Johan tidak menyahut. Ia kemudian merayap keluar seraya menarik tangan Ricky.

"Ayo," katanya.

Johan dan Ricky kemudian berlari bersijingkat setelah keluar dari lubang besar itu. Mereka berlari sembari merunduk ketika desingan tembakan mengarah kepadanya.

"Itukah Hellberg?"
Ricky menghentikan langkahnya.

"Awas!" teriak Johan seraya mendorong Ricky hingga jatuh telungkup ketika beberapa butir peluru berdesingan ke arah mereka.

"Kita hampir mencapai Hellberg!" ucap Ricky seraya melongok ke arah Johan.

"Lupakan itu! Kita sedang terkepung!"
Ricky mengedarkan pandangan. Terlihatlah kilatan peluru yang menderu di atasnya disertai dengan ledakan mortir serta teriakan para prajurit yang sedang berperang.

Kota tersebut rupanya jadi medan pertempuran sengit antara pasukan Jerman dengan pasukan Inggris. Kedua pihak juga
sedang disibukkan oleh serangan misterius sesosok makhluk mistis bersayap lebar dan menyala.

Sosok tersebut kini sedang terbang mengarah ke lokasi di mana Johan dan Ricky berada.

"Salasatri sedang kemari. Aku akan menghadapinya," kata Johan seraya menghunus kerisnya.
"Kita hadapi bersama, bang. Jika tidak mungkin bagi kita mengalahkannya, mau tidak mau kita harus kabur," tukas Ricky. "Namun ada yang lebih buruk lagi. Pesawat-pesawat itu," katanya seraya melihat ke arah timur langit.

Johan melihat ke arah langit di mana beberapa pesawat
klasik sedang menuju ke arah kota di mana mereka berada.

"Pesawat Jerman," gumamnya.

Sementara sosok Ulrich yang sedang melayang dengan kedua sayap lebarnya ke arah Johan dan Ricky. Ulrich saat itu memang sedang dikendalikan oleh Salasatri. Oleh karenanya ia dapat terbang.
Johan sembari menghunus keris menyambut kedatangan Ulrich. Sosok tentara Jerman bersayap lebar dengan sepasang tanduk di kepalanya tersebut melayang kemudian menukik ke arah Johan.

Johan menusukkan kerisnya ke arah Ulrich namun tidak mengenai sasaran. Sebaliknya Ulrich dapat
menerjang Johan hingga terlempar.

Ricky tidak tinggal diam. Ia melakukan serangan dengan bayonet yang sedari tadi ia genggam.

"Kembalikan Ulrich, dasar iblis!" teriak Ricky.

"Dia milikku!" Ulrich berbicara dengan suara berat dan mendengung.

Johan yang terlempar kembali
bangkit kemudian menyerang Ulrich dengan kerisnya. Namun sosok iblis tersebut sangat lihai. Semua serangan Johan dan Ricky tidak ada satupun yang kena. Justru mereka berdua kini menjadi bulan-bulanan Ulrich.

Ricky dan Johan pun terlempar saat sabetan kedua tangan Ulrich
menyapu mereka berdua.

"Kita harus lari, bang!" kata Ricky saat ia merasa tidak mungkin lagi untuk melawan iblis di balik sosok Ulrich.

"Aku penasaran, rick. Lagipula jika kita tidak mengalahkannya, kita tidak akan berhasil ke Hellberg dan kamp Kaisar," tukas Johan.
Ricky tercenung sejenak sebelum akhirnya ia menarik Johan secepat kilat ketika sosok Ulrich kembali melancarkan serangan ke arah mereka berdua.

'Whuuuusshhh' Hembusan angin serangan Ulrich menerpa mereka berdua.

Tanpa banyak kata, Johan dan Ricky berlari menjauh dari Ulrich.
Mereka berdua terus berlari hingga mencapai suatu sungai dengan airnya yang mengalir deras.

"Celaka! Kita tidak bisa terus berlari," ujar Ricky.

"Iblis itu masih mengejar kita. Aku akan mencoba menahannya," kata Johan optimistis.

"Pesawat-pesawat itu sudah mencapai kota.
Mustahil bagi kita selamat jika pesawat-pesawat itu membombardir kota ini," kata Ricky seraya mengedarkan pandangan untuk mencari jalur yang mungkin dapat dilewati.

Tiba-tiba sebuah pesawat pembom terbang di atas mereka berdua kemudian menjatuhkan muatannya.

Ricky pun lantas
melompat ke dalam sungai sembari menarik Johan turut serta.

Duarrrrr....

Bom yang dijatuhkan pesawat itu meledak menghancurkan area pinggir sungai itu. Namun sosok Ulrich tetap berada di sana, tidak terdampak ledakan bom.
Sosok iblis tersebut justru terus bergerak melayang ke arah sungai di mana Ricky dan Johan menceburkan diri. Ia tampak melompat ke dalam sungai kemudian melayang di atas derasnya arus air sungai itu.

Selanjutnya ia mengejar ke mana Ricky dan Johan hanyut.

"Takkan kubiarkan
kalian kembali ke dunia kalian!" kata Ulrich dalam balutan wujud iblis itu.

Sementara Johan dan Ricky pontang-panting di antara derasnya arus. Mereka hanya bisa menggapai-gapai sampai mereka mencapai tepian.

Di saat itu pula Ulrich melayang di atas mereka kemudian menghambur-
kan material dari atas tebing tepian sungai.

Johan dan Ricky pun lantas menyelam untuk menghindari serpihan material yang berjatuhan ke arah mereka.

Sembari menyelam mereka terus menggapai hingga mencapai tepian yang landai. Mereka pun segera keluar dari sungai kemudian lari
secepat mungkin. Mereka pun akhirnya mencapai lahan landai dengan parit-parit yang panjangnya berkilo-kilo meter.

Di dalam parit-parit tersebut terlihat banyak tentara sedang berjibaku melawan musuh yang menyerbu ke arah parit.

Tampak ledakan demi ledakan artileri membuncah
di area tersebut. Di sana juga terlihat banyak tank Mark V sedang melawan tank serupa dari pihak musuh. Tank-tank itu juga melawan beberapa tank berbentuk ganjil lebih mirip tenda berjalan.

"Hellberg?" gumam Ricky.

"Kita harus cepat. Salasatri tepat di belakang kita," kata
Johan sambil menarik Ricky melanjutkan langkah.

Mereka berdua pun berlari ke arah ujung parit di mana beberapa orang tentara Inggris menghadang mereka.

"Stop kalian berdua!" teriak salah seorang tentara.

Johan dan menghentikan langkah. Johan menunjuk ke belakangnya membuat
para tentara tersebut terperanjat.

"Apa itu!" pekik seorang tentara saat melihat sosok Ulrich tengah melayang dengan aura gelapnya.

Para tentara tidak lantas mundur. Salah seorang dari mereka melihat ke arah Ricky kemudian berkata setengah berteriak.

"Kau bagian dari kami?
Kenapa bersama tentara Jerman ini? Kau mata-mata, hah!"

Ricky lantas menyahut.

"Aku bukan tentara Inggris dan dia juga bukan tentara Jerman. Aku utusan seseorang yang ingin perang ini berakhir!"

Para tentara itu terkejut. Namun mereka segera waspada ketika sosok Ulrich
semakin mendekat dengan aura gelapnya yang dapat menebarkan ketakutan kepada setiap orang yang melihatnya.

"Lebih baik jangan mempermasalahkan siapa kami. Makhluk itu sangat berbahaya. Kita harus menghadapinya," kata Johan dalam bahasa yang dimengerti para tentara Inggris itu.
Para tentara tersebut saling pandang. Salah seorang di antara mereka kemudian meminta rekannya yang lain untuk mengabari pimpinan.

"Cepatlah temui Kolonel! Kita dihadapkan musuh lain yang lebih berbahaya," ucap tentara itu.

"Baik, komandan!" sahut tentara yang diperintah itu.
Johan tiba-tiba tertegun saat menyadari ada sesuatu yang hilang yaitu keris Ki Ambar.

"Celaka! Pasti keris itu jatuh di sungai!" kata Johan dengan nada panik.

"Keris itu bukan milikmu jika tidak kembali lagi, bang. Sebaiknya kita lanjut pergi," tukas Ricky.
"Kalian tidak boleh pergi. Apalagi memasuki parit. Kalian masih belum jelas siapa. Asal-usul kalian membuat kami curiga jangan-jangan kalian adalah mata-mata musuh," kata komandan tentara itu seraya menatap tajam ke arah Johan dan Ricky.

Johan dan Ricky tidak menanggapi. Mereka
langsung memasang sikap waspada ketika Ulrich hinggap di atas sebongkah batu besar beberapa meter dari posisi mereka.

"Perang ini akan terus berlangsung hingga kalian semua musnah!" kata Ulrich dengan suara besar mendengung.

Ulrich mengeluarkan sesuatu dari balik pinggangnya.
"Itu keris Ki Ambar. Ternyata dia menemukannya," kata Johan terkejut.

"Kita harus merebutnya. Keris itu satu-satunya senjata yang dapat digunakan melawan iblis itu. Hanya saja kita belum tahu cara menggunakannya yang benar," kata Ricky.
"Kita tidak akan mudah merebut keris itu dari tangan Salasatri. Mungkin yang harus kita lakukan sekarang adalah menghindarinya. Kita sebaiknya pergi. Apalagi mereka mulai mengepung Salasatri." Johan melihat ke arah para tentara yang sedang mengepung Ulrich.

"Ayo."
Ricky mengangguk kemudian melihat ke arah ujung parit yang longgar penjagaannya.

Mereka berdua pun berlari kemudian melompat ke arah parit di mana beberapa orang tentara menyambut mereka dengan todongan senjata.

"Berhenti di situ!" seru seorang tentara.
Johan berhenti sejenak kemudian menoleh ke arah Ricky.

"Saya ingin menemui Kolonel Alfred Philipson. Saya ingin menyampaikan ini ke beliau," kata Ricky seraya memperlihatkan sepucuk surat.

"Surat dari siapa? Biar aku yang memberikannya kepada beliau." tentara itu mendekat.
Ricky menatap ke arah prajurit tersebut seraya memperdengarkan suara riuh para tentara yang sedang bertempur dengan Salasatri.

"Biar saya sampaikan sendiri. Lihatlah teman-teman kita sedang direpotkan makhluk jadi-jadian itu," kata Ricky.

"Kau tidak akan ke mana-mana apalagi
menemui Kolonel Alfred, hei orang asing!" kata prajurit itu lagi.

"Bagaimana kalau aku mengizinkan mereka, prajurit?" Sebuah suara dari arah belakang prajurit itu sukses membuat semuanya mengalihkan perhatian.

"Jenderal," ucap prajurit tersebut seraya memberi hormat diikuti
prajurit lainnya.

Sementara Johan dan Ricky termangu menyaksikan kedatangan tokoh kunci peperangan di parit sektor Hellberg tersebut.

"Kolonel Alfred Philipson?" ucap Ricky disambut tatapan sang jenderal.

"Sebaiknya aku lihat surat itu, anak muda. Aku tahu ada hal urgent
yang sedang kalian kejar. Makhluk itu sedang tertahan namun tidak akan lama. Cepatlah," kata Kolonel Alfred sembari menghampiri Ricky.

Ia kemudian mengambil surat dan beberapa benda yang turut diserahkan oleh Ricky.

"Jadi Robert sudah tiada. Keluarga kakakku benar-benar
tidak tersisa sekarang," ucap Kolonel Alfred kemudian melanjutkan perkataannya sambil menatap ke arah Ricky. "Tugasmu sudah selesai. Kembalilah ke masa dirimu hidup."

Mendadak tubuh Ricky menguar kemudian melebur dan menghilang di udara.

"Ricky!" Johan tercekat melihat Ricky
menghilang setelah komandan pasukan Inggris tersebut meminta Ricky kembali ke masa ia hidup.

"Perjalananmu juga akan segera selesai. Beberapa prajurit akan mengantarmu ke Lokensolden. Kamu harus melewati beberapa medan perang dengan tank dan juga truk," kata Kolonel Alfred
seraya menatap Johan.

Johan hanya terdiam menatap Kolonel Alfred. Ia merasa bingung harus melakukan apa agar ia dapat menyusul Ricky kembali ke masa ia hidup.

~~SEKIAN~~

Karena sdh terlalu panjang, maka ceritanya cukup sampai di sini. Jika ada waktu akn dibuatkan lanjutannya
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Acep Saepudin

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!