, 260 tweets, 38 min read
My Authors
Read all threads
~MEMBURU KI RAWUK~

Sebuah cerita horor. Real atau bukan tidak apa kan? Just for fun.

#bacaceritahoror #ceritaseram
#ceritahoror #demit
Siluet sosok seorang pria berkapak berjalan cepat ke arahnya sembari mengayunkan kapaknya.

"Aaaaaahhhhh!!!" jeritnya lantang saat kapak itu menderu ke arahnya.

"Laela!!!" teriaknya.

Itu aneh, dia yang hendak dihantam kapak, namun dia melihat yang hendak dihantam kapak adalah
Laela.

Ia sejenak menutup kedua mata saat kapak itu mendekat dengan cepat ke arah Laela.

"Aaaaaaa.....!!!"

Rasmi menjerit kemudian terbangun dari mimpi buruknya.

"Rasmi? Ada apa, nak?" teriak ibunya kaget seraya memasuki kamar Rasmi.
"Aku mimpi buruk lagi, bu." Rasmi mengusap wajahnya.

"Soal Laela?" tanya ibu.

Rasmi mengangguk. "Laela tidak memiliki hubungan yang baik dengan uwak Ijah dan uwak Rahman. Mereka berdua seolah tidak menganggapnya sebagai anak. Kalau bukan kita yang memperhatikan Laela, lalu
siapa lagi."

Ibu terdiam mendengar perkataan Rasmi.

"Sekarang dia sedang PKL di suatu tempat antah-berantah. Saya khawatir itu menjadi hal buruk baginya," kata Rasmi lagi.

"Kita doakan Laela, semoga ia baik-baik saja di sana," tukas ibu.
Sementara itu di Desa Cikahuripan. Pagi itu warga geger saat menemukan seorang perempuan hanyut di sungai.

"Dia sebenarnya siapa?" ujar seorang warga.

"Kita belum pernah melihatnya di desa kita. Apa dia dari desa sebelah?" tukas yang lain.

Pak Dodi yang merupakan kepala desa
mendatangi sungai yang juga tempat ditemukannya Rina, Laela, dan Rumsah.

"Ini tidak mungkin," ucapnya seraya memperhatikan wajah perempuan itu. "Aku mengenalnya. Dia adalah pengasuhku sewaktu aku masih kecil."
Beberapa saat kemudian setelah perempuan itu tersadar dari pingsannya. Juga setelah warga membawanya ke puskesmas.

"Mbak Sarnah? Pasti mbak tidak mengenali saya," ujar Pak Dodi.

"Bapak siapa, ya? Ngomong-ngomong desa ini sekarang ramai?" kata Sarnah seraya menatap ke arah
Pak Dodi.

"Mitos bilang 'alam gaib dapat membuat seseorang menjadi awet muda'. Sepertinya mitos itu berlaku padamu, mbak Sarnah," kata Pak Dodi membuat Sarnah tercengang heran.

"Apa maksud bapak?" tanya Sarnah bingung.

"Saya adalah Dodi Sanjaya, putra Pak Mahfud dan bu
Rodiah. Mbak masih kenal mereka?" kata Pak Dodi memperjelas ucapannya.

Mimik wajah Sarnah berubah. Ia terlihat sangat terkejut setelah mendengar pemaparan Pak Dodi.

"Itu tidak mungkin! Dodi tidak mungkin setua bapak!" sergah Sarnah.

"Ini memang aneh dan sulit diterima akal
sehat. Tapi saya memang Dodi, bocah lelaki yang selalu mbak bawa ke gubuk ladang milik Pak Karsim," kata Pak Dodi.

Sarnah masih terkejut. Ia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang dialaminya kini.

"Sudah berapa tahun aku disesatkan iblis itu," gumamnya.
Pak Dodi duduk di hadapan Sarnah. Ia sejenak terpekur.

"Hari itu aku dibawa oleh sosok iblis yang sangat mengerikan. Kang Dadang tidak berhasil mencegahnya membawaku," tutur Sarnah.

"Aku sudah mendengarnya langsung dari Pak Dadang. Saat itu ia sedang dipenjara karena kasus
yang berkaitan dengan kematian ibu dan hilangnya ayah," kata Pak Dodi.

Sarnah tercengang mendengar perkataan Pak Dodi.

"Sekarang ia telah tiada, bukan?" tanyanya.

"Mbak sudah tahu?" Pak Dodi menatap bingung ke arah Sarnah.

Sarnah hanya terdiam. Kedua matanya tampak
berkaca-kaca.

"Saya mohon maaf, mbak. Saya tidak dapat mencegahnya dari menyerang Ki Rawuk. Tidak sempat lebih tepatnya," kata Pak Dodi.

Sarnah masih terdiam.

Pak Dodi hanya menunggu perempuan itu berbicara. Ia pun turut terdiam.
Mendadak.

Glederrrrrrr

Suara petir membahana diiringi percikan kilat,membuat semua orang terperanjat ngeri.

"Ada apa ini? Aku merasakan ada yang tidak beres yang akan terjadi. Di mana gerangan Rahayu?" gumam Pak Dodi.

"Rahayu?" Sarnah terkejut mendengar kata-kata Pak Dodi.
Di tengah hutan Alas Kawuni rupanya sedang terjadi suatu pertengkaran hebat antara Rahayu dengan kakeknya, Ki Rawuk.

"Kakek tidak bisa begitu saja membangkitkan kembali Kerajaan Paninggalan. Ini di jaman apa?" Rahayu berkata suara agak keras. Tampaknya sebelumnya ia sempat adu
argumen dengan Ki Rawuk.

"Tanah itu bukan hak warga desa. Tanah itu telah dibasahi darah para korban pembantaian. Monumen yang dibangun di atas tanah itu seharusnya adalah sebuah istana kerajaan yang megah. Istana Kerajaan Paninggalan yang baru. Aku ingin membangkitkan kembali
kejayaan leluhur kita," tutur Ki Rawuk tegas.

"Kakek mungkin sakti, tapi kakek tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan adanya orang lain yang lebih sakti yang berpihak ke negara. Pokoknya Rahayu tidak setuju, kek. Juga tolong kembalikan Pak Rohidin!"

"Raden Jara Saksana
bergelar Sri Banda Sangkasena telah mencuri identitasku sebagai Ki Rawuk palsu. Dia pantas menjadi arca selamanya." Ki Rawuk menatap tajam ke arah arca Pak Rohidin alias Raden Jara. "Aku yakin di jaman sekarang manusia terutama di negeri ini lebih suka bermusuhan satu sama lain
karena merasa paling benar sendiri. Jadi aku tidak perlu takut dengan kehadiran manusia sakti yang pasti langka di jaman sekarang ini."

"Raden Jara itu anakmu sendiri, kek. Pamanku yang berjasa mengantarkan ayah ke puncak tahta. Beliau juga yang membantuku kabur ketika peristiwa
pembantaian itu berlangsung. Ia juga yang menghidupkanku dan membalaskan dendam keluarga kita kepada para bajingan itu," kata Rahayu. "Waktu itu ke mana kakek gerangan!"

Ki Rawuk terkekeh.

"Itu adalah takdir yang harus keluarga kita terima. Kakek tidak muncul karena waktu itu
kakek sedang mati suri setelah dikalahkan Ki Ambar. Orang itu satu-satunya yang bisa mengalahkanku di masa itu. Sekarang dia sudah mati dan tidak hidup lagi sepertiku," jelasnya.

"Setelah sekian lama kakek menghilang. Sekarang kakek baru peduli pada kerajaan?" Rahayu berdecak.
"Dari dulu kakek selalu peduli pada kerajaan warisan buyutmu ini. Kerajaan yang tentram loh jinawi. Jauh lebih tentram daripada keadaan negara ini," kata Ki Rawuk sambil menunjuk tanah di bawahnya. "Kakek sudah cukup lama ingin membangkitkan kerajaan. Namun itu tidak akan terjadi
jika tidak ada anggota keluarga yang tersisa. Sekarang ada kamu, cucuku, dan kakek tidak membutuhkan yang lain-lain termasuk Jara Saksana. Dia adalah anak kurang ajar yang berani menggunakan nama samaran ayahnya sendiri!" lanjutnya.

Rahayu hanya menatap miris ke arah arca Jara.
"Terus apa mau kakek sekarang? Dan untuk apa kakek melepaskan halilintar itu? Mau mengusir warga desa?" Rahayu berujar sambil melihat ke arah suatu pilar besar di pusat reruntuhan yang mengeluarkan kilat.

"Kau akan tahu, cucuku," tukas Ki Rawuk seraya merapal mantra.
"Hentikan itu, kakek! Kau bisa membunuh banyak orang tidak bersalah!" teriak Rahayu seraya melemparkan sebatang konde ke arah pilar besar itu.

Namun, Ki Rawuk dengan cepat menangkis konde itu hingga melayang jauh.

Rahayu melakukan upaya lainnya dengan menghantam pilar
menggunakan batu besar. Namun kembali digagalkan Ki Rawuk.

Upaya ketiga yang dilakukan Rahayu adalah menggunakan kemampuan magisnya. Dengan kekuatannya ia berhasil membuat Ki Rawuk menghentikan mantranya.

"Apa maumu, Rahayu! Tidak bisakah kau bantu kakekmu membangkitkan
kerajaan dengan tidak merintangi!" Ki Rawuk tampaknya cukup geram dengan apa yang dilakukan Rahayu.

"Tapi apa yang kakek lakukan bisa membunuh warga desa. Petir itu bisa menghancurkan apapun yang ada di sekitar lahan itu!" teriak Rahayu.

"Kerajaan ini membutuhkan lebih banyak
tumbal. Minggir kau!!" bentak Ki Rawuk seraya mendorong Rahayu menggunakan kekuatannya.

Rahayu terdorong ke belakang. Ia tidak gentar. Lantas ia kembali menyerang Ki Rawuk yang sedang mulai dengan mantranya.

Wuuuushhhh

Serangan Rahayu kembali membuat Ki Rawuk terganggu.
"Jangan merintangiku lagi!" teriak Ki Rawuk seraya melontarkan pukulan bertuahnya ke arah Rahayu.

Rahayu yang tidak mengira mendapatkan serangan itu, tertegun saat sinar merah pukulan Ki Rawuk menembus tubuhnya.

Tubuh Rahayu melayang ke udara dengan kedua matanya terbeliak.
"Kau kembalilah ke Tungtung Dunya yang telah hancur itu untuk kembali menjadi demit Sangkapati yang ganas!" Ki Rawuk merapal mantra kemudian mengarahkan kedua tangannya ke arah Rahayu hingga wujudnya menghilang.

Kini Ki Rawuk leluasa menjalankan rencananya. Namun ada hal yang
membuatnya kesal, yaitu pilar tersebut tidak lagi mengeluarkan halilintar.

Ia tahu Rahayu berhasil mematikan seluruh mantranya saat detik-detik ia terkena serangan.

"Sial! Mantraku berhasil dimatikannya!" geram Ki Rawuk. "Aku akan mengirimkan teror ke desa itu agar rencanaku
berjalan!"

Ki Rawuk kemudian duduk bersila di depan pondoknya kemudian merapal mantra pembangkit para demit.

Ia berencana mengirim pasukan demit untuk meneror desa.
Malam itu jumat kliwon. Keadaan desa begitu sepi. Hanya beberapa orang warga yang terlihat sedang berjaga di pos ronda.

"Malam ini sepi sekali ya, kang. Persis seperti malam itu, saat Sanca Ireng meneror keluarga Pak Subhan," ujar seorang warga yang ikut meronda.
"Betul katamu. Malam ini rasanya lebih sepi ditambah semilir angin tidak biasa. Itu rasa-rasanya seperti mengingatkanku pada kejadian horor di rumah Pak Subhan," tukas rekannya.

"Jangan berbicara yang aneh-aneh, kalian berdua. Lebih baik tetap berpikir positif. Kita harus berdoa
supaya kejadian di rumah Pak Subhan tidak terulang lagi," sergah rekan lainnya.

"Pastilah kang Usup, kita harus sering-sering berdoa. Apalagi kampung kita berada dekat dengan hutan larangan Alas Kawuni. Ditambah tanah bekas eksekusi massal itu," tukas warga yang pertama membuka
pembicaraan.

"Alas Kawuni konon memiliki banyak petilasan kerajaan demit bernama Kerajaan Paninggaran. Konon petilasan itu masih dihuni makhluk-makhluk halus," timpal warga kedua seraya bergidik.

"Aah, makhluk halus mah tidak melulu berada di petilasan. Di antara kita juga
pasti ada salah satu di antara mereka," sergah warga pertama.

Pak Usup menggernyitkan kening mendengar kata-kata temannya. Ia kemudian mengalihkan pandangan ketika merasakan sesuatu berkelebat di belakangnya.

"Kang Usup? Iiiituu...!!" Warga yang bersama Pak Usup mendadak
gemetar saat melihat sesosok berpakaian serba hitam dengan rambut berumbai hingga ke tanah.

"Allaahu akbar!!" Pak Usup lantas bertakbir seraya berbalik arah kemudian membelakangi dua rekannya itu.

Tampak di hadapannya sesosok demit perempuan berwajah hancur, terlihat sangat
mengerikan.

"Sanca Ireng! Mau apa kau kemari!" Pak Usup tanpa gentar berteriak.

"Hihihihi, aku sedang mencari seorang perempuan bernama Sarnah," tukas demit bernama Sanca Ireng itu seraya tertawa mengikik.

"Untuk apa kau mencarinya? Dia tidak akan kembali ke Tungtung Dunya,
selama desa ini masih ada!" kata Pak Usup tegas.

"Kalau begitu sebentar lagi desa ini akan menjadi desa hantu. Hihihihi." Tawa Sanca Ireng membuat bulu kuduk siapapun yang mendengarnya akan merinding.

Kedua warga yang bersama Pak Usup mendadak terjatuh kemudian kejang-kejang.
"Apa yang kau lakukan pada teman-temanku, hah!" Pak Usup terkejut melihat teman-temannya bergolek di atas tanah.

"Tttooolong kami, kang Usssuppp." Suara erangan minta tolong perlahan hilang dengan keluarnya sukma mereka.

"Tidaaaaakk!!" teriak Pak Usup.
Di saat itu juga Pak Usup menyadari jika Sanca Ireng sudah tidak ada di sana.

"Siapapun, tolooongg!" teriaknya.

Beberapa saat kemudian para warga berdatangan ke tempat Pak Usup.

"Apa yang terjadi, pak?" tanya Pak Dodi yang turut bersama warga. "Astagfirullah al adzhiim,
mereka kenapa, pak?" lanjutnya saat melihat dua warga terkapar di atas tanah.

"Sanca Ireng, Pak Kades!" tukas Pak Usup.

"Sanca Ireng? Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Tungtung Dunya? Di mana gerangan Rahayu?" gumam Pak Dodi.

Mendadak dari kejauhan muncul Rina
bersama Laela, datang tegopoh-gopoh.

"Kalian berdua ada apa ini?" Pak Dodi langsung menyambut dua gadis itu.

"Gawat, pak! Sepupu saya Rasmi hilang di perjalanan menuju kemari!" tukas Laela dengan nada panik.

"Sepupu kamu hilang di mana?" tanya Pak Dodi.

"Di jalan tengah
hutan perbatasan dengan desa sebelah, pak. Saat itu ia bersama tukang ojek yang mengantarnya. Tukang ojeknya kami temukan pingsan di jalan dengan motor masih menyala. Sedangkan Rasmi hilang entah kemana," tukas Laela.
"Sekarang di mana tukang ojeknya?" tanya Pak Dodi. "Oh iya bapak-bapak tolong bawa mereka ke balai desa. Sementara saya akan menemui ojek yang mengantar sepupunya Laela."

Setelah berkata demikian, Pak Dodi bersama Laela dan Rina beranjak menuju rumah di mana tukang ojek itu ber
ada.

Sesampainya di sana, bapak ojek tersebut terlihat seperti sedang kebingungan. Di sana pemilik rumah juga ada menemani bapak itu.

"Saya benar-benar tidak tahu apa itu yang menyeret neng Rasmi ke dalam hutan. Warnanya hitam gelap, ditambah keadaan sekeliling gelap gulita,
membuat saya tidak dapat melihatnya dengan jelas," tutur bapak ojek itu setelah ditanyai Pak Dodi.

"Tampaknya apapun yang membawa sepupumu ke dalam hutan bukanlah manusia. Bisa jadi penghuni hutan itu. Apalagi hutan di sana adalah bagian dari Alas Kawuni," kata Pak Dodi seraya
menatap ke arah Laela.

"Terus apa yang harus kita lakukan, pak? Mencarinya ke hutan sangat menyeramkan. Hiii," tukas Laela.

"Mungkin kita bisa meminta bantuan Pak Rohidin dan mbak Rahayu," usul Rina disambut gelengan kepala Pak Dodi.

"Mereka telah menghilang, nak Rina,"
tukas Pak Dodi kemudian kembali menatap ke arah bapak ojek itu. "Bapak mengantar Rasmi dari Sukapura?" ucapnya.

Bapak ojek itu mengangguk. "Saya bertetangga dengan bu Sarti, ibunya Rasmi yang juga bibi mbak Laela ini. Sejujurnya saya bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi
di kampung ini?

"Nama bapak siapa?" tanya Pak Dodi.

"Saya Aslim, Pak Kades," tukas bapak ojek bernama Pak Aslim itu.

"Begini, Pak Aslim. Boleh percaya boleh tidak, desa ini dikelilingi wilayah para makhluk halus tinggal. Mulai dari Alas Kawuni di barat daya, Leuweung Cocogan
di utara tempat bapak pingsan, Kebon Hulu Embe di timur, dan Tanah Pengorbanan di selatan," jelas Pak Dodi. "Dari salah satu wilayah itu ada yang mengacaukan, dan itu sudah berlangsung lama hingga dua hari terakhir ini adalah yang paling memprihatinkan. Tidak tahu besok-besok
akan seperti apa lagi."

"Lalu yang di barat, Pak Dodi?" tanya Laela.

"Area barat adalah area kosong yang berbatasan langsung dengan Alas Kawuni bagian barat. Area kosong yang landai itu disebut sebagai Rawa Gaib. Bukan rawa sesungguhnya, namun jika seseorang menginjakkan kaki
di sana pada malam jumat kliwon, maka dia akan terperosok ke dalam dunia lain yang disebut Rawa Gaib," jelas Pak Dodi membuat Pak Aslim terperangah bingung.

"Hal yang seperti itu benar-benar ada ya?" ucap Pak Aslim.

"Iya, betul, Pak Aslim. Boleh percaya boleh tidak, tapi itu
benar-benar ada," kata Pak Dodi.

"Kalau Tungtung Dunya, pak?" ucap Rina membuat Pak Dodi mengalihkan perhatian kepadanya.

Pak Dodi sejenak berpikir hingga beberapa saat kemudian ia menanggapi pertanyaan Rina.

"Pasti kamu pernah bertemu Sanca Ireng di Rawa Gaib, bukan? Dia
tadi sore muncul mengganggu Pak Usup dan membuat dua warga desa kehilangan jiwanya. Mereka dibawa Sanca Ireng ke Tungtung Dunya, salah satu area terkutuk di Rawa Gaib. Hanya jin jahat yang menghuni area itu," jelasnya.

"Dita?" Rina teringat dengan temannya yang gagal ia selamat
kan.

"Jin di sana bisa berwujud apapun yang dia suka termasuk menyerupai temanmu. Namun tentu sifat liar mereka akan tetap terlihat meski memiliki wujud manusia modern," jelas Pak Dodi.

"Lalu bagaimana dengan sepupu saya, pak? Kita harus mencarinya tapi saya tidak mau kembali
ke alam gaib itu," ujar Laela.

"Pak Maman dan beberapa warga sedang menuju Leuweung Cocogan. Mereka akan segera memberi kabar," tukas Pak Dodi seraya melihat handphone-nya.

Cerita akan dimundurkan ke peristiwa penculikan Rasmi di Leuweung Cocogan.

Selamat mengikuti...
Sebuah sepeda motor jenis bebek melaju perlahan saat melewati tikungan di hutan itu.

Motor itu rupanya dikemudikan Pak Aslim dan membonceng Rasmi di belakang dan barang bawaan di belakang setang.
Tiba-tiba mesin mendadak mati saat melewati tikungan itu. Otomatis Pak Aslim sigap menekan rem.

"Astaga, kenapa malah mati mendadak begini. Tidak biasanya begini," ucap Pak Aslim seraya menghidupkan kembali mesin. Namun ia tidak berhasil menghidupkannya.

"Aduh, mana gelap,
lagi, pak," keluh Rasmi seraya menunggu Pak Aslim menyalakan motor.

"Malam-malam mati mesin begini. Ini akan menjadi pertanda tidak baik, neng," tukas Pak Aslim seraya terus mencoba menghidupkan mesin sepeda motornya. "Masih tidak mau menyala. Saya akan coba menyelanya."
Rasmi kemudian turun dari motor. Begitupun Pak Aslim yang kemudian memasang standar dua motornya.

Selanjutnya ia menyela sepeda motornya, namun tetap tidak berhasil menghidupkan mesin.

"Celaka, motor benar-benar mogok!" keluhnya seraya menoleh ke arah Rasmi.

Namun betapa
terkejut dan ketakutannya dia ketika sosok Rasmi berganti menjadi sosok perempuan mengerikan berpakaian serba hitam.

Belum sempat memanggil Rasmi, sosok tersebut melesat ke arah Pak Aslim. Akibatnya ia terjatuh tidak sadarkan diri di dekat sepeda motornya.

"Hihihi, kuambil
dia satu-satunya keturunan Ki Ambar Wisesa Haryodiningrat!"

Suara parau nenek-nenek demit terdengar bergema di sekeliling tikungan itu.

Keadaan gelap tanpa cahaya sama sekali. Sementara Rasmi menghilang di dalam gelap dibawa sosok negatif dari Rawa Gaib itu.
Deg, deg, deg,

Suara degup jantung berpacu seiring dengan tersadarnya si gadis yang sedang terbaring di bawah pohon beringin yang rimbun itu.

Malam yang pekat menyelimuti tempat itu hingga siapapun tidak dapat melihat keadaan sekitarnya.

Gadis yang adalah Rasmi perlahan
membuka kedua matanya. Ia terperanjat ketika mendapati dirinya sedang berada di tempat yang sangat asing juga menyeramkan

Sayup-sayup ia mendengar suara erangan halus dari belakangnya. Ketika menoleh ia langsung menjerit.

"Aaaaaaahhhh!!!"
"Hihihihi, jangan takut, nona. Aku hanya menginginkan keris itu." Suara parau nenek-nenek terdengar dari sosok yang baru saja menakuti Rasmi.

"Jangan mendekat kau, setan!" Rasmi bergidik seraya mundur.

Sosok itu semakin mendekat ke arah Rasmi seraya menjulurkan lidahnya yang
bercabang seperti lidah ular.

"Menjauh dariku, perempuan ular! Tidak cukupkah kau mengganggu keluargaku!" teriak Rasmi seraya terus mundur.

Degg, kakinya menyentuh pangkal batang pohon di belakangnya.
Rasmi terpojok. Pohon di belakangnya dan juga kanan kirinya mencegahnya keluar. Tentu saja itu karena campur tangan demit ular yang kita tahu sebagai Sanca Ireng.

"Hehehehe, akhirnya aku mendapatkan keris Ki Ambar yang tersohor itu. Dengan keris ini aku akan menjadi ratu segala
demit di muka bumi ini!" Seraya berkata demikian, Sanca Ireng menjulurkan tangan kanannya yang ringkih dan kurus ke arah leher Rasmi.

Tiba-tiba Rasmi menusuk wajah Sanca Ireng dengan sebilah keris yang entah ia dapatkan dari mana.

"Waaaaaakkkkkkk......" Sanca Ireng meraung
seraya mundur sembari menutupi wajahnya.

"Bukan keturunan Ki Ambar jika aku tidak bisa mengalahkanmu!" seru Rasmi seraya menusukkan keris ke arah Sanca Ireng yang tiba-tiba saja menghilang.

"Awas kau!! Tunggu pembalasanku!" Ancaman Sanca Ireng bergema di dalam hutan tersebut.
Rasmi sejenak memperhatikan kerisnya yang menyala, membuat keadaan yang gelap menjadi terang.

"Aku harus ke desa. Pasti Laela sedang mencari-cariku," gumamnya seraya melangkahkan kaki.

Beberapa lama ia berjalan akhirnya melihat beberapa kilauan cahaya senter di kejauhan.
Rupanya kilauan cahaya tersebut berasal dari para warga yang sedang menelusuri hutan demi mencari Rasmi.

"Di sini!" seru Rasmi seraya melambai.

Para warga segera menuju ke arah posisi Rasmi.

"Rasmi, bukan?" ujar seorang warga yang terlihat lebih sepuh dari yang lainnya.
"Waktu Sanca Ireng membawaku, saat itu aku dalam keadaan tidak sadar. Namun, dalam ketidaksadaranku, aku melihat seorang perempuan berpakaian olahraga sedang melayang di antara pepohonan dengan kedua matanya terbeliak ke atas," tutur Rasmi setelah berada di balai desa.
"Mbak Rahayu?" gumam Rina setelah mendengar penuturan Rasmi.

"Kamu mengenalnya?" tanya Rasmi.

"Aku juga mengenalnya, ndok," kata Laela.

"Ndok? Sendok kali," tukas Rina.

"Terus apa lagi yang kamu lihat?" tanya Laela. "Jangan bilang kalau kamu melihat Ki Rawuk juga."
"Aku tidak tahu siapa itu Ki Rawuk. Tapi demit itu sempat menyebut-nyebut namanya. Dalam alam bawah sadarku aku juga melihat seorang kakek berambut panjang berwarna putih dengan pakaian serba hitam, sedang mengguna-gunai perempuan itu," jelas Rasmi membuat Laela dan Rina terkejut
"Itu Ki Rawuk, tapi kok? Ini seperti ada yang aneh," kata Rina dengan mimik serius.

"Lah, Ki Rawuk dari awal memang mencurigakan, rin. Tidak peduli dia berganti nama menjadi Ki Rohidin. Tindak-tanduknya tetap mencurigakan," tukas Laela.

"Bukan soal itu, la. Ada yang lebih
mencurigakan lagi mengenai sosok Ki Rawuk yang ini," tukas Rina.

"Ki Rawuk yang ini? Maksudmu Ki Rawuk ada dua gitu?" Laela menatap heran ke arah Rina.

"Bisa iya, bisa juga tidak," kata Rina membuat Laela tambah bingung.

Rasmi terlihat sedang mengamati telapak tangannya.
"Kalian berdua pernah ke Rawa Gaib, bukan? Apakah tidak ada petunjuk di sana mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi?" tanya Rasmi.

Laela dan Rina menatap lekat ke arah Rasmi. Tak lama Rina teringat sesuatu yang mungkin ia lewatkan ketika sedang di Rawa Gaib.
"Dita, aku sempat bertemu dia. Dia sempat mengatakan bahwa Pak Rohidin bukan Ki Rawuk. Begitupun sebaliknya. Tapi aku masih nggak mengerti apa maksudnya," tutur Rina.

"Mungkin arca itu adalah Pak Rohidin yang kamu maksud. Sedangkan Ki Rawuk adalah kakek itu," ucap Rasmi.
"Maksudmu? Aku nggak ngerti, nih," tukas Laela.

"Mungkin maksudmu Pak Rohidin itu aslinya adalah arca yang disihir Ki Rawuk?" timpal Rina.

"Pak Rohidin memang Ki Rawuk tapi bukan Ki Rawuk kakek-kakek yang kulihat dalam mimpi," kata Rasmi membuat Rina dan Laela bingung.
"Jadi, intinya Ki Rawuk itu ada dua?" tanya Laela.

"Bukan seperti itu. Kita tidak akan tahu sampai salah satu di antara dua Ki Rawuk itu memberitahu kita. Tapi itu sepertinya tidak mungkin. Kecuali Pak Rohidin yang kalian maksud masih ada," tukas Rasmi.

Laela dan Rina saling
pandang. Mereka tampaknya masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Rasmi.

Lama mereka terdiam hingga Pak Dodi masuk ke ruangan sembari berbicara.

"Kami masih belum menemukan Rahayu dan Ki Rawuk. Kami belum bisa memasuki pusat Alas Kawuni. Tempat itu dijaga sekelompok
Maung Lodaya (harimau Lodaya). Mereka sangat buas. Herannya mereka tidak mengejar kami ketika kami pergi meninggalkan tempat itu," tuturnya.

"Jadi Pak Kades mencoba masuk ke sana?" tanya Rina sembari menatap Pak Dodi.

"Betul, tapi ya seperti itulah, kami gagal. Mungkin
hanya seseorang yang memiliki garis keturunan raja Padjajaran yang dapat memasuki tempat itu. Karena para Maung Lodaya akan menghormatinya dan membiarkannya lewat," jelas Pak Dodi.

"Di jaman sekarang sangat sulit menemukan orang yang memiliki darah keturunan para raja di masa
lalu," tukas Laela.

Rasmi tampak terdiam setelah mendengar pembicaraan Pak Dodi dengan Laela dan Rina. Ia sejenak menatap pergelangan tangan kanannya.

"Rasmi, ada apa? Kok diam saja?" tanya Pak Dodi.

"Mungkin saya bisa membantu," ucap Rasmi membuat Pak Dodi terkejut.
Beberapa saat kemudian ketika mereka sedang berembuk dengan warga lain.

"Rasmi, apa kamu yakin mau ke sana?" ujar Laela.

"Aku harus ke sana. Sebab, desa ini tidak akan bertahan jika Ki Rawuk masih ada di sana. Lagipula teror Sanca Ireng belakangan ini pasti karena Ki Rawuk,"
tukas Rasmi.

"Mungkin kita harus meminta bantuan Abah Somad. Tapi sayangnya beliau sudah tidak mungkin dapat membantu kita. Faktor umur juga yang membuat beliau tidak dapat membantu kita," ucap Pak Maman.

"Saya akan kembali ke sana bersama Rasmi. Lebih baik cukup saya dan
Rasmi yang ke sana. Dek Rasmi ini satu-satunya harapan kita," tukas Pak Dodi.

"Hari bukannya masih pagi, ya? Kok seperti sudah mau maghrib saja, ya?" ujar Pak Usup saat menyadari ada yang janggal pagi itu.

"Ini aneh, bukannya Sangkapati sudah tidak ada. Atau jangan-jangan!"
kata Pak Dodi seraya melihat telapak tangannya yang menyala. "Tidak! Kalung itu kembali. Ada yang tidak beres yang telah terjadi pada Rahayu. Ia kembali menjadi Sangkapati. Kita harus bersiap!"

Semua orang perhatiannya tertuju pada tangan Pak Dodi yang menggenggam kalung.
"Aaaaaaahhhh!"

Teriakan itu bergema seiring dengan kemunculan sosok negatif Sangkapati di pertigaan jalan pinggir dusun itu.

Kondisi yang gelap membuat dua pemuda itu hanya bisa berlari tak tentu arah.

"Cepatlah, demit itu sedang memburu kita!" ujar pemuda pertama panik.
"Lalu bagaimana dengan Irman? Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja!" tukas rekannya.

"Masalahnya dia sudah menyuruh kita pergi menemui Pak Dodi. Apa pun yang terjadi kita harus terus berlari ke desa," sahut pemuda pertama.

"Tadi kau dengar teriakan itu. Aku khawatir
Irman sudah dimangsanya," kata rekannya seraya terengah-engah.

Setelah beberapa lama mereka berlari, akhirnya tibalah di depan balai desa di mana tidak ada seorang pun berada di sana.

"Pak Kades! Pak Kades!" teriak mereka berdua.

Tidak ada jawaban. Hanya sepi yang dirasa.
"Celaka, tidak ada siapa-siapa di sini. Ke mana gerangan Pak Kades?" ucap pemuda pertama.

"Han, di belakangmu...." Rekan pemuda itu tercekat saat melihat sesosok laki-laki berbadan sangat besar dengan kapak besar di tangannya.

Handi hanya terdiam tanpa berani menoleh.
"Huaaaaakhhhhhh.....!!!!"

Darah membuncah membasahi tanah. Sementara Dimin begitu kaget menyaksikan pemandangan horor di hadapannya. Ia menyaksikan temannya tewas dalam kondisi tubuh terberai setelah ditebas kapak iblis berbadan besar itu.

Dimin pun langsung mengambil langkah
seribu meninggalkan mayat Handi tergeletak di depan balai desa.

"Toloooonnnggg!!!" teriak Dimin seraya terus berlari.

Mendadak muncul seseorang menghentikan langkahnya.

"Dimin, apa yang terjadi?" ujar orang tersebut.

"Aduh, Pak Usup. Syukurlah ada bapak. Itu, aaanu..."
Dimin berkata dengan gugup karena panik setelah menyaksikan adegan mengerikan.

"Anu, apa? Bicara yang jelas," tukas Pak Usup.

"Iiitu, pak. Handi sudah tiada. Dia dibunuh demit Kapak Wesi." Sintak Pak Usup kaget mendengar kata-kata Dimin.

"Sebaiknya kita ke rumah Pak Amri.
Di sana ada Pak Kades dan warga lain. Kita sedang kedatangan Bala Pati!" kata Pak Usup seraya beranjak diikuti Dimin.

Ketika mereka sedang berjalan tergesa, terlihat kelebatan sesosok kuntilanak dari dahan ke dahan pepohonan sekitar jalan itu.

Waaaaaahhhhhahaha......
Seraut wajah mengerikan hantu mengerikan tersebut muncul begitu saja di hadapan Pak Usup dan Dimin.

"Allahu akbar!" Pak Usup mundur seraya berucap.

Sementara Dimin hanya mampu menutupi kedua matanya sembari membaca-baca doa.

"Ayo, dim. Kita harus cepat. Ini baru satu yang
muncul di hadapan kita. Jangan sampai kita bertemu Kapak Wesi dan Sangkapati. Mereka sangat mengerikan. Oh, iya jangan lupa Sanca Ireng juga sama berbahayanya," ucap Pak Usup seraya menarik tangan Dimin untuk kemudian berlari melewati sela-sela pepohonan.

Mereka berdua terus ber
lari hingga mencapai suatu rumah besar yang terbuat serba dari kayu, bahkan atapnya pun terbuat dari kayu tahan air.

"Celaka! Kita tidak menemukan jalan ke rumah Pak Asmar. Rumah ini adalah mimpi buruk. Rumah bekas tempat tinggal almarhum Pak Marbun, kakeknya Pak Kades," ucap
Pak Usup seraya menghentikan langkah.

"Saya belum pernah ke rumah ini, pak. Tapi saya pernah mendengar desas-desus soal rumah serba kayu ini. Apakah rumah ini tidak ada yang menghuni? Kenapa terlihat sepi sekali?" tanya Dimin.

Pak Usup celingukan kemudian berujar, "Kita harus
menghindari rumah ini. Rahayu pernah tinggal di sini. Kau tahu bukan kalau Rahayu itu bukan manusia?" tukas Pak Usup seraya memulai langkahnya.

Namun, mendadak terdengar suara gemerisik berat dari arah barat daya. Suara gemerisik tersebut diiringi suara geraman binatang buas.
Dalam gelapnya keadaan, Pak Usup dan Dimin menyaksikan sosok-sosok kucing besar bergerak perlahan ke arah mereka. Suara geramannya membuat siapapun pasti ketakutan.

Geraman besar harimau-harimau yang entah datang darimana terdengar bersahutan, dan semakin membesar seiring
mendekatnya binatang-binatang itu ke arah Pak Usup dan Dimin.

"Dim, saya meminta maaf. Saya tidak tahu jika akan menjadi begini. Sang Bala Pati pun telah datang. Siap tidak siap mungkin itulah takdir kita. Bukan tidak mau berusaha, tapi mereka bukan harimau biasa." Pak Usup
berkata tanpa melihat ke arah Dimin.

Pandangannya hanya tertuju pada sosok-sosok kawanan harimau Lodaya yang kini tepat berada di hadapannya. Ia merasa sudah siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin saja terjadi beberapa detik ke depan.

Ia tidak dapat menyelamatkan diri
maupun orang yang bersamanya.

Sementara Dimin, hanya dapat terdiam tanpa melakukan apa-apa. Ia menyadari jika apapun yang akan dilakukannya akan percuma. Lari tidak dapat menyelamatkannya karena harimau-harimau tersebut telah mengepungnya dan Pak Usup.

"Mbahku berkata, 'hidup
dan mati adalah keniscayaan. Jika engkau hidup, gunakanlah masa hidupmu dengan sebaik-baiknya dengan berbuat baik. Jika engkau hendak mati, maka ingat-ingatlah apa yang pernah engkau lakukan ketika dirimu masih hidup. Barangkali dengan itu, dirimu akan tenang menuju kematianmu."
Dimin berkata setengah bergumam. Tampaknya perkataan tersebut menjadi pertanda baginya untuk menghadapi suatu keniscayaan yang tidak mungkin dapat dihindari oleh seluruh makhluk yang bernyawa, yaitu mati.

Sesaat kemudian tempat tersebut dipenuhi suara riuh binatang-binatang buas
yang berpesta pora.

Bala Pati pun menunjukkan taring-taringnya yang tajam, mengoyak segala bentuk kehidupan di tempat tersebut.

Malam itu benar-benar menjadi malam malapetaka, di mana banyak warga dusun yang tewas dimangsa harimau Lodaya dari Alas Kawuni atau dibunuh Kapak Wesi
Jika diperhatikan dengan seksama, beberapa rumah warga dipenuhi oleh suara teriakan meminta tolong serta jeritan orang-orang yang meregang nyawa.

Tetesan darah meleleh di dinding-dinding rumah warga yang terbuat dari bambu yang dianyam. Juga suara auman harimau terdengar dari
sudut lain, menambah kesan horor yang begitu terasa pada malam itu.

"Aaaaakkkkhhhh....." Suara jerit kematian membuncah dari dalam rumah-rumah warga diiringi suara benturan keras.

Beberapa di antaranya terlihat mengobarkan api hingga menerangi kondisi dusun yang gelap.
Di salah satu rumah yang berdekatan dengan beberapa rumah yang sedang dilanda kebakaran hebat, tampak Pak Dodi bersama Rasmi, Rina, Laela, Rumsah, Pak Asmar, dan istrinya sedang berkumpul di ruang tengah dengan wajah tegang.

"Ki Rawuk benar-benar mengamuk. Dia mengirimkan
bala patinya untuk membinasakan desa ini. Sekarang pilihan ada pada kita masing-masing. Pergi dari sini dan mengosongkan desa atau bertahan kemudian mati di tangan para demit itu," ujar Pak Dodi seraya menghela nafas.

Semua orang hanya bisa tertegun dengan perasaan takut bukan
kepalang. Mereka hampir tidak dapat berkata-kata untuk mengomentari apa yang terjadi terhadap desa mereka.

"Pasti ada cara untuk menghentikan pembantaian ini, pak. Yang perlu kita lakukan hanya mencoba. Saya siap mengorbankan diri jika memang harus. Saya tidak boleh menyia-nyia
kan pusaka pemberian almarhum ayah. Saya ingin kita memburu Ki Rawuk, pak. Sudah jelas dialah biang keladinya terlepas Ki Rawuk itu ada dua atau lebih," tukas Rasmi seraya melihat ke arah jendela. "Jika kita diam saja, akan banyak korban berjatuhan."
"Dalam keadaan begini, kita tidak mungkin bisa pergi ke Alas Kawuni. Kita harus menunggu sampai Pak Usup kembali," tukas Pak Dodi.

"Mungkin Pak Usup tidak akan kembali. Jika nekat kembali, bisa saja ia sekarang sudah tiada, pak. Keadaan gonjang-ganjing seperti sekarang pernah
terjadi sebelumnya waktu wilayah ini masih berupa kerajaan. Nenek saya yang menceritakannya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut di keluarga saya, pak. Anda tahu Ki Ambar?" ucap Rasmi sambil menatap Pak Dodi.

"Saya pernah mendengar soal Ki Ambar. Ia adalah seorang resi dari
golongan putih pada zaman Padjajaran. Ia banyak membela kebenaran. Hanya itu yang saya tahu," tukas Pak Dodi.

"Ki Ambar adalah buyut saya, pak. Meski bukan seorang raja, namun beliau adalah keturunan raja Padjajaran yang tidak banyak dikenal orang. Beliau lebih memilih menjadi
seorang guru silat daripada mengejar tahta. Di masa tuanya ia memilih bertapa di suatu hutan terpencil di Jawa Timur. Selesai bertapa ia banyak mengajarkan kanuragannya kepada para calon pendekar, termasuk di antaranya Prabu Jayaka Tilu, raja Kerajaan Paninggalan," tutur Rasmi.
Pak Dodi hanya manggut-manggut. Ia seolah-olah tidak terkejut dengan penuturan Rasmi.

"Seandainya kamu lebih cepat bercerita, kita sekarang mungkin sudah menyelamatkan banyak nyawa. Sekarang kita harus dari sini. Kita hadapi Ki Rawuk dan Sangkapati!" ujar Pak Dodi tiba-tiba.
"Aku tidak mau ikut!" teriak Laela seraya menutup kedua telinganya.

Pak Dodi menatap ke arah Laela kemudian ke arah Rina.

"Ki Rawuk malam ini benar-benar mengerahkan seluruh demit yang disebut sebagai Bala Pati. Dari namanya sudah ketahuan, kan? Artinya para demit datang bukan
untuk menakuti melainkan benar-benar untuk membunuh. Terlepas bagaimana caranya. Apakah mereka merasuki orang hingga membuat orang tersebut menjadi liar tidak terkendal. Atau merasuki binatang buas yang mustahil dapat dilawan manusia menggunakan tangan kosong. Pikirkan itu," kata
Pak Dodi.

Sayup-sayup terdengar suara lolongan serigala disertai suara jeritan dari kejauhan.

Laela hanya mampu menatap Pak Dodi sembari menahan tangis. Ia kali ini benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa. Meski tidak menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa di desa,
namun tetap saja hal itu membuatnya sangat ketakutan.

Sedangkan Rina hanya mampu saling peluk dengan Rumsah yang juga sama-sama ketakutan.

"Saya sudah bilang, seharusnya kalian waktu itu ikut saja bersama neng Sarnah dan Pak Subhan ke kota. Sekarang, semua sudah terlanjur.
Kita semua terjebak di desa yang sebentar lagi hancur ini," ujar Pak Asmar yang sedari tadi hanya mendengarkan obrolan Pak Dodi dan Rasmi.

"Jika kami pergi, tidak ada yang menjaga desa ini, pak," tukas Rasmi.

"Sekarang kalian tidak pergi, tapi desa tetap tidak ada yang menjaga.
Justru banyak warga yang mati karena desa ini tidak dijaga. Bukan begitu?" kata Pak Asmar membuat Rasmi terdiam.

"Pak Asmar, dari dulu desa ini memang tidak ada penjaganya, tapi aman-aman saja hingga malam ini. Memang inilah takdir kita harus menghadapi peristiwa yang sama buruk
nya dengan eksekusi massal para anggota PKI di Tanah Pengorbanan. Seharusnya lahan itu tidak dinamakan demikian karena menurut orang tua zaman dulu, nama bisa menjadi sebuah kutukan yang lekat selamanya," ucap Pak Dodi sembari menatap ke arah Pak Asmar.
"Kapan kita akan berangkatnya, pak? Jika kita terus di sini, mereka akan segera mencapai tempat ini. Belum lagi orang-orang yang kerasukan. Mereka akan menghabisi siapapun yang ditemuinya," ujar Rasmi membuat Pak Dodi menepuk jidat.

"Oh, iya. Baiklah, sebaiknya kita keluar
sekarang. Namun, kita harus mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk kita bawa," ucap Pak Dodi seraya bangkit dari duduknya.

Selanjutnya ia merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kantong kain yang dari dalamnya ia mengeluarkan kalung Sukma milik Rahayu.
Selanjutnya ia mengenakan kalung tersebut di lehernya.

"Apa itu tidak akan jatuh, pak?" tanya Rumsah yang turut bangun dari duduknya.

"Kalung ini tidak akan jatuh. Terlebih setelah ditanggalkan Rahayu, kalung ini akan selalu kembali pada saya," tukas Pak Dodi seraya mendekati
pintu.

"Tunggu dulu, pak!" ujar Rasmi membuat semuanya terkejut. "Di luar ada seseorang berbadan besar serta membawa kapak yang juga besar. Saya yakin itu adalah Kapak Wesi. Sosok yang sering muncul dalam mimpi saya."

Ia kemudian melihat ke arah Laela. "Laela, tetap bersamaku!"
Laela keheranan melihat tingkah laku Rasmi yang seolah sangat mengkhawatirkannya.

"Kapak Wesi sangat berbahaya. Kita sebisa mungkin harus menghindarinya. Pak Asmar, sebaiknya cepat bawa istri bapak dan anak-anak keluar. Sebisa mungkin bapak harus membawa mereka mencapai sungai,"
tukas Pak Dodi seraya menggenggam gagang golok di pinggangnya.

Pak Asmar tampak menatap Pak Dodi dengan tatapan bingung.

"Ke sungai? Apakah kami bisa lolos dari bala pati jika telah mencapai sungai?" tanya Pak Asmar bingung.

"Sungai perbatasan desa ini bisa menjadi alternatif
menuju daerah hilir yang lebih aman. Cukup mengikuti arus sungai, kalian akan sampai di desa hilir. Minta tolonglah ke para penduduk desa itu. Beritahu mereka, bahwa Bala Pati tidak akan berhenti hanya di Desa Cikahuripan," tukas Pak Dodi membuat semua orang terkejut.

"Maksudnya
Ki Rawuk akan menyerang desa lain yang berdekatan dengan Desa Cikahuripan?" tanya Rumsah.

"Lebih daripada itu, nak. Tampaknya Ki Rawuk berniat menyerang semuanya," tukas Pak Dodi membuat terhenyak semua orang yang ada di sana.

"Kalau begitu, kita harus cepat. Saya akan
menghadapi Kapak Wesi lebih dahulu. Dia sedang mengincar Laela. Jika tidak segera dikalahkan, akan sangat buruk nantinya," respon Rasmi.

"Apa? Kok setan itu mengincarku?" Laela terpekik mendengar perkataan Rasmi.

"Aku melihatnya melalui mimpi, la. Kita harus bersiap," tukas
Rasmi seraya menyentuh gagang pintu.

Sementara Pak Asmar dan keluarganya sedang mengendap-endap menuju pintu belakang, sebagaimana yang disarankan Pak Dodi. Mereka tampak berhati-hati ketika hendak membuka pintu.

"Saya akan bersama mereka. Maaf, Rasmi. Aku tidak bisa ikut
denganmu," ujar Laela seraya berjalan ke arah dapur di mana Pak Asmar dan keluarga sedang berjibaku membuka pintu.

"Laela?" ucap Rina seraya mencoba mencegah Laela.

"Rina, biarkan dia. Mungkin ini yang harus terjadi. Jika tidak begini, ceritanya bisa akan lain," kata Rasmi.
Pak Asmar bersama bu Asmar, putrinya, dan Laela keluar dari rumah setelah pintu berhasil dibuka. Sedangkan Rasmi bersama Pak Dodi, Rina, dan Rumsah mengawasi mereka.

Rasmi tampak berjalan ke arah pintu yang sudah terbuka kemudian menatap ke arah rombongan Pak Asmar yang sedang
berjalan menjauh menembus gelapnya malam.

"Aku khawatir setan itu menyusul mereka, pak," ujar Rina dengan cemas.

Pak Dodi hanya menatap ke arah Rina kemudian menyentuh anak kunci dan memutarnya.

'Cklekkk'

Pak Dodi membuka pintu seraya dengan waswas melihat-lihat sekeliling.
"Makhluk itu tidak ada di depan rumah. Jangan-jangan!" Pak Dodi tertegun seraya menutup kembali pintu yang baru ia buka.

"Kita ke belakang!" serunya seraya berlari ke arah dapur.

Otomatis Rumsah dan Rina turut menyusul Pak Dodi.

Lalu Rasmi? Dia tiba-tiba saja tidak ada di
dalam rumah. Bahkan di dapur, tempat ia terakhir berada.

Pak Dodi bersama Rumsah, dan Rina berlari menerjang kegelapan menyusul Rasmi yang lebih dahulu menyusul Pak Asmar dan yang lain.

Tepat sekitar lima puluh meteran ke depan, Rasmi sedang tertegun di tempat melihat Laela
sedang dihadang sesosok tinggi besar berkapak yang tak lain adalah Kapak Wesi. Sementara Pak Asmar bersama keluarganya tidak terlihat sama sekali.

"Laela?" ucap Rasmi lirih saat menyaksikan sepupunya itu sedang dalam bahaya.

Laela tampaknya tidak dapat melarikan diri dari sosok
itu. Mungkin saja ia sudah pasrah menerima nasib buruknya malam ini.

Rasmi sejenak terpekur kemudian memunculkan keris yang tempo hari digunakan untuk melawan Sanca Ireng.

"Aku harus bisa! Jangan sampai aku gagal menyelamatkan Laela!" ucapnya seraya dengan perlahan melangkah.
Sementara Laela yang sedang terancam Kapak Wesi hanya bisa menunduk. Ia merasa pasrah dengan apapun yang akan menimpanya.

Kemunculan demit yang dapat menyentuh bahkan membunuh manusia itu dirasanya memang bukan sesuatu yang aneh mengingat desa tersebut berada di tengah-tengah
pemukiman para demit.

Laela sejenak memejamkan kedua matanya ketika Kapak Wesi mengayunkan kapak besarnya ke lehernya.

'Jressssss'

Darah membuncah membasahi area tersebut berikut sekujur badan Laela.
Suatu mata tombak berlumur darah menembus keluar dari dada Kapak Wesi. Demit bertubuh manusia itu berteriak dengan suara membahana, mengiringi keluarnya sosok halus dari mulutnya.

'Groaaarrrkhhhhh.....'

Laela terkejut melihat hal tersebut. Ia pun segera menyadari ada seseorang
di belakang Kapak Wesi yang telah membunuh makhluk tersebut.

Seorang laki-laki berusia sekitar 25 tahun ke atas. Ia tampak menggenggam gagang tombaknya seraya menatap tegas ke arah jasad Kapak Wesi yang masih tertancap tombaknya.

Rasmi yang melihat kejadian tersebut langsung
mendekat.

"Laela, kamu baik-baik saja, kan?" ucapnya seraya menghampiri Laela kemudian menarik gadis itu menjauh dari jasad Kapak Wesi. "Siapapun kamu, saya sangat berterima kasih karena kamu telah menyelamatkan saudari saya," ucapnya seraya menatap ke arah laki-laki itu.
Laki-laki pembunuh Kapak Wesi mencabut tombaknya kemudian memutarkan pandangannya. Tak lama ia menatap ke arah rombongan Pak Dodi yang telah tiba bersama Rina, dan Rumsah.

"Irman? Kamu pulang, nak?" ujar Pak Dodi seraya menghampiri laki-laki yang ternyata adalah putranya.
"Sebaiknya mbak jaga baik-baik saudarinya. Jangan sampai ia lepas dari pandanganmu," ucap Irman ke Rasmi kemudian mengalihkan perhatian ke arah Pak Dodi. "Hari ini sebetulnya Irman memang berniat pulang, pak. Kebetulan sedang ada libur kerja, jadi saya pulang bersama Handi dan
Dimin. Sayangnya, sesampainya di sini, keadaan sangat kacau. Pembunuhan di mana-mana. Benar-benar tidak terbayangkan sebelumnya," kata Irman seraya menancapkan tombak ke tanah.

"Kamu bersama Handi dan Dimin? Ke mana mereka berdua?" tanya Pak Dodi.

"Mereka telah tiada." Irman
berkata sembari menggelengkan kepala.

"Apa?" Pak Dodi terkejut mendengar ucapan Irman.

"Handi telah dibunuh Kapak Wesi, dan saya terlambat menyelamatkannya. Dimin telah tewas dimangsa Maung Lodaya. Saya menemukan kepalanya bersama kepala Pak Usup di depan rumah kayu," lanjut
Irman membuat Pak Dodi dan yang lain terkejut bukan kepalang sekaligus merasa kehilangan.

"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun," ucap Pak Dodi bersama yang lainnya.

"Kekacauan akibat bala pati ini tidak bisa kita hentikan sebelum berhasil mengembalikan Rahayu," ucap Irman.
"Masalahnya di mana kita akan menemukan Rahayu? Bapak membawa kalungnya dan akan memberikannya kembali padanya," tukas Pak Dodi.

Irman menggeleng. "Tidak semudah itu, pak. Jika saja Abah Ardi masih hidup, mungkin beliau bisa membantu kita mengembalikan Rahayu. Tanpa beliau, kita
tidak akan bisa melakukannya meski kita memiliki lembaran kain putih itu," kata Irman membuat Pak Dodi terdiam.

"Saya akan membantu mengembalikan Rahayu. Pak Kades, barangkali dengan pusaka yang saya punya, saya dapat membantu mengembalikan Rahayu ke sosok semula," kata Rasmi.
Irman menatap penuh selidik ke arah Rasmi. Tampaknya ia merasa aneh dengan pernyataan Rasmi barusan.

"Bapak tidak pernah memberitahu saya jika ada seseorang yang memiliki pusaka gaib itu," ujarnya seraya menatap Pak Dodi dan Rasmi bergantian.

"Bapak juga baru tahu, man," tukas
Pak Dodi.

"Sebelum menemukan Handi terbunuh, saya sempat bertemu Sangkapati. Ia tidak terlihat seperti Sangkapati. Ia memiliki wujud Rahayu, namun sangat agresif. Ia memiliki dua pasang taring yang sangat tajam dan dapat memanjang keluar dari mulutnya. Ia sempat menyerangku
sebelum aku berhasil kabur. Aku tidak mau menggunakan tombak 'Kiyai Jamal' untuk melawannya. Jika aku melakukannya, bisa-bisa dia tidak akan kembali menjadi Rahayu," tutur Irman seraya menatap tombaknya.

Pak Dodi tidak menyahut. Ia sejenak memasang pendengarannya baik-baik saat
mendengar suara cekikikan aneh dari suatu sudut.

"Biar saya yang menghadapinya, pak. Saya pernah mengalahkannya sekali. Barangkali kali ini saya berhasil mengusirnya secara total," ucap Rasmi seraya mempersiapkan keris pusakanya.

"Nak Rasmi, jangan menganggap enteng Sanca Ireng
. Ia kemarin mungkin kalah tapi kali ini ia bisa membawa pasukan serta memiliki kekuatan yang lebih dahsyat," kata Pak Dodi mengingatkan.

"Lho, itu kan Dita!" pekik Rina saat melihat seseorang muncul sembari berjalan setengah terhuyung.

Rina segera menghampiri sosok Dita, namun
dicegah Laela.

"Kamu ingat nggak, rin waktu kita di Rawa Gaib? Yang jalannya seperti itu bukan Dita. Masa tidak bisa membedakan Dita dengan Demit Segawon!" semprot Laela seraya menarik Rina menjauh.

"Demit Segawon? Kok wujudnya perempuan cantik?" gumam Irman.

"Jangan cuma
melihat penampilan, mas. Jaman sekarang banyak perempuan berwajah cantik tapi berhati iblis. Itu berlaku bukan hanya untuk manusia tapi makhluk yang di sana juga!" ketus Laela seolah sudah lupa dengan apa yang menimpanya.

Selesai Laela berkata begitu, sosok Dita menoleh kemudian
menyeringai memperlihatkan taring-taring tajamnya. Selanjutnya tanpa diduga, sosok Dita yang adalah Demit Segawon berlari dengan sangat cepat ke arah Laela.

Namun, sebuah tusukan keris tepat menembus kepalanya.

'Cressss'

Itu adalah Rasmi yang telah menghunus kerisnya dan
berhasil menumbangkan Demit Segawon dengan cepat.

Semua orang terkejut melihat kemampuan Rasmi yang dengan cepat dapat melenyapkan sosok demit tersebut.

'Kainnnnnngggggg.....' Demit Segawon melolong panjang kemudian menghilang begitu saja.

"Kau harus tega meninju wajah cantik
milik seseorang yang jahat," ucap Rasmi sambil menatap ke arah Rina yang tampak melongo.

Beberapa saat kemudian, rombongan pergi menuju ujung desa yang juga perbatasan dengan Tanah Pengorbanan. Mereka berencana akan menghadapi Sangkapati maupun Sanca Ireng di sana.
Sesampainya di ujung desa, mereka menyaksikan pemandangan yang menyeramkan juga mengilukan.

Bagaimana tidak, sepasukan orang mati terlihat berjalan sempoyongan mirip zombi di film-film atau game bergenre zombi.

Di antara pasukan mayat hidup tersebut, di antaranya hanya tinggal
jerangkong atau biasa disebut jerangkong hidup.

(Jerangkong bisa berarti kerangka atau tulang belulang komplit)

"Mereka muncul lagi di sini. Berarti monumen itu tidak cukup kuat untuk menahan mereka. Para demit itu ternyata bisa mendapatkan cara mengeluarkan kerangka-kerangka
itu dari dalam tanah. Kita harus waspada. Di antara mereka pasti ada Sangkapati," ujar Pak Dodi seraya menatap waspada ke arah kerumunan mayat dan jerangkong hidup itu.

Tak lama kemudian dari balik kerumunan mayat dan jerangkong hidup itu muncul sesosok perempuan yang adalah
Sangkapati. Kali ini mengenakan kebaya serba hijau tidak seperti yang dulu-dulu.

"Penampilan baru?" ucap Laela disambut toyor-an Rina.

"Kita jangan terpencar. Tetap bersama. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita kabur," ucap Rasmi.
Irman melangkah ke depan dengan berani sembari menggenggam tombaknya.

"Hati-hati, man. Bukan tidak mungkin mayat-mayat itu akan mengeroyok kita," ujar Pak Dodi seraya membelitkan kalung Sukma di telapak tangannya.

Irman mengangguk seraya kembali bergerak maju. Namun tiba-tiba,
suatu sosok berwarna hitam menerjangnya dengan sangat kuat.

"Irman!" seru Pak Dodi seraya berlari ke arah Irman yang terjungkal oleh serangan mendadak itu.

"Hehehehehe, aku akan menghabisi kalian semua!" teriak sosok berwarna hitam itu seraya menerjang kembali ke arah Pak Dodi.
Pak Dodi dengan sigap menghindar dengan cara bergulir.

Sosok hitam tersebut kembali melakukan serangan. Kali ini ia mengincar tiga orang yang dianggapnya mudah untuk dihabisi sekaligus yaitu Rina, Laela, dan Rumsah.

Namun Rasmi tidak tinggal diam. Ia lantas menghadang sosok itu
seraya berujar, "Sudah merasa lebih sakti dari kemarin, huh!"

Sosok tersebut menyeringai seraya melakukan serangan berupa cakaran ke arah Rasmi.

'Shshshshshsh......' Dengan suara desisan keras, Sanca Ireng menerjang ke arah Rasmi dalam posisi melayang.

Rasmi menghadang
serangan itu dengan tebasan keris yang sudah ia persiapkan sebelumnya.

Sanca Ireng tidak melanjutkan serangannya. Ia lantas berbalik hendak menyerang Pak Dodi dan Irman sekaligus karena mereka sedang berada di titik yang sama.

Irman yang jengkel karena serangan makhluk itu
lantas melemparkan tombak seperti melempar lembing hingga tombak tersebut melesat kencang kemudian menancap ke dada Sanca Ireng hingga menembus punggungnya.

"Aaaaaaaaakhhrrrr.........." Sanca Ireng berteriak kesakitan kemudian jatuh ke atas tanah.

"Aku akan mengakhirimu, ular!"
Irman menjejak leher Sanca Ireng hingga wujud halus demit tersebut keluar kemudian menguar untuk selanjutnya menghilang.

"Apa dia tidak akan kembali lagi?" tanya Rina setelah wujud Sanca Ireng menghilang menjadi debu.

"Tidak akan kecuali ada manusia yang sengaja membangkitkan-
nya," tukas Irman seraya mengambil tombaknya.

Ia melihat ke arah belakang tepat di mana Sangkapati sedang berjalan setengah melayang di atas tanah ke arahnya dan kawan-kawan.

Pak Dodi segera bersiap dengan kalung di tangannya. Ia bersiap untuk mengembalikan Rahayu untuk kedua
kalinya.

Sangkapati melayang semakin cepat ke arah mereka. Ia menyeringai memperlihatkan taringnya yang tajam dan berkilat terkena cahaya senter yang disorotkan Rumsah.

Whuuuushhhh, Sangkapati mengibaskan selembar selendang berwarna hijau ke arah semua orang. Efek dari kibasan
tersebut membuat semua orang menggigil kedinginan. Tidak hanya itu, mendadak angin kencang bertiup disertai butiran-butiran putih yang sangat dingin yang menerjang ke arah mereka semua.

"Apa? Ini tidak mungkin!" Pak Dodi tercekat kemudian mundur sembari menggigil kedinginan.
"Dia bisa menimbulkan salju. Ini benar-benar di luar dugaan!" ucap Irman seraya memutar-mutar tombaknya untuk menahan tiupan angin dingin dari Sangkapati.

Tiga orang yang bersama Rasmi tampak menggigil kedinginan. Mereka tampaknya tidak dapat bergerak karena tubuhnya menjadi
kaku akibat angin dingin bersalju itu.

Sedangkan Rasmi berusaha mengusir dingin dengan menyalakan kerisnya hingga mengeluarkan api yang berlenggak-lenggok karena tiupan angin Sangkapati.

"Bapak, kita harus melumpuhkannya segera atau kita semua akan mati kedinginan!"
teriak Irman seraya masih memutar-mutar tombaknya.

"Setuju!" tukas Pak Dodi seraya merangsek ke arah Sangkapati.

Irman lebih cepat merangsek seraya memutar-mutar tombak.

Sedangkan Rasmi, melihat dua orang sedang berjibaku. Ia pun turut mengikuti sembari mengarahkan kerisnya.
"Kalian harus saling berpelukan untuk menahan hawa dingin ini!" ujar Rasmi ke Rina, Laela, dan Rumsah.

Setelah berkata demikian, Rasmi berlari ke arah Sangkapati kemudian melompat sembari menusukkan kerisnya. Namun, suatu kibasan tangan Sangkapati membuatnya terlempar beberapa
meter ke belakang.

Di saat Sangkapati mengibaskan tangan itulah, Irman menghantam Sangkapati dengan pangkal tombaknya. Namun, sama seperti Rasmi, ia juga terlempar ke belakang.

Sementara Pak Dodi yang sudah berada di belakang Sangkapati lantas melompat kemudian menjeratkan
kalung Sukma ke leher demit perempuan itu.

Sangkapati lantas mengibaskan Pak Dodi hingga terlempar kemudian membentur batang pohon di belakangnya.

"Aghhhh.....!" Pak Dodi mengaduh dengan mulutnya memuntahkan darah.

"Ayah!" teriak Irman seraya berlari ke arah Pak Dodi.
Rasmi turut bangun kemudian berlari ke arah Pak Dodi. Namun ia sejenak menghentikan langkah ketika Sangkapati hendak melakukan serangan ke arah Pak Dodi dan Irman.

"Rasmi, cepat tusuk dia!" teriak Pak Dodi sebisanya.

"Lakukan, Rasmi! Sebelum pasukan mayat hidup mencapai tempat
ini!" teriak Irman yang kini bersiaga dengan tombaknya di depan Pak Dodi yang tergeletak.

Rasmi tanpa menyahut langsung menyerang Sangkapati dengan kerisnya. Namun ia kalah cepat.

Musuhnya sudah lebih dahulu mengibaskan tangannya, membuat Rasmi terpental ke belakang.
Irman tanpa menyia-nyiakan kesempatan langsung menusuk tubuh Sangkapati dari belakang.

'Jresss'

Tombaknya menembus punggung Sangkapati hingga ke perut.

Sangkapati tanpa meraung kesakitan bergolek dalam keadaan berdiri kemudian terjatuh ke atas tanah. Selanjutnya kalung yang
membelit lehernya menyala terang. Ia sejenak menggelepar hingga kemudian cahaya di kalung tersebut padam.

Sangkapati yang telah kembali menjadi Rahayu bangkit dari jatuhnya kemudian celingukan kebingungan.

Di saat yang sama, pasukan mayat dan jerangkong hidup berjatuhan.
Juga dengan tiupan angin dingin bersalju pun turut menghilang.

Rahayu menatap tubuhnya kemudian memeriksa kebayanya yang berlubang bekas tusukan tombak Irman.

"Rahayu, syukurlah kamu kembali. Uhuk, uhuk," ujar Pak Dodi seraya terbatuk.

Rahayu lantas menoleh ke arah Pak Dodi.
"Pak Dodi? Apa yang telah aku lakukan padamu?!" pekiknya seraya menghambur ke arah Pak Dodi yang terbaring lemah di atas tanah.

Rasmi bersama Rina, Laela, dan Rumsah pun turut menghampiri Pak Dodi.

Sementara Irman sudah lebih dulu di samping ayahnya sembari dengan panik mencoba
meringankan kesakitan ayahnya.

"Pak Kades?" Rina terkejut melihat kondisi Pak Dodi yang sangat mengkhawatirkan.

Wajahnya pucat, darah meleleh dari sudut bibirnya. Di samping wajahnya di atas tanah jelas bekas muntahan darahnya yang tidak sedikit. Pak Dodi mengalami luka dalam.
"Aku akan mencoba mengobatimu, pak," ucap Rahayu dengan nada khawatir.

"Tidak perlu, Rahayu. Yang perlu kamu lakukan, pergilah ke Alas Kawuni bersama Irman, dan Rasmi. Mereka berdua akan membantumu mengkonfrontasi Ki Rawuk. Dengan begitu, semoga bencana di desa ini segera ber
lalu," tukas Pak Dodi dengan nafas naik turun serta suara yang berat.

Rahayu hanya mampu menggigit bibir sembari kedua matanya berlinang.

"Saya akan menjaga Pak Dodi," ujar Rina seraya melihat ke arah Rahayu kemudian ke Rumsah, dan Laela.

Rumsah dan Laela mengangguk.

"Rahayu,
cepatlah pergi bersama Irman dan Rasmi. Jika tidak segera menemukan Ki Rawuk, bukan hanya desa ini yang akan hancur, tapi juga seluruh negeri!" kata-kata Pak Dodi barusan membuat semuanya terkejut bukan kepalang.

Irman segera bangkit setelah Rina menawarkan diri merawat Pak Dodi
. Ia pun menghampiri Rahayu.

"Ayo!" Hanya satu kata yang diucapkan Irman sebelum ia beranjak pergi seraya menenteng tombaknya.

Rahayu segera mengejar Irman bersama Rasmi. Mereka berjalan beriringan. Gadis itu sudah tidak dapat berjalan melayang lagi sebagaimana ketika ia masih
berwujud Sangkapati.

Mereka bertiga pun melewati tanah bekas rumah orangtua Pak Dodi, menyeberangi sungai kecil, menaiki jalur menanjak yang dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar.

Sementara Rina bersama Laela dan Rumsah bahu membahu membawa Pak Dodi ke salah satu rumah
yang masih utuh.

Saat itu, keadaan desa sudah mulai tenang. Tidak ada lagi suara teriakan minta tolong ataupun suara-suara mengerikan lainnya.

Fajar di ufuk timur pun telah mulai menunjukkan wajahnya, pertanda bencana di desa telah berlalu meski menyisakan kepedihan yang dalam.
~~Memburu Ki Rawuk~~
(Mode On)

Pagi telah tiba. Sang surya menunjukkan wajahnya dari ufuk timur. Sinarnya yang hangat menyinari jalan kecil di tengah-tengah rerumputan dan perdu yang lebat.

Di jalan kecil itu, Rahayu bersama Rasmi dan Irman ber
jalan berurutan sembari sesekali menyibakkan rerumputan dan semak yang menghalangi jalan.

"Apa mereka akan baik-baik saja di dusun?" ujar Rasmi saat teringat pada Laela dan kawan-kawan.

"Tenang, Rasmi. Mereka akan baik-baik saja. Justru Pak Dodi yang aku khawatirkan," tukas
Rahayu. "Ki Rawuk belum selangkah pun keluar dari area bekas Keraton Paninggalan. Entah apa yang ada di pikirannya saat hendak membinasakan seluruh desa," lanjutnya.

"Apa ini ada hubungannya dengan Kisah Raja Paninggaran?" tanya Irman penuh selidik.

"Aku tidak tahu," tukas
Rahayu. "Tapi yang jelas Ki Rawuk ingin mendirikan istana di atas Tanah Pengorbanan untuk selanjutnya memperluasnya hingga ke kota lama di tengah Alas Kawuni," jelasnya.

"Mbak tidak memanggilnya 'kakek'?" tanya Rasmi.

"Kakekku sudah lama mati, Rasmi. Yang akan kita hadapi
bukanlah kakek atau Ki Rawuk yang sebenarnya. Yang akan kita hadapi adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Dengan penampilan dan nama Ki Rawuk, makhluk ini berniat ingin mendirikan kerajaannya di bekas kerajaan yang didirikan kakek," papar Rahayu.

Irman menghentikan langkah
kemudian memberi isyarat agar Rahayu dan Rasmi berhenti.

"Maung Lodaya? Biar aku yang menghadapi mereka," ucap Rasmi seraya mengeluarkan kerisnya.

Benar saja, dari berbagai arah muncullah harimau-harimau besar meloncat menerjang rerumpunan serta semak belukar ke arah tiga orang
yang sedang termangu.

"Hei kalian! Lebih baik tidak menggangguku dan teman-temanku! Tidakkah kalian tahu kalau aku Dewi Rasmini Sri Utari cicit Ki Ambar Wisesa Hadyodiningrat tidak suka dengan keangkuhan kalian!" seru Rasmi dengan suara tegas.

Melihat itu, Rahayu dan Irman
terkejut. Mereka tidak menyangka jika Rasmi dapat menyerukan perkataan yang memiliki tenaga dalam yang kuat.

Oleh karenanya, para harimau yang bermunculan hanya termangu, bahkan di antaranya menyingkir dari jalan seolah mempersilahkan Rasmi dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan
Setelah memastikan harimau-harimau tersebut tidak menyerang, Rahayu dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan.

Tidak terasa mereka telah tiba di pusat Alas Kawuni. Di sana terdapat sebuah rumah panggung tidak berdinding serta barisan arca di depannya.

Di depan rumah tersebut juga
terdapat kolam dengan air mancur yang terus memancurkan air ke atas setinggi beberapa sentimeter.

Di salah satu sudut kolam terdapat sebuah arca yang membuat Rahayu menghela nafas panjang.

"Aku tidak tahu Pak Rohidin menjadi arca di sini," ujar Irman.

"Di mana gerangan kakek
itu?" ucap Rasmi sembari mengedarkan pandangannya.

Rahayu menunjuk ke suatu sudut dengan pandangan kedua matanya. Ia pun berlalu ke sana diikuti Rasmi dan Irman.

"Tempat ini dulunya sangat megah dan tertata. Kami memiliki rakyat yang kehidupannya makmur tanpa kurang sesuatu apa
pun. Waktu itu kehidupan sangatlah makmur dan sejahtera. Aku bermimpi hal itu dapat kembali terwujud," ujar kakek yang adalah Ki Rawuk itu tanpa membalikkan badan ke arah Rahayu dan kawan-kawan.

"Ki Rawuk, sekarang bukan zamannya lagi memimpikan kemakmuran bagi rakyat. Kau tahu
bukan, dari waktu ke waktu kehidupan ini selalu mengalami penurunan taraf," kata Rahayu tanpa berkedip melihat ke arah Ki Rawuk.

"Iya, aku tahu itu, cucuku. Tolonglah, panggil aku 'kakek'. Jangan menjadi cucu durhaka, cucuku," ucap Ki Rawuk seraya membalikkan badan.

Ki Rawuk
mengenakan pakaian serba hitam dengan sabuk putih memilit pinggangnya. Rambutnya yang putih panjang sengaja dibiarkan tergerai.

Di pinggangnya terselip sebilah senjata khas daerah Banten, yaitu golok pendek bersarung.

"Aku ingin selalu mengembalikan tatanan dunia seperti
di masa-masa kejayaan kerajaan ini, di mana segala hal mudah dicapai. Manusia dan hewan hidup berdampingan tanpa konflik. Namun sekarang, apa yang terjadi, jangankan dengan hewan, dengan sesama manusia pun sulit sekali untuk akur," lanjut Ki Rawuk seraya menghela nafas.
"Ki Rawuk, apa pun yang kau bicarakan itu tidak dapat mengembalikan desaku dari kehancuran. Kau harus bertanggung jawab atas hal itu!" Irman dengan tegas berujar seraya menunjuk ke arah Ki Rawuk.

Ki Rawuk terkekeh.

"Aku pikir dunia ini sudah kehilangan orang-orang kuat. Rupa
nya mereka masih ada. Di antaranya sekarang sedang di hadapanku. Kalian bertiga sukses menggagalkanku. Selamat atas hal itu. Aku sangat senang. hehehe."

"Tidak perlu berkomentar, Ki Rawuk. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang merusak desa dan membunuh penghuninya!"
Rahayu menatap tajam ke arah Ki Rawuk.

"Hehehe, itu tidak seberapa, cucuku. Itu hanya sebagian kecil korban yang kakek butuhkan. Kakek membutuhkan korban yang lebih banyak lagi, dan sebentar lagi desa lainnya akan bernasib sama seperti desamu, anak muda," kata Ki Rawuk membuat
Rahayu, Irman, dan Rasmi terkejut sekaligus marah.

"Jadi kau akan membunuh banyak orang lagi!" Irman yang terpancing amarah menodongkan tombak ke arah Ki Rawuk.

"Hati-hati, man," ucap Rasmi khawatir dengan tingkah Irman yang sedang naik darah.

Ki Rawuk terbahak-bahak seolah
mengejek mereka bertiga.

"Tidak usah tertawa, Ki Rawuk. Mungkin kau merasa yakin niatmu akan tercapai jika berhasil membunuh kami bertiga. Itu pun jika berhasil. Aku menantangmu untuk membunuhku terlebih dahulu!" dengan suara keras dan tegas, Irman berseru seraya memutar tombak.
Ki Rawuk tampaknya tidak mengacuhkan kata-kata Irman. Ia terus terbahak-bahak hingga suaranya menimbulkan aura suara aneh yang membuat Irman, Rahayu, dan Rasmi mundur seraya menahan pengang di telinga.

"Apa-apaan suara ketawanya membuat telingaku pengang!" pekik Rasmi.
Rahayu tampak membuat gerakan dengan kedua tangan seperti sedang menari. Ia rupanya sedang membuat benteng anti gelombang suara Ki Rawuk.

Sementara Irman memutar-mutar tombaknya hingga menimbulkan suara mendenging keras. Suara tersebut ia gunakan untuk menahan terjangan
gelombang suara tawa Ki Rawuk.

"Sekarang!" Irman sembari berteriak melompat kemudian menusukkan tombaknya ke arah Ki Rawuk.

Ki Rawuk lantas menghentikan tawanya kemudian menangkap ujung tombak Irman kemudian menariknya dan melemparkannya bersama pemiliknya ke arah sebatang
pohon.

'Duakkkkkk'

Irman terhempas menghantam batang pohon kemudian jatuh berdebum ke tanah.

"Irman!" teriak Rasmi seraya mencoba menghampiri Irman. Namun suatu serangan tak kasat mata Ki Rawuk menghantamnya hingga terlempar ke dalam rumah tak berdinding di belakangnya.
"Jangan palingkan pandanganmu dari musuh!" ujar Ki Rawuk seraya bersiap menyambut serangan Rahayu.

"Kau tidak kapok juga, cucuku!"

Ki Rawuk melontarkan pukulan merah ke arah Rahayu namun berhasil dihindari.

"Jangan bilang kau ingin mengirimku lagi ke Tungtung Dunya!" kata
Rahayu seraya mengibaskan selendang hijaunya.

Serpihan putih kepingan es melaju deras ke arah Ki Rawuk. Begawan tersebut menangkisnya dengan pukulan merah andalannya.

Rahayu memutarkan selendangnya seraya melayang di atas tanah. Selanjutnya ia menyerang Ki Rawuk dengan
selendangnya yang mengeras hingga seperti besi.

'Tranngggg'

Ki Rawuk menangkis selendang tersebut dengan golok yang telah ia hunus.

"Jangan kira dengan selendang hijau itu kau bisa mengalahkanku! Aku sudah bertekad mendirikan kerajaanku lagi apapun rintangannya!" ucap Ki Rawuk
seraya menebaskan goloknya sembari melompat ke arah Rahayu.

Namun sebuah tusukan tombak sukses membuatnya berhenti menyerang Rahayu.

"Keparat!" Ki Rawuk menggenggam tombak yang menusuk pinggangnya kemudian mematahkannya menjadi dua.

Tidak hanya itu, ia melemparkan Irman hingga
menghantam sebuah arca di pinggir kolam.

'Byurrrrrr' Irman terjerumus masuk ke dalam kolam.

"Irman?" Rasmi yang baru keluar dari dalam rumah langsung menghampiri kolam dengan niat membantu Irman.

"Jangan meleng, Rasmi!" teriak Irman seraya menggapai pinggir kolam. Darah
meleleh dari mulutnya pertanda ia terkena luka dalam.

Rasmi segera menyadari jika dirinya juga diincar Ki Rawuk. Ia lantas mengeluarkan kerisnya kemudian menangkis golok yang hampir mengenai lehernya.

'Prang'

Golok Ki Rawuk terpental membuat begawan itu terkejut terlebih
setelah melihat keris yang dipegang Rasmi.

"Kau!" Ki Rawuk menatap tajam seraya merapal mantra.

Dari belakangnya muncul Rahayu dengan serangannya yang cukup kuat. Namun bukan Ki Rawuk kalau tidak dapat mengantisipasi serangan mendadak seperti itu.

Ia menahan serangan Rahayu
sekaligus melontarkan pukulan merah yang sukses membuat Rahayu terlontar ke belakang.

"Mbak Ayu!" teriak Rasmi.

Irman yang masih dalam kondisi kesakitan hanya bisa menempeli di tepi kolam sembari meludahkan darah dari mulutnya.

"Sial! Aku terkena serangannya!" keluhnya.
"Keris Ki Ambar Wisesa, hehehe. Sayangnya kau bukan Ki Ambar, nak. Keris itu bisa saja menjadi senjata yang akan membunuh dirimu sendiri, entah kamu berhasil mengalahkanku atau tidak," ucap Ki Rawuk membuat Rasmi hanya bisa merutuk dalam hati.

"Aku tidak peduli. Tidak apa aku
mati jika memang harus. Tapi aku tidak akan mati sampai kau berhasil kulenyapkan!" Tekad bulatnya membuat Rasmi berani berkata demikian.

Ki Rawuk terkekeh.

"Kita lihat saja, siapa yang akan lenyap!" ucapnya seraya mengubah goloknya menjadi panjang seperti pedang.

"Celaka!
Rasmi dalam bahaya," ucap Rahayu yang tubuhnya kini tertanam pada sebatang pohon besar akibat serangan Ki Rawuk. "Bagaimana cara aku melepaskan diri dari pohon terkutuk ini!"

Sementara Irman melihat Rasmi sedang terancam, perlahan keluar dari kolam kemudian diam-diam memungut
mata tombaknya yang tercecer setelah dipatahkan Ki Rawuk.

Kembali ke Rasmi yang kini sedang bertarung sengit dengan begawan yang mustahil untuk ia lawan. Namun tekadnya mengalahkan kekhawatirannya. Ia memilih untuk mati tapi bukan mati sia-sia.

Kerisnya yang menyala beradu
dengan golok panjang Ki Rawuk, menimbulkan suara dentingan keras disertai hamburan debu dan asap.

"Kau boleh juga, nak. Aku semakin penasaran saja," ucap Ki Rawuk seraya merapal mantra kemudian melontarkan puluhan bola-bola cahaya berwarna merah ke arah Rasmi.
"Rasmi, menyingkir!" teriak Rahayu seraya meronta-ronta di batang pohon yang mengekangnya.

Terlambat, beberapa bola sukses menerjang tubuh gadis itu hingga terlempar jauh ke arah petilasan misterius yang berada di tempat itu.

'Brakkkkk'

Tubuh Rasmi menghantam tumpukan bebatuan
petilasan tersebut. Rasmi terkapar tidak bergerak serta kerisnya menghilang dari tangannya.

"Rasmi!" teriak Rahayu panik. Ia merasa tidak berguna karena tidak dapat membantu Rasmi bahkan tidak dapat melindunginya.

Ki Rawuk yang berhasil melemparkan Rasmi menyarungkan goloknya
yang telah ia ciutkan.

Namun, sebuah tusukan menghantam pundaknya dari belakang. Tak ayal ia murka sembari menarik si penyerang kemudian membantingnya dengan keras ke arah sebatang pohon besar di mana Rahayu terjebak.

"Akhhhhhh...." Irman berteriak kesakitan seraya memuntahkan
darah segar dari mulutnya.

"Irman!" jerit Rahayu ketika menyaksikan pemudia itu tumbang di bawahnya.

"Sekarang tinggal sedikit lagi bagiku menjalankan niatku! Matilah kalian yang berani mengusik dan mengganggu rencanaku!" Ki Rawuk menghunus kembali goloknya sembari merapal
mantra.

"Saba Raka, kau adalah Saba Raka. Manusia tidak mungkin hidup kekal di dunia!" ujar Rahayu seraya menatap cemas ke arah Irman yang tergeletak di bawahnya.

"Lalu kau apa? Kau juga hidup kekal bukan!" Ki Rawuk sembari menenteng goloknya berjalan ke arah tubuh Irman.
"Kutukan ini berlaku padaku karena ada kau yang harus kuhentikan, Saba Raka!" tegas Rahayu.

"Kalau begitu, hentikanlah jika kau bisa melepaskan diri dari pohon iblis ini," tukas Ki Rawuk seraya tersenyum miring. "Maaf-maaf, jika bocah ini mati lebih dulu," lanjutnya seraya
mengangkat goloknya hendak menebas kepala Irman.

Sembari membaca mantra ia mengangkat goloknya kemudian menebaskannya.

'Sretttttt, jresssssss'
Ki Rawuk tertegun seraya meringis menahan sakit dan panas setelah seseorang menusuknya dari belakang tepat mengenai jantungnya.

"Aku sudah bilang, aku tidak akan mati sebelum melenyapkanmu!" Rasmi dengan wajah berlumuran darah bekas terbentur bebatuan petilasan berkata dengan
suara dalam dan serak.

Seperti mendapat bantuan tenaga gaib, Rasmi kemudian mendorong keris yang menancap di punggung Ki Rawuk ke arah pohon iblis di mana Rahayu sedang terkekang.

"Aaaaaakkhhhrrrr.......!!" Ki Rawuk meraung sesaat setelah badannya menempel di batang pohon tepat
di bawah Rahayu.

Mendadak muncul asap tebal saat tubuh Ki Rawuk menempel dengan batang pohon tersebut.

"Ughhhhharrrkkkkkhhhhh.....!!" Ki Rawuk meraung tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Mendadak pohon iblis tersebut runtuh membuat Rahayu terlepas dari kekangan. Sementara
tubuh Ki Rawuk semakin menciut dan mengeluarkan asap panas berwarna oranye yang lambat laun menjadi api yang membakar pohon tersebut hingga menjadi arang dalam sekejap.

Sosok Ki Rawuk kini bersatu dengan pohon iblis yang telah menjadi arang dengan keris masih menancap.
Tak lama kemudian dari dalam tubuh Ki Rawuk yang telah hangus muncul sesosok makhluk berwarna oranye dengan sayap lebar seperti sayap kelelawar raksasa.

Makhluk tersebut sangat menyeramkan. Penampilannya persis seperti gambaran iblis di film-film fantasi.

"Grooooarrrrr......!"
"Itu adalah Saba Raka!" ujar Rahayu seraya menyeret Irman.

"Mbak Ayu, sampaikan salamku untuk teman-teman di desa. Jangan lupa beri tahu ibu soal ini." Rasmi dengan tatapan memelas menatap ke arah Rahayu.

Rahayu hanya bisa terisak menangis sembari menggelengkan kepala.
Tiba-tiba......

Glederrrrrrrr..........

Suatu petir diiringi kilat berwarna oranye menyambar sosok Saba Raka diikuti dengan menguarnya tubuh Rasmi menjadi serpihan oranye.

Sosok Saba Raka meronta-ronta di udara untuk kemudian terjun kemudian menembus tanah, tidak kembali lagi.
"Rasmi!!!" teriak Rahayu kemudian menangis tersedu-sedu setelah menyaksikan Rasmi menghilang setelah berhasil melenyapkan Ki Rawuk dan sosok halus Saba Raka.

Rahayu menangis hampir tiada henti di depan pohon iblis yang kini tinggal setengah dengan sebilah keris menancap di sana.
Pada intinya setiap perjuangan memang memerlukan pengorbanan. Apapun itu. Tak terkecuali Rasmi yang berkorban agar dapat melenyapkan ancaman serius bagi umat manusia.

Keris Ki Ambar jika sudah menjadi pengunci abadi sosok iblis Saba Raka maka si pemilik terakhirnya tidak akan
bertahan. Oleh karena itulah, Rasmi benar-benar mengorbankan dirinya sendiri demi tujuan menghilangkan ancaman besar bagi kemanusiaan.

~Bagaimana ceritanya? Seru? Nanggung? Tidak tuntas? Tidak sesuai dengan yang diharapkan? Silahkan berkomentar
Beberapa lama kemudian, banyak orang berdatangan ke lokasi petilasan di mana Irman terbaring sendirian di depan pohon hangus itu.

Lalu Rahayu, kemana gerangan dia?

"Pak Maman, lihat itu den Irman!" seru Pak Subhan seraya berlari ke arah lokasi di mana Irman terbaring.

"Tempat
ini tuntas sudah. Pohon-pohon itu habis terbakar," ucap Pak Maman saat memperhatikan sekeliling.

"Di mana gerangan neng Rasmi?" ucap Pak Aslim yang ternyata ikut bersama rombongan.

"Lihat keris itu, pak." Tunjuk Pak Maman.

"Dia telah pergi," gumam Pak Aslim lirih.
Setelah Rasmi berhasil melenyapkan Ki Rawuk dengan pengorbanannya, keadaan Cikahuripan kembali tentram. Bahkan lebih tentram dari sebelumnya.

Meski begitu, Pak Subhan yang saat ini menggantikan Pak Dodi sebagai kades memilih untuk mengosongkan desa tersebut atas saran Pemda dan
tokoh masyarakat.

Barangkali keputusan alm Pak Marbun mendirikan desa di tengah-tengah wilayah pemukiman demit sama sekali tidak bijak. Itulah yang diperbincangkan para warga desa yang tersisa yang kini bermigrasi menuju desa terdekat.
~~~Selesai~~~

Hore, ceritanya selesai. Jangan lupa komen dan subscribe ya. Eh?

Rangkaian cerita sudah tuntas. Jika pun ada, itu hanya kilas peristiwa pasca pertarungan di Alas Kawuni. Terima kasih..
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Acep Saepudin

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!