My Authors
Read all threads
SANG PEJALAN MALAM (REMAKE)

Kenapa remake? Karena versi pertama thread-nya tidak berurutan bikin pembaca pusing. Skrg sudah diperbaiki...

@bacahorror @deffrysrc @ceritaht #bacahorror #ceritahoror
Pemuda itu bernama Andre. Ia sedang berusaha tidur meski kedua matanya susah terpejam.

Sebabnya suatu suara ketukan selalu membuatnya terjaga. Suara ketukan pelan di pintu belakang rumahnya itu masih saja terdengar.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 00.00.
Siapa gerangan di tengah malam begini yg mengetuk-ngetuk pintu?
Bukan kali ini saja ia mendengar ketukan di tengah malam. Di malam-malam sebelumnya pun acap kali terdengar suara ketukan itu.

Itu sering terdengar sejak ia menempati rumah bekas tempat tinggal bibinya tersebut.
Pada malam pertama menempati rumah tersebut, ia pernah memeriksa ke luar rumah tepatnya ke arah sumber suara ketukan tersebut.

Tidak ada apa-apa yang dijumpainya di sana. Hanyalah kosongnya malam serta semilir angin aneh yang membuat bulu kuduknya merinding yang ia jumpai.
Teringat masa-masa yang susah dilupakan itu. Hari di mana bibinya ditemukan meninggal di dapur dalam kondisi seluruh tubuh dipenuhi luka bekas penganiayaan.

Andre teringat akan pamannya yang kini menghilang entah ke mana. Diduga pamannyalah tersangkanya.
Namun ia tidak yakin
jika pamannya pelakunya. Sebab, selama ini rumah tangga paman dan bibi baik-baik saja. Tidak ada masalah.

Lalu kenapa dia kabur? Hal itulah yang membuat kecurigaan semua orang menguat kepadanya.

"Brug, brug, brug.."

Suara ketukan pelan mendadak berubah menjadi suara gedoran
yang nyaring, membuat Andre tersadar dari lamunannya.

"Siapa itu?" serunya seraya beranjak dari tempat tidur.

Andre tanpa mempertimbangkan kemungkinan hal buruk yang akan terjadi, langsung menuju sumber suara gedoran.

Cahaya temaram dari bohlam lampu menerangi
dapur yang sebagian dinding dan langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba. Ia memang belum sempat membersihkan dapur karena beberapa hari ini lebih banyak sibuk di luar. Pergi shubuh pulang maghrib, membuatnya tidak sempat bersih-bersih rumah.

Andre mendekati pintu dapur yang
mengarah langsung ke alam bebas itu. Suara gedoran sudah tidak terdengar lagi. Namun tiba-tiba...

"Andre....."

Suatu suara serak sedikit bergema terdengar seperti mengalun melalui angin malam di luar sana.

"Brakkkk"

Mendadak pintu dapur terbuka diikuti hembusan angin yang
yang sangat kencang.

Andre yang mendadak panik berusaha menutup kembali pintu, namun nihil.

Andre merasakan kuatnya dorongan angin yang membuatnya kesulitan menutup pintu. Sayup-sayup suara serak mirip suara nenek-nenek terdengar kembali.
"Andre...."

"Siapa kamu?" teriak Andre dengan panik berusaha menutup pintu.

Meski sedang panik, Andre menyempatkan diri melihat keluar melalui pintu yang terbuka.

Samar-samar terlihat sesosok bungkuk di tengah gelapnya malam dan kencangnya angin ribut.
"Si... si... siapa itu?" Andre benar-benar panik saat melihat sosok tersebut.

Tanpa menunggu jawaban dari sosok tersebut, Andre menutup pintu sekuat tenaga. Ia kemudian mengunci pintu rapat-rapat.

"Sial! Apa itu barusan? Mana aku sendirian lagi di sini..." rutuk Andre dengan
nafas terengah-engah.

Saat itu posisi Andre tengah menghadap pintu pasca menutup pintu tersebut dan menguncinya.

Kini ia berbalik hendak kembali ke kamar. Namun tiba-tiba sesuatu yang menyeramkan berdiri di hadapannya.

Sosok bertubuh tinggi besar berbulu lebat berwarna hitam
tengah menghadangnya. Sosok itu juga memiliki sepasang mata yang besar dan menyala berwarna merah tua.

Andre tercekat di tempat dan tidak dapat berbuat apa-apa selain mematung dengan ekspresi wajah yang tidak terperikan ketakutannya.
Andre dalam keadaan panik tanpa
pikir panjang membuka pintu yang baru saja ditutupnya.

Setelah pintu dibukanya, secepat kilat ia keluar dari rumah kemudian lari tunggang-langgang tak tentu arah.

Ia terus berlari hingga mencapai dusun yang lokasinya berdekatan dengan rumahnya.
Keesokan harinya dusun tersebut gempar. Seisi dusun membicarakan tentang apa yang dialami Andre di rumah yang baru tiga hari ini ditempatinya.

"Tampaknya arwah Bu Rodiah penasaran," ujar salah seorang pemuda kampung itu.

"Jangan bicara sembarangan. Bu Rodiah sudah tenang di
alam sana. Tidak mungkin dia balik lagi dan bergentayangan. Lagipula penampakkan-penampakkan itu biasanya karena ulah jin yang iseng," tukas seorang bapak berkopiah hijau.

"Saya sering mendengar, pak. Jika seseorang mati dengan cara tidak wajar, arwahnya akan gentayangan."
"Kamu percaya sekali pada takhayul. Yang namanya hantu itu pasti ulah jin. Jin itu kerjaannya isengin manusia. Mereka tahu manusia gampang sekali ditakut-takuti. Kalau tidak kuat-kuat iman, kita bisa masuk dalam perangkap mereka."

Tak lama muncul seorang sesepuh desa diantar
beberapa orang warga menuju rumah di mana Andre berada.

Saat itu Andre sedang ditenangkan oleh beberapa orang warga yang kebetulan sebelumnya menemukannya pingsan di depan gang.

"Rumah itu atau tepatnya tanah tempat rumahmu berdiri sedang diawasi," ujar sesepuh desa ketika
tiba di hadapan Andre.

"Diawasi siapa, Pak Somad?" tanya Andre penasaran.

"Sesuatu yang jahat, yang datang dari hati yang jahat," ucap sesepuh desa bernama Pak Somad itu.

"Maksud Pak Somad?"

"Terkadang sesuatu yang tidak terlihat namun berbahaya datangnya dari hati manusia
yang telah dikotori segala sifat jahat yang ada di dirinya. Kemunculan mereka (para demit) tidak lepas dari jahatnya hati manusia yang dengki."

"Saya masih tidak mengerti, Pak Somad."

"Tanah tempat berdirinya rumah itu adalah tanah sengketa. Sengketa itu dimenangkan pamanmu,
namun pihak seberang tidak terima. Entah apa yang telah mereka lakukan sehingga tanah itu menjadi tidak aman untuk ditempati siapapun."

Andre tercenung setelah mendengar perkataan Pak Somad. Ia mencoba mencerna apa yang barusan dikatakan tokoh masyarakat tersebut.
Tanah sengketa? Ia memang pernah mendengar desas-desus soal status kepemilikan tanah yang di atasnya kini berdiri rumah pamannya.

"Ya sudah, saya pamit dulu. Ada pengajian di desa sebelah. Saya harus tiba tepat waktu. Tidak enak sama Pak Kades," ucap Pak Somad berpamitan.
"Silahkan, pak. Saya nanti akan menghubungi bapak jika ada apa-apa lagi di rumah itu," tukas Andre seraya turut berdiri.

Pak Somad mengangguk. Ia kemudian melangkahkan kaki keluar dari rumah itu.

Namun tiba-tiba ia berhenti ketika hendak mencapai pintu keluar. Selanjutnya ia
menoleh ke arah Andre.

"Nak Andre, sebaiknya kamu tidak usah menempati rumah itu dulu. Pulanglah ke rumah orangtuamu."

"Saya mengerti, pak. Pasti karena kejadian semalam akan terulang lagi. Bukan begitu, pak?" tukas Andre.

Pak Somad tersenyum pahit. Ia menggeleng, membuat
Andre penasaran.

"Mengenai hal tersebut, kamu sebaiknya meningkatkan keberanianmu, nak Andre. Jangan takut terhadap mereka. Mereka adalah makhluk yang suka iseng. Satu hal yang saya pesan, jangan menyerupai mereka (suka berbuat iseng/jahil). Kita adalah manusia, memiliki akal
pikiran, tidak seperti mereka."

Andre mengangguk setuju dengan perkataan Pak Somad.

"Saya akan selalu mengingat wejangan Pak Somad."

"Baiklah, kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum," ucap Pak Somad seraya melangkah keluar.
"Wa'alaikumsalaam wa rohmatullah."

"Jadi sekarang bagaimana, nak Andre?" ujar warga yang sebelumnya berada di luar. Dia adalah warga yang mengenakan kopiah berwarna hijau terang.

"Saya masih bingung, Pak Dadang. Bagi saya pulang kemudian tinggal di rumah kedua orang tua sama
dengan berhenti kerja. Sedangkan di sini belum ada mantri pengganti. Jika saya pergi, bagaimana nasib para warga yang membutuhkan pertolongan saya?" ucap Andre tampak gamang.

Pak Dadang terlihat mengurut kening. Ia tampaknya sedang berpikir. Lalu ia pun berbicara setelah
beberapa detik mengurut kening.

"Saya mempunyai keponakan yang setiap malam meronda bersama teman-temannya. Bagaimana kalau nanti saya menyuruhnya untuk tinggal bersama nak Andre. Ya, biar nak Andre ada temannya."

"Saya rasa itu ide yang bagus, pak. Tapi ada satu hal yang
mengganjal di hati saya."

"Apa itu, nak Andre?"

"Apa keponakan bapak normal?"

Pertanyaan macam apa itu?

Pada suatu hari saat sedang bersih-bersih rumah, Andre menemukan lembaran sertifikat tanah yang warnanya sudah buram.
Sertifikat tersebut tampaknya bukan sertifikat tanah yang saat ini di atasnya berdiri rumah yang ditempati Andre.

"Apa paman lupa menyimpan sertifikat ini, ya? Aku menemukannya di kolong lemari," gumam Andre seraya mengerutkan kening.
"Permisiong."

Mendadak dari teras rumah terdengar suara seseorang sembari mengetuk pintu. Lantas Andre bergegas menuju teras.

Dijumpainya seorang remaja lelaki bertampang tengil seperti seorang baragajulan (berandalan).
"Kenalin gue Thomas, ponakan Pak Dadang," ucap remaja tengil itu seraya menyodorkan tangan mengajak salaman Andre.

"Oh, kamu yang namanya Thomas. Kamu siap berjaga di sini?"

"Siap banget, kakak. Segala jenis demit bakql gue lawan sampe lari."
"Demitnya?"

"Bukan, tapi guenya yang lari. Bahahaha."

Thomas tertawa lepas. Sementara Andre hanya mengernyitkan kening merasa aneh dengan kelakuan bocah itu.

"Sekarang kamu masuk. Mandi sana, jangan lupa berdandan ala JOKER agar kamu bisa melihat setidaknya satu di antara
mereka," kata Andre sekenanya.

"Jiaah, si kakak ini suka bercanda juga rupanya. Ide bagus," tukas Thomas seraya masuk ke dalam rumah sembari bersiul.

"Pak Dadang bilang keponakannya normal. Nggak tahunya seperti ini. Salahku tidak jelas menanyakan soal normal yg seperti apa,"
gumam Andre.

Di puskesmas, Andre malam itu bertugas seorang diri. Ia tidak memiliki rekan kerja di sana.

Ada beberapa hal yang membuat para mantri dan dokter enggan bekerja di desa tersebut. Apapun itu, bagi Andre sangat tidak dapat diterima.

Sementara Thomas, ia tinggal
berjaga sendirian di rumah. Tentu saja Andre sudah berpesan ke anak itu agar tidak melakukan hal yang aneh-aneh selama ia bertugas.

Andre menghela nafas ketika penciumannya menangkap bau familiar saat ia tengah berada di teras puskesmas, yaitu bau obat-obatan.
Andre yang sedang membuka pintu depan puskesmas mengalihkan perhatiannya pada jalanan desa yang lengang itu.

Samar-samar di kejauhan terlihat siluet sosok seorang lelaki sedang berjalan dengan langkah kaki tak tentu arah.

Sepasang kakinya yang tidak beralas seolah tidak
menapak di atas tanah. Naik ke arah badan, terlihat betapa kurusnya badan laki-laki berpakaian serba hitam itu.

Andre melihat dengan seksama ke arah sosok tersebut dengan penasaran.

Andre mencoba menajamkan penglihatannya. Sosok tersebut rupanya berjalan ke arah puskesmas.
Semakin dekat semakin kentara saja wujudnya.

"Paman?" Andre langsung mengenali siapa sosok tersebut.

Namun, sosok tersebut tiba-tiba berbalik arah ketika Andre menghampirinya.

"Paman, tunggu..." Andre berusaha mengejar sosok pamannya itu, namun sosok tersebut sudah tidak
terkejar lagi.

Andre hanya dapat menghela nafas ketika gagal mengejar pamannya.

Sejenak ia tersadar jika dirinya sudah terlalu jauh pergi. Posisinya kini sudah cukup jauh dari puskesmas.

"Celaka, aku terlalu jauh. Aku harus kembali."

Andre pun mempercepat
langkah kembali ke puskesmas.

Namun baru beberapa langkah berjalan, Andre mendengar suara rintihan dari sisi jalan tepatnya semak-semak di pinggir jalan.

Dengan ragu-ragu Andre melirik ke arah sumber suara tersebut dan .....

WAAAAOOOO.......HIHIHIHIHI......
Andre lari tunggang-langgang setelah mendapat kejutan dari sesosok perempuan berwajah menyeramkan.

Tampaknya apa yang barusan dilihatnya adalah sosok kuntilanak, hantu yang telah menjadi legenda dalam cerita horor di Indonesia.

Sesampainya di salah satu sudut jalan yang agak
menanjak, ia melihat ke arah kejauhan. Suatu kobaran api terlihat dengan kepulan asap di kejauhan.

"Kebakaran? Di mana itu? Oh, tidak, jangan-jangan!"

Setelah bersusah payah berlari, tibalah Andre di depan rumahnya yang ternyata sedang mengalami kebakaran.
Andre menyeruak di antara orang-orang yang sedang berusaha memadamkan api yang membakar rumahnya.

"Thomas...." Andre memanggil-manggil remaja itu.

"Di mana Thomas?" Andre sembari terengah bertanya ke salah seorang warga yang sedang memadamkan api.

Warga tersebut hanya
menggeleng. Berarti ia tidak mengetahui keberadaan Thomas.

Tak lama muncul Pak Dadang dengan raut wajahnya yang tegang.
Sesekali ia bertanya kepada warga yang ditemuinya.

Ia pun akhirnya bertemu Andre.

"Saya tidak tahu apa-apa soal ini, pak. Saya malam ini berjaga di puskesmas
karena akan mengobati istri Pak Mahmud yang sedang sakit," tukas Andre setelah diberondong pertanyaan oleh Pak Dadang. "Saya pun pulang setelah melihat api kebakaran yg ternyata berasal dari rumah saya."

"Celaka, apa yang harus saya katakan pada kak Hendi? Ini kecerobohan saya
," sesal Pak Dadang seraya memijit kening dengan frustrasi.

Andre hanya terdiam. Ia tidak tau harus berbicara apa mengenai peristiwa yang baru saja menimpa Thomas dan juga rumahnya.

Sejam setengah kemudian api berhasil dipadamkan. Andre buru-buru memeriksa seisi rumahnya yang
yang sebagian besar telah hangus terbakar. Ia hanya dapat mengambil beberapa barang yang dapat diselamatkan.

Selanjutnya ia bersama warga memeriksa salah satu kamar yang diduga adalah di mana terakhir kali Thomas berada. Tidak ditemukan apapun selain tas Thomas yang sebagian
telah hangus.

Thomas tidak ada di rumah ketika terjadi kebakaran? Lalu ke mana gerangan anak itu?

"Ini sedikit melegakan karena Thomas tidak sedang di rumah saat terjadi kebakaran," ucap Pak Dadang setelah selesai menelusuri reruntuhan rumah Andre.

"Padahal saya berpesan
supaya dia tidak ke mana-mana, dan ia mengiyakan," tukas Andre seraya melihat ke arah sebuah panci masak berisi mi instan yang telah gosong. "Bencananya dari sini."

Sebuah tabung gas melon 3 kg dan kompor gas serta panci masak berisi mi instan menjadi bukti kuat penyebab
kebakaran.

"Jangan-jangan dia lari sesaat setelah gas mengalami kebocoran?" gumam Andre.

"Dia akan melapor jika ada kejadian, nak Andre. Saya tahu betul Thomas anaknya selalu jujur," tukas Pak Dadang.

Andre memang tidak sepenuhnya percaya pada perkataan Pak Dadang. Terlebih
ia ingat betul Thomas adalah sosok remaja yang urakan. Tampang berandalan tampaknya melekat betul pada sosok remaja kurus berambut keriting itu.

Akhirnya malam itu terpaksa Andre tidur di salah satu rumah warga. Meski ia merasa tidak enak karena rata-rata rumah di sana tidak
tidak memiliki kamar alias satu ruangan dipakai beramai-ramai.

Barangkali hanya rumahnya yang sedikit lebih baik daripada rumah-rumah warga setempat. Itulah kenapa Andre lebih suka menolak untuk tinggal di rumah warga.

Itu merupakan kehidupan yang tidak biasa ia jalani. Namun
kali ini ia terpaksa menginap di salah satu rumah milik salah seorang warga.

Saat shubuh, Andre terperanjat menyaksikan putri pemilik rumah tempat ia menginap, sedang berganti pakaian.

Gadis itu tampak canggung meski tidak tahu kalau tamunya sudah terbangun.

Sedangkan Andre
terpaksa berpura-pura tidur meski kadang matanya memicing untuk memastikan jika gadis tersebut telah selesai berganti pakaiannya.

Setelah gadis tersebut beranjak pergi ke dapur, Andre pun bangkit dari posisinya kemudian menuju dapur ke arah tempat air atau tempayan
untuk berwudhu.

Pada hari itu, Andre seperti biasa bertugas di puskesmas.

Sedangkan untuk pencarian Thomas, Pak Dadang telah mengerahkan para warga di sekitar lingkungannya. Ia tampaknya yakin jika Thomas masih hidup karena mayatnya tidak ditemukan di reruntuhan rumah Andre.
Waktu semakin cepat berlalu. Malam pun menjelang. Suara binatang-binatang malam bersahutan mengiringi syahdunya malam.

Remang-remang cahaya lampu bohlam di rumah-rumah warga menambah suasana syahdu di malam itu.

Malam terus berlalu, semakin malam semakin sunyi.
Kegelapan terus mengiringi seolah tiada henti.

Andre saat itu masih berada di puskesmas setelah melayani para pasien yang rata-rata adalah warga kampung sini, di mana puskesmas berada.

Menjelang jam 9, saat ia hendak mengunci pintu depan, bersiap untuk pulang, dari kejauhan
muncul seorang nenek sedang berjalan terburu-buru ke arah puskesmas sembari batuk-batuk.

Dibantu tongkat, nenek itu berjalan hingga mencapai pintu gerbang puskesmas.

"Ada yang bisa saya bantu, nek?" ujar Andre.

"Nenek sedang sakit batuk, nak. Beruntung sekali puskesmasnya
masih buka," kata nenek itu dengan suara agak serak.

"Sebaiknya nenek masuk dulu biar saya periksa," ucap Andre mempersilahkan nenek berpakaian serba hijau itu masuk ke ruang periksa.

Setelah nenek itu di ruang periksa, Andre kemudian bertanya kepadanya.

"Sudah berapa lama
batuknya, nek?" tanya Andre seraya menatap nenek itu.

"Sudah sejam yang lalu, nak. Batuknya membuat nenek susah bernafas," tukas nenek tak berkerudung itu.

"Barangkali nenek sehabis melewati jalanan berdebu atau tanaman berbulu halus?" ucap Andre.
"Ngomong-ngomong saya baru
melihat nenek di sini. Apa nenek baru pindah?"

"Iya, nak. Nenek baru pindah kemari," jawab nenek itu.

"Nenek pindahan dari mana?" tanya Andre.

"Pindahan dari alam kubur. Muehehehehe."

Sontak Andre terperanjat mendengar jawaban si nenek yang di luar dugaan.
Kekagetannya semakin menjadi tatkala menyaksikan nenek itu tertawa mengikik diikuti perubahan wujudnya menjadi mengerikan.

Seluruh tubuh nenek tersebut menciut, mengering menjadi jerangkong terbungkus kulit kering berwarna hitam.
Dalam kikikkannya yang tidak berhenti, kepala nenek tersebut terlepas dari leher kemudian menggelinding ke arah Andre.

"Aaaahhh...!!" Andre berteriak ketakutan seraya menghindar.

Brakkkk,

Pintu diterjangnya hingga terbuka. Andre berlari kencang keluar dari puskesmas.
Ia terbirit-birit kemudian mendadak menghentikan larinya ketika melihat seseorang berdiri menghadang jalannya.

Seorang remaja bertubuh kurus berambut keriting. Siapa lagi kalau bukan?

"Thomas?" Andre mendekat ke arah sosok Thomas yang dilihatnya sedang berdiri dengan wajah
wajah tanpa ekspresi.

"Tolongin gue, kak," Thomas berucap pelan dengan suara lemas.

"Apa yang terjadi, Thomas? Kamu meminta tolong kenapa?" Andre terus mendekat ke arah Thomas.

"Dia akan datang, kak. Tolongin gue." Suara Thomas masih terdengar lemas seperti ucapan seseorang
yang sedang sakit parah.

Andre tercekat setelah mendengar ucapan Thomas.

"Dia siapa?" tanya Andre penasaran.

Langkah Andre terhenti. Ia tercekat menyaksikan sesosok negatif di belakang Thomas. Sosok tersebut tinggi besar mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya sangat
menyeramkan dengan sepasang taring panjang di antara gigi-giginya yang besar.

Sepasang matanya yang besar melotot ke arah Andre. Rambutnya panjang berumbai berantakan.

"Kak Andre, tolong gue...." Dalam sekejap suara Thomas melenyap seiring terkaman makhluk berbaju merah
tersebut.

Makhluk itu menerkam kepala Thomas dan memisahkannya dari tubuhnya.

"Thomaaaaaaaassss................."

Andre berteriak histeris saat menyaksikan kejadian horor persis di hadapannya.

Darah membuncah setelah terputusnya leher dengan badan. Pemandangan mengerikan itu
benar-benar membuat Andre mengalami trauma berat.
Setahun kemudian di desa itu.

Kejadian itu telah lama berlalu. Namun bayangan-bayangan yang berseliweran setiap malam di desa masih sering muncul.

Bayangan-bayangan yang disebut sebagai para Pejalan Malam seolah ingin menyampaikan pesan kepada semua orang di desa.
Hingga kini ia masih menyimpan kepenasaranan terhadap sosok pamannya yang hampir tiap malam ia lihat. Namun sosok itu tidak pernah berhadapan langsung dengannya.

Ia juga meyakini jika makhluk tinggi besar berpakaian serba merah adalah sosok seseorang yang menginginkannya pergi
jauh dari desa itu.

Hal itu disadarinya ketika mengingat tentang sebuah foto yg terpajang di rumah Pak Dadang, di mana saat itu Pak Dadang pernah bercerita bahwa itu adalah foto pemilik tanah di mana rumah paman Andre berdiri.

Orang tersebut kalah dalam sengketa melawan paman
Andre. Setelah kekalahan tersebut disinyalir ia meminta bantuan dukun ilmu hitam untuk mendapatkan kembali tanahnya yang direbut paman Andre.

Hari itu tibalah saatnya bagi Andre untuk kembali ke tanah kelahirannya. Ia pun berpamitan kepada Pak Dadang maupun kepada para sesepuh
desa.

"Sayang sekali nak Andre pulang. Padahal besok anak-anak dari kota yang hendak KKN akan datang," ucap Pak Dadang.

"Saya berharap mereka dapat membantu desa ini menjadi lebih baik, pak. Oh, iya, mas Mukhtar seminggu lagi akan mulai bertugas di sini. Ia tidak sendirian.
Ia akan bertugas bersama mas Rendi," tukas Andre seraya menjabat tangan Pak Dadang. "Saya memohon maaf karena tidak bisa menjaga Thomas. Sekarang ia...." Andre berkata demikian sembari menggelengkan kepala.

"Sudahlah, nak Andre. Kami sekeluarga telah mengikhlaskannya. Semoga ia
tenang di alam sana," tukas Pak Dadang.

"Kalau begitu saya undur diri, pak. Sampai jumpa," ucap Andre tatkala ojek yang menjemputnya tiba.

Kepergian Andre diikuti dengan pandangan Pak Dadang maupun warga yang turut melepas kepergiannya.
Seminggu kemudian di kampung, Andre terlihat sedang berjalan-jalan di pematang sawah milik kedua orang tuanya. Ia tampaknya sedang memeriksa padi yang baru dua hari ini ditanamnya.

"Bebek-bebek ini memang bandel ya. Padinya sudah pada rusak saja," gumam Andre saat menemukan
beberapa batang padi rusak karena disosor bebek milik tetangga.

"Hmm, tetanggaku bisa langsung jatuh miskin kalau RUU itu jadi disahkan." Andre kemudian meluruskan batang-batang padi yang rubuh.

"Mas Andre, ada seseorang ingin bertemu," ujar seseorang dari arah belakang.
"Dodi?" gumam Andre ketika tahu siapa yang ingin bertemu dengannya.

"Mau apa kau ke sini!" ucapnya sinis ketika tiba di hadapan Dodi.

"Hanya ingin mengunjungi keluarga. Bagaimana kabar uda dan uni?" tukas Dodi tanpa mempedulikan sikap sinis Andre.

"Paman menghilang, bibi telah
telah tiada. Kau tidak bersedih sama sekali?" Andre menatap tajam ke arah Dodi.

"Siapa yang bilang begitu? Justru atas dasar kesedihan itu aku datang kemari. Hanya kalian keluarga yang kupunya saat ini. Ayah menghilang dan ibu meninggal dengan tragis," kata Dodi dengan wajah
tegang.

"Mungkin kau masih menganggap kami keluarga tapi kami, baik uda dan uni tidak lagi menganggapmu sebagai bagian dari keluarga ini. Kau telah melakukan perbuatan bejat dan hina itu!" kata Andre dengan nada tajam.

"Aku tahu itu, dre. Aku sangat menyesal karenanya.
Terkadang aku menyesali kenapa aku tidak dihukum mati saja. Aku telah memperkosa dan membunuhnya." Dodi terlihat frustrasi.

"Semoga penyesalanmu bukan omong kosong, Dodi!" Andre menghela nafas. "Sekarang ini, bertemu uda dan uni bukan saat yang tepat. Jika kau tetap memaksa,
aku tidak mau bertanggungjawab jika mereka mengusirmu," lanjutnya.

"Aku akan menerima apapun resikonya, termasuk tidak diterima lagi di keluarga ini. Aku akan menemui mereka, dan meminta maaf atas apa yang telah aku perbuat terhadap Ratih." Dodi beranjak meninggalkan Andre.
Andre hanya berdiri mematung di pematang sawah, tanpa melihat ke arah Dodi.

"Pergi kamu dari sini!!! Jangan kembali lagi dasar pembunuh!"
Begitulah ucapan kasar yang diterima Dodi setelah ia menemui uda dan uni Andre yang juga uwaknya. Meski ia telah menangis meminta maaf,
hati keduanya tetap tidak luluh.

Dodi pun akhirnya pergi dengan membawa hati yang hancur serta kebingungannya mencari tempat bernaung dan mengungkapkan keluh kesahnya.
Motor jenis Astrea Prima itu melaju melewati jalanan sempit berbatu. Terkadang motor harus melewati bagian sungai yang dangkal karena tiadanya jembatan menuju desa itu.

Dodi yg mengendarai motor tersebut tampak begitu letih. Maklum saja seharian ini ia berkendara cukup jauh.
Menjelang sore, Dodi pun tiba di desa terpencil itu.

Tiba di depan sebuah rumah warga, Dodi menitipkan sepeda motornya untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju tanah milik kedua orang tuanya yang terletak agak menurun melewati turunan curam berupa jalan tanah
berundak yang dibentuk seperti tangga.

Dodi menelusuri puing-puing rumahnya. Menguak-nguak tumpukan. Entah apa yang ia cari.
Kedua matanya berbinar ketika menemukan sesuatu dari balik tumpukan reruntuhan rumahnya.

"Kalung ini rupanya masih ada. Aku akan mengembalikannya,"
gumam Dodi seraya beranjak hendak meninggalkan tempat itu.

Namun, sayup-sayup ia mendengar suara rintihan seorang wanita dari arah sungai tidak jauh dari reruntuhan rumahnya.

"Dodi, kemari, nak." Dodi terhenyak saat suara tersebut menyebut namanya.

Dodi tercengang saat
menyaksikan seorang wanita sedang bermain air di sungai.
Wanita tersebut sangat ia kenali.

"Ibu? Tidak mungkin ibu masih..." Dodi ternganga menyaksikan sosok ibunya di depan mata.

Itu tidak mungkin ibunya, karena ibunya telah lama meninggal dan ia sempat menghadiri
pemakamannya.

Waktu itu Dodi sedang menjalani hukuman penjara karena telah memperkosa dan membunuh pacarnya sendiri, Ratih.

Meski sedang menjalani hukuman, ia dapat izin pulang untuk menemui ibunya untuk terakhir kali.

"Ibu masih di sini, nak. Menunggu kamu keluar dari
penjara." Begitu kata-kata yang diucapkan sosok ibunya Dodi.

Dodi masih termangu di tempat. Sejenak kemudian ia tersadar jika hari sudah beranjak malam.

Gelapnya malam mulai menyelimuti area sekitarnya. Suara-suara binatang malam bersahutan lirih seolah tahu seperti apa yang
yang dirasakan Dodi saat ini.

"Jika engkau memang ibuku, pulanglah. Karena aku tahu ibuku telah tiada. Sedangkan kau pasti sesuatu yang lain yang tidak seharusnya ada di sini."

Selesai berbicara begitu, Dodi menyaksikan sosok ibunya bergolek di atas air kemudian wujudnya
berubah menjadi sesosok monster air mirip siren (makhluk dalam mitologi Yunani).

Monster air tersebut bergerak dengan cara menggeliat cepat ke arah Dodi.

Dodi pun langsung mengambil langkah seribu meninggalkan sungai dengan monster yang sedang mengejarnya itu.

Di saat
sedang berlari itu, Dodi mendengar suara gemuruh dari atas. Suara gemuruh tersebut mirip dengan suara kepakan dari ribuan sayap burung elang.

Dodi pun pontang-panting berlari hingga mencapai dusun terdekat. Ia terus berlari hingga mencapai suatu rumah di mana seseorang
melambaikan tangan ke arahnya seraya berseru.

"Ke sini!"

Orang tersebut mempersilahkan Dodi masuk ke dalam rumahnya. Setelah Dodi masuk ke dalam rumah, warga tersebut segera masuk kemudian menutup pintu rapat-rapat.

Dari luar terdengar suara gemuruh dan suara riuh.
Di dalam rumah, Dodi menyaksikan sekelompok pemuda-pemudi yang duduk sambil saling berpegangan tangan. Wajah mereka memancarkan ketakutan saat suara gemuruh dan riuh-riuh di luar terdengar begitu keras.

"Sebenarnya itu apa?" tanya Dodi kepada pemilik rumah.

"Ssstt." Warga
"Mereka sedang bergerak," bisik warga itu membuat Dodi penasaran.

"Maksudnya?" tanya Dodi.

"Sangkasena," bisik warga itu lagi.

Brakkkkk

Mendadak pintu terbuka dan terbanting hingga menimbulkan suara berderak yang keras.
Warga pemilik rumah itu pun menutup pintu kembali namun ia tampaknya kesulitan. Dodi pun berinisiatif membantunya.

Ia pun merasakan kesulitan yang sama dengan pemilik rumah.

Dari celah-celah pintu, Dodi melihat sosok tinggi besar berpakaian serba merah berambut gondrong serta
serta wajahnya tidak terlihat karena gelap.

Sosok tersebut sedang merentangkan kedua tangannya yang panjang dan berjari seperti ranting.

"Jangan dilihat. Itu Sangkasena!" bisik pemilik rumah seraya mendorong wajah Dodi agar tidak mengintip melalui celah pintu.
Namun terlambat, makhluk tersebut keburu menyadari sedang diintip oleh seseorang yang berada di dalam rumah.

BRUAGGGG.........

Mendadak rumah tempat Dodi dan yang lain bersembunyi tercerabut dari atas tanah. Rumah tersebut hancur berhamburan melontarkan material-material ke
udara dan sekitarnya.

Sementara Dodi dan yang lain terbanting keras ke atas tanah.

Rumah tersebut karena terbuat dari material kayu dan bambu, jadi sangat mudah tercerabut dari atas tanah jika ada angin topan raksasa.
Namun yang mencerabut rumah ini adalah kekuatan luar biasa
dari sesosok makhluk mistis berpakaian serba merah yang disebut sebagai SANGKASENA.

Dalam kondisi gawat, Dodi dan yang lain berlari pontang-panting ke arah puskesmas, berharap di sana dapat menjadi tempat perlindungan yang aman.

"Ayo, cepat," ujar Dodi seraya membantu salah
seorang mahasiswa memasuki gerbang puskesmas yang dihadang palang bambu.

Namun tiba-tiba sebuah benda yang sangat besar melayang menghantam puskesmas hingga rubuh dan menghamburkan material ke udara.

Astaga, benda tersebut rupanya sebuah rumah yang terbang kemudian menabrak
bangunan puskesmas hingga rata dengan tanah.

Otomatis Dodi dan yang lainnya panik bukan kepalang setelah gagal melarikan diri dari kejaran Sangkasena.

Kini mereka sedang berupaya mencari tempat untuk berlindung dari serangan brutal sosok mistis itu.

Malam itu jelas menjadi
malam yang sangat panjang bagi mereka. Namun, yang membuat bingung tidak ada warga lain yang terlibat dalam kejadian gila yang sedang mereka alami itu.

Ke mana gerangan para warga yang lain?

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, pak?" tanya Dodi ke warga yang bersamanya.
"Kita tidak mungkin melarikan diri ke desa seberang sana. Jaraknya terlalu jauh. Juga desa itu dipisahkan hutan lebat yang sangat luas dari desa ini. Kita mungkin dapat berlindung untuk sementara waktu di rumah Pak Somad. Beliau pasti akan membantu kita," ujar warga yang bernama
Pak Halim itu.

"Di mana rumah Pak Somad, pak? Apa tidak jauh dari sini?" tanya Dodi.

Pak Halim sejenak tercenung. Ia terlihat gamang untuk menjawab. Ia tampaknya baru teringat akan satu hal.

"Ada apa, pak? Rumah Pak Somad jauh, kah?" tanya Dodi tampak penasaran.
"Bukan soal jauh atau dekat. Rumah Pak Somad kemungkinan besar tidak akan kita temukan dalam keadaan begini. Pagar gaib yang mengelilingi rumah Pak Somad akan membuatnya menjadi tidak terlihat jika Sangkasena muncul. Selain itu posisi rumah Pak Somad akan sangat sukar ditemukan
mengingat kita tidak mungkin fokus mencari jika Sangkasena masih mengejar kita," tutur Pak Halim membuat Dodi tercengang.

Dodi kemudian menoleh ke arah para mahasiswa yang tampak sedang berbisik satu sama lain. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Wajah mereka jelas
memancarkan ketakutan dan kekhawatiran. Mereka saat ini merasa bingung dengan peristiwa yang sedang menimpa mereka.

"Ini benar-benar mengerikan. Aku ingin pulang saja. Lebih baik KKN tidak dilanjutkan!" Begitu apa yang didengar Dodi dari para mahasiswa itu.

Selanjutnya ia
memutarkan pandangan ke sekeliling. Tampaklah sekelilingnya adalah pepohohan besar diselingi bongkahan batu besar berdiri di sana.

Saat itu gelap, namun Dodi dan yang lain masih dapat melihat sekeliling meski terbatas.

Pandangan Dodi sejenak berhenti pada salah satu bongkah
batu besar yang tampaknya adalah penutup pintu goa. Ia pun berpikir jika di balik batu tersebut terdapat goa.

"Kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Warga desa belum pernah ada yang mencoba menggeser batu itu," ujar Pak Halim seolah mengetahui apa yang dipikirkan Dodi.
"Lagipula meski kita dapat memasuki goa, Sangkasena tetap akan menemukan kita. Dia adalah iblis."

Pak Halim kemudian memberi isyarat ke Dodi dan yg lain agar mengikutinya.

Pak Halim berjalan menyeruak gelapnya malam diikuti Dodi dan para mahasiswa. Tampaknya ia menemukan cara
menghindari kejaran Sangkasena. Entah apa yang akan ia lakukan masih menjadi pertanyaan.

Suara riuh itu semakin mendekat saja meski Dodi bersama yang lain telah berjalan cukup jauh dari sumber suara tersebut.

"Ini salah saya yang tidak mengindahkan peringatan bapak," ucap Dodi
merasa menyesal karena terlambat merespon larangan Pak Halim waktu sedang menahan pintu.

"Tidak apa-apa, anak muda. Lagipula itu sudah terjadi, dan juga Sangkasena tetap akan menghancurkan rumah itu meski kamu tidak mengintipnya," tukas Pak Halim membuat Dodi mengernyitkan
kening.

"Dia mengincarmu, Dodi. Karena kamu anaknya Pak Mahfud.

Sangkasena mengincar semua orang terkait Pak Mahfud. Apakah itu anaknya, istrinya, maupun saudara-saudaranya," tambah Pak Halim membuat Dodi terkejut.

"Jadi, kejadian ini ada hubungannya dengan hilangnya ayah
saya?" tanya Dodi.

"Tanah tempat rumahmu berdiri adalah tanah larangan. Selain tanah itu dipersengketakan, juga dari sisi historis, tanah itu menyimpan sejarah kelam. Siapapun yang terkait Pak Mahfud jika menginjakkan kaki di sana akan mengalami nasib buruk." Pak Halim terus
berjalan menembus gelap.

"Lalu bagaimana dengan ayah saya, pak? Apa ia menghilang karena hal itu? Dan juga meninggalnya ibu?" Dodi mempercepat langkah agar dapat menyusul Pak Halim.

"Bisa jadi, nak. Kedua orang tuamu mendapat bencana karena tanah larangan itu. Bukan tidak
mungkin mereka berdua menjadi korban keganasan Sangkasena.
Sekarang ia sedang mengincarmu. Hal yang harus aku lakukan adalah membawamu jauh-jauh dari makhluk itu. Akan sangat berbahaya jika kau juga menjadi korban iblis itu," tutur Pak Halim.

Pak Halim tiba-tiba menghentikan
langkahnya sesaat sebelum kaki kanannya menjejak tanah di hadapannya.

"Ada apa, pak?" tanya Dodi seraya melihat ke arah tanah yang tidak jadi dijejak Pak Halim.

"Ini bukan tanah, tapi rawa. Namanya Rawa Gaib. Meski terlihat seperti tanah lapang biasa, namun jika kamu
menginjaknya akan terperosok ke dunia lain. Rawa ini sudah sering memakan korban. Bukan hanya satu atau dua orang melainkan lebih dari sepuluh orang. Rawa ini hanya muncul ketika Sangkasena keluar dari sarangnya," tutur Pak Halim seraya melihat ke arah Dodi dan para mahasiswa
yang bersamanya.

"Kita tidak bisa ke mana-mana lagi. Kita terkepung," kata Pak Halim lagi membuat Dodi dan yang lain semakin panik.

Dodi terperanjat saat melihat sesosok laki-laki berpakaian serba hitam muncul dari permukaan tanah.

Sosok ayahnya Dodi adalah sosok pria kurus
berpakaian serba hitam dengan wajah dipenuhi guratan urat berwarna biru. Wajahnya begitu kurus dan keriput seperti kakek-kakek.

Kedua bola matanya yang menonjol menatap sayu ke arah Dodi seolah ingin menyampaikan pesan.

Suara riuh kepakan burung-burung iblis terdengar semakin
mendekat pertanda Sangkasena telah mencapai tempat tersebut.

Dodi dan yang lain hanya celingukan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri.

Sementara sosok Pak Mahfud hanya berdiri terdiam di atas Rawa Gaib. Sepertinya ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk
untuk menolong anaknya yang sedang terancam oleh Sangkasena.
Termangu dan terus termangu hingga sosok besar berpakaian serba merah muncul di hadapan Dodi dan yang lain.

Suara gemuruh dan riuhnya suara burung-burung mistis mengiringi kemunculan Sangkasena di tempat tersebut.
Makhluk mistis tersebut melangkah pelan ke arah Dodi yang posisinya menghalangi Pak Halim dan para mahasiswa yang berkumpul di belakangnya.

"Kalau memang saya harus mati hari ini, saya akan mati. Tapi Pak Halim segera bawa teman-teman mahasiswa pergi. Saya akan mencoba mengulur
waktu," ujar Dodi tanpa menoleh ke arah Pak Halim dan yang lain.

"Tidak, nak Dodi. Saya bersama kamu bukan karena kebetulan, tapi saya memang berada di sini untuk membantu kamu, nak Dodi. Jika saya tidak membantu nak Dodi, seluruh desa ini akan binasa. Kekuatan jahat yang
awalnya menyelimuti tanah ayahmu telah menyebar hingga ke seluruh desa. Tugas saya adalah menyelamatkan desa," tukas Pak Halim tidak bergeming.

"Selamatkan desa kalau begitu, Pak Halim. Biar saya ulur waktu agar Pak Halim dan teman-teman bisa pergi dari sini." Dodi sejenak
mundur ketika jarak Sangkasena tinggal 2 meter lagi darinya.

"Desa akan selamat jika kamu selamat, nak Dodi. Segala kepedihan, dan kehilanganmu tidak lain adalah ulah orang yang berada di balik munculnya iblis ini. Jika kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang
di belakang kos-kosan itu, inilah saatnya," kata Pak Halim membuat Dodi terkejut.

Ia tidak dapat berkata-kata setelah mendengar perkataan Pak Halim barusan.

Kejadian itu tentu saja adalah yang paling mengerikan sekaligus membuatnya merasa menyesal seumur hidup karena ia telah
telah melakukan perbuatan keji terhadap seorang perempuan yang semestinya ia lindungi.

Namun, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Pak Halim mengenai kejadian itu?

Apakah ia ingin menghakiminya?
Dodi terdiam. Perasaan bersalah itu kembali menggelayutinya. Ia merasa sudah
tidak pantas hidup.

Pemikiran itu juga sempat muncul ketika sang iblis berhasil mengejarnya hingga ke Rawa Gaib.

"Singkirkan pemikiran buruk itu, nak. Iblis telah mencapai kita. Kita harus tetap tenang. Saya baru sadar jika Rawa Gaib adalah satu-satunya cara melawan Sangkasena.
Meski itu adalah tempat dia berasal, namun itu bisa kita gunakan untuk melawannya. Oh, iya, kejadian yg menimpa gadis itu bukan salahmu."

Kata-kata Pak Halim membuat Dodi merasa bingung. Seingatnya ia secara sadar telah memperkosa dan membunuh gadis itu.
"Simpan dulu kepenasarananmu, nak Dodi. Pak Mahfud rupanya bereaksi dengan kedatangan Sangkasena," ujar Pak Halim sontak membuat Dodi menoleh ke belakang tepat ke arah wujud ayahnya yg kini sedang melangkah ke arahnya dan yang lain.

"Ayah?" ucap Dodi.

"Tetap melihat ke depan,
nak Dodi. Dia semakin dekat," kata Pak Halim seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku bajunya.

'Srinnggg'

Mendadak Pak Halim menyayat tangan kanan Dodi menggunakan benda yang baru dikeluarkan dari saku bajunya. Benda itu rupanya adalah sebilah kujang berukuran kecil.
"Apa-apaan ini, pak!" pekik Dodi seraya melompat terus menatap tajam ke arah Pak Halim.

"Maaf, nak Dodi. Saya membutuhkan darahmu. Pak Mahfud, kemarilah. Ini darah anakmu. Semoga ini dapat membawamu kembali," tukas Pak Halim seraya menyambut kedatangan sosok Pak Mahfud.
Dodi hanya bisa meringis menahan perih di lukanya yang masih merembeskan darah. Ia kemudian melihat ke arah Sangkasena yang berdiri tidak jauh darinya.

Makhluk itu berhenti melangkah setelah Pak Halim mendapatkan darah Dodi melalui kujang mini yang dibawanya.
Sedangkan Pak Halim tampak berbicara sepatah dua patah kata dengan sosok Pak Mahfud.

Mendadak suara gemuruh semakin keras dibarengi tiupan angin yang sangat kencang. Material-material berhamburan ke arah Dodi dan yang lain.

Mereka merunduk untuk menghindari terjangan material
yang mengarah ke mereka.

Terdengar suara hela nafas berat dari sosok Sangkasena yang mulai berjalan kembali ke arah Dodi.
Namun kali ini sosok Pak Mahfud muncul menghadang gerak laju makhluk tersebut.

Pak Halim turut mendampingi Pak Mahfud menghadang Sangkasena.
Melihat itu sontak Dodi berteriak.

"Pak Halim, jangan lakukan itu. Bapak bisa terbunuh!"

"Saya sudah siap mati, nak Dodi. Apapun yang saya lakukan adalah demi kelangsungan desa ini dan juga trah keluarga Pak Mahfud. Tidak apa saya berkorban jiwa demi desa ini," tukas Pak Halim
membuat Dodi tercengang.

Ia tidak dapat mencegah Pak Halim mendampingi sosok ayahnya menghadapi Sangkasena.

"Kau sudah saatnya dihentikan! Katakan siapa yang membangkitkanmu!!" teriak Pak Halim dengan suara bergetar.

Tiba-tiba.....

Sretttt................
Tangan sebelah kiri Sangkasena yg seperti ranting melesat kemudian menancap di dada Pak Halim.

Pak Halim pun berteriak kesakitan seraya memegangi dadanya.

"Pak Haliiiiim....." jerit Dodi bersama para mahasiswa yang bersamanya.

Tubuh Pak Halim melorot kemudian jatuh berdebum
ke atas tanah.

Sementara sosok Pak Mahfud tidak bergeming. Wajahnya masih tanpa ekspresi.

Dodi dan yang lain saat ini hanya bisa pasrah, bersiap menghadapi hal terburuk yang mungkin akan terjadi kepada mereka.

Kini Dodi berada paling depan,
tepat di belakang sosok ayahnya yang masih berdiri tidak bergeming.
Mendadak Dodi teringat sesuatu. Barangkali itu harus ia ambil dan ia gunakan.

Kujang mini itu rupanya tergeletak tepat di samping jasad Pak Halim. Kujang tersebut masih berlumuran darah.

Ketika hendak
mengambil kujang tersebut, mendadak tubuh Dodi terangkat ke udara kemudian terbanting dengan keras ke atas tanah.

"Ugghhh.." Dodi mengaduh kesakitan seraya berupaya bangun.

Ia terus mencoba menggapai kujang tersebut namun hasilnya selalu gagal. Bahkan ia hampir sekarat karena
seringnya terbanting oleh kekuatan yang menghalanginya.

Melihat Dodi kepayahan, para mahasiswa yang bersamanya mencoba membantunya.

Mereka pun tidak sanggup mengambil kujang yang tergeletak di samping jasad Pak Halim itu.

Mereka hanya bisa meringis kesakitan setelah terlempar
oleh kekuatan gaib yang melindungi kujang tersebut.

Apa yang harus Dodi lakukan untuk melawan Sangkasena yang kini sedang dialihkan perhatiannya oleh sosok Pak Mahfud. Makhluk itu tampaknya tidak dapat berpaling dari sosok Pak Mahfud. Terbukti ketika Dodi berusaha mengambil
kujang itu, ia tetap berdiri menghadang Pak Mahfud.

Dodi pun mencoba mengambil kujang tersebut dengan cara perlahan sembari membelitkan kalung Ratih di pergelangan tangannya.

Para pemuda yang bersamanya pun membantunya dengan cara mendorongnya pelan-pelan dari belakang.
Rupanya cara itu berhasil Dodi lakukan. Ia berhasil menggapai kujang tersebut tanpa terkena serangan gaib lagi.

Namun hal itu membuat Sangkasena mengalihkan perhatiannya dari sosok Pak Mahfud.

Kedua mata Sangkasena yang besar dan menyala berwarna merah namun tidak menyamarkan
tampilan kedua matanya, melotot ke arah Dodi dan orang-orang yang membantunya.

"Mas Dodi, gawat! Dia melihat ke arah kita. Dia akan membunuh kita!” ujar salah seorang mahasiswa dengan nada ketakutan.

Sementara teman-temannya yang lain hanya menatap dengan khawatir ke arah Dodi.
"Sebentar lagi tanganku mencapai kujang. Hkkkhkk," ucap Dodi dengan suara tercekat karena kuatnya dorongan kekuatan Sangkasena.

Sementara ujung jarinya tinggal beberapa senti lagi mencapai kujang tersebut.

Nafasnya kini terasa sangat berat karena kuatnya tekanan kekuatan
Sangkasena yg telah dinetralkannya. Jika tidak dinetralkan menggunakan kalung misterius itu, maka kekuatan Sangkasena bisa kembali melontarkannya bersama yang lain.

Apalagi kini posisi mereka begitu dekat dengan Rawa Gaib.

Jika mereka terlontar lagi, dipastikan akan terlempar
ke Rawa Gaib dan tidak akan bisa kembali lagi dari sana.

Kali ini Dodi berhati-hati menggapai gagang kujang mini yang bilahnya berwarna merah karena darahnya.

Mendadak!!!

Tangan keriting Sangkasena melesat tepat ke arah Dodi. Di saat itu juga Dodi berhasil menggapai kujang.
Ia juga sempat meraihnya.

Namun serangan mendadak dari Sangkasena membuat Dodi terjengkang, dan kujang yang berhasil diraihnya terlempar ke belakang tepat ke area Rawa Gaib.

Tiba-tiba Sangkasena tertegun. Kemudian wujudnya seperti tersedot ke arah Rawa Gaib di mana kujang
terlempar ke sana. Kedua tangan dan kakinya meronta-ronta. Wujudnya bagian bawah menciut tertarik hingga ke Rawa Gaib.

Wujud Sangkasena meronta-ronta hingga hilang di balik gelapnya Rawa Gaib.

Suara gemuruh dan cicitan burung-burung misterius mengiringi hilangnya wujud
Sangkasena di tengah Rawa Gaib.
Suara gemuruh semakin keras terdengar kemudian terjadilah ledakan keras yang membuat Dodi kehilangan kesadaran.

Blaarrrrrrrrr

Penglihatan Dodi memutih kemudian memasuki alam bawah sadar, di mana ia tiba-tiba mendapati dirinya sedang berada di
suatu jalan setapak ber-paving block.

Dodi tampak mengenakan setelan kasual dengan sebuah tas punggung berwarna biru di punggungnya.

Rambutnya panjang tidak seperti sebelumnya dicukur pendek.

Dodi merasa di antara sadar dan tidak sadar saat berada di jalan kecil tersebut.
Ia terkejut saat menyadari dirinya berjalan di jalan itu. Ia kemudian melihat-lihat sekujur tubuhnya yang kini berjalan sendiri meski ia tidak menggerakkannya.

Saat itu hari menjelang sore. Di sekeliling jalan kecil itu terdapat rumpun-rumpun bambu yang sangat rimbun.
Sayup-sayup terdengar suara gemerisik dari balik salah satu rumpun bambu tersebut.

Mendadak dua orang berpakaian preman muncul menyergapnya kemudian membekapnya menggunakan sapu tangan yang telah diberi obat bius. Saat itu Dodi kehilangan kesadaran namun anehnya ia dapat
melihat dirinya dibawa kedua orang berwajah sangar itu ke sebuah van yang terparkir di belakang gedung kampus tempat Dodi kuliah.

Van itu kemudian melaju membawa Dodi untuk selanjutnya keluar dari wilayah tersebut.

Terus melaju, van tersebut menuju sebuah rumah terpencil yg
berada di tengah perkebunan kelapa sawit.

Setelah berhenti di depan rumah kebun sawit itu, kedua orang tersebut membawa tubuh Dodi keluar dari van kemudian memasuki rumah besar bercat putih itu.

Di dalam rumah, mereka disambut oleh seseorang yang membuat Dodi mengernyitkan
kening.

"Pak Dadang?" gumam Dodi dengan suara yang tentu tidak terdengar oleh mereka semua.

Pak Dadang berdiri menyambut kedua orang preman yang membawa Dodi.

"Kerja bagus. Sekarang kita tinggal menunggu malam tiba. Ki Rawuk sedang menunggu di tempat pertapaannya," kata
Pak Dadang.

Singkat cerita, malam pun tiba. Pak Dadang bersama dua preman itu berada di dalam ruangan bawah berdiri mengelilingi tubuh Dodi yang terbaring di atas tanah.

Pak Dadang memberi isyarat kepada dua orang suruhannya untuk membawa tubuh Dodi ke dalam suatu lorong
panjang yang entah mengarah ke mana.

Pak Dadang menjadi pemandu sembari menyorotkan senternya ke depan. Cahaya senter menampakkan lorong yang dindingnya berupa batu terjal itu.

Tak lama kemudian mereka mencapai ujung lorong bawah tanah itu. Ujung lorong tersebut rupanya adalah
mulut gua yang menganga.

Keluar dari gua, Pak Dadang bersama dua preman yang membawa tubuh Dodi terus berjalan menuju suatu area yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi menjulang.

Tak lama mereka sampai di depan sebuah gua di tengah hutan belantara. Segera mereka membawa Dodi
memasuki gua.

Di dalam gua, mereka mendapati sesosok kakek tua brewok putih berpakaian putih kusam dengan bagian dadanya telanjang.

"Sampurasun Ki Rawuk," ucap Pak Dadang seraya berlutut di hadapan begawan tersebut diikuti dua anak buahnya.

Ki Rawuk menatap tajam ke arah Pak
Pak Dadang. Dengan suara serak ia berkata.

"Manehna sakedap deui bakal nyieun karusakkan pikeun kulawargana." (Dia sebentar lagi akan membuat kerusakkan bagi keluarganya.)

Ki Rawuk kemudian meminta agar tubuh Dodi
Dodi ditaruh di atas batu datar mirip meja di hadapannya.

Setelah tubuh Dodi ditaruh di atas meja batu tersebut, Ki Rawuk meminta salah seorang preman agar berbaring di samping tubuh Dodi.

Setelah preman tersebut berbaring di samping Dodi, Ki Rawuk mengambil beberapa tetes
darah Pak Dadang, preman itu, dan menyatukannya dengan darah Dodi yang telah diambilnya.

Darah dari ketiganya ia taruh di dalam cawan tembikar. Setelah itu ia merapal mantra kemudian meludahi cawan berisi darah tersebut.

'Srinngggggg'
Ki Rawuk menyayat dada si preman kemudian menumpahkan darah di cawan ke luka di dada preman itu. Selanjutnya ia kembali merapal mantra.

Ajaib, wujud si preman berubah menjadi sosok Dodi. Kini ada dua Dodi berbaring di atas meja batu yang sama. Hanya pakaian yang membedakan.
"Apa-apaan ini!" Gigi Dodi gemeretak menyaksikan adegan tersebut.

Misteri yang tidak terpikirkan olehnya pun kini terkuak. Ditambah lagi ia menyaksikan sendiri adegan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan orang yang wajahnya serupa dengannya.

Pak Dadang rupanya di balik
semua ini. Namun, Pak Dadang tidak akan melakukan hal laknat itu jika sosok seperti Ki Rawuk tidak ada.

Kini semuanya jelas, apa yang dikatakan Pak Halim tentangnya benar adanya.

"Ratih? Kenapa harus dirimu yg menjadi korban kebiadaban para durjana ini? Semua sudah terlambat.
Tapi aku yakin, segala kejahatan yg dilakukan Pak Dadang akan berakhir."

Dodi membatin. Tubuhnya tetap belum bergerak dari atas meja batu tersebut. Ingin rasanya ia menggerakkan tubuhnya sendiri, namun itu sulit mengingat ia kini sedang berada dalam wujud halus.

Ia juga tidak
dapat mencegah kejahatan yang dilakukan Pak Dadang bersama orang-orang suruhannya.

Namun, sejenak Dodi teringat dengan kalung yang didapatkannya dari TKP pembunuhan Ratih.

Kalungnya Ratih. Apakah itu masih bersamanya?

Dodi menatap ke arah dua tangannya yang transparan karena
sedang berada dalam wujud halus. Ia menatap ke arah pergelangan tangan kanannya di mana kalung Ratih melilit.

Ia sejenak melihat ke arah Ki Rawuk yang masih dalam kondisi duduk bertapa di belakang meja batu. Sedangkan Pak Dadang tampak duduk bersila bersama anak buahnya.

Dodi
dalam wujud halus berupaya menggapai tubuh asli Dodi yang masih berada di sana. Sedangkan Dodi palsu tampaknya telah kembali ke wujud aslinya setelah menyelesaikan tugasnya.

Apa sebenarnya yang ingin dilakukan Dodi? Membangunkan Dodi yang asli tidak mungkin. Jika pun berhasil
apakah mungkin ia bisa kabur dari tempat antah berantah itu.

Terdengar suara Ki Rawuk bergumam.

"Aya nu nempokeun urang!" (Ada yang melihat kita!)

Mendadak penglihatan Dodi memburam kemudian memutih. Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil-manggil namanya.
"Dodi, bangun. Ini Andre..." panggil seseorang yang membuat Dodi terbangun.

Dodi tersentak bangun dengan nafasnya yang memburu naik turun.

"Hhhhahhh....." Dodi celingukan mendapati dirinya sedang di atas tempat tidur dikelilingi orang-orang yang sebagian ia kenali.

"Andre?
Uda, uni?" Dodi melihat ke arah Andre, uda, dan uni secara bergantian.

"Kami meminta maaf, Dodi. Selama ini kami sudah menuduhmu sebagai pemerkosa dan pembunuh.
Sekarang semuanya sudah jelas siapa pembunuh Ratih. Polisi telah menangkap pelaku yang sebenarnya, termasuk otak di
otak di baliknya," ujar uda seraya mendekat ke arah Dodi.

Dodi masih belum berucap.

Tampaknya ia masih syok dengan apa yg baru saja ia alami. Sekarang tahu-tahu ia sedang berada di dalam rumah dikelilingi banyak orang.

"Paman sudah kembali, Dodi. Ia sudah ditemukan. Ternyata
ia selama ini disesatkan oleh seseorang berilmu hitam," kata Andre.

"Pak Dadang selama ini menghilang ternyata bersembunyi di rumah kebun sawit. Setelah menangkap pembunuh Ratih, polisi berhasil menangkap Pak Dadang dan anak buahnya yang tersisa. Sayangnya polisi belum mampu
mengungkap siapa dukun ilmu hitam yang membantu Pak Dadang," jelas Uda.

Dodi menghela nafas. Ia sudah mengetahui siapa dukun ilmu hitam yang dimaksud.

Dalam hati ia berjanji untuk menemukan dukun itu dan menghentikan kejahatannya.
Tentu ia membutuhkan bantuan dari orang-orang yang faham ilmu agama agar dapat melawan kekuatan ilmu hitam.

-SEKIAN-
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Acep Saepudin

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!