#saktialamkerinci
-- Perjanjian Uhang Pandak --
Based on a true story
#bacahorror @bacahorror
Sudah lama tidak bersua
Turut berduka atas musibah yang menimpa negara kota kalian semua
Semoga tetap sehat semuanya
Aku persembahkan sedikit cerita untuk menemani teman-teman semua yang diharuskan berada dirumah
Cerita ini berasal dari kampung halamanku yang cukup menggegerkan beberapa desa dikaki gunung Kerinci
Uhang Pandak
Meskipun keberadaan masih dipertanyakan namun beberapa warga desa yang berada di kaki gunung Kerinci
Lantas, cerita yang akan aku share ke teman-teman semua adalah cerita dari seorang petani, sebut saja namanya Pak Erwin
Tunggu aku di malam jum'at besok
Jangan lupa cuci tanganmu, dan siapkan cemilanmu
Mari mulai bercerita,
Mohon untuk tidak berekspetasi terlalu jauh dengan cerita ini
Erwin sedang duduk santai dibawah pohon rindang, disamping gubuk kayunya. Ya gubuk tersebut milik Erwin sendiri yang ia bangun untuk menyimpan beberapa kebutuhan diladang. Lokasi ladang milik Erwin berada di kaki gunung Kerinci, mungkin lebih tepatnya di punggung
Erwin adalah seorang petani biasa, tanpa kelebihan apapun, hanya sedikit keberanian yang ia miliki, memiliki satu orang anak yang masih lucu,
Erwin berhenti dari kegiatan mencangkul, karena melihat matahari yang sudah condong ke barat, itu artinya sudah hampir masuk waktu Dzuhur.
Seiring berjalannya waktu
Ia harus menunggu kebunnya, agar tidak diporak porandakan oleh binatang, atau bahkan para perampok tanaman. Karena tanaman milik Erwin sudah hampir mendekati masa panen.
Singkat cerita, Erwin sudah sampai dirumah, makan malam bersama anak dan istrinya.
Percakapan pun di mulai, hanya obrolan ringan untuk menghibur meja makan.
"Nggak pie-pie yah,"(Gak gimana-gimana yah) jawab Linda tenang dengan menampakan gigi ompongnya.
"Mas, pie kentange, iso entuk akeh ora?"(Mas, gimana kentangnya, bisa dapat banya nggak?) tanya Leni
Malam berlalu dengan gelak tawa keluarga kecil itu.
Pagi datang tanpa menyapa masyarakat desa, matahari pun masih malu-malu untuk tersenyum menyapa Kayu Aro
Tanpa ba-bi-bu, setelah mendapatkan semua kebutuhan, Erwin langsung menuju kekebun miliknya yang bisa dikatan cukup jauh.
Dipertengahan hari, Erwin mendapat kabar dari istrinya, yang mengirim SMS ke Erwin, bahwa ada kemalangan, tetangga meninggal dunia.
Mendengar kabar duka Erwin
Diperjalanan pulang, melewati beberapa ladang milik orang lain, mata Erwin mendapati sebuah
Merasa perduli, Erwin mengambil sembilah kayu, dan mencoba membidik lantas melempar kayu tersebut kearah monyet besar tersebut.
Namun, bukan rasa takut yang
Matanya masih terpaku dengan monyet tersebut,
Tiba-tiba saja, monyet tersebut, seolah
Badannya terlalu besar jika harus disebut monyet.
Merasa dirinya terancam, Erwin berjalan perlahan, dan meninggalkan monyet atau makhluk apapun itu tetap berada ditempat.
"Opo iku ntes?"(apa itu tadi?) tanya Erwin
Singkat cerita, Erwin kembali kerumahnya setelah pergi melayat. Mengambil satu buah gelas, dan menuangkan bubuk kopi, dan menyeduhnya.
Otaknya berkecamuk, bertanya-tanya apa yang
Manusia? Binatang? Ataukah Badut?
Ayolah, tidak mungkin ada badut di ladang seperti itu, jika pun ada, badut macam apa itu.
Erwin terpaksa mengurungkan niatnya untuk kembali keladang setelah sholat ashar. Takut terjadi apa-apa pada dirinya. Ia berani, tapi
Selepas ashar, Erwin pergi kerumah temannya yang berada tidak jauh dari rumahnya, me-
Sesampainya disana, lagi, kopi menyapa Erwin.
Obrolan panjang terjadi, mulai dari harga kentang yang saat ini sedang naik, dan membuat wajah Erwin terlihat girang, berhubung pula sebentar lagi akan datang bulan puasa
"Eh, Hen, koe weroh ra,"(Eh, Hen kamu tahu nggak,...") kata Erwin
"Ora,"(Nggak) potong Hendri
"Jaran koe, ngene, koe weruh ra, ladang sing enek gubuk apik e kae gone sopo?"
"Oh, sing ladang cabe kae"(oh yang ladang cabai itu?) jawab Henri sembari menyulut rokok kreteknya.
"Ha iyo,"
"Lah pie?"(Lah kenapa?) tanya Hendri menyelidik.
"Aku ndelok enek sing aneh mau"
"Aneh pie? koe ndelok monyet gedi po?"(Aneh kenapa? kamu lihat monyet besar apa?) jawab Hendri menebak pertanyaan Erwin.
"IYO COK! Loh kok koe weroh"(Iya cok, lah kok kamu tahu)
"Sing ndelok yo ra mung koe,
"Ah! tenane, emang demit iso ladang?"(Ah! yang bener! emang setan bisa ngeladang?) kata Erwin penasaran.
"Ha yo takoni demite dewe kono,"(Ha ya tanyain setannya aja sana) jawab Hendri tersenyum gemas.
"Jaran kon,"
"wes rak sah dipikir"(dah, gak usah dipikirin)
Namun, pemandangan aneh diladang menjadikan sebuah tanda tanya besar bagi dirinya.
Entah itu, makhluk halus atau tidak, Erwin berusaha keras untuk tidak memikirkannya
Namun tidak setelah ia mendapati ladang dan tanamannya
ya, terlihat di pandangannya, ladang dan tanamannya porak poranda, meskipun tidak semua, namun, sudah terbayang oleh Erwin kerugian yang harus ia tanggung.
"Celeng kimak" maki Erwin, yang belum sempat
Erwin merasa marah, bahkan semua sumpah serapah keluar dari mulut Erwin.
Tidak sampai disitu, ketika kakinya mencoba melangkah kedalam gubuknya, hanya berniat untuk meredam emosinya yang mendadak memanas,
Matanya kembali mendapati, beberapa stock kebutuhannya untuk beberapa hari kedepan, sudah raip atau sudah menjadi sampah lebih tepatnya.
Mulai dari gula, kopi, rokok, dan roti, yang tersisa hanya sampah yang berserakan dilantai gubuknya.
"Ya Alloh gusti, paringono dalan
ratap Erwin sembari memungut sampah yang bertebaran dilantai.
Ya. Itu musibah kedua yang harus ia hadapi hari ini, setelah hancur sebagian tanaman miliknya
Erwin mencoba untuk tetap tenang, dan sabar.
Beruntungnya, Erwin ada membawa kopi, gula, satu gantang beras, dan beberapa buah telur, juga tak lupa mie instan.
Cukup bagi Erwin bertahan diatas dengan bekal seadanya.
Tanpa basa-basi lagi, Erwin langsung mengerjakan beberapa bedengan yang hancur,
(ISOMA DULU, HEHE)
Suasana diluar tidak terlalu bagus untuk dinikmati, terlebih Erwin sendirian.
Erwin memilih untuk tetap didalam gubuk, api yang hanya berukuran kecil, cukup untuk mmbantu menghangatkan tubuhnya
mp3 player miliknya sudah ia matikan agar esok tidak kehabisan daya, dan suasana pun menjadi semakin gelap
Erwin merasa takut malam ini, dan tidak seperti biasanya.
Mendadak, Erwin mendengar suara langkah kaki, yang berjalan mengitari gubuk milik
Keringat dingin mulai keluar, ingin keluar dari gubuk dan memastikan siapa itu, ternyata Erwin tidak memilik cukup nyali akan hal itu, alih-alih ia hanya bisa berdiam diri, dan menahan rasa takutnya
Langkah tersebut semakin cepat, dan kini seakan serupa orang berlari
"Sopo? Ojo guyon mbengi-mbengi aku ra ngganggu," (Siapa? jangan becanda malam-malam, aku nggak mengganggu) kata Erwin kepada hal yang berada didepan pintu tersebut.
Tidak ada jawaban,
Erwin merasa bingung harus berbuat apa, ingin minta tolong dan berteriak, siapa yang akan mendengarkan? Tidak ada satu orang pun yang berada diladang,
Perlahan-lahan, ia turun dari tempat duduk sekaligus berfungsi sbg ranjang, berjalan mendekat kearah pintu
1
2
3
BOOO!
"HUUUUUUUUAAAAAAAAA" jerit Erwin terkejut, dan mendadak beringsut mundur.
"Heh! SOPO KOE, EH OPO KOE!" kata Erwin dengan merangkak mundur, seolah ingin menghindar dari sosok tersebut.
Namun, sosok itu hanya memandang Erwin nanar.
Secara kasat mata, sosok tersebut adalah nyata, bukan makhluk halus, tapi entahlah secara batin (begitulah penjelas Erwin saat itu)
Wujudnya serupa manusia, namun memiliki bulu yang tidak terlalu lebat, badannya sedikit membungkuk seperti orang yang sudah
yang terlihat sangat berbeda adalah, kakinya.
Kakinya tidak menghadap ke depan, tidak selayaknya manusia normal, namun, kakinya menghadap kebelakang(terbalik)
Sosok itu berjalan membungkuk dan mendekat ke rak yang berisikan gula, dan beberapa makanan
"Berarti koe juga sing ngobrak-abrik ladangku,"(berarti juga kamu yang mengobrak-abrik ladangku,) kata Erwin yang kini menjadi sedikit berani, dengan menggenggam parangnya yang sempat terjatuh tadi
"Yo wes pek'en"(ya udah ambillah) kata Erwin, "Sesok aku arep bali, tak tinggali pangananku nang kene, aku mung
Kini Erwin tidak lagi takut dengan sosok tersebut, malah, Erwin memberikan pula rokok yang ia bawa
Dipagi harinya Erwin pulang dari ladang, dan meninggalkan beberapa
Dalam perjalan, Erwin berinisiatif untuk memberi tahu temannya Hendri tentang apa yang ia lihat malam tadi
"Hala paling mung bocah ndaki gunung iku mas, terus kentekan rokok,"(Hala, paling itu cuma bocah ndaki gunung, terus kehabisan rokok,) kata istri Erwin
"Mosok seh,
Namun istrinya hanya meringis mendengar ucapan Erwin. Erwin tidak mengambil pusing tentang jawaban istrinya, ia lalu pergi mandi, dan keluar menuju kerumah Hendri.
Kebetulan hari itu Hendri tidak
Erwin pun datang dengan membawa sebungkus kopi sachset.
Tentu saja disambut ramah oleh Hendri.
Pembicaraan pun dimulai, mulai dari hal kecil hingga berat, dan sampailah kepada tujuan Erwin sebenarnya, bahwa ia melihat lagi apa yang ia ceritakan kepada Hendri
"Koe yakin iku wong pendek?"(Kamu yakin itu uhang pandak?) tanya Hendri menyelidik Erwin. (FYI : beberapa masyarakat sekitar sering menyebut uhang pandak dengan nama wong pendek)
"Iyo Ndri, tenan aku,"(iya ndri, beneran aku) jawab Erwin meyakinkan Hendri
"Yo rak enek, mung tak tinggal, aku mung ngomong, ojo obrak-abrek ladangku, nek mbok obrak-abrek ladangku rak tak wei panganan,"(Ya gak ada, cuma aku tinggal, aku cuma bilang, jangan obrak-abrik ladangk
"Wah, gendeng, koe opo yo wes weroh mbanget, iku asli uwong, eh, maksudku, makhluk urep ngono, yo napak
Seketika itu pula, Erwin merasa ada yang sebenarnya Hendri tahu,
"Yo weroh rak weroh Win,"(ya tahu, gak tahu win) jawab Hendri sekonyong-konyongnya, "Ngene, awak iku rak weroh, wong pendek iku demit opo menungso, opo kewan, jare wong tuo mbien, iku jelmaan jenglot, jarene yo suku asli,
"Ho, ngene wae ndri, pie nak ngko mbengi koe melu aku munggah, nak ladangku orak popo yo awak jarke ndisek
"Yo juga yo, yo wes sesok nggak usah tak wei panganan, awak ndelok reaksine,"(ya juga ya, ya sudah
"Wes rak usah nggolek molo, dilitneh poso, royo, rak ndue panenan sokor ke, sekali kue ngek i mangan dee, podo ae kue wes bersedia nggo makani dee, nak koe rak ngek i dee mangan, yo reaksine podo
"Hooo asu, bojoku mbok padakke kirek po,"(Hoo asu, istriku kamu samakan dengan anjing apa) jawab Erwin
Obrolan pun selesai, Erwin kembali, kerumahnya.
Namun, hal yang anehnya adalah, tanaman milik Erwin terlihat sangat subur, tapi Erwin tidak berpikir bahwa itu adalah ulah tangan si uhang pandak, melainkan hanya obat-obatan yang ia siram setiap tiga hari sekali atau seminggu sekali
Menurut Hendri, tidak mungkin sesubur itu, menimbang, obat yang digunakan Erwin adalah obat murah, bibit yang digunakan juga bukan bibit terbaik, Hendri masih betanya2 dengan hal itu, namun ia tidak mau berkata kepada Erwin
Saat panen, beberapa petani pun dibawa oleh Erwin untuk membantu pekerjaan agar cepat selesai.
Benar, buah yang dihasilkan cukup besar, orang-orang yang bekerja pun ada yang heran ada yang iri, ada pula
Ada yang bertannya kepada Erwin tentang bibit yang ia pakai, namun, Erwin hanya menjawab "bibit biasa". Erwin belum menyadari sebuah keanehan, ia hanya mengandalkan kata "keberuntungan, mungkin itu adalah rezeki"
Keuntungan yang didapatkan Erwin tidak bisa terbilang sedikit, sangat banyak dengan skala lahan yang tidak terlalu besar.
Erwin pun pulang dengan wajah sumringah, seolah hidupnya sedang dlam puncak kejayaan
ya meskipun tidak semua.
Setelah panen itu, Erwin masih pergi keladang selama 3 hari sekali, tujuannya
Namun, selama lebaran berlangsung, Erwin tidak pernah datang keladang, tentu saja, Erwin dan keluarga ingin meraya
Namun, dari sinilah terlihatnya sebuah perjanjian yang secara tidak langsung adalah perjanjian yang sakral dengan uhang pandak.
Hadiahnya cuma pulsa 10K, pemenangnya adalah yang ngepolow aku😂, kita lanjut besok lagi, 1 atau 2 hari lagi, aku nggak janji)
Sesampainya diladang, tidak ada tanda-tanda aneh dari ladang milik Erwin. Hingga beberapa hari,
Setelah selesai menanam, dan hanya tinggal merawat tanamannya. Baru beberapa kejadian tak wajar muncul.
Siang itu, tepatnya hari Rabu,
Erwin heran dengan kejadian tersebut, “siapa yang berbuat demikian?”
Mengetahui hal itu, Erwin langsung menelepon temannya Hendri untuk segera naik keladangnya. Kebetulan pula,
“Weh arep nggawe jalan offroad po win? Roto temen?”(Weh mau buat jalan offroad apa win? Rata banget?) tanya Hendri dengan guyonan biasanya.
“Pie?”(Gimana?) tanya Hendri lagi.
“Embuh iki, kok iso ngene yo?”(Nggak tahu ini, kok bisa begini ya?) jawab Erwin seakan bertanya kepada dirinya sendiri.
“Aku ora ngulah yo,”(Aku nggak ngulah ya)
Erwin menghembuskan nafas dengan berat. Pikirannya kini menjadi kacau, tidak tahu lagi harus berbuat apa.
“Nak menurutku loh yo, iki nak mbok baleni nandor meneh, yo bakal ngene meneh tanduranmu, aku wani njamin,”
“Kok iso?”(Kok bisa?)
“Yo mboh, kok iso, ngene loh yo, kan aku wes ngomong, awak nggak ngerti ijek adep-adepan mbek sopo, nak menungso
“ngedol ladang rak sepenak cangkemmu mengo, ladang neng nduwuran ngene iki gek opo yo enek seng gelem,”(Ngejual ladang nggak segampang mulutmu menganga,
Hendri hanya diam, dan ikut meratapi apa yang dihadapi oleh Erwin temannya. Hendri hanya berpikir, mungkin ini baru sebuah teguran, dan ia meyakini akan ada lagi, permasalahan lain yang akan menerjang.
Erwin meminta kepada Hendri untuk menginap diladang malam ini.
Sore pun berganti malam, setidaknya, malam itu tidak hujan dan membuat suasana tidak terlalu menyeramkan.
Hendri menikmati malamnya ditempat duduk yang ada diluar dengan kopi dan senandung lagu cinta dari radio miliknya.
Ya, hingga malam pun larut tidak ada tanda-tanda aneh yang muncul.
“Kok aku rak iso turu yo?”(Kok aku gak bisa tidur ya?) kata Hendri
“Podo ndri, ngopo yo, ndengaren”(Sama ndri, ngapa ya, tumben) jawab Erwin menyilangkan tangannya dikepalanya.
Erwin dan Hendri sama-sama melotot mendengar suara tersebut, dan berdiri.
Seakan sama-sama bertanya “ada apa?” tanpa saling mengeluarkan suara.
Satu
Dua
Tiga
Brak! Pintu terbuka
Tidak ada apa-apa, hanya suara angin yang kencang menghebuskan beberapa pohon
“Njok opo jal?”(Terus apa dong?) tanya Erwin penasaran, sembari mencari-cari, arah dari suara berisik.
Disamping itu, aku juga cukup sibuk dengan skripsi
Tapi, tenang saja, thread ini akan ttap aku lanjutkan
Besok ini aku akan update
Silahkan kanda dan dinda keliling dithread teman-teman yang lain untuk menemani malam kalian atau bisa membaca threadku sebelumnya
Sampai bertemu di malam minggu
“Jane opo toh yo?”(Sebenarnya apa sih?) kata Hendri sudah mulai kesal dengan suara tersebut. Kesal yang dicampur rasa takut.
“Yo mboh!”(Ya entah!) jawab Erwin.
“Win, kae opo?”(Win itu apa?) kata Hendri, lirih, seakan mengisyaratkan untuk tidak bersuara lebih keras.
“Opo?” tanya Erwin penasaran.
“Demit kui,” (setan itu) kata Erwin
Mengunci pintu gubuk dan meringkuk serupa orang yang sangat ketakutan.
“Opo kui Ndri? Aku wedi,”(Apa itu ndri? Aku takut) kata Erwin lirih
Tidak lama setelah itu, Hendri, kembali keluar dari gubuk untuk memastikan sosok tersebut masih ada atau tidak.
Hendri pun masuk kedalam gubuk dan mencoba untuk menenangkan diri, walaupun tidak akan sepenuhnya dapat tenang.
“Gendeng, ayene ngejek bali, beruange tangi caplok gulumu sokor,”(Gila, sekarang ngajakin pulang, beruangnya bangun, dimakan lehermu sukurin) jawa Hendri.
“Aku weroh sopo seng pernah berurusan karo iki Win, jenenge Pak Sam, Samto nak nggak salah jenenge,
“Hah, mikiri tanduran, nak wes ngene, kok wegah aku ngurusi,”
Di pagi harinya, tepatnya sesudah subuh, matahari sudah sedikit malu-malu menampakan dirinya. Hendri dan Erwin, mulai berjalan turun untuk kembali kerumah, berharap sampai rumah bisa tidur, karena memang
Dengan perasaan yang amburadul, Erwin dan Hendri perjalan cepat, dan tak lupa mengamati sekeliling mereka. Siapa tahu saja, ada Beruang yang sedang ngelilir.
Sesampainya dirumah, wajah bingung menyambut Erwin didepan pintu.
“Yo ko ladang toh, lah seko endi meneh, po yo rak nyawang, nggawani parang ngene,”(Ya dari ladang toh, lah dari mana lagi, apa gak lihat, bawa parang begini,)
“Seko ladang? Mangkat jam piro?”(Dari ladang? Berangkat jam berapa?)
“Mangkat pie, baru juga mulih,”(Berangkat gimana, baru juga pulang), kata Erwin. “Ngopo ee?”(Kenapa kamu?) tanya Erwin penasaran.
“Lah nak sampena seko ladang, terus sing mau mbengi mulih nggawe kopi njok ngeloni aku sopo mas?”
“Weh-Weh! Rak gawe-gawe koe dek, aku baru mulih, mau mbengi aku nginep karo Hendri, ngelindor opo koe?”(Weh-Weh! Nggak buat-buat kamu dek, aku baru
“Uduk mas, ora ngimpi aku yo, tenan, lah wong, jaremu aku kon nggorengke ubi mbarang mau mbengi,”(Bukan mas, nggak mimpi aku ya, benaran, orang katamu aku
“Opo?” Leni kembali bertanya.
“Iku, ora nggawe kuping toh,”(itu, nggak buat telinga kan?) tanya Erwin lagi.
"Yo ojo koyok e toh yo,"(Ya jangan kayaknya toh ya) jawab Erwin cemas, “Wes, ngko bar jikok anak, langsung mulih nang gene mamak yo,
Leni langsung mengemas beberapa pakaian untuk beberapa hari kedepan, Erwin juga sudah berkata kalau, untuk sementara saja Leni harus tidur
Leni kembali memutar ingatannya. Mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Mungkinkah ia bermimpi? Tapi tidak, ia merasakan pelukan yang cukup hangat tadi malam. Leni pun cukup meyakini,
Erwin, yang masih berada didalam kamar, mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, semakin dicoba malah semakin tidak bisa tidur. Pikirannya berkelana mengitari sudut kejadian yang telah terlewat.
Belum ada yang tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Mungkinkah ini sebuah efek samping dari perjanjian yang
(FYI : Karenakan kemisteriusannya, Uhang Pandak ini pernah menjadi penelitian National Geographic loh gaes, biar tahu aja, banyak kok yang buat artikel ini, kalau penasaran silahkan nggugling)
-----------------------------------
Erwin pergi menuju kekamar mandi, sekadar untuk menyegarkan kembali tubuhnya.
Sesampainya dirumah Hendri, ternyata Erwin sudah ditunggu oleh Hendri didepan rumahnya, -
“Sido?”(Jadi?) tanya Erwin sembari mendekat dan duduk disebelah Hendri.
“Ha yo sido, gari mangkat, tapi kosek, kopiku durong sat,”
“Mbok aku gawekno siji,”(Mbok aku dibuatkan satu) kata Erwin
“Nah iku masalahe, bojoku mau mbengi jarene dikeloni karo aku, jadi saiki dee tak kon moleh gene mamak,”
“Weh gendruwo mesti,”(Weh gendruwo pasti) kata Hendri menebak.
“Wes yok,”
“Ya yoklah”
Mereka berdua akhirnya pergi kerumah Pak Samto, menggunakan motor milik Erwin.
Ternyata cukup jauh rumah milik Pak Samto, dari rumah Hendri.
“Oh Pak Sam, iyo, lurus bae ke arah timur, nanti kalau ada rumah warna merah, nah itu rumahnyo, idak jauh dari sini,” kata pemilik warung menunjukan jalannya cukup detail.
Saat pintu rumah di ketuk, ada jawaban dari dalam rumah. Tidak ada yang aneh, seseorang dari dalam menjawab seperti mana biasanya orang kedatangan tamu.
“Benar ini rumah Pak Samto?” tanya Hendri dengan nada yang begitu sopan.
“Iya, itu saya sendiri, cari siapa ya dek?” kata orang tersebut yang ternyata adalah
“Perkenalkan saya Hendri, dan ini teman saya Erwin, kami ada perlu dengan bapak,” kata Hendri memperkenalkan diri mereka,
“Oh begitu ya, ya sudah silahkan masuk,” kata Pa Sam yang tampak bingung dan mempersilahkan Erwin dan Hendri masuk kedalam rumah.
“Ada apa?” tanya Pak Sam yang begitu sangat menyelidik.
“Begini pak,” pembicaraan pun diambil alih oleh Pemiliknya, Erwin.
“Oh, itu. Tunggu sebentar ya, biar aku buatkan minum dulu biar santai, duduk saja disini,” kata Pak Sam dengan sopan dan dengan logat khas Kerinci aslinya.
“Ayo di nikmati,” kata Pak Sam mempersilahkan, “Jadi begini ya dek,
“Loh, Maksudnya?” tanya Hendri menyelidik.
“Iya, bapak tidak pernah tahu bagaimana caranya, mau tanya pun kesiapa dek, dukun?
“Sebenarnya Uhang Pandak ini apa pak?” tanya Erwin tiba-tiba.
“Wah itu pun sampai sekarang bapak tidak bisa menjawab, ada yang bilang itu manusia, ada yang bilang hantu, tidak pernah ada yang tahu dek,”
“Begini, tadi sudah bapak katakan, intinya, uhang pandak ini,
Tidak ada jawaban atau perkataan lagi dari mulur Erwin dan Hendri ketika Pak Sam mengatakan hal itu kedua kalinya. Suasana pun menjadi canggung, hening,
“Maaf pak, boleh merokok kan ya pak?” tanya Hendri kepada Pak Sam, berusaha untuk mencairkan suasana agar tidak terlihat begitu canggung.
“Oh iya silahkan, ndak masalah, bapak pun merokok jugo,”
Hendri pun menyulut rokoknya, dan menghisapnya, kemudian menyeruput teh yang sudah dihidangkan oleh Pak Sam.
Terlihat ada kecanggungan antara Pak Sam dan Erwin, mungkin karena nada bicara Erwin yang meninggi saat ia terakhir berbicara.
Diperjalanan tidak ada satu katapun keluar dari mulut Erwin, ia hanya terdiam memikirkan bagaimana cara menghadapi uhang pandak ini.
“Win, koyok e jalan siji-sijine koe kudu ngedol ladang lah win, soale wes rak enek jalan meneh, koe kerungu toh omonge pak Sam mau, nak dukun pun bingong kudu pie,”
“Iyo ndri, njok bojoku wes keteror iki, pie metune,”(Iya ndri, terus istriku sudah diteror ini,
“Yo wes nak soal iku, serahke wae mbek gusti Alloh, nak menurutku yo, kejadian seng menimpa bojomu iku rak ono hubungane mbek wong pendek kae, opo yo mungkin wong pendek kerja sama karo gendruwo, kan yo ora koyoke,
Sehari setelah itu, Erwin pun menjempu istri dan anaknya untuk kembali dibawa pulang kerumah.
Erwin tidak berpikir lagi, entah ini berhasil atau tidak usaha ini, setidaknya ia sudah mencoba.
Namun, bedanya ada, Erwin membawa satu buah ayam yang sudah dimasak, (dibuat menjadi ingkung, nggak tahu deh nama aslinya apa, hehe)
Sesampainya diladang, memang benar, ladang miliknya sudah tidak lagi seperti sebuah ladang, melainkan seperti tanah lapang yang sangat rata. Ia hanya menghela nafas panjang.
Sore sebelum Erwin kembali kerumah, ia taruh ayam yang sudah ia siapkan, dan ia taruh didalam gubuknya.
Erwin pun pulang dengan langkah yang lega, dan kembali kerumahnya untuk bertemu dengan keluarga kecilnya, semoga tidak ada lagi kejadian semacam ini.
Setelah hari itu,
Beruntungnya, Ladang miliknya terjual, melalui perantara Hendri.
-Selesai -
Mungkin dari kanda dan dinda semua sangat kecewa dengan thread ini. Saya mengakuinya. Mulai dari update yang sangat lama, dan cerita yang mungkin saja tidak menarik dan tidak seram.
Aku Gusbrind, see you in the next story
Gusbrind sayang kalian, hihi.
___________________________________________________________
Jangan Ditunggu!!!!