My Authors
Read all threads
[MEREKA ADA DI SETIAP RUMAH]
Part 6

_A Thread_

#Ramadhan #EarthDay2020 #EarthDay
Aku berusaha menenangkan ibuku yang terus mengomel tanpa henti. “Mungkin jatuh ke bawah,” kataku sambil mengecek bagian bawah meja. “Jatuh apanya?! Barusan mau diambil, uangnya hilang begitu saja di depan mata!” bantah ibuku.
“Ya sudah, kita cari aja bareng-bareng. Paling juga diumpetin lagi,” ujarku pura-pura santai. Ibuku masuk kamar dan menangis. Mungkin ia sudah tidak tahan dengan semuanya.
Ayahku banting tulang setiap hari dari pagi sampai malam di Jakarta sebagai seorang wirausahawan, tapi penghasilannya di rumah malah selalu hilang begitu saja. Aku pun sebenarnya sedih, namun tak tahu kenapa, aku tak pernah bisa menangis.
Karena tahu ibuku sedang lapar, aku memasakan mie instan untuknya. Di dapur, aku juga sesekali mengecek beberapa spot, mungkin saja uang yang hilang tadi diumpetkan di sana. Setelah mie instan matang, aku memberikannya pada ibu namun makanan itu tak pernah disentuhnya.
Sepanjang sore, ia hanya sibuk menghitung uang yang ada di dalam dompetnya berulang kali, jadi agak seperti orang aneh menurutku. Berulang kali aku memintanya untuk makan, ibu tak memberikan respon apapun.
Kakak dan adik yang telah mencoba untuk mencari keberadaan uang yang hilang namun tak menemukannya pun juga berusaha menasehati ibu untuk makan, tapi tak satu pun dari mereka yang berhasil membujuk. Bahkan ketika ayah pulang dan membawa makanan dari luar, ibu tetap tak mau makan.
“Mungkin belum rezeki kita. Ikhlaskan saja,” kata ayah. "Kebutuhan keluarga kita banyak. Tiap hari kerja pun percuma kalau apapun yang didapat tetap tidak akan pernah menjadi rezeki kita.”Itu kalimat yang ibu ucapkan sebelum ia pergi tidur malam itu. Sedih juga mendengarnya.
Di keluargaku, semua anaknya masih mengenyam bangku pendidikan sementara hanya ayahku seorang diri yang mencari uang. Malam itu aku benar-benar berdoa pada Tuhan agar segala cobaan segera berakhir dan keluarga kami dapat bahagia seperti dulu.
Sesaat sebelum tidur, air mataku tak terasa menetes. Keesokan harinya, aku kembali pulang ke rumah pada sore hari sehabis kuliah. Di ruang tamu, ibu, kakak dan adikku sedang duduk terdiam.
Ada apa lagi ini, batinku. “Mbak, uangku hilang lagi 200 ribu,” kata adik kepadaku. Lututku langsung lemas. “Semalam pas tidur, aku simpan di bawah bantal untuk beli buku pelajaran di sekolah, paginya sudah tidak ada.”
“Sudah dicari?” tanyaku. “Sudah. Masih belum ketemu dari tadi.” Ya, hari-hari keluarga kami kehilangan uang ataupun barang kembali dimulai.
Terkadang kami dapat menemukannya di tempat yang tidak lazim, seperti laptop kakak-ku yang hilang di kamarnya dan ditemukan kembali pada hari yang sama di sela-sela tumpukan kardus barang di depan kamar tidurku.
Namun kami lebih sering tidak pernah lagi menemukan apa yang telah hilang. Beruntungnya, di keluarga kami, hanya akulah satu-satunya orang yang tidak pernah mengalami kehilangan uang ataupun barang selama tinggal di rumah tersebut.
Masalah kamera digital milikku waktu itu, aku menganggapnya hilang ketika dipinjam adik, jadi tidak hilang ketika aku yang menyimpannya. Ke depannya, aku akan sangat mengurangi porsi bahasan tentang uang ataupun barang yang hilang.
Karena fenomena tersebut akan terus ada di rumah itu hingga ke depannya, sedangkan masih banyak hal ghaib lain yang juga ingin aku share pada kalian. Beberapa hari kemudian di suatu sore, ibu sudah dapat kembali lebih ceria.
Ia sedang mencuci pakaian secara manual di teras rumah di depan kamarku. Di sana ada sebuah kran air dan tempatnya yang lebih luas dibanding kamar mandi di dalam kamarnya yang membuat ibuku jauh lebih sering untuk mencuci pakaian di sana.
Walau di rumah ada mesin cuci, ibu selalu memilih untuk mencucinya dengan papan penggilas karena katanya jauh lebih bersih. Siang tadi turun hujan, jalanan pun masih basah oleh sisa genangan air.
Matahari masih belum kembali menampakan wajahnya di petang itu, sementara bulan sebentar lagi akan menggantikan posisinya. Ibu masih terus mencuci, tumpukan pakaian kotornya menggunung karena sudah 3 hari tidak mencuci. Tidak biasanya ibu mencuci pakaian sampai semalam ini.
“Ellaaaa!” Aku dipanggil dan segera kuhampiri beliau. Ternyata seluruh pakaian sudah selesai dicuci dan ibu menyuruhku untuk menemaninya ke lantai atas area jemuran. Untuk mengakses area tersebut, kami harus menaiki tangga tanpa pegangan yang berada di luar samping rumah.
Di atas sana, tidak ada penerangan sama sekali. Lantainya hanyalah semen yang di-cor, tidak dilapisi lantai keramik, juga tak beratap sama sekali. Jadi bisa dikatakan, sinar bulan adalah lampunya dan langit adalah atapnya.
Begitu kami hampir sampai, hanya gelap mencekam yang dapat kami rasakan. Samar-samar, aku melihat ada sebuah tiang jemuran besar yang terbuat dari aluminium di pojok area tersebut. Di sanalah ibu akan menggantungkan hasil cuciannya. Dingin, gelap dan lembab.
Pantas saja ibu memintaku untuk menemaninya. Karena aku sendiri pun takkan berani untuk ke atas sana seorang diri. Aku duduk dekat tangga sambil menatap bintang-bintang di langit. Semilir angin malam menerpa wajahku.
Ah, sudah lama aku tidak merasakan hawa senyaman ini di dalam rumah. Indah juga pemandangan langit dari atas sana. Sementara itu, ibu menyanyikan sebuah lagu cinta lawas sambil terus menjemur.
Mungkin ia melakukannya untuk mengusir keheningan agar suasana tidak terlalu sepi dan menakutkan. Akhirnya ibu selesai menggantung seluruh cuciannya dan mengajakku turun. Baru kujejakkan beberapa langkah kaki pada anak tangga tiba-tiba terdengar bunyi yang mengagetkan kami.
“BRAKK!” Kami kembali naik ke atas dan mendapati tiang jemuran itu telah rubuh ke samping. Beberapa cucian tercecer jatuh ke lantai semen yg penuh debu dan kotoran. Ibu mengomel ketika mengetahui beberapa cucian yg baru dibersihkannya tersebut harus dicuci kembali karna terjatuh.
Dipungutinya ceceran pakaian basah dan dimintanya aku untuk membantu mendirikan kembali tiang jemuran yang rubuh itu. Berat, kami sangat kewalahan saat itu. Ketika kami berhasil, ibu kembali mengomel. Dan saat itu juga terdengar bunyi yang lain sehingga omelan ibu berhenti.
“NGROOK! GROOK!” Bunyi itu cukup kencang dan jelas, hampir seperti bunyi orang yang sedang mengorok tapi temponya cepat seperti orang yang sedang tersedak atau tercekik. Juga mirip suara babi hutan, menurutku.
Tak lama kemudian, tercium bau pesing menyengat yang dirasakan oleh kami berdua sehingga ibu memutuskan untuk mengajakku kembali turun. Belum sempat menapakkan selangkah kaki pun, entah dari mana, sejumlah batu kecil ditimpukan ke arah kami dan bunyi aneh itu kembali terdengar.
Kontan, kami pun langsung ambil langkah seribu dari tempat itu. Setelah kejadian tersebut, ibu tidak pernah lagi berani menjemur cucian pada malam hari.
Bahkan terkadang tiang jemuran sudah diturunkan pada sore hari dari lantai atas ke teras rumah jika memang berencana untuk menjemur pakaian pada malam harinya. Ada kejadian aneh yang juga berhubungan dengan ibuku yang sedang mencuci pakaian.
Pada suatu hari, adik perempuanku tidak masuk sekolah karena sedang sakit. Siang itu, adikku masuk ke dalam kamar orang tua dan melihat ibuku sedang mencuci pakaian di dalam kamar mandi di dalam kamar itu.
Posisi tubuhnya membelakangi adikku. Ketika dipanggil, ibu hanya menyahut tanpa menoleh, tangannya terus asyik mencuci. Adikku pun kembali berlalu setelah sebelumnya hampir tersandung tumpukan pakaian kotor yang berada di lantai.
Kamar orang tuaku ini memang dijadikan jalan pintas bagi kami semua karena letaknya yang berada di tengah rumah. Sebagai contoh, dari kamarku menuju ruang tamu, tentu harus jalan memutar dulu melewati ruang makan dan dapur di bagian belakang rumah.
Rute ini tentu jauh lebih efisien jika aku memotongnya dengan masuk ke dalam kamar orang tua lalu keluar melalui pintu yang satu lagi. Jika masih bingung, kalian bisa lihat denah rumah yang aku post di Cerita sebelumnya.
Jadi sebenarnya adikku lewat kamar itu karena hendak keluar rumah membeli obat. Begitu sampai di teras, ia keheranan karena lagi-lagi melihat ibuku sedang mencuci pakaian di pojok teras, spot yang sama dengan ceritaku yang sebelumnya.
Dihampirinya ibuku dan disinggungnya kejadian aneh yang baru ia alami tersebut. Ibuku berkata kalau ia dari tadi mencuci di teras dan belum kembali masuk ke dalam rumah sejak ia mulai mencuci.
Adikku langsung kembali masuk ke dalam kamar orang tua dan didapatinya ruangan tersebut tanpa seorang pun. Bahkan tumpukan pakaian kotor yang tadi hampir membuatnya tersandung pun kini sudah tidak ada lagi.
Satu hal janggal lagi yang ia sadari ketika itu, pintu kamar yang menuju ke ruang makan kini tertutup. Padahal ketika ia masuk ke dalam kamar, pintu itu sudah dalam keadaan terbuka dan ia juga tidak pernah menutupnya setelah itu.
Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu yang tiba-tiba dalam keadaan tertutup itu. Ketika ia buka, kalian sudah bisa tebak kelanjutannya. Itulah pertama kalinya, ada orang di rumah selain diriku yang mendengar bunyi ketukan misterius di pintu.
Saat itu, hanya adik dan ibuku yang berada di dalam rumah. Kakakku sedang bekerja karena sudah dapat pekerjaan, aku masih belum pulang kuliah, adik laki-lakiku yang kecil sedang pergi les dan ayahku masih di tempat kerjanya.
Ini kisah mistisku yang lain lagi. Sore itu aku baru selesai mandi di kamar mandi luar di dekat ruang tamu. Di depan kamar mandi itu ada tumpukan barang-barang yang disimpan dalam kardus.
Jumlahnya sangat banyak dan tersebar di beberapa bagian rumah karena sebenarnya itu merupakan kemasan barang dari rumah kami sebelumnya waktu pindahan dulu dan memang sengaja untuk tidak dibongkar lagi supaya memudahkan kami jika akan pindah rumah lagi nantinya.
Tumpukan kardusnya sendiri bervariasi, ada yang mencapai setinggi pinggang, bahkan ada juga yang melewati tinggi tubuhku. Waktu itu di salah satu tumpukan kardus yang setinggi dadaku, kulihat ada sebuah kipas sate yang tergeletak di atasnya.
Kipas sate ini merupakan kipas persegi dari anyaman bambu yg biasa digunakan oleh para penjaja sate ketika memasak dagangannya. Kipas ini pula yang sering keluarga kami gunakan ketika membakar daging kambing, ikan, cumi ataupun udang pada malam perayaan Tahun Baru dan Idul Adha.
Tak ada yang aneh dengan bentuk kipas yang kulihat waktu itu selain kenyataan bahwa benda itu sedang bergerak-gerak sendiri tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Aku pun lantas berteriak memanggil kakak agar ia juga melihatnya.
Saat itu di rumah memang hanya ada aku dan kakak-ku. Ia berlari ke arahku dan seketika itu juga kipas tadi berhenti bergerak. Ketika dilihatnya kipas sate itu tidak seperti keadaan yang aku teriakan sebelumnya, ia menganggapku hanya mengarang saja.
Lumrah, orang terkadang harus melihat atau merasakan sendiri baru ia akan percaya. Dan nampaknya, saat itu juga adalah waktu bagi kakak-ku untuk percaya.
Ketika ia hendak beranjak pergi dari tempat itu setelah sedikit berdebat denganku, kami berdua dibuat tertegun tatkala melihat kipas sate itu kini sedang beranjak melayang. Tak seberapa tinggi, namun kami dapat melihat dengan jelas bahwa kipas itu memang tengah melayang.
Mungkin sekitar 10 cm di atas tempatnya semula. Benda itu melayang dengan begitu tenang dan kemudian terdiam untuk beberapa saat diudara. Kami masih tidak bergeming.
Kemudian, PLAK! Kipas itu melesat berputar-putar dan terjatuh di lantai dekat dengan posisi kakak-ku sedang berdiri saat itu. Seperti ada yang melemparkan benda itu ke arah kakak-ku.
Otomatis ia pun langsung lari ketakutan keluar rumah sambil berteriak. Aku yang panik pun ikut meninggalkan tempat itu dan menyusul kepergian kakak-ku.
Para tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka masing-masing langsung berkumpul di depan pintu pagar rumahku karena mendengar teriakan kakak tadi. Banyak dari mereka yang tidak percaya penuturan kami dan kembali meninggalkan rumah dengan sikap apatis.
Namun ada sepasang tetangga yang nampaknya percaya, mereka mengajak kami untuk kembali masuk ke dalam rumah dan menunjukkan spot terjadinya hal mistis tadi. Sekembalinya kami ke tempat tumpukan kardus tadi, kipas itu sudah tidak lagi berada di lantai.
Benda itu telah kembali ke tempatnya semula. Aku kembali berusaha meyakinkan bapak dan ibu tua itu kalau tadi kipas tersebut masih berada di lantai ketika kami pergi lari ke luar rumah.
“Sudah, tidak apa-apa. Cuma mau kasih tahu kalau dia ada di situ,” ujar bapak itu kemudian. Kami yang masih kebingungan seperti orang bodoh menanyakan siapa “dia” yang sebenarnya dimaksud tadi. Bapak tadi tidak menjawab.
Isterinya menawarkan kami untuk bertandang ke rumah mereka dulu sementara menunggu orang rumah kami pulang jika kami terlalu takut untuk berada di dalam rumah saat itu. Namun kami menolak dengan halus.
Kami lebih memilih untuk menunggu orang rumah pulang dengan duduk di teras depan saja. Tiba-tiba sang bapak berkata lagi, “Wah, ramai juga ya rumahnya.” Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, serta sesekali ke atas juga ke bawah.
Bulu kuduk-ku langsung berdiri karena aku tahu apa yg sebenarnya ia maksud. Rupanya pasangan itu bukan tetangga dekat kami. Rumah mereka di gang belakang blok rumahku. Kebetulan mereka sedang melintas untuk pulang ke rumahnya saat para tetangga berkumpul di depan rumah kami tadi.
Setelah memberitahukan nama dan posisi rumahnya, bapak dan ibu tua itu pun pamit pulang. “Jangan ragu-ragu kalau nanti mau mampir,” kata sang isteri. Kami pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih.
Sore itu hingga malam, kami berdua duduk di kursi yang berada di teras rumah. Tak satu pun dari kami yang berani kembali masuk ke dalam dan berharap agar ada orang rumah lainnya yang segera pulang. Hati kami sedikit lega ketika melihat adik pulang.
Namun setelah mendengar cerita itu, ia pun takut untuk masuk dan menemani kami berdua untuk duduk-duduk di teras pada akhirnya. Kemudian ibuku pulang bersama adik laki-lakiku yang masih SD.
Walaupun nampaknya beliau juga takut, akhirnya kami semua berhasil diyakinkan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Malam itu, aku langsung masuk ke dalam kamar dan bunyi ketukan pintu langsung menyambut.
Aku tak lagi takut, aku sudah hampir terbiasa. Esok harinya, kipas itu hilang tak berbekas. Dan ke depannya kami pun membeli kipas yang baru.
Ini kisah yang lain lagi, terjadi beberapa minggu setelah kejadian pada cerita di atas. Tengah malam itu aku masih belajar menghapal untuk Test salah satu mata kuliah nanti siang. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil.
Aku pun keluar kamar dan berencana untuk menumpang di kamar mandi di dalam kamar mandi orang tuaku. Itu adalah kamar mandi yang terdekat dari kamar tidurku. Ketika pintu coba kubuka, ternyata dikunci.
Ya, memang harus untung-untungan. Terkadang memang orang tuaku mengunci pintu kamar ketika tidur, namun ada kalanya juga tidak ketika mereka lupa. Terpaksa aku pun harus menggunakan kamar mandi luar yang berada di dekat ruang tamu.
Sebenarnya aku paling malas kalau harus ke kamar mandi selarut itu, apalagi jika harus ke kamar mandi luar. Biasanya aku sudah sibuk bolak-balik ke kamar mandi menjelang tidur supaya tidak tiba-tiba ingin buang air kecil pada saat tengah malam seperti saat itu.
Mau tidak mau, aku pun harus menyusuri ruang makan dan dapur. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri ketika melintasi area dapur pada saat itu.
Aku pun terus berjalan perlahan-lahan karena ruangan yang sedikit remang akibat ada beberapa lampu yang memang sengaja dimatikan tiap malam sebelum keluarga tidur guna menghemat listrik.
Terutama di ruang tamu, terkadang kedua lampu di sana malah tidak dinyalakan sama sekali, namun biasanya lampu kamar mandi di dekat sana selalu dinyalakan sepanjang hari. Malam itu, hanya satu lampu yang dinyalakan di ruang tamu.
Walau agak gelap, aku masih dapat melihat dengan jelas segala sesuatunya. Sesaat ketika mendekati area parkir motor di dalam rumah yang harus aku lewati untuk dapat sampai ke kamar mandi, aku berhenti mematung.
Keluargaku memang terbiasa memarkir motor di dalam rumah. Ayahku suka was-was tiap kali mendengar di kompleks itu ada berita tetangga yang kehilangan motor yang sedang diparkir di luar.
Saat itu, kami memiliki 3 buah motor yang selalu diparkir di dalam rumah pada tiap malamnya. Namun bukan motor yang sedang di parkir itu yang membuatku berhenti mematung.
Melainkan sesosok makhluk ghaib berwujud bayi yang sedang tertelungkup di atas salah satu jok motor kami. Bayi itu sedang menatap ke arahku. Kepalanya botak, matanya bulat, tak berpakaian, persis seperti bayi manusia normal pada umumnya.
Yang membuatnya tidak normal adalah ketika ia sedang terus melihat ke arahku, senyum lebarnya tak pernah lepas dari wajahnya. Aku yg masih bingung dengan penglihatanku saat itu tetap terdiam saja di tempat, masih belum yakin benar apakah itu bayi sungguhan atau bayi jadi-jadian.
Aku baru yakin ketika bayi tersebut tertawa, “HE! HE!” Suaranya bukan suara seorang bayi melainkan suara laki2 dewasa. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri secara berirama sambil terus tertawa pelan. Aku yg sudah benar-benar ketakutan langsung kembali ke dalam kamar.
Niatku untuk buang air kecil tak dapat kusalurkan. Karena rasa sakit ingin buang air kecil yang harus aku tahan hingga pagi itu dan juga pikiranku yang sudah tidak bisa konsentrasi gara-gara penampakan tadi.
aku memutuskan untuk menyudahi belajar dan pergi tidur dengan tanggungan rasa yang sangat tidak nyaman harus kurasakan. Paginya, aku menceritakan hal tersebut pada orang tua dan mereka hanya merespon sekenanya.
Entah mereka percaya atau tidak. Namun yang pasti, mereka sudah percaya bahwa rumahku saat itu memang tidaklah beres. Sekitar dua bulan setelah kejadian itu merupakan masa Lebaran. Keluargaku berencana untuk mudik selama sepekan di Purwokerto.
Sebuah rutinitas yang keluarga kami lakukan tiap tahunnya. Namun tahun itu berbeda. Karena ketika keluargaku mudik akan ada dua acara yang diadakan oleh teman dekatku dan kehadiranku sangat diharapkan di sana, akhirnya aku memilih untuk tidak ikut mudik.
Ya, aku lebih memilih untuk menunggu rumah yang sudah banyak ‘penunggu’-nya itu seorang diri selama keluargaku pergi ke kampung halaman. Aku mungkin tergolong nekat namun saat itu aku juga memang sedang malas bepergian jauh.
Keluargaku yang khawatir sempat tak mengizinkan. Namun karena aku bersikeras, akhirnya mereka memenuhi keinginanku setelah berpesan agar aku harus dapat menjaga diri dan seisi rumah dengan sebaik-baiknya.
Namun keputusanku di kala itu ternyata harus dibayar cukup mahal dengan sejumlah pengalaman mistis yang tak pernah terlupakan.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Dongeng Sebelum Tidur

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!