S R C Profile picture
May 10, 2020 289 tweets >60 min read Read on X
---A Thread Horror
BEGU GANJANG

Mempersembahkan sebuah karya @deffrysrc see u on the story!

@bacahorror #bacahorror
Maaf atas keterlambatannya 🙏, malam ini mudah - mudahan kita kelarin cerita ini.
Halo semuanya,

Pada kesempatan kali ini saya akan
bercerita tentang "Begu Ganjang".

Based On True Story

Hati hati dalam membaca, mereka tidak hanya ada didalam cerita melainkan hidup berdampingan dengan kita.

See u on the story!
1. "Jun, nanti malam bisa gantiin aku ronda ga ? Aku kurang enak badan nih. Kalau bisa nanti aku sampein sama Toni yang bakal nemenin kamu jaga" pinta Sahat kepadaku dengan muka pucat dan suara begitu lesu.
2. Malam ini sebenernya giliran Toni dan Sahat namun karena Sahat sakit dan aku punya waktu senggang ya gpplah buat menggantikannya. "Kalau begitu lebih baik aku makan trus beli rokok sama stok kopi" ucapku dalam hati sambil beranjak ke dapur.
3. "Tok, Tok, Tok" "Juna" "Arjuna"
"Sebentar Ton" ucapku dari dapur mendengar suara Toni yang begitu khas bataknya. "Ton, kok cepet banget datangnya ?" tanyaku pada salah satu sahabatku sejak kecil. "Haha, cuma mengingatkan Jun, siapa tahu kamu belum dikabarin" jelas Toni.
4. "Oh, tadi sore sudah dikabarin Sahat kok" balasku dengan sedikit senyuman. "Oh kalau begitu sampai ketemu di pos ronda ya, aku mau kewarung dulu mau pinjem catur buat nanti malam" sembari pamitan sahabatku itu pergi ke arah warung yang tidak jauh dari rumahku.
5. Setelah makan, aku berbegas mengambil sarung dan senter tak lupa bawa termos, ya seperti biasa untuk buat kopi dari Tapanuli kesukaanku. Sembari berjalan ke warung, aku melihat sepasang kekasih yang sedang bertengkar, namun aku lewat saja tak menghiraukan perdebatan mereka.
6. "Buk, mau kopi Tapanuli seperempat, gulanya juga sama rokok kretek sebungkus" ucapku kepada pemilik warung yang sigap menyiapkan pesananku. Kulihat warungnya begitu sepi, tidak seperti biasa banyak yang nonkrong disini.
7. "Sepi banget ya" ucapku lagi, "Iya dek, dari sore orang sudah pulang, jadi sepi" jelas ibu pemilik warung itu. Karena semua belanjaan sudah disiapkan, aku segera melangkah ke pos ronda.
8. "Ton, cepet banget udah disini" ucapku kepadanya yang sedang bermain catur. "Tadi mau tunggu di warung tapi sepi, aku langsung ke pos ronda nunggu kamu" jelas sahabatku. "Yasudah ngopi dulu, kamu itu sudah kaya orang gila bermain catur sendiri" balasku dengan sedikit candaan.
9. "Ton, tadi sebelum ke warung aku lihat ada pasangan yang berantem ditengah jalan gitu, tapi kayanya masalah besar sih" sembari membuatkan kopi kubuka obrolan dengan Toni yang sedang menyiapkan papan catur.
10. "Oh, aku juga lihat tadi. Aku denger sih dari Marlina, cewe itu pendatang kebetulan tetangga kontrakan Marlina, trus ga tau hubunganya dengan cowo itu, dia suaminya atau bukan aku juga kurang tahu, lagian bukan urusan kita juga" balas Toni sedikit cuek.
11. "Nih, ngopss dulu biar santai haha, biar bisa ngalahin aku main catur" kusodorkan segelas kopi dengan sedikit candaan untuk merubah sedikit suasana. "Wah paling enak nih kopi Tapanuli kan ya ? Tau aja seleraku" balas Toni dengan senyuman kecil merubah raut wajahnya.
12. Sudah begitu lama kami bermain catur, udara juga semakin dingin. Pintu rumah warga rata - rata sudah tutup semua, warung yang sepi juga malam ini sangat cepat tutup tidak seperti biasanya bisa buka sampai subuh.
13. "Ton, jalan kemana dulu nih ?" tanyaku padanya sambil beranjak dari tempat duduk dan mengambil senterku. "Kita dari gang deket warung aja dulu, trus kita ke gang lapangan volly, terakhir ke arah rumah Sahat tembus kuburan sampai deh balik lagi ke pos ronda" jelasnya padaku.
14. Kami berdua berjalan beriringan, setiap sudut gang dan sudut kampung kami sorot dengan cahaya senter. "Aneh banget ya, ini malem kayanya dingit banget" ucap Toni di tengah perjalanan, "Iya mau kemarau kali" balasku pula menjawab Toni.
15. Memang biasanya kalau bulan setelah penghujan dingin sekali, pertanda musim kemarau dan ditunggu - tunggu petani desa karena sudah waktunya untuk panen hasil pertanian mereka. "Harus ekstra berjaga nih, kalau udah mau musim panen" ucap Toni.
16. "Ton, Ton, coba lihat itu. Siapa yang bawa cangkul ke arah kuburan malam begini ?" Aku menyenter ke arah seseorang yang sedang berjalan memasuki kuburan, "Siapa disana ?!" ucap Toni dengan nada tinggi, sejak dari dulu Toni memang anak yang bernyali hebat.
17. "Ton, gila aja main teriak" ucapku sambil menepuk pundaknya karena teriakannya itu menurutku salah. Namun Toni tidak menghiraukan perkataanku, malahan dia pergi berjalan ke arah kuburan dan dengan rasa takut kuikuti dia dari belakang.
18. "Itu orang Jun, bukan hantu lihat kakinya" jelasnya sambil mempercepat langkah kaki. "Ya orang sih orang, tapi ngapain ?" balasku sedikit penasaran, "Ayo kita samperin" ucap Toni sambil berjalan mendekat ke orang itu.
19. "Pak Wisnu ?!" sempat kaget dia sedang menggali tanah kosong dibawah pohon. Bisa dibilang itu adalah pohon keramat. Dan sampai sekarang baru dia sepertinya berani malam - malam begini kekuburan dan gali tanah kosong dibawah pohon keramat itu.
20. "Iya dek, ada apa ya ?" tanya pak Wisnu kepada kami berdua. Bodohnya, kami harusnya menanyakan hal itu kepadanya, ngapain malam - malam di kuburan trus lagi menggali tanah kosong di bawah pohon keramat lagi.
21. "Kita sedang ronda pak, trus ngelihat ada bapak membawa cangkul ke arah kuburan kemudian kita ikutin sampai bapak menggali tanah kosong itu, untuk apa ya pak ?" ucap Toni dengan sedikit nada tinggi menyatakan dia kesal dengan pertanyaan pak Wisnu.
22. "Oh ini saya sedang menguburkan 2 ekor ayam saya, baru saja mati. Takutnya kalau di biarkan dikandang yang lain bakalan ikut mati juga" jelasnya dengan sedikit mengarahkan mata kami ke keranjang yang berisikan ayam.
23. "Ya sudah pak, kita pamit dulu mau lanjut ronda. Kalau bisa secepatnya diselesaikan" ucap Toni sembari mengambil langkah pergi, "Kita duluan ya pak" tambahku pula mengikut Toni yang sudah berjalan duluan.
24. "Jun, aneh ya. Mau ngubur ayam saja sampai ke kuburan seperti ini. Kenapa ga di belakang rumah saja ?" tanya Toni setelah kita sudah cukup jauh dari kuburan. "Ntahlah aku juga tidak tahu, mungkin dia takut kena flu burung makanya nguburnya di tempat itu tadi" jelasku pula
25. Menganggap pernyataanku adalah hal yang wajar, Toni tidak melanjutkan lagi. Kami berjalan ke arah pos ronda. Ditengah perjalanan, kami melihat orang bertengkar dipinggir jalan. "Seperti pasangan tadi sore, ayo kita samperin Ton" ucapku membawa langkah menuju dua orang itu.
26. "Maaf mas, mba. Ada apa ya ribut2 ? Sudah saya pertahatikan mas dan mba ribut dari tadi sore" sembari bertanya aku menatap wanita itu, seakan mulutnya tidak bisa bergerak menjawab dan langsung disambar "Maaf juga, ini bukan urusan anda" balas mas itu kepada saya.
27. Niat sebagai penengah ternyata salah. "Sibuk sih ngurusin orang, ayo cabut ke pos ronda" ucap Toni merangkulku, tapi aku masih penasaran mata mbanya seakan berbicara jangan pergi, ya mau bagaimana cowonya sudah mengusir. Saya juga tidak mau mencari masalah, jadi saya tinggal.
28. "Allahhuakbar.." terdengar suara adzan subuh menandakan waktu berjaga kami sudah selesai. "Jun, bangun. Ayo balik" ucap Toni yang masih terjaga. "Oh iya, udh subuh. Sorry ketiduran Ton" jawabku dengan setengah sadar.
29. Beberapa hari kemudian, di desa kami dikejutkan oleh berita, "Ini memang sudah firasat buruk, mengapa aku meninggalkan wanita itu ?" aku bertanya pada diriku yang sangat merasa bersalah.
30. Dikontrakannya, ditemukan beberapa barang bukti seperti pil untuk aborsi dan beberapa lain untuk mengerok habis semua janin agar keluar. Begitu juga dengan dia yang ditemukan terkujur kaku, kehabisan darah, akibat aborsi.
31. Beberapa saksi sudah diseliki. Pak Wisnu pemilik kontrakan, Marlina sebelah kontrakannya, begitu juga dengan saya dan Toni memberikan sedikit tambahan kepada pak polisi kalau sebelum saya lihat wanita itu bertengkar dengan seorang pria.
32. Kasus ini diusut polisi dan pria itu masih jadi buronan, dan mungkin kematiian ini bisa diungkap dari penjelasan pria tersebut.

Dari penjelasan Marlina, ternyata pria itu adalah kekasih Lia (korban) yang sebelumnya sudah pernah bersetubuh dengan korban.
33. Putra kekasihnya Lia berujung menjadi buronan dari polisi, seluruh warga sampai sudut desa sudah diberikan himbauan kalau bertemu pria itu harap melapor, sembari polisi juga menyelidiki saksi lainnya.
34. Dari hasil penyelidikan data dari Lia tidak ditemukan, kontak keluarga yang dapat di hubungi pun tidak ada, yang mengharuskan Lia dikuburkan di pemakaman desa ini. Laporan kematiian ini pun disebar luas kebeberapa daerah ketika ada keluarga yang mencari, Lia sudah dikuburkan.
35. Malam ini aku berjaga dengan Sahat juga salah satu sahabatku sejak kecil. Memang di desa ini pemuda sangat antusias untuk menjaga keamanan, kadang ada warga yang punya rejeki memberikan gorengan atau kopi untuk pemuda yang berjaga.
36. "Udah lama Jun ?" tanya Sahat padaku yg tengah menghidupkan api. "Udah nih, gimana udah enakan ?" balasku bertanya karena tahu Sahat beberapa hari lalu sakit. "Udh kok Jun, ini aku ada bawa termos sama kopi" ucapnya sambil menyodorkan.
37. Ditongkrongan biasanya memang aku yang membuatkan kopi, seperti pembuat kopi profesional itu. Seperti kata beberapa orang juga, beda pembuatnya beda rasanya meski sama kopinya. Langsung saja kubuat 2 gelas kopi untuk kami berdua.
38. "Ngomong - ngomong kamu sudah tau belum wanita yang meninggal karna aborsi itu hat ?" tanyaku kepada Sahat. "Hussss, kita ga baik ngomongin orang ya sudah meninggal Jun" balas Sahat. Seketika angin berhembus, membuat suasana semakin dingin.
39. "Hisskk, Hiksssss" "Hikssss, hiksssss" "Mas tolong aku mas" "Mas, Hikss Hiksss"

"Hat, kamu mendengar suara tangisan itu ga ?" tanyaku kepada Sahat sembari mendekat karena takut.
40. "Iya Jun, aku denger. Kaya suara cewe" balasnya sambil menaikkan sarung yang di gunakannya. "Ish, merinding aku begini hat" balasku pula. "Mas tolong bayiku diambil" ucap wanita itu, tapi kami tidak tahu dia ada berada dimana.
41. "Siapa itu ? Tidak usah menakut nakuti" dengan sedikit nada tinggi, kuhempaskan rasa takutku. "Mas tolong, bayiku diambil" balasnya lagi. "Kamu ada dimana, gimana kita mau bantu, kamunya tidak kelihatan" balas Sahat pula yang sudah mulai kesal.
42. "Astagaaa" aku dan Sahat dikagetkan penampakan seorang wanita yang terbang ke arah ujung jalan. "Jun, kamu lihat itu ?" tanya Sahat meyakinkan pandangannya. "Aku lihat betul hat, wanita itu terbang. Itu bukan manusia" balasku sambil mendeket lagi ke Sahat.
43. Entah bayi yang mana dia bilang, kami sama sekali tidak tahu. "Hat gimana ini, apa kita pulang saja ?" tanyaku dengan dengkul yang sudah beradu dan bulu kuduk berdiri. "Sudah tidak apa - apa, toh kita juga tidak ganggu dia" balas Sahat meyakinkanku.
44. Beberapa saat kemudian, hantu wanita itu pergi entah kemana, akhirnya kita bisa tenang berjaga di pos ronda. Kami lanjut bermain catur untuk menghilangkan rasa takut yang menghantui hingga kabut mulai turun.
45. "Jalan Sahat" suruhku, melihat dia yang sudah mulai mengantuk. "Iya bentar, kok aku ngantuk begini ya. Ga kaya biasanya Hoaam..." ucap Sahat sambil menguap dan mengambil posisi duduk yang enak.
46. "Kalau begitu habis ini kita keliling, biar seger lagi" saranku kepadanya "Okay, siap" balasnya menerima tawaranku.

"Skakmat" teriak Sahat membuatku kaget. "Astaga, pake teriak segala" kataku sedikit kesal, "Yee, namanya juga orang menang" balas Sahat.
47. "Yasudah ayo keliling" ucapku memotong omongannya yang begitu besar. "Kemana dulu nih kita ?" Balas Sahat bertanya. "Kalau aku lebih setuju kalau kita lewat ujung jalan sana, terus melewati rumahmu, lapa.."
48. "Sudah kita lewat warung, trus lapangan volly, trus terakhir rumahku ke ujung jalan itu." Belum selesai berbicara, omonganku sudah dipotong oleh Sahat, dia mengambil jalan seperti yang aku lalui dengan Toni.
49. Perlahan kami pun berjalan, dari warung yang sudah tutup. Ke gang deket lapangan volly, suasananya begitu sepi. "Hat, tungguin. Kebelet kencing nih" pintaku pada Sahat yang memimpin jalan. "Kencing dekat rumahku saja nanti, tunggu sebentar lagi" balas Sahat menarikku.
50. "Hat, masa kencing disini. Ini kan kuburan" ucapku membantah suruhan Sahat. "Aku pinjam kamar mandi kamu saja hat" pintaku kepadanya. "Aduh kunci tinggal di pos ronda" jawab Sahat sembari mencari dari saku ke saku. "Sudah kamu kencing disitu saja, apasih yang mau ditakutkan"
51. Karena sudah tidak kuat, akhirnya aku mengalah dan kecing persis didepan kuburan. Sahat memang salah satu anak yang sompral dan tidak punya takut, karena sudah biasa tinggal di daerah ini jadi dia sudah biasa dengan hawa dan panggilan dari mereka yang sudah tidak ada.
52. "Bughhhh, eh setan setan" ketika aku kencing tiba - tiba ada jeruk bali yang terjatuh didekatku. Kulihat ke arah langit, terlihat banyak bintang. Langsung aku tersadar, "Dari mana jeruk bali itu ? SAHAT TOLONG" teriakku berlari ke arahnya.
53. "Huuhuhu, Hikss. Mass tolong" "Bayiku diambil, tolong aku mass"

Terdengar lagi suara rintihan tangis dari arah belakang. "Srius Jun, kali ini aku berani. Sepertinya yang ini penasaran" ucap Sahat. Bulu kuduk berdiri semua tanpa perintah mendengar suara tangis itu.
54. Kugelengkan sedikit leherku, dan kulirik menggunakan ekor mataku melihat kebelakang. "Astaga Hat, ini bu.. bu...bukannya Lia ?" tanyaku pada Sahat terbata - bata. "Lia matamu, lari bodoh" ucap Sahat lari meninggalkanku. "Maaf, aku ga bisa jangan ganggu aku" ucapku padanya
55. "MAS, AKU PERCAYA PADAMU HANYA KAMU YANG BISA TOLONG AKU" balasnya dengan nada tinggi, "Ii..iya ka..mu bisaa percaya padaku, tapi aku ga bisa perrcaya padamu" jawabku yang sudah mau terkencing lagi. "Hikss, mas tolong aku" dia mulai menangis lagi.
56. Karena rasa iba, aku berusah untuk membantunya "Kamu mati karna apa dulunya ?" tanyaku penasaran. "Aku dibunuh mas, bayi dalam perutku diambil Putra" jawabnya. "Kemudian ?" tanyaku lagi, "KALIAN PARA LAKI LAKI BAJINGAN, TEGA MERENGGUT KEBAHAGIANKU, TERLEBIH ANAKKU" teriaknya.
57. Akibat teriakannya, aku berlari sekuat tenagaku. Aku tidak kuat mendengar teriakkannya yang mendenging ditelinga.

"Hahhh, hah, hahhhh" kuatur nafasku yang sudah begitu lelah berlari menjauh dari wanita sialan itu, "mau ditolong malah marah" ucapku dalam hati.
58. "Sialan kamu, ninggalin aku" ucapku pada Sahat yang sudah duduk dipos ronda dengan sarungnya. "Untung ga dikejar sampai sini" ucapku pada Sahat.

Entah kenapa, Sahat tidak menjawab. Kupikir dia ketakutan dengan wanita itu tadi.
59. Sahat mendekat kepadaku, dengan tatapan kosongnya dia seperti mau berbicara sesuatu. "Mas, kenapa kamu lari ? Aku hanya meninta tolong kepadamu" ucap Sahat kepadaku. "Udhlah hat, gausa bercanda. Ga lucu" balasku.

"Tapi aku butuh bantuanmu mas" seketika wajah Sahat berubah.
60. Mukanya berlahan berubah, tangannya mulai dingin. Badannya berubah dengan pakaian putihnya.

"Astaga, ini bukan Sahat" langsung kuhempaskan tangannya, tanpa pikir panjang juga aku berlari ke arah warung didekat rumahku.

"Huft, apasalahku sampai dia mengikutiku ?" ucapku
61. "Hat, kamu kah itu ?" tanyaku pada seseorang yang berondok dibawah meja warung. "Iya, Jun" jawabnya gemeteran. "Ttaadiiii wanita itu datang ke pos ronda makanya aku lari kemari" jelas Sahat padaku. "Dia sudah pergi hat, keluarlah dari bawah situ" ucapku sembari membakar rokok
62. Baru kali ini aku melihat seorang Sahat ketakutan, seorang anak yang pemberani tiba - tiba nyalinya jadi ciut. "Jun, aku nginep di rumahmu malam ini ya. Aku takut pulang" pinta Sahat yang sudah duduk di sebelahku. "Nginep aja" balasku kasihan melihat Sahat ketakutan.
63. Kami putuskan kembali ke pos ronda untuk mengambil termos dan kunci rumah Sahat lalu kembali ke rumahku. Sesampai di rumah, aku melihat tatapan Sahat begitu kosong, seperti dia ketakutan sekali. "Hat kamu kenapa sih ?" kutatap matanya perlahan mengeluarkan ari mata.
64. "Nih minum" kusodorkan segelas air putih ke depan Sahat. Dia hanya terdiam, bahkan tidak meminum teh itu sama sekali. "Mungkin dia masih takut" pikirku

Kugelar tikar dilantai, dan kuambilkan selimut mengajak Sahat untuk tidur karna sebentar lagi sudah pagi.
65. Seperti banyak pikiran, dia tetap diam dikursi sambil meneteskan air mata. "Hat, tidur sebelah aku kalau kamu takut" ucapku sedikit kasihan kepada Sahat.

"Aku tidak akan memaafkan, orang yang sudah membunuhku" ucap Sahat dengan sedikit tatapan sinis kearah pintu luar.
66. "Hat, Sahat" seketika aku berdiri dan menggoncangkan badanya berharapa dia sadar dengan kata - katanya. "Kamu Sahatkan ?" tanyaku sedikit panik. "Sahat, sadar hat"

"Bughhh" seketika Sahat terjatuh ke pangkuanku. Dan kubaringkan dia, berharap besok pagi dia tersadar.
67. "Aaa, tolong. Maafkan aku" aku terbangun oleh teriakan Sahat. "Apa anak ini sampai terbawa mimpi ?" terlintas dipikiranku. "Haaat, Sahat" kugoyangkan badannya agar dia terbangun. "HHaaaaaaahhhh" dia menghela nafas begitu panjang seakan baru saja berlari sangat jauh.
68. "Nih minum dulu, sepertinya kamu mimpi buruk ya ?" tanyaku membuka obrolan yang masih subuh. "Iya, Jun. Aku selalu di kejar oleh wanita itu" jawab Sahat sambil meminum air yang kuberikan.

"Segitu dendamnya ya wanita itu ? Tapi kalau wanita itu dendam knp Sahat yg dincar ?"
69. Dari subuh, sampai pagi kami masih terjaga. Tidak ada obrolan lagi, kami berdua hanya terdiam.

Seperti berbuat kesalahan, muka Sahat seperti memelas ketakutan.

Sebenernya apa yang terjadi dengan Sahat dan wanita itu ?
70. "Hat mending jujur. Ada apa kamu dengan Lia ?" pertanyaanku langsung menembak ke inti, tidak mau bertele - tele. "Aaaaaa ?! Knp ?" seperti orang gugup dia bahkan bertanya balik kepadaku. Aku tahu dia sedang berfikir untuk mencari jawaban.
71. "Engga apa - apa kok Jun, aku hanya teringat. Kebetulan kemarin aku yang menguburkannya" ucap Sahat meyakinkanku.

Aku tahu memang yang mengubur wanita itu adalah Sahat, tapi tidak seperti biasanya. Pekerjaan inikan sudah lama ditekuninya sebagai tukang gali kubur.
72. Kembali terlintas dipikiranku, "kalau begitu kenapa Sahat tidak diganggu oleh arwah lain yang dikuburkan nya ?"

Karena tidak mau menyudutkan Sahat, aku pergi ke dapur untuk membuatkan kopi, dan menggoreng sisa mendoan kemaren malam.
73. Selesai kusiapkan, aku kembali ke ruang depan sambil membawa mendoan dan kopi. "Nih hat, minum dulu biar tenangin pikiran" ucapku sedikit menghiburnya.

Karena matahari sudah mulai terlihat kubuka pintu depan dan jendela agar udara pagi masuk.
74. "Jun. Maaf aku pulang dulu ya. Makasih hidangannya, aku juga sudah dikasih nginep" ucapnya terburu - buru pamitan dan meninggalkanku. Tidak ada rasa curiga, aku membiarkan dia pulang.

Kunikmati kopi dan udara pagi yang begitu segar, mengumpulkan tenaga untuk sore ini.
75. "Eh, kunci rumah Sahat" kulihat masih terletak diatas meja, aku bergegas berlari kecil melihat Sahat, ternyata dia sudah begitu jauh dan tidak terlihat lagi. "Yasudahlah aku sekalian aja kerumahnya melihat keadaannya" pikirku.

"Eh, mau kemana Jun ? tanya Toni disebrang jalan
76. "Ton, temenin ke rumah Sahat. Kuncinya ketinggalan" ajakku pada Toni. "Yasudah, aku sekalian ke rumah pak Wisnu, mau kekebun katanya dia panen hari ini" ucap Toni sambil membawa sabit dan air minum yang dikantingnya.
77. Bisa terbilang pak Wisny di desa ini adalah orang yang paling kaya, perkebenunnya begitu luas dan ternaknya juga begitu banyak. Kalau di desa ini rata - rata orang meminjam duit, bahkan pangan yang belum diolah seperti padi juga meminjam kepada pak Wisnu.
78. "Eh, Sahat dimana ya ? Rumah dia masih terkunci. Kirain bakal menunggu depan rumah" tanyaku pada Toni. "Mungkin dia ke rumah pak Wisnu, kebetulan kemarin juga dia ditawarin mau ngambil hasil panen pak Wisnu" jawan Toni meyakinkanku sembari membawa langkah ke rumah pak Wisnu.
79. "Pak Wisnu, Tok Tok Tok" beberapa menit kami memanggil dan mengetuk rumahnya tidak ada jawaban sama sekali. "Kemana ya ?" tanya Toni. "Entalah Ton, aku juga kurang tahu. Mungkin sudah pergi ke kebun" jawabku pada Toni.
80. Kami pun mulai berjalan ke arah kebun pak Wisnu, berharap bertemu dengan Sahat juga kasihan kunci rumahnya masih ada padaku.

"Sahat ?!" teriak Toni melihat Sahat tergelatak dijalan setapak. "Astaga, kenapa dia ?" tanyaku sambil mejulurkan jari telunjukku ke hidung Sahat.
81. "Ayo Ton kita bawa kerumahnya, dia cuma pingsan" ucapku sambil mengangkat Sahat. "Ngapain Sahat disini ?" tanya Toni penasaran. "Nanti saja kita tanyakan padanya, lebih baik kita angkat dulu" balasku, meskipun aku sedikit aneh dengan tingkah Sahat dari kemarin.
82. Sesampai dirumahnya, Sahat kami letakkan diatas kasurnya. Dan dengan sigap Toni langsung ambil air dan mempercikkannya ke muka Sahat. "Sahat, bangun" ucapku sambil menggoyang badannya, dia tak kunjung bangun. "Bagaimn ini Ton ? Dia ga bangun" tanyaku pada Toni sedikit panik.
83. "Sudah biarkan saja dulu, kita tunggu saja disini. Sebentar lagi dia bakalan bangun" jawab Toni meyakinkanku.

"Yasudah, kalau begitu aku ke dapur dulu mau masakkan dia makanan, mungkin dia lapar sampai pingsan begini" jelasku pada Toni.
84. Sembari memasak makanan aku bernyanyi kecil, namun aku heran seperti ada yang mengikuti suara nyanyianku. "Ton, kamu suka juga lagu yang ku nyanyikan ?" tanyaku pada Toni. "Lagu apaan ?" balas Toni balik bertanya. "Orang kamu baru ngikutin aku nyanyi" jelasku padanya.
85. "Ngigo kamu, masih pagi begini sudah mengada ngada. Mana ada aku nyanyi, denger saja tidak" balas Toni mematahkan omonganku. "Trus siapa yang ikut menyanyi kalau bukan kamu ?" tanyaku sedikit takut. "Setan kali" balas Toni. "Huss, mulut kamu" memberhentikan omonganya.
86. Setelah kusiapkan makanan, kuletakankan dimeja makan dan kututup dengan tudung saji. "Ton, kamu tidak jadi ke rumah pak Wisnu siapa tahu orangnya sudah disana" ucapku mengingatkan Toni. "Oh iya, sekalian saja kamu ikut mayan kerja sehari bisa beli beras dan rokok" ajak Toni
87. "Kalau Sahat gmn ?" tanyaku balik, "Sudah dia ga bakalan hilang, sudah gede juga. Nanti sore kita kemari melihatnya" balas Toni.

Ku tutup pintu rumah Sahat, dan kuikuti Toni yang sudah berjalan duluan.
88. Ternyata pak Wisnu seperti sudah punya firasat kalau bakal ada tamu yang akan datang, dia sudah menunggu didepan rumah dengan segelas kopinya. "Pak Wisnu" sapa Toni dengan sedikit senyuman kecil, beginilah mau menjilat kepada pak Wisnu, tingkah Toni langsung ramah.
89. "Eh ada kalian berdua, gimana mau ngikut ngambil hasil panen ?" sambut pak Wisnu. "Iya nih pak, kebetulan saya bawa Arjuna yang mau ikut juga pak" jawab Toni. "Kalau begitu selesai makan siang, kalian kemari lagi, saya kebetulan baru pulang dari kebun" perintah pak Wisnu.
90. "Yasudah pak, kalau begitu kita pualng dulu ngumpulin tenaga" balasku dengan sedikit candaan sok akrab kepada pak Wisnu. "Ya sudah" dengan senyuman dia mengakhiri pembicaraan. Kami pun pamit dan pulang ke rumah masing - masing.
91. Bergegas aku menuju dapur, mempersiapkan makanan dan bekal untuk nanti sore, siapa tahu masih laper bisa makan dikebun.

Setelah makan siang selesai, aku membawa seperti keranjang untuk tempat makanan dan minuman serta senjata untuk bertempur di kebun pak Wisnu.
92. "Ayo Ton" ajakku kepada Toni yang sudah menunggku di depan rumahnya. "Lama kamu, bisa ke sorean nanti kita pulang dari kebun" balas Toni sambil jalan beriringan denganku.

Karena takut terlambat, kami sedikit mempercepat langkah agar cepat sampai dirumah pak Wisnu.
93. Sesampai dirumah pak Wisnu, sudah ada juga beberapa warga yang ikut membantu pak Wisnu untuk memanen hasil pertaniannya.

Perlahan, pak Wisnu memimpin langkah menuju kebunnya.
94. "Cok, cok, gila banget lahannya seluas ini. Bisa - bisa 2 minggu baru kelar" ucapku pada Toni. "Ini yang kita tunggu tunggu, stok beras sama rokok bisa panjang" balas Toni.

Setelah pak Wisnu menjelaskan teknisnya kepada kami dan beberapa warga, kami langsung mengeksekusi.
95. "Jun, menurut kamu lahan seluas ini apa ga bakal dimaling orang ya ?" tanya Toni padaku sembari bekerja. "Wah, menurut aku sih pasti ada saja orang yang bakal mencuri. Apalagi ga akan terkontrol lahan seluas ini Ton" balasku.
96. Mungkin pak wisnu mendengar obrolan kami, tatapannya berubah menjadi sinis. "Kali berdua coba kemari" panggilnya dan membawa kami berdua ke pendopanya.

"Kalian berdua nanti malam ronda ga ?" tanya pak Wisnu. "Tidak pak" ucapku. "Kalau begitu kalian berdua nanti malam jaga"
97. "Jaga apa pak ?" tanya Toni, "Ya jaga kebun ini. Kalian nanti malam kontrol kebun ini agar tidak ada maling yang datang" jelas pak wisnu "Rokok sama kopinya gmn pak ?" sahut Toni seakan setuju, padahal aku belum memutuskan. "Ambil saja dirumah saya" jawab pak Wisnu cepat.
98. Karena sudah dapat tawaran seperti ini, aku juga tidak bisa nolak karena menolak rezeky itu pantang.

Kami melanjutkan, pekerjaan kami mengambil hasil panen. Tidak terasa hari sudah hampir sore, hasil kerjaku hari ini sekitar 11 karung, begitu juga dengan Toni unggul 2 karung
99. "Jun, penuhin 15lah baru kita pulang, lagian orang - orang juga masih istirahat di pendopo" pinta Toni karena memang tanggung aku pun setuju dengan Toni.

Matahari yang semakin menguning pun tidak kami hiraukan, kami bantai terus sampai matahari tenggelam dan penuh 15 karung.
100. Warga selaian kami berdua sudah pulang, sedangkan pak Wisnu masih mengangkat karung - karung yang sudah penuh ke tanah yang agak lapang dan ditutupi terpal agar tidak terkena hujan dan dimakan tikus. "Pak, kita udh kelar tuh 15" ucapku pada pak Wisnu.
101. Tidak sampai disini, ternyata kami harus membantu pak Wisnu untuk memindahkan beberapa karung. "Waduh, semakin malam kita pulang ini Jun" ucap Toni sedikit mengeluh karna sudah lapar. "Gpp, sebentar lagi juga selesai" ucapku menyemangati Toni.
102. Sudah begitu malam, kami baru saja menyelesaikan pekerjaan. Kami bertiga akhirnya pulang, hanya cahaya minim dari senter pak Wisnu membuat kami langkah kami begitu lambat. "Kalau kita motong dari kuburan kalian berani tidak ?" tanya pak Wisnu menatap kami.
103. "Dari situ saja pak, saya sudah lapar mau makan" ucap Toni yang sudah dari tadi mengeluh lapar. Aku teringat dengan wanita itu, pindah ke tengah - tengah antara pak Wisnu dan Toni. Sedikit takut sih, apalagi dengan teriakan wanita itu.
104. Sudah ketebak pasti bakal ada kejadian aneh ketika melewati kuburan dan pohon keramat ini.

"Hihihi, Ckihikhikihik" suara ketawa dari sebelah pohon keramat, dia tidak menunjukkan wujud namun memperlihatkan tawanya yang menyeramkan.
105. "Jalan saja terus, jangan lihat keatas" ucap pak Wisnu mengingat kan kami agar tidak melihat ke sumber suara. "Baik pak" jawabku sambil mendekat mengikuti irama langkah pak Wisnu semakin cepat.

"Ayo Ton, cepetan" ucapku pada Toni yanh sudah cukup tertinggal di belakang.
106. "Ton, Ton, Toniii" panggilku pada Toni yang sudah tidak ada lagi dibelakangku. "Kemana anak itu ?" tanya pak Wisnu. "Tidak tahu pak, mungkin ketinggaln dibelakang" balasku dengan sedikit kepanikan.

"Yasudah kamu jalan duluan bawa senter ini. Tunggu saya dirumah" perintahnya
107. "Taa...tapi pakk" belum sempat berbicara, omonganku langsung di potong oleh pak Wisnu. "Ikuti saja perintah saya, jangan membantah" ucapnya dengan sedikit nada tinggi.

Aku pun berjalan sendiri, diselimuti rasa takut, tempo kakiku semakin cepat melangkah.
108. Dengan rasa panik, aku tidak tahu apa yang kuinjak, apakah itu jalan setapak, atau kuburan tidak dapat lagi kubedakan. Aku terus melangkah.

"Bugh" suara itu seperti seseorang sedang menimpuk dari atas. Kulihat ke benda itu jatuh ke dekatku. "Aa ?! Jeruka bali ?" aku kaget
109. Apakah wanita itu bakalan datang diwaktu seperti ini ? Tanyaku pada hati kecilku. "Hiks Hiks" suara tangisannya terdengar ditelingaku.

"Mas tolong aku, Bayiku diambil" dengan pinta yang sama, aku masih sangat bingung siapa yang ambil bayi dari perempuan ini.
---Istirahat bentar ya pegel 🙏
110. Kucoba menghiraukan permintaan dari wanita itu aku lanjutkan langkahku dengan sedikit berlari kecil. Aku tahu, berjalan melewati kuburan bukanlah saran yang tepat, apalagi malam begini.

Heran saja dengan pak Wisnu yang sangat berani, bahkan tanpa ada penerangan.
111. "Kamu harus menolongku" wanita itu berusahan menarikku ke arah pohon kemarat. Tenaga dia lebih kuat, bahkan kakiku tidak dapat menahan pijakan ketanah sehingga aku seperti terbang sambil ditarik.

"Cepat, tolong aku !" teriaknya dengan sedikit nada tinggi.
112. Sesampai di pohon keramat, aku langsung dihempaskan hingga badanku membentur pohon itu. Rasa sakit yang kurasakan sudah dikalahkan oleh rasa takut. Aku tidak tahu apakah malam ini aku bakalan mati ketakutan akibat wanita ini. "Apa maumu ?" tanyaku padanya.
113. "TOLONG AKU!!!" ucapnya, mungkin pertanyaanku membuat dia marah. "Arjuna, lari jangan dengar wanita itu" teriak Sahat dari pinggir jalan. Aku lebih percaya kepada Sahat sebagai temanku, kuambil kerangjang dan senter lalu aku berlari ke pinggir jalan.
114. Namun usahaku sia - sia, wanita itu menarikku kembali ke pohon keramat itu. "Jangan coba berlari dariku, aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kamu menolongku !!!" teriaknya kembali. "Aku tidak akan menolongmu, kita beda alam, tolong pergi dari hidupku" ucapku
115. Entah kata - kataku ini adalah anti dari wanita itu. Tiba - tiba dia pergi menghilang. Langsung ku ambil senter dan keranjang lalu berlari ke arah, Sahat sahabtku.

"Kreeek" suara kayu patah itu mengalihkan pandanganku ke arah pohon kemarat.
116. Kulihat seseorang bersembunyi kebelakang pohon, seperti melihat pergerakanku memerhatikannya dia langsung berlari menjauh. "Sahat kamu kok bisa ada disini ?" tanyaku penasaran. "Sudah, yang penting kamu selamat. Mari kita pulang" ajaknya dengan nafas tergesa - gesa.
117. Sesampak dirumah Sahat, aku merasa lega sedikit dari drama di kejar - kejar oleh wanita penasaran itu. "Hat, kok kamu bisa tahu aku ada disana ?" tanyaku membuka obrolan. "Itu kebutukan saja, aku punya firasat kalau kamu dalam bahaya" jawabnya seperti ada yang ditutupi.
118. Meskipun Sahat sahabatku, tapi aku masih menyimpan rasa curiga kepadanya. "Aku mau ke rumah pak Wisnu dulu, siapa tahu pak Wisnu dan Toni sudah kembali, tadi kami bertiha terpisah dijalan akibat Toni ketinggalan" jelasku pada Sahat, "Hahh ?!", "Knp hat ?" tanyaku lagi.
119. "Engga, gpp kok" jawab Sahat sedikit mengelak padahal aku sudah tahu di sedang menyumbunyikan sesuatu. "Kalau gitu aku pamit dulu ya hat" sembari beranjak dari rumah Sahat, aku kembali berlari. Berharap Toni dan pak Wisnu sudah ada di rumahnya.
120. "Bu, Citaa..." "Tok, Tok, Tok"
"Sebentar" ucap bu Cita dari dalam rumah. "Maaf bu mengganggu malam begini, apa pak Wisnu udah pulang dari kebun ?" tanyaku pada istri pak Wisnu ini. "Sudah pulang, lagi ada dikamar mandi" jawab bu Cita.
121. "Kalau Toni ada disini ga bu ?" tanyaku lagi, "Engga, Toni tidak ada kemari" balas bu Cita. Lah padahal kan pak Wisnu menyuruh aku untuk menunggu dirumahnya, "Apa Toni dan pak Wisnu berpisah dijalan ketika mau pulang ? tanyaku dalam hati sungguh penasaran.
122. "Yasudah kalau begitu saya pamit dulu bu" setelah pamit tanpa menunggu penjelasan dari pak Wisnu aku langsung menuju rumah Toni. Ditengah perjalan kulihat Marlina, "Lin, kamu ada lihat Toni tidak ?" tanyaku mencari informasi. "Kata ibunya Toni pergi ke kebun" jawab Marlina.
123. "Kapan perginya ?" tanyaku lagi, "Tadi siang sih" "Makasih ya" segera aku meninggalkan Marlina dan pergi ke rumah Toni.

"Tante.. tante.." panggilku kepada ibunya Toni. "Ada apa dek Juna ?" tanya ibunya Toni padaku. "Bu, Toninya sudah pulang belum ?" tanyaku lagi memastikan
124. "Bukannya Toni pergi bersama kamu, mau mengambil hasil panen dilahan pak Wisnu ?" tanya balik ibu Toni padaku. "Iya bu, cuma tadi pas mau pulang, Toni ketinggalan di kuburan karna lewat jalan potong"
jelasku pada ibu Toni.
125. "Bruuuggghhhh" foto Toni yang menempel di tembok tiba tiba jatuh, apakah ini pertanda buruk ? terlintas pertanyaan konyol ini dikepalaku.

"Astaga, ada apa ya dengan Toni ? Ibu jadi tidak enak hati. Apa Toni baik - baik aja ya ?" perasaan panik mulai muncul dari ibu Toni.
126. "Tante tenang dulu, saya coba ke rumah pak Wisnu" ucapku sedikit memberikan harapan kepada ibunya Toni. Dengan sedikit tergesa aku lari lagi ke rumah pak Wisnu.

"Pak Wismu, Bu Cita" "Tok, Tok, Tok"
kuketok pintu rumah mereka dan memanggil dengan sedikit nada tinggi.
127. Kebetukan, pak Wisnu yang membuka pintu jadi langsungku tanyakan "Pak, Toni dimana ?" aku yang sudah lelah, tidak mengenal lagi namanya halus dalam berbicara, dengan sedikit bentakan pertanyaan yang ku berikan sedikit menekan pak Wisnu.
128. "Toni hilang, saya tidak tahu dia pergi kemana. Karena saya dikejar oleh seorang wanita akhirnya saya pergi tidak mencari Toni lagi" jawab pak Wisnu dengan enteng tanpa ada rasa pertanggung jawaban terhadap pekerjanya. Pernyataan pak Wisnu membuat saya sedikit kesal.
129. Tanpa pamit aku langsung ke rumah Sahat. "Tok, Tok, Tok" "Hat, kamu didalam kah ? Tolong buka sebentar hat" ucapku dengan nada tinggi sedikit. "Sebentar" teriak Sahat dari dalam rumah sambil membuka pintu. "Bagaimana Toni ?" tanya Sahat penasaran.
130. "Toni belum ketemu hat, kamu mau tidak membatu aku untuk cari Toni ke tengah pemakanan ?" aku berharap temanku ini mau membantu tapi jawabnnya sangat membuatku kecewa. "Maaf, aku ga bisa Jun, kamu cari dengan warga yang lain saja" ucap Sahat sambil menutup pintunya.
131. Berasa ditolak, aku langsung ke pos ronda. Berharap anak anak yang sedang ronda bisa membantu.

"Aldi, Alex tolong bunyikan pentung itu. Toni sepulang dari kebun pak Wisnu belum ditemukan sampai sekarang, mungkin Toni tersesat di pemakanan" ucapku dengan nafas tergesa - gesa
132. "Tung, tung, tung, tung, tung, tung, tung, tung" suara pentungan sudah dibunyikan, perlahan warga berdatangan ke pos ronda. Karena beberapa warga sudah berkumpul maka kubuka dengan kronologi kejadian serta terakhir Toni terlihat.
133. Setelah mendengar penjelasan dariku ada beberapa warga yang mau membantu, dan ada juga yang pulang karena masih punya kerjaan dirumahnya masing masing.

Perncarian mulai kita lakukan dari sebelah rumah Sahat. Kita sisiri satu persatu kuburan.
134. "Toni, Toni, Toni" teriakan dari Aldi dan Alex begitu juga para warga sangat bersemangat untuk mencari, berharap bisa menemukan Toni.

Setelah beberapa jam mencari, kami tidak menemukan apa - apa. Hanya lelah yang kami dapat.
135. Karena tidak puas, aku pinta kepada warga untuk mencari dari arah kebun pak Wisnu, sampai ke pohon keramat sembari berjalan pulang.

Para warga pun setuju, mengingat ibunya Toni yang sudah panik mendengar anaknya hilang di area pemakaman malam malam begini.
136. Bermodalkan senter dan nyali, kami mulai menyisiri dari kebun dan berakhir dipohon keramat.

Beberapa warga sudah menyerah kalau bisa besok saja dilanjutkan pinta para warga. Karena seperti itu, aku pun ke rumah Toni, memberi kabar kalau Toni belum ketemu sampai saat ini.
137. Tangisan ibu Toni begitu sedih, anak satu - satunya harus hilang di tengah area pemakaman. Dengan sedikit usaha memberi harapan, aku mengatakan kalau Toni pasti baik - baik saja. Berharap ibunya dapat lebih tenang dan beristirahat.
138. Pada malam ini aku tidak bisa tertidur dan masih terjaga. Kulihat ibu Toni sudab tertidur kecapaian akibat menangis semalaman.

"Mas, kalau kamu tolong aku. Aku bakal bantu nemuin Toni" terbisik suara halus itu ketelingaku.
139. Sebenarnya aku takut, apalagi berhadapan dengan wanita itu. Dia begitu agresif bahkan bisa - bisa dia menyerangku seperti tadi malam, tapi aku berpikir lagi, mungkin kali ini bisa berjalan dengan baik.

"Baiklah, aku akan membantumu" ucapku pada wanita itu.
---Istirahat bentar pegel 🙏
140. "Sekarang ikut denganku, ke pohon keramat" bisik wanita itu mengarahkanku. Melihat situasi sepertinya tidak ada orang, "Jadi sekarang aku harus ngapaian ?" tanyaku pula kepadanya, "Kamu gali bekas tanah yang baru dikubur itu" bisik wanita itu memerintahku.
141. "Hey, sedang apa kamu ?" teriak pak Wisnu mengagetkanku. Aku tidak tahu harus menjawab apa, seperti maling yang tertangkap basah aku tidak dapat membuat alasan lagi untuk mengelak.

"Aku sedang mencari Toni" ucapku pada pak Wisnu dengan nada tinggi.
142. "Jangan sampai nasibmu sama seperti Toni dan Lia, akan ku buat kamu sengsara. Aku tahu Lia yang sudah menyuruhmu kemari" ucap pak Wisnu mengancam.

"Cepat tinggalkan tempat ini, aku tidak kuat untuk menahan ilmu dari pak Wisnu" bisik wanita itu.
143. Dengan perlahan aku mundur, menjauh dari pohon keramat itu. Tidak ada pergerakan dari pak Wisnu aku langsung berlari ke arah rumah Toni. Sekarang aku tahu, apa sebenernya yang disembunyikan oleh pak Wisnu di pohon keramat yang dilindunginya.
144. "Baiklah Lia, sekarang aku ada dipihakmu. Tinggal bagaimana kamu memberikan informasi padaku, akan aku bongkar semua kodok mereka" ucapku dalam hati.

"Aku senang kalau kamu percaya denganku, akan kutuntun kau untuk membongkar ini semua" balas wanita itu membisikannya
145. Setelah pagi hari, kembali kukumpulkan warga untuk mencari Toni kamu sisir dari daerah kebun sampai ke arah kuburan keramat.

Kuminta bantuan dari Lia, agar memberi tahuku dimana seksrang posisi Toni sekarang.

"Toni ada dibalik pohon keramat itu" bisik Lia kepadaku
146. Agar tidak ketahuan dari warga kalau, aku menuntun mereka untuk menyisiri dengan cepat. Hingga sampai ke pohon kemarat.

"Toni ada disini" teriak salah satu warga. Kami semua pun berlari ke arah sumber suara.
147. Bekas cekikan dileher Tony, dan begitu juga dengan bagian dada Toni, terlihat seperti ada bekas tangan yang menghambil jantung Toni secara paksa menggunakan jari dan kuku yang begitu sangat tajam. Terlihat juga dari cekikannya, banyak bekas cakar pada leher Toni.
148. Nasibnya Toni sunggu tidak baik, kulihat keranjang yang dibawa Toni seperti hasil panen pak Wisnu.

"Tony meninggal karna mencuri, itu adalah pantangannya, karena dia menjaga itu" bisik wanita itu padaku

Kami segera menggotong Toni untuk dibawa kerumahnya.
149. Sesampai dirumahnya, tangis dari Ibu Toni semakin keras melihat keaadaan anaknya yang meninggal terbunuh oleh akibat makhluk sial.

Kujelaskan semua pada ibu Toni, "Cepat atau lambat ini bakalan aku bongkar siapa dalang dari semua ini, tunggu saja."
150. Beberapa warga yang melayat bahkan tidak kuat melihat keadaan Toni, sampai ada yang muntah. Mengenaskan sekali memang kematian sahabatku ini, membuat luka yang tidak dapat dibayar.
151. "Jun, sini sebentar" panggil Sahat yang ternyata sudah datang untuk melayat. Dia akan menjelaskan semua yang terjadi di pos ronda. "Aku tunggu setelah penguburan Toni" ucap Sahat pergi meninggalkanku.
152. Kematian Toni tidak bisa di ungkap polisi sebab tidak ada saksi mata ketika Toni meninggal, melihat dari ciri - ciri kematiannya polisi menganggap ini ulah binatang buas. Olah TKP pun dilakukan tidak ada bukti yang ditemukan.
153. Sebenarnya aku ingin mengangkat perkataan terakhir pak Wisnu, kalau dia yang menghabisi Lia dan Toni tapi itu semua tidak bisa karna aku tidak punya bukti. Bisa - bisa aku yang dipenjarakan pencemaran nama baik.
154. Keesokkan hari, penguburan Toni pun dilakukan semua warga ikut membantu, "Selamat jalan teman, aku harap bisa mengungkap kematianmu" ucapku dari dalam hati yang telah hancur berkeping keping.
155. Setelah penguburannya, semua warga pulang kerumah masing - masing. Aku dan Marlina masih menemani ibu Toni, menangis dalam kepergian anaknya. "Sudah bu, kita pulang ya. Mudah mudahan Toni bisa hidup tenang di sisi-Nya" ucapku sambil merangkul.
156. Sampai dirumah ternyata ibu Toni masih belum bisa merelakan kepergian anak kesayangannya, dia selalu menatap foto Toni dan mengusap wajah Toni di foto itu.

"Marlina tolong siapkan makan malam" pintaku pada Marlina.
157. Sudah disiapkan, jangankan menyentuh dilirik pun tidak. Aku khawatir, kalau begini terus takutnya ibunya Toni sakit. "Tante, ayo makan dulu. Kalau tante sakit, mungkin Toni bakalan kepikiran disana" ucapku membujuk agar beliau mau makan.
158. Sedikit demi sedikit kusuapi, hingga dia mau makan. "Tante, kalau kangen sama Toni anggap saja aku jadi anak tante" ucapku sambil meneteskan air mata, merindukan sosok seorang ibu. "Bener tante, aku juga mau jadi anak tante" tambah Marlina.
159. Setelah makan, kuantarkan ibu Toni ke kamar, "Tolong kamu temani dulu ya, kalau bisa kamu tidur disini dulu" pintaku pada Marlina. "Iya Jun, aku juga berpikiran seperti itu" balas Marlina setuju denganku.
160. Mengingat janji dengan Sahat, langsung aku berpamitan dengan Marlina. "Jangan di tinggal dulu ya, aku mau ketemu Sahat ada yang mau dibicarakan" ucapku meinggalkan Marlina.
161. "Dion, Sahat ada disini tidak ?" tanyaku pada Dion yang sudah ada di pos ronda. "Belum datang, mungkin masih masak air. Soalnya tadi sore aku nitip termos" ucap Dion. Mendengar penjelasannya aku akhirnya menunggu Sahat sambil bermain catur.
162. Sudah hampir setengah jam aku dan Dion bermain catur, Sahat tak kunjung datang ke pos ronda. "Eh kok ga datang datang ya ?" tanyaku pada Dion, "Ayo main sekali lagi, nanti juga dateng" balas Dion. Menuruti permintaannya akhirnya kami melanjutkan bermain catur.
163. Sudah hampir larut malam Sahat pun tak kunjung datang, karena tidak enak mau meninggalkan Dion, aku berdiat menemani sampai adzan subuh di pos ronda. Berbeda kali ini, kami tidak pergi keliling. Desa yang baru ditinggalkan oleh seorang pemuda pemberani membuat kami takut.
164. Aku kembali kerumah untuk mandi dan berganti pakaian lalu kembali ke rumah Toni, untuk melihat bagaimana keadaannya.

"Tok.. Tok.. Tok" "Marlina" dengan nada pelan kucoba untuk membangunkannya.
165. "Sreekk, Ngeeekk" pintu terbuka, kulihat ibu Toni yang membuka pintu. "Maaf bu, habis ronda baru pulang" ucapku pelan sembari melihat Marlina yang tertidur diruang tengah. "Tidak usah dibangunkan, dia kecapean" ucap bu Toni melihat arah pandanganku.
166. "Baik tante" balasku pula sambil menutup pintu, ibu Toni langsung pergi kekamar lagi, mungkin masih mengantuk. Aku duduk persis didepan Marlina, kubuka sedikit jendela agar angin pagi masuk ke dalam rumah, lalu langsung aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan.
167. Pertama ku masak air, setelah itu kubuatkan teh lalu kuantar kekamar ibu Toni. "Tante, diminum dulu tehnya mumpung masih anget" sambil kusodorkan gelasnya. "Makasih dek, kamu persis seperti Toni menyiapkan teh di pagi hari" ucap ibu Toni meneteskan air mata.
168. "Syukurlah kalau begitu tante" ucapku pelan, "Sedikit persamaan tingkah laku bisa membuat rasa rindu berkurang kepada Toni, mudah - mudahan aku bisa menjadi sosok seorang anak seperti Toni" ucapku dalam hati.
169. Aku kembali kedapur dan memasak makanan untuk sarapan pagi ini, sembari memasak tiba - tiba terdengar suara Lia, "Bukan karna memasak air, melainkan sudah dihalangi sebelumnya agar tidak bertemu denganmu, dia tahu semua pergerakanmu besok kamu akan mendapat kabar duka"
170. "Kabar duka apa ?" tanyaku berbisik, "Tunggu saja, ini suatu penyesalan yang aku perbuat hingga semua orang di desa ini kena imbas dari kesalahanku" ucap Lia sambil pergi menumbus dinding dapur. "Lia tunggu, aku be.."
171. Belum selesai berbicara aku dikagetkan oleh Marlina "Kamu ngomong sama siapa Jun ?" tanya Marlina yang baru saja bangun. "Emm, eh.. Enggaa. Kamu salah denger kali aku sedang bernyanyi kecil saja" bohongku pada Marlina.
172. "Nyanyi kok bisik bisik, sudah sedikit gila memang kamu" ucap Marlina terkecoh, "Cuci muka sana, ini teh buatmu" ucapku untuk memberhentikan obrolan kami. "Hemmmm" balasnya sedikit jutek.
173. Aku berusaha memikirkan perkataan dari Lia, "Apa hubungan masak air dan duka ?" selalu terlintas dipikiranku. "Heehh, habis nyanyi bisik bisik, bengong" ucap Marlina mengagetkanku. "Astaga, ini masih pagi. Kamu sudah teriak saja" ucapku pada Marlina sedikit kesal.
174. "Lagian kamu kenapa sih Juna?" tanya Marlina pernasaran. "Engga apa - apa, kamu saja yang aneh" balasku dengan bantahan. "Mana yang perlu aku bantu ?" tanya Marlina yang sudah terkecoh lagi. "Tolong kamu bersihkan sayur itu" perintahku kepadanya.
175. Selesai memasak, "Marlina kamu suapin tante makan ya, aku ada kerjaan sehabis ini" ucapku meninggalkan Marlina. Aku pergi ke rumahku, agar bisa leluasa bicara dengan Lia. Ditengah perjalanan kulihat beberapa orang berlarian mengarah ke kuburan.
176. "Aldi, ada apa ini ? Kok warga pada berlarian ?" tanyaku menghalang Aldi yang ikut berlari, "Itu, nganuu.., Sahat" ucap Aldi sedikit terbata. "Kenapa dengan Sahat ? Kamu tenang dulu" tanyaku sedikit penasaran. "Sahat nganu, itu dia meninggal" ucap Aldi.
177. "Ayo, sekarang kita kesana" balasku sambil berlari ke kuburan. Sesampai disana ternyata sudah banyak warga yang berkerumun melihat kematian dari salah satu sahabatku ini. Tanpa ada yang membendung, air mataku langsung menetes.
178. "Setelah Toni, sekarang kamu yang pergi" ucapku dalam hati. Aku dan beberapa warga mengankat Sahat ke rumahnya. Kematian ini sama seperti kematian Toni. "Apa mungkin ini ulah makhluk buas ?" tanyaku pada polisi yang sedang melihat tubuh Sahat.
179. Lehernya terdapat bekas cekikan oleh tangan yang berkuku sangat tajam. Dada kiri berlubang, jantungnya sudah tidak ada.

Aku tidak bisa menbiarkan ini, aku harus menyelidiki tua bangka itu. Biar nyawaku jadi taruhan yang penting semua ini bisa terungkap.
180. Karena Sahat hidup sendiri sama seperti nasibku, penguburan akan dilakukan pada sore ini juga.

Beberapa warga dan Aku pergi ke kuburan untuk menyiapkan liang untuk Sahat.

"Cepat sekali kepergianmu kawan, semalam baru saja aku ditinggalkan oleh Toni, sekarang kamu" tangisku
181. "Jun, apa kamu tahu tntang kejanggalan kematian Toni dan Sahat ?" tanya Marlina yang datang kekuburan membawakan air untuk beberapa warga. "Mulut kamu itu tolong dijaga, siapapun tidak akan tahu kematian seseorang itu karna apa" ucap seorang warga yg dengar perbincangan kami
182. "Sudahlah, nanti kita bercerita di rumah" ucapku menghentikan obrolan dengan Marlina. Liang untuk Sahat sudah disiapkan dan dilanjut untuk menguburkan Sahat.

"Yang tenang disana ya sahabatku" ucapku menaburkan bunga diatas timbunan tanah kuburan Sahat.
183. Setelah penguburan, semua warga sudah pulang. Hanya aku, Marlina dan Ibu Toni yang tersisa.

"Tolong bawa tante pulang kerumah, aku mau mengurus rumah Sahat" pintaku kepada Marlina.

Mereka berdua akhirnya pulang, begitu juga dengan aku langsung bergegas ke rumah Sahat.
184. Baru sampai di depan rumah Sahat, air mataku menetes. Aku sangat bersedih, 2 orang sahabat telah pergi meninggalkanku.

"Sahat, kamu yang tenang disana ya semoga kamu bertemu dengan Toni dan mudah mudahan kasus ini bisa aku ungkap secepatnya" ucapku sambil mengunci rumahnya.
185. Aku berjalan pulang ke rumah ibu Toni, ditengah perjalan kepalaku terasa berat. Seperti ada gerangan yang mau berbicara denganku.

"Marlina, tolong ambilkan air putih" pintaku sambil menahan pusing.

Setelah aku minum, aku tiba - tiba seperti kecapaian sekali.
186. "Hahaha" kudengar suara tawa Sahat, "Sahat !?" panggilku, "Arjuna" balasnya pula. "Mau kubuatkan kopi kesukaanmu ?" tanyaku lagi. "Haha" dia hanya membalas dengan tawa.

Perlahan kepalanya menunduk, "Jun, maafkan aku ya. Sebenarnya aku yanh sudah membunuh Lia" jelas Sahat.
187. "Lalu kenapa kamu membunuh dia ?" tanyaku penasaran. "Hutang" balasnya singkat. "Bagaimana maksudmu ? Coba jelaskan" ucapku dengan nada sedikit tinggi. "Aku berhutang terlalu banyak, kalau aku mau menghabisi Lia maka semua hutangku akan Lunas" ucap Sahat.
188. "Kenapa kamu begitu tega ?" tanyaku lagi, "Dia mengancamku, kalau tidak aku yang akan dibunuh, hahaha" lalu dia pergi menghilang.

"Sahattt !!, Sahaattt !!," teriakku memanggilnya. "Sahat, tunggu aku" pintaku padanya sambil mengejar.
189. Seketika semua pandanganku menjadi putih, tidak bisa melihat sekitarku. Aku hanya bisa teriak memanggilnya "Sahat!!, tunggu".

"Bangun Jun, Arjuna bangun" sambil menggoyangkan badanku, Marlina membangunkanku dari mimpi.
190. "Ohok, Ohok" kumuntahkan sedikit air untuk melegakan dadaku.

"Apa aku bermimpi ?" tanyaku pada Marlina. "Iya, kamu tadi bermimpi, berteriak memanggil Sahat" jelas Marlina. "Lalu apa yang kamu mimpikan ?" tanya Marlina lagi.
191. Kujelaskan semuanya, tapi aku masih penasaran, "Sahat berhutang ke seseorang dan menebus hutang dengan cara membunuh Lia, apa yg aku pikirkan sama denganmu ?" tanyaku pada Marlina.

"Iya, aku yakin. Dalangnya sama, ini semua berantai Jun" ucap Marlina.
192. "Apa kamu pernah melihat pak Wisnu melakukan hal aneh pada malam hari ?" tanyaku, karena dia sudah cukup lama mengontrak disana. "Aku mendengar setiap malam biasanya dia menangkap ayam, tidak tahu mau kalau setiap hari mereka makan ayam" jelas Marlina. "Sebentar" potongku.
193. "Aku dan Toni pernah ketemu dengan dia di pohon keramat dekat kuburan. Apa dia menyembah berhala ?" ucapku penuh penasaran.

"Bisa jadi, lihat saja hartanya begitu banyak" balas Marlina.

"Nanti aku mau keluar, tolong kamu tetap disini" pintaku pada Marlina.
194. Aku pergi kerumah, mencoba untuk berbicara dengan Lia. "Lia, apa kamu disini ? Datanglah" pintaku pada arwah Lia.

"Bagaimana ? Apa kamu sudah tau ? Maafkan aku terlambat mengatakan kalau Sahat targetnya. Aku ditahan oleh sosok besar" ucapnya sambil menampakan diri.
195. "Apa sekarang aku targetnya ?" tanyaku lagi, "Benar sekali, sudah ku katakan kalau dia tahu pergerakan yang kamu lakukan, bahkan kalau ada yang mau membongkar nasib orang itu akan sama dengan Toni dan Sahat" jelasnya kepadaku.
196. "Lalu bagaimana aku akan mengungkap semua ini ?" tanyaku lagi, "Ketika kamu melihatnya tolong jangan pernah penasaran dengan sosok peliharaannya itu. Lebih baik memandang kebawah, anggap dia adalah makhluk paling lemah dan sangat kecil" ucap Lia sembari pergi menembus tembok
197. "Terima kasih Lia, kamu sudah mau membantuku" ucapku melihat Lia pergi.

Aku bergegas ke pos ronda, malam ini aku harus mengajak beberapa warga untuk berjaga mengungkap siapa dalang semua ini.

"Tung, Tung, Tung, Tung" kubunyikan bambu pada pos ronda.
198. Warga mulai berdatangan, "Aku meminta waktunya untuk bapak/ibu sekalian, bagi bapak - bapak yang tidak punya kerjaan dirumah, tolong bantu untuk berjaga malam ini. Agar tidak ada lagi korban dimangsa oleh binatang buas itu" pintaku.
199. Beberapa dari mereka ada yang setuju, namun karna takut beberapa lainnya juga lebih memilih berdiam di rumah. Semua peralatan berjaga kami siapkan, dari balok dan parang kami bawa ke pos ronda sebagai pelindung diri.

Waktu sudah larur malam, sekarang saatnya berkeliling.
200. "Ayo semuanya, kita keliling dari warung ke lapang volly, lalu ke arah kuburan" ucapku memimpin jalan. Dengan senter, seluruh sudut kami sorot sampai sudah desa.

Dilapanga volly, tiba - tiba hawanya menjadi berbeda. Dingin dan ada bau busuk.
201. "Cuiih" kubuang ludahku.
Aku sudah tahu, kalau dia sedang memperhatikan pergerakan kami.

"Ayo, kita lanjut ke kuburan. Semua kita baca doa, jangan sampai ada yg ketinggalan" ucapku kepada semua warga yang ikut.

Kubuka langkah dengan doa, aku harap malam ini bisa terungkap
202. Aku sudah menyusun rencana, targetku adalah pohon keramat.

Sesampai di kuburan, kusenter ke arah pohon keramat. Sungguh aku beruntung, kulihat sosok disana.

"Lihat itu!" teriakku pada warga agar melihat pandangannya kesana.

"Siapa disana ?" teriak Dion.
203. "Ayo tangkap orang itu" teriak Aldi sudah sangat bersemangat.

Kami berlari kearah pohon keramat itu, sebagian berusaha memutar ke beberapa arah untuk mengepung orang itu.

Karena posisinya dalam terancam orang itu berlari kebelakang pohon.
204. Seperti keinginan kami, dia bisa kami kepung dibelakang pohon itu.

"Apaa ? Orangnya hilang ?" ucap Aldi terkejut. "Itu bukan orang" tambah Alex yanh ada disampingku. "Bener ga mungkin dia bisa tiba - tiba hilang begitu saja" tambah Dion penuh dgn emosi.
205. "Lihat pohon ini" ucap salah seorang warga mengalihkan mata kami ke arah batang pohon.

Pohon itu berlumuran darah segar, "Sudah pasti ini penyembah berhala, dia mau menumbalkan warga kita" ucap salah seorang warga pula.

"Semua lebih baik sekarang kita pulang dulu" pintaku
206. "Jadi bagimana ini ?" tanya Aldi "Kita harus melapor kepada kepala desa" ucap salah seorang warga.

"Benar, sekarang kita kerumahnya" ucapku sambil membawa langkah.
207. "Pak Kades keluarlah" teriak Dion yang sudah terbakar emosi. "Ada apa ini ramai - ramai ?" tanya pak Kepala Desa. "Salah seorang warga kita adalah penyembah berhala pak, dia menyembah pohon keramat yang ada dikuburan" aku menjelaskan dengan sedikit emosi.
208. "Siapa orangnya ?" tanya pak Kades lagi. "Dia menghilang saat kita kejar pak. Kita minta bantuan bapak sebisanya pohon itu ditebang segera" pinta seorang warga.

"Baiklah kalau begitu, masalah ini besok kita selesaikan. Sekarang lebih baik semua pulang" ucap Pak Kades.
209. Aku mengajak Aldi, Alex dan Dion untuk menginap dirumahku untuk menepis semua ketakutanku.

Dirumahku kami tidak tertidur, tapi rokoan dan ngopi sambil membahas bagaimana cara menangkap orang yang mau menumbalkan warga desa ini.
210. Tidak terasa matahari sudah mulai terlihat, bergegas kami ber-4 untuk mengumpulkan warga.

"Tung, Tung, Tung, Tung" kubunyikan bambu yang ada di pos ronda.

Warga mulai berkumpul lagi.

"Dikantor kepala desa ada 2 mesin, bagi yang punya kapak bisa dibawa untuk menebang -
211. pohon keramat itu" ucapku sambil mengajak warga untuk beramai - ramai membantu.

Beberapa warga pulang mengambil kapak, dan sisanya ke kantor pak Kades untuk mengambil mesin.

Kita janjian untuk berkumpul di depan rumah Sahat.
212. Aku dan beberapa warga sudah sampai didepan rumah Sahat, kami menunggu warga lain agar beramai - ramai menebang pohon itu.

"Ayo, kita mulai saja Jun" ucap Dion melihat sudah hampir seluruh warga datang.

"Ayo semuanya kita tebang pohon keramat itu" ajakku penuh semangat
213. Dengan sedikit tenaga, kutarik perlahan tali untuk menghidupkan mesin. Begitu juga dengan mesin satunya dipanaskan oleh salah satu warga.

Setelah mesinku hidup kuberikan kepada pak Tarno yang berprofesi sbg penebang pohon.

Dipotongnya batang pohon
itu mulai dari bawah.
214. "Ngenngg, Ngenngg, Ngengg, tupplutuppp tupp tuppppp" mesin mati tiba - tiba, padahal baru mengikis kulit pohon itu.

"Coba pakai mesin ini pak, mungkin kuranh dipanaskan" ucap Dion sambil menyodarkan mesin satunya.

Mesin diambil dan dimulai memotong lagi.
215. "Ngeeeng, Greekkkk" "Greekk, Greekkkk" "Greekkk, Greekkk"

"Astaga, keluar darah" teriak pak Tarno, kacamata bening yang digunakan terciprat banyak darah dari batang pohon itu.

Langsung segera di tariknya mesin itu dari pohon. Darah keluar seperti kaki manusia teiris pisau.
216. Melihat itu, kita semua terdiam. Bahkan pak Kades yang melihatnya pun merinding melihat kejadian itu, sampai disini aku tidak menyerah.

"Sini mesinnya pak, biar saya saja" pintaku pada pak Tarno. Kupakai kaca mata, dan langsung kumulai.

"Ngeeng, Sreekkk, tuututplutup"
217. Mesinya mati lagi, darah dari pohon itu semakin banyak keluar.

"Ini bukan ide yang bagus, mudah - mudahan ini bukan malapetaka bagi kita semua" ucap pak Kades.

Beberapa warga sudah ketakutan, bagi mereka yang membawa kapan tidak ada yang berani untuk menebang pohon itu.
218. Kuambil kapak itu, segera ku ayunkan sekuat tenagaku. Ku hantamkan ke pohon itu. Seperti kapak yanh tumpul, pohon itu tidak bisa ditebang malah memantulkan kapak yang kupakai.

"Jun, Arjuna" teriak Alex. "Sudah Jun, yang kamu lakukan hanya sia sia" tambahnya memberhentikanku
---Istirahat bentar ya pegel parah
219. "Aku ga terima, kalau Toni dan Sahat harus mati" teriakku keras.

Kuambil kapak, kuayunkan begitu keras, dan kuhantamkan ke pohon itu. "Bughhhh" kapak itu mantul kembali menghantam kepalaku.

Pandanganku seketika gelap, darah mulai menetes dari kepalaku.
220. "Juna, Juna" suara mereka aku dengarkan, tapi pandanganku gelap, tidak tahu apa yang aku lihat.

Mengalir darahku, membasahi semua pakaianku. Hingga aku tidak mendengar teriakan mereka lagi.
221. "Sahabatku, terima kasih sudah mau menolong kami berdua. Sudahi semua, kami sudah tenang disini" ucap Toni kepadaku. "Benar Juna, itu hanya membahayakan dirimu" tambah Sahat.

"Tapi, aku ga mau kalau ada korban lainnya. Kalian harusnya mengerti" ucapku membantah.
222. Beberapa hari tidak sadarkan diri, akhirnya aku terbangun dari tidurku yang begitu panjang. "Aduh, apa ini ?" kupegang kepalaku masih dibungkus oleh kain putih.

Perlahan aku melangkah ke dapur, "Kamu sudah bangun nak" ucap ibu Toni kepadaku. "Iyya tante" balasku.
223. "Kamu panggil Ibu saja, jangan panggil tante lagi. Ibu sudah anggap kamu seperti Toni" ucap Ibu Toni kepadaku. "Iya, tan.. Eh bu" jawabku

Aku merasa senang, bisa dapat perhatian lagi dari seorang ibu setelah sekian lama aku merindukan sosok ibuku.
224. "Bagaimana kelanjutan dari pohon kemaren bu ?" tanyaku.

Ibu Toni bercerita, pohon itu tidak dapat ditebang. "Setelah kepalamu terbentur, semua warga takut. Dan langsung menggotongmu ke rumah. Kepalamu sedikit retak kata Bidan Desa" jelas ibu Toni
225. "Hampir 3 hari kamu tidak bangun daei tidurmu, mungkin kamu sudah lapar. Ayo makan dulu" ucap Ibu Toni sambil mengambilkan piring untukku.

Memang perutku begitu lapar, dan ketika makan pun aku seperti singa yang baru dapat mangsa, dengan rakus kuhabiskan beberapa piring.
226. Setelah makan aku kepikiran, "Sewaktu aku tidak sadarkan diri, apakah ada korban bu ?" tanyaku pada ibu Toni. "Tidak, semua warga takut keluar. Tak sedikit warga yang mengomongi kamu nak, mereka takut akibat ulah kamu penunggu pohon itu murka" jelas ibu Toni.
227. "Aku kedepan dulu ya bu, mau cari udara segar" sembari pamit aku meninggalkan ibu Toni didapur.

Aku berjalan ke warung dekat rumahku untuk membeli rokok, kulihat Aldi, Alex dan Dion lagi nongkrong santai.

"Gimna ?" tanyaku sambil membakar rokokku.
228. Tidak ada jawaban dari mereka, bahkan mereka satu per satu pergi dengan alasan ada kerjaan.

"Apa aku seperti hantu ?" tanyaku dalam hati. Tidak tahu kenapa mereka menjadi menghindar dariku.
229. Karena tidak ada yang mau mengobrol denganku, aku singgah kerumahku untuk mengambil beberapa pakian untuk di bawa ke rumah ibu Toni.

"Bagaimana kabarmu ? Apa kamu sudah bertemu dia ?" tanya Lia mengagetkanku muncul didalam cermin lemariku.

"Ahh, kamu. Belum ketemu" balasku
230. "Besok pagi kamu akan dapat duka lagi, lihat saja" ucapnya. "Ha ?" belum sempat bertanya, dia pergi menghilang.

"Ya Tuhan, siapa lagi korban selanjutnya yang akan dibunuh ?" ucapaku cemas dalam hati.

Cepat ambil pakaianku dan bergegas kembali ke rumah ibu Toni.
231. "Bu, Marlina kemana ya ?" tanyaku sampai dirumah ibu Toni. "Oh dia lagi bekerja dilahan pak Wisnu, mengambil hasil panen. Dengan terpaksa dia harus ikut, soalnya dia punya hutang kontrakan jadi mau tidak mau harus bekerja kepada pak Wisnu" ucap ibu Toni.
232. "Apaa ?" sontak aku kaget. "Kamu kenapa nak ? Pak Wisnu juga sudah begitu baik mau membantu Marlina meringankan hutangnya dan kemarin dia datang melihat keadaanmu" jawab ibu Toni.

"Ngapain dia datang melihatku ?" pikirku dalam hati.
234. "Heh, mandi sana. Malah bengong" suruh ibu Toni. "Baik bu" jawabku sambil mengambil handuk dan bergegas kekamar mandi.

"Apa kamu sudah tau siapa korban selanjutnya ?" tanya Lia yang berada dibalik pintu kamar mandi.
235. Aku langsung bergegas lari keluar dari rumah ibu Toni. "Juna, Arjunaaa mau kemana ?" teriak ibu Toni tidak lagi kuhiraukan. Aku hanya tahu kalau Marlina dalam bahaya. Secepatnya aku berlari ke kebun pak Wisnu.

"Marlina tunggu aku" ucapku dalam hati sambil mempercepat lariku
236. "Sudah lewat kuburan saja, biar kamu lebih cepat sampai" ucap Lia kepadaku. Aku pun mengikuti saran darinya, kuberanikan untuk masuk ke area pemakanan itu.

"Haha, ternyata kamu bodoh" tawa pak Wisnu diballik pohon keramat ketika kulewati. "Apa maksudmu ?" tanyaku balik.
237. "Selama ini kamu sebagai penghalangku, sekarang saatnya kamu menyusul dengan teman - temanmu" ucap pak Wisnu.

Perlahan langkah kakiku mundur sedikit menjauh darinya.

"Huaaaaagggggg, haaakkk"

Sosok berkaki besar turun dari atas pohon dan berdiri persis didepanku.
238. Kakinya penuh bulu, bahkan lidah dari makhluk itu menguntai sampai menyentuh tanah. Baunya sangat busuk seperti bau bangkai.

Perlahan kutatap dari kakinya, hingga dengkulnya.

"Bodoh jangan penasaran dengan dia, cepat kamu lari" ucap Lia
239. Kuikuti hati kecilku, pulang ke rumah ibu Toni. "Lari selagi aku masih bisa menahan makhlu ini" ucap Lia. Seperti dalam pertarungan gaib, Lia melawan makhluk besar itu suara jeritan dari Lia begitu kencang tak kalah suara makhluk itu juga bisa menandingi suara Lia.
240. "Hah, Hah, Hah, Huft" kuhela nafas ketika sudah sampai di depan pintu. "Kamu habis dari mana ? Ibu panggil kamu tidak menyahut" ucap ibu Toni sedikit memarahiku.

"Marlina bu, sedang dalam bahaya" ucapku dengan nafas belum teratur.
241. "Marlina ada dibelakang, dia baru pulang mau mengambil makan siang, sekarang apa yang mau kamu bahayakan ?" tanya ibu Toni sedikit kesal melihatku bertingkah aneh.

Aku tidak percaya, segera kulihat Marlina didapur. "Marlina, Marlina" panggilku dengan sedikit tergesa.
242. "Kamu habis dari mana Jun ? Ibu panik mencarimu !" bentak Marlina sedikit keras kepadaku.

"Huft, Syukurlah" ucapku dalam hati ternya Marlina masih hidup.

"Saranku untukmu, tolong jangan pergi ke kebun pak Wisnu lagi" aku memohon sampai meneteskan air mata kepada Marlina.
243. Melihat air mataku begitu tulus, mungkin membuat Marlina luluh dan tidak pergi kekebun pak Wisnu.

Aku memeluknya, "Aku tidak mau kehilangan orang terdekat lagi, aku mohon kalian harus tetap ada di sisiku" ucapku membasahi baju Marlina dengan air mata.
244. Setelah itu, Marlina membuka bungkusannya dan makan dirumah.

"Terima kasih nak, kamu begitu tulus berteman dengan Toni, Lina, dan Sahat sampai kamu mau mengorbakan dirimu" ucap ibu Toni

"Aku begini agar tidak ada lagi korban bu" balasku

Haru tangis lagi dirumah ini.
245. Aku duduk didepan rumah, dengan sebatang rokok dan segelas kopi melihat indahnya matahari tenggelam.

"Lia, apa kamu baik - baik saja ?" tanyaku dalam hati.

Tidak seperti biasanya ketika aku memanggilnya dia langsung datang.
246. Karna hari sudah mulai gelap aku masuk kerumah. "Marlina, Bu, aku mau ngomong sesuatu" ucapku mengajak mereka berkumpul dan menutup pintu rumah.

Kuceritakan kejadian sebelum Toni meninggal, dan ketika Sahat meninggal. "Aku tahu siapa orangnya !" ucapku pada mereka
247. "Aku kurang bukti, jadi tidak bisa mengungkap orang ini" ucapku

"Aku mohon kepada kalian berdua tolong patuh akan perkataanku, tetap dirumah untuk beberapa waktu sampai keadaan aman dan orang itu menyudahi semua ini" tambahku

#dirumahaja
248. Pembicaraan kami terhenti ketika, banyak orang berlarian dari depan rumah.

"Ada apa itu ?" tanya Marlina, kubuka sedikit pintu untuk melihat keadaan diluar. "Banyak orang lari, tapi tidak tahu kemana arahnya" ucapku. "Sudahlah, lebih baik kita dirumah saja" ucap ibu Toni.
249. Dibuka dengan doa, kami makan makan. Begitu hangat kurasakan suasana ini. "Makasih ya bu, begitu baik dengan kami" ucapku kepada ibu Toni. "Sudah makan dulu nanti kita bercerita lagi" balas ibu Toni tersipu malu mendengar perkataanku.
250. Setelah makan aku dan Merlina membersihkan tikar dan piring yang kami gunakan.

Didapur aku melihat penampakan Lia, dengan wajah membiru seperti babak belur.

"Kamu kenapa ?" tanyaku "Hahhh ? aku tidak apa apa" jawab Marlina.

Penampakan Lia tiba - tiba hilang.
251. "Kamu percaya tidak kalau aku bisa melihat hantu ?" tanyaku pada Marlina. "Ngaur kamu" bantahnya sambil menyusun piring ke rak. "Ya sudah kalau kamu tidak percaya, aku juga tidak memaksa" balasku.
252. Setelah selesai beres - beres aku duduk didepan. Suasana sepi, "kemana semua warga ya ? Baru juga jam segini sudah sepi" ucapku dalam hati.

"Mereka semua ada dikebun" jawab Lia yang tiba - tiba muncul duduk di sebelahku. "Astaga, mengagetkanku saja kamu" ucapku menyambutnya
253. "Ada apa dikebun ?" tanyaku penasaran. "Aku sudah memberi tahumu tadi siang, malam ini bakal ada duka lagi. Tapi bodohnya kamu terkecoh tadi pagi. Yang datang ke mari bukanlah aku, melainkan sosok yang menyerupai aku" jelasnya.

"Lalu, yang menyuruhku menolong Marlina ?"
254. Belum sempat melanjutkan perkataanku, "Bodoh, sudah aku bilang duka akan datang malam bukan pagi" bentak Lia.

"Bagaimana dengan wajahmu ?" tanyaku melihat wajah Lia biru seperti babak belur.
255. "Untung saja aku bisa menahan sosok itu, kalau tidak bisa kamu yang akan menjadi korban" jelasnya.

Aku menjadi merasa bersalah karena sudah terkecoh dengan sosok yang menyerupai Lia.

"Maafkan aku, lain kali aku tidak akan mengambil tindakan bodoh seperti tadi" ucapku.
256. "Lalu kenapa kamu tidak menyuruhku untuk menyelamatkan orang yang menjadi korban malam ini ?" tanyaku penasaran, "Apakah karna orang itu tidak dekat dengan diriku ?" tambahku lagi.

"Orang itu mencuri hasil panen, aku tidak suka dengan pencuri" balas Lia
257. "Apakah peliharaannya itu disuruh untuk menjaga kebun ?" tanyaku lagi. "Sebenernya asalnya itu, aku pun terlibat dalam rencana yang disusun Wisnu bajingan" jelas Lia dengan nada tinggi. "Tolong kamu cerita tidak menggunakan emosi, aku tahu kamu sakit hati" ucapku meredam.
258. "Bagaimana rencananya ?" tanyaku, akhirnya Lia mau bercerita mulai dari awal. Dia adalah seorang buruh yang dulunya tinggal di kota seberang. Kemudian diajak Putra anak angkat pak Wisnu pulang ke kampung halaman. Karena tidak setuju dengan hubunga mereka akhirnya Lia diusir.
259. Setelah diusir Lia memohon agar hubungan mereka direstui, tapi ada syaratnya. Anak pertamaku harus diserahkan kepada pak Wisnu, awalnya Lia sejutu. Namun setelah Lia melihat kelakuan pak Wisnu yg menyembah setan, Lia menolak ketika kandungannya sudah 3 bulan.
260. Dari pagi hingga sore Lia dan Putra hanya bertengkar tiap hari. Dengan paksaan Putra berusaha agar mengikuti perkataan dari pak Wisnu. Hingga akhirnya, dibunuh Sahat suruhan pak Wisnu.

"Aku sempat mencoba lari, tapi kamu malah pergi malam itu" ucap Lia sambil menangis.
261. "Terus sehabis dibunuh ?" tanyaku semakin penasaran. "Bayi dalam perutku diambil, lalu mereka menyerahkan kepada salah satu dukun, dengan kuasa setan mereka menghidupkan bayiku yang telah digugurkan secara paksa" jelas Lia.

"Apa bayimu adalah sosok itu ?" tanyaku.
262. "Benar, dia ditempatkan di pohom kemarat. Dan diberi makan darah segar ayam putih, dia juga dijanjikan akan jiwa manusia sebagai makanannya" jelas Lia.

"Jadi istilahnya seperti kami yang berjaga dipos ronda tapi meminta imbalan ketika menemukan pencuri ?" tanyaku
263. "Seperti itu rencana awalnya, bayiku yang dihidupkan kembali akan menjaga lahan perkebunan dengan imbalan jiwa manusia, karena mereka tahu Sahat akan membocorkannya maka sekalian saja Sahat ditumbalkan" jelas Lia.

"Lalu bagaimana dengan Toni ?" tanyaku lagi penasaran.
264. "Apa kamu ingat isi keranjang Toni ketika pulang ?" tanya Lia balik, "Astaga, Toni mengambil sedikit padi dan memasukkan kedalam keranjang" ucapku sambil mencoba mengingat kejadian sebelumnya.
265. "Sepertinya kamu sudah tahu, tugasku sudah selesai. Semoga kamu bisa mengungkap semua"

"Lalu bagaimana dengan bayimu ?" tanyaku sembelum dia pergi.

"Aku tidak mengharapkannya lagi" balas Lia menghilang dari sebelahku
265. Karena udah semakin dingin, aku berniat masuk ke dalam rumah.

"Astaga !!!, ngapain kamu berdiri seperti setan didepan pintu ?" tanyaku pada Marlina. "Maaf, aku sudah mendengar semuanya" jelas Marlina.
Minta doanya, ada serangan 🙏
Di pilternya masih ada. Tunggu aman dulu ha baru gua lanjutin 🙏
Udah ada firasat sebelumnya
266. Keesokan paginya, sudah banyak warga yang melayat ke tempat korban.

Teman korban bersaksi, kalau niat mereka mencuri di perkebunan pak Wisnu. Namum tiba - tiba datang sosok betubuh besar, korban penasaran dengan makhluk itu.
267. Korban perlahan melihat keatas, menatap wajah sosok itu. Leher korban dengan gampangnya dicekik menggunakan jari - jarinya dan kuku yang sangat tajam.

Setelah korban tak bernyawa, dada korban langsung ditembus menggunakan kukunya. Lalu jantung korban diambil dan dimakan.
268. Nasib baik teman korban bisa lari, dia tidak penasaran langsung berlari ke arah pos ronda.

Sesampai dipos ronda dia melapor, langsung disebar luaskan berita ini melalui ketungan untuk mengumpul kan massa. Akhirnya malam itu juga mereka menggotong jasad korban ke desa.
269. Terkait penjelasan dari teman korban, polisi tidak bisa mengambil tindakan. Karna penjelasan diluar nalar manusia, dan dianggap jadi pencemaran nama baik.

"Tunggu sebentar, saya mau memberikan kesaksian" ucapku teriak menahan polisi yang mau pergi dari tempat ini.
270. "Apa kalian pernah melihat pak Wismu datang melihat korban ? Bahkan sudah 3 korban, batang hidungnya tidak pernah ada untuk melayat" ucapku.

"Mungkin saja beliau ada pekerjaan" bantah seorang polisi.
271. "Okay kalau begitu saya akan buktikan kali ini" seketika suasana hening. "Ayo sekarang ke rumah pak Wisnu kita lihat dia sedang apa" ucapku kepada warga.

Beramai - ramai seluruh warga datang ke rumah pak Wisnu.

"Bukaa pintumu" teriakku
272. "Ada apa ini ?" tanya pak Wisnu sontak kaget melihat warga sudah ramai. "Cepat mengaku atau bakal kubuktikan semua kedokmu" teriakku sudah mulai memanas.

"Apa yang harus aku akuin ?" tanya pak Wisnu pura - pura bodoh.
273. "Sudahlah Wisnu, semua ini ulahmu. Kami tidak senang kalau ada salah satu warga penyembah setan didesa ini" ucapku mematahkan omongannya.

"Kalau kau tidak mau mengaku, sekarang akan ku buktikan. Untuk kalian tolong tahan orangnya" pintaku pada warga.
274. Warga pun menahan, dan mengikat tangannya dengan tali.

Karena massa banyak, polisi pun tidak bisa berbuat apa - apa.

"Sekarang ayo kita ke kebunanmu" ucapku sambil membuka langkah.
275. Sesampai dikebunya, "Aku minta tolong kepada kalian jangan pernah melihat keatas ketika sosok itu keluar. Anggap sosok itu adalah makhluh paling lemah dan kecil" pintaku kepada warga.

Aku berlari ketengah kebun, setelah itu kuambil sedikit hasil panennya laru berlari.
276. Sosok itu tiba - tiba muncul, dan mengejarku. Sosok itu berusaha menghalangi langkahku, semua itu disaksikan oleh warga.

"Jangan lihat keatas" teriakku.

Beberapa warga ada yang bandel, dengan seketika langsung dicekik.

"Semua ingat pesanku" teriakku lagi
277. Karena takut dibunuh. Semua orang yang menyaksikan bukti yang kuberikan berlari pulang ke desa.

Korban yang meninggal dikebun dibiarkan. Tidak ada yang berani bahkan pak Polisi sekali pun.

Karena amarah warga akhirnya pak Wisnu dan Cita dimasukkan kedalam rumah mereka.
278. "Tidak ada kata maaf untuk manusia penyembah setan, mereka harus dimusnahkan" ucapku penuh kemenangan.

"Bakar" teriak warga menyahut omonganku.

Akhirnya pak Wisnu dan Cita istrinya dibakar hidup - hidup didalam rumahnya.
279. Kejadian ini sekitar tahun 2010.

[Base On True Story]

Nama hantunya Begu Ganjang yang artinya Begu adalah roh dan ganjang berarti panjang. Bentuk tubuhnya tinggi semakin kamu penasaran maka semakin tinggi pula dia hingga dia bisa mencekik lehermu.
Sebelumnya masih ada beberapa korban, karena kepala sudah berat dan ada sedikit serangan maka langsung ke ending.

Mudah mudahan thread ini bisa jadi pembelajaran untuk pembaca. Mohon maaf bila banyak kesalahan

Saya deff pamit undur diri 🙏
Selamat berpuasa, ingat Allah 💞

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with S R C

S R C Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @deffrysrc

May 7, 2020
---A Thread Horror
PENUNGGU RUMAH BARU

Mempersembahkan sebuah karya @deffrysrc see u on the story!

@bacahorror #bacahorror
Halo semuanya,

Pada kesempatan kali ini saya akan
bercerita tentang "Penunggu Rumah Baru".

Hati hati dalam membaca, mereka tidak hanya ada didalam cerita melainkan hidup berdampingan dengan kita.

See u on the story!
1. "Hati - hati dijalan ya mas" ucapku kepada mas Arditho, seorang suami yang begitu baik dan menyayangiku.

"Kamu nanti berangkat kerja hati - hati ya" balas mas Arditho sembari mengambil kunci motornya diatas meja.
Read 241 tweets
May 6, 2020
--Thread Horror
KAMAR TIGA BELAS

Mempersembahkan sebuah karya @deffrysrc see u on the story!

@bacahorror #bacahorror
Halo semuanya,

Di kesempatan kali ini saya akan bercerita tentang "Kamar Tiga Belas".

Hati hati dalam membaca, mereka
tidak hanya ada didalam cerita
melainkan hidup berdampingan
dengan kita.

See u on the story!
"TOK TOK TOK"

"TOK TOK TOK"

"TOK TOK TOK"

"Permisi ... Permisi"

"Sebentar" kudengar suara wanita dari rumah, sembari menunggu aku melihat hp yg sedang aku genggam memastikan kalau ini adalah alamat tujuan yang benar.
Read 143 tweets
May 4, 2020
---A Thread Horror
Akhir Cerita Gunung Sibayak

Mempersembahkan sebuah karya @deffrysrc Horror Romance.
.
@bacahorror #bacahorror
@pakdhe_beja #threadhorror
@ceritaht #ceritaht
@bagihorror #bagihorror
@IDN_Horor #hororstory
"Gunung adalah salah satu bagian dari alam semesta, ketika mendaki gunung banyak pelajaran yang kita dapat, salah satunya bagaimana cara menghargai alam"

-Deffry SRC
Halo semuanya,

Pada kesempatan kali ini saya akan cerita tentang "Akhir Cerita Gunung Sibayak"

#ACGS #AkhirCeritaGunungSibayak
Read 173 tweets
May 2, 2020
---A Thread Horror
Part Ending of : Nona Manis
.
Maafkan aku, sahabatku :"
.
@bacahorror @bagihorror
@ceritaht @pakdhe_beja
@IDN_Horor @Penikmathorror
#bacahorror #bagihorror
#threadhorror #HorrorThread
Halo semuanya,

Pada kesempatan kali ini saya akan melanjutkan cerita tentang "Nona Manis Penunggu Kost".

Hati hati dalam membaca, mereka tidak hanya ada didalam cerita melainkan berdampingan dengan kita.

See u on the story!
Sebelum baca part ending silahkan baca terlebih dahulu part 2
Read 75 tweets
May 1, 2020
---A Thread Horror
Part 2 of : Nona Manis
.
Kapan ini akan berakhir ya Tuhan ?
.
@bacahorror @bagihorror
@ceritaht @IDN_Horor
@pakdhe_beja @Penikmathorror
#bacahorror #ceritaht
#bagihorror #HorrorThread
Sudah sholatkan ?

20.30 📝 kita start
Halo semuanya,

Pada kesempatan kali ini saya akan melanjutkan cerita tentang "Nona Manis Penunggu Kost".

Hati hati dalam membaca, mereka tidak hanya ada didalam cerita tapi berdampingan dengan kita.

See u on the story!
Read 90 tweets
Apr 29, 2020
Aku mau cek ombak dulu, kalau cerita jam segini rame ga ya ?

Love dong, 💞💞💞
Halo semuanya,

Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan tentang "Nona Manis Penunggu Kost", cerita ini saya angkat dari pengalaman Mey teman saya.

Saya bercerita melalui sudut pandang orang pertama "Mey".
Read 182 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(