My Authors
Read all threads
- MENCOBA PULANG -

Sebuah cerita fiksi tentang Perang Dunia Pertama.

Jika pernah membaca cerita Paninggaran, maka inilah lanjutannya... Cerita akan berfokus pada Johan yang tertinggal di Hellberg bersama masa suram itu...

#ceritaaksi #ceritaperang #fiksi Image
Parit pertahanan Hellberg dalam kondisi kacau balau. Para tentara berlarian di antara ledakan artileri dan berondongan senapan musuh.

Asap mengepul di beberapa titik. Kendaraan-kendaraan lapis baja merangsek ke arah pertahanan musuh yang sedang melonggar.
“Tetap di posisi!” Teriakan komando bergema di udara.

Blarrrrr

Ledakan artileri kembali membuncah mengenai apa saja yang berada dalam jangkauannya.
Beberapa orang prajurit terlempar ke udara saat ledakan tersebut terjadi. Mereka kemudian berjatuhan ke atas tanah dan tidak bergerak lagi.

Di antara hiruk-pikuk para prajurit dan dentuman artileri, sebuah tank Mark IV melaju menerobos jalur berlumpur dan berkawat berduri.
Di dalam tank tersebut, Johan dengan cemas memperhatikan para kru yang mengoperasikan tank itu. Hari itu ia berusaha meninggalkan Hellberg setelah komandan sektor tersebut menyuruhnya segera pergi.

Hal itu tidak lepas dari keberadaan Salasatri yang merasuki tubuh Ulrich dan
dan mengendalikannya. Apalagi Salasatri kini tengah mengincarnya. Kini ia satu-satunya target setelah Ricky berhasil pulang.

Oleh karenanya ia harus segera mencapai tempat selanjutnya di mana ia seharusnya menemukan kaisar. Sementara tentara Inggris mendukungnya dengan
menyediakan transportasi segala medan meski tidak dapat diandalkan.

Blarrrrr

Ledakan peluru artileri membuncah di dekat tank yang ditumpangi Johan. Tank berguncang membuat para penumpangnya terpelanting.

“Sial! Hampir saja!” rutuk salah seorang operator meriam.
“Tuas kemudinya keras sekali!” keluh sopir sambil menarik tuas kemudi kuat-kuat.

“Hei, Jerman! Kau bisa melakukan apa agar tank sialan ini tetap berjalan?” seru operator meriam sebelah kiri ke Johan yang sedang berpangku tangan.

Johan tergagap. Ia termangu sejenak kemudian
menjawab.

“Aku bukan mekanik. Membuat tank ini tetap melaju bukan keahlianku.”
Si operator meriam berwajah masam itu hanya mendengus.

“Semoga di depan sana kau bisa berguna,” ucapnya.

“Jangan terlalu dengarkan Chofield. Dia hanya iri melihatmu yang diistimewakan, kawan.
Hehehe,” celoteh operator meriam sebelah kanan.

“Ah, Brandon juga merasa iri itu. Bedanya dia tidak frontal seperti Chofield. Hahaha,” timpal mekanik yang sedang duduk di belakang Johan.
“Kawan-kawan, alarm!” ujar pengemudi tank seraya memainkan dua tuas kemudi dengan lebih gesit lagi.

Proyektil artileri lain jatuh tepat di hadapan tank yg ditumpangi Johan.

Blarrrrrrrrrr

Ledakan besar membuncah menyemburkan tanah dan material ke segela penjuru arah. Tank pun
bergoncang sangat keras.

Johan dan yang lain terpelanting di dalam tank. Mereka di antaranya ada yang terbentur tiang di dalam tank. Ada juga yang menabrak dinding hingga berteriak keras.

“Aaaahhhh, hidungku!” teriak Brandon seraya memegangi hidungnya yang berdarah.
“Kepalaku copot!” teriak mekanik yang bersama Johan.

“Ini topimu jatuh, kawan,” kata Johan seraya menyambar topi mekanik yang jatuh itu dan memberikannya kepadanya.

“Oh, terima kasih. Kepalaku telah kembali.” Mekanik itu memakai topinya.
“Lain kali kalau O’brien kehilangan kepala betulan, tidak akan bicara begitu lagi,” ujar Chofield seraya mengarahkan meriamnya ke arah pergerakan pasukan musuh. “Ada empat field gun di sana. Itu akan menjadi meriam kematian bagi kita jika kita tidak hati-hati.”
“Kita tanpa komandan di sini. Tidak adakkah yang mengomandoi tank ini?” ucap O’brien.

“Siapapun boleh menjadi komandan di sini. Tapi aku tidak mau. Aku juga tidak mau orang Jerman ini mengomandoi kita,” tukas Chofield.
Johan tidak menanggapi perkataan Chofield. Ia sedari awal bertemu orang itu memang sudah memahami bagaimana karakter tentara berambut klimis tersebut.

Ia pun menyadari bahwa keberadaannya di dalam kendaraan tempur ini hanya semata-mata karena perintah dari Kolonel Alfred.
“Bro, jika keadaan memaksa, kamu pun bisa jadi komandan kami. Apalagi Chofield sudah menyatakan ketidaksanggupannya. Sementara di antara aku, Brandon, Samir, dan Uly, tidak ada satu pun yg memiliki kualifikasi untuk menjadi komandan,” ujar O’brien sambil mengedarkan pandangan.
Sementara Chofield hanya tersenyum sinis mendengar perkataan O’brien.

“Aku setuju. Apalagi di antara kami, hanya kau yg pernah merasakan bagaimana menegangkannya berlari-lari seorang diri di tengah-tengah ledakan artileri,” timpal Samir, si pengemudi tank.

“Itu belumlah cukup.
Kau belum pernah menembak temanmu sendiri, bukan?” ujar Chofield sambil membidikkan meriamnya. “Uly, ada beberapa infanteri musuh di sana. Kau bisa menghajar mereka semua,” lanjutnya tatkala melihat selusin tentara musuh sedang berlarian di sekitar jalur yang akan dilewati tank.
“Kau tidak ingin menjadi komandan, bukan?” tukas Uly yang sedang duduk di belakang senapan mesin yang berada di atas Samir.

“Jangan banyak protes! Lakukan saja!” kata Chofield dengan nada naik.

Tak lama terdengar senapan mesin menyalak, pertanda sedang memuntahkan ratusan butir
peluru ke arah pasukan musuh. Uly memang operator senapan mesin di dalam tank tersebut. Ia juga pembawa senapan mesin yang mahir ketika berada di luar tank.
Mendadak terdengar dentuman disusul berguncangnya tank dengan keras.

“Aaahhhh, field gun! Salah satunya mengenai kita!”
pekik Uly seraya mengibas-ngibaskan kedua tangannya.

“Tank ini akan meledak kalau terus-terusan terkena peluru meriam itu! O’brien, cepat keluar dan perbaiki benda sialan ini!” teriak Chofield seraya terbatuk saat asap bekas ledakan menguar masuk ke dalam tank.

Sementara Samir
segera menepikan tanknya ke area yang lebih aman.

“Jerman, apa kau akan duduk saja di situ!” hardik Chofield ke Johan.
Johan tergagap kemudian bangkit. Ia keluar dari tank menyusul O’brien yang telah berada di luar.

Ia melihat mekanik tersebut sedang berusaha membuka penutup
mesin yang rusak akibat terkena tembakan field gun.

“Sial! Selang radiatornya putus. Masih untung tadi mesinnya tidak langsung mati.” O’brien memeriksa bagian mesin tank itu seraya celingukan.

“Tenang aku lindungi kau. Tidak akan ada satupun tentara Jerman yang mencapai kita,”
kata Johan seraya mengarahkan pistol Mausser-nya secara bergantian ke beberapa arah.

Dorrr, dorrr, dorrr

Mendadak beberapa orang tentara Jerman muncul, menembaki Johan dan O’brien. Johan yang dalam posisi siaga dapat menghindari serangan, namun O’brien yang sedang mengotak-atik
selang radiator, tidak daat menyelamatkan diri.

Sedikitnya empat butir peluru bersarang di punggungnya. O’brien pun jatuh terjengkang. Laki-laki berusia 20 tahunan telentang meringis menahan sakit.

“Brien!” johan dengan cepat berlari ke arah O’brien.

Namun, mendadak suatu
proyektil artileri jatuh tepat ke samping tubuh O’brien. Proyektil itu meledak, membuat Johan terlempar ke belakang.

Sementara tubuh O’brien sudah tidak lagi berbentuk karena ledakan itu sukses menghancurkan tubuhnya bersama terbentuknya lubang besar di tanah.

“Brien?” Johan
meringis menahan sakit seraya berusaha bangkit.

Ia kemudian melihat para tentara Jerman yang menyerangnya berjatuhan terkena tembakan senapan mesin Uly.

“Jerman, cepat perbaiki mesinnya dan masuk!” teriak Chofield yang muncul dari pintu tempatnya mengoperasikan meriam.
Chofield kemudian melihat ke arah mayat O’brien yang telah hancur.

“Sekarang kau mekanik, Jerman!” serunya.

Johan kemudian segera memperbaiki selang radiator. Setelah itu ia mengisi tangki airnya. Setelah beres, ia lantas masuk ke dalam tank melalui pintu di mana Chofield
menunggu.

“Sekarang kita kehilangan teman kita. Mari berdoa semoga ia mendapatkan tempat terbaik di sisi BAPAK. Amieen,” ucap Chofield setelah semua kru berkumpul.

Setelah selesai mendoakan O’brien, para kru kembali melakukan pekerjaannya. Tank pun kembali melaju melalui jalur
jalur berlumpur serta rumah-rumah yang telah hancur.

Mendadak Samir menghentikan laju tank, membuat semuanya terkejut.

“Hei, kira-kira, dong kalau mau berhenti!” pekik Brandon sambil mengamati jalan di depan.

“Astaga!”

“Terus jalankan tanknya, Samir! Gilas saja. Mereka semua
sudah jadi mayat!” ujar Chofield yang menyadari penyebab Samir menghentikan laju tank.

“Tidak punyakah kau sedikit rasa perikemanusiaan, Chofield?” Samir menengok ke arah Chofield dengan tatapan sengit.

“Perikemanusiaan hanya untuk manusia hidup! Sedangkan mereka semua sudah
mati. Ini perang, bung. Singkirkan rasa kemanusiaan yang tidak pada tempatnya. Cepat jalan!” kata Chofield dengan nada meninggi.

“Aku tidak mau! Kita harus menempatkan mereka ke tempat yang lebih baik!” balas Samir sengit.

“Kau beraninya!” Chofield dengan geram turun dari
anjungan meriamnya kemudian menghampiri Samir dan menarik kerah bajunya.

“Apa kita tidak sebaiknya mencari jalur lain? Kulihat di sebelah kanan ada area lapang yang lebih aman,” kata Johan mencoba mengetengahkan solusi.

Chofield berpaling ke arah Johan. “Kau pilih saja kita
menggilas mayat manusia atau menggilas ranjau, hah!”

“Aku sudah bilang pindahkan mereka ke pinggir jalan!” bentak Samir sambil berusaha menyingkirkan tangan Chofield.

“Kita keburu mati kalau melakukan itu! Musuh sedang mengincar kita!” balas Chofield dengan gigi gemeretak.
“Aku tetap tidak mau menggilas mereka!” Samir ngotot dengan keinginannya.

Bukkkkk,

Sebuah tinju melayang menghantam wajah Samir. Lelaki itu pun terhuyung kemudian balik menyerang Chofield.

“Hei, hei, hentikan itu! Tidak bisakah kalian menyelesaikan masalah dengan
kepala dingin?” lerai Uly seraya turun dari kursi senapan mesinnya.

Uly kemudian menahan tangan Chofield yang hendak membalas serangan Samir. Sebelumnya Samir berhasil memukul wajah Chofield.

“Brengsek! Jerman, kau operator meriam sekarang! Aku yang akan kemudikan tank.
Afghan (Samir berasal dari Afghanistan) kampret ini biar jadi mekanik!” kata Chofield seraya berlalu menuju kemudi tank.

Mendadak Samir mengejar Chofield, kemudian menyambar kerah bajunya dan menyeretnya. Akhirnya keduanya pun saling baku hantam di dalam tank. Hingga kemudian
dua-duanya saling menodong menggunakan revolver.

“Samir, sudah hentikan!” teriak Uly berusaha membujuk Samir.

“Chofield, mengalahlah. Untuk apa saling ngotot begitu?” kata Brandon seraya menghampiri Chofield.

“Kau sentuh tuas itu, kau mati!” ancam Samir dengan kedua matanya
yang menyipit melihat ke arah Chofield.

“Kau yang akan mati karena gegabah menyeret semua orang di sini ke dalam kematian yang sia-sia!” Chofield tidak mau mengalah.

Blarrrrrrrr

Ledakan proyektil field gun menghantam sisi kiri tank yang terhalang tembok bangunan. Material pun
berhamburan serta tank pun berguncang.

“Samir, kita harus bergerak! Sekali lagi tembakan mereka pasti akan mengenai kita!” teriak Uly dengan cemas.

“Tidak, sebelum kita memindahkan mereka!” Samir masih bertahan dengan kemauannya.

“Persetan!” Chofield beranjak ke arah sektor
kemudi.

Tiba-tiba Samir menembak namun luput karena Chofield sigap menanggapi ancaman. Tembakan Samir meleset dan hanya mengenai dinding.

Di saat itu pula Chofield dengan cepat menembak ke arah Samir.

Dorrrr
Sebutir peluru bersarang di dahi pria Afghanistan itu. Pria tersebut roboh dengan luka tembak di dahinya.

“Samiiiiiirrrr.....!!!” pekik Brandon seraya melompat ke arah Samir.

“Oh, tidak!” Johan menghampiri pengemudi tank yang kini telah tidak bernyawa itu.

“Kau membunuhnya!!”
Brandon berpaling ke arah Chofield seraya mengambil pistol milik Samir. “Kau harus membayarnya!” Ia mengarahkan pistol itu ke arah Chofield.

Mendadak Uly menendang Brandon dan merebut pistolnya.

“Jangan bertindak bodoh! Cepat atau lambat kita akan mati. Tapi kita tidak boleh
mati dengan cara seperti ini. Cukup Samir yang mengalaminya. Ingat, misi kita belum selesai. Ini bukan soal medali tapi kemanusiaan!” Uly menatap ke arah Chofield dan Brandon juga Johan secara bergantian.

Chofield tidak menyahut. Ia lantas segera menjalankan tank dan menggilas
mayat-mayat tentara yang tercampur antara musuh dengan kawan.

Terdengar suara tulang-tulang yang patah terlindas roda tank yang berrantai.

Tank melaju di antara dentuman mortar dan field gun serta berondongan senapan mesin musuh.
Johan kini mengambil posisi penembak meriam sebelah kanan. Ia kini berjibaku menghancurkan setiap field gun musuh yang ditemuinya.
Tank melaju di tengah jalur yang dihujani tembakan baik senjata api maupun artileri. Tank berguncang keras saat ledakan membuncah.

“Jerman, hancurkan artileri-artileri itu! Kita telah mencapai titik terlemah mereka!” teriak Chofield.

Johan kemudian mengarahkan meriamnya ke
sekumpulan meriam artileri dengan beberapa orang kru dan tentara musuh yang sedang pontang-panting.

Blarrrrr.....

Meriam menyalak memuntahkan proyektil yang lantas menghancurkan salah satu meriam artileri musuh.

Blarrrrrr.....
Senjata berat tersebut meledak disusul meriam lainnya karena adanya tumpukan amunisi dekat meriam tersebut.

Johan melihat beberapa orang musuh berjatuhan terkena tembakan senapan mesin yang dioperasikan Uly.

Namun,

Duarrrrrr..... Dugggggg

Sebutir proyektil besar menghantam
bagian depan tank hingga meledak, menghancurkan ruang kemudi dan pengisinya.

“Chofield!” teriak Johan saat melihat pengemudi tank tersebut telah tewas dengan tubuh bagian atasnya hancur berurai.

“Sial! Kita tamat di sini! Uhuk, uhuk,” ucap Uly seraya turun kemudian batuk-batuk
“Tank Jerman!” pekik Brandon sambil membidik objek besar berbentuk seperti tumpukan kardus yang memiliki meriam dan senapan mesin.

“Itu adalah A7V. Kita harus keluar dari sini atau kita semua akan mati!” ucap Uly sambil mengintip melalui jendela operator meriam.
“Aku akan menghabisinya. Amunisi kita masih cukup untuk membakar semua orang di dalam kardus itu!” kata Brandon sambil membidikkan meriamnya. “Johan, bantu aku hancurkan dia!” serunya ke Johan.

Johan pun segera mengoperasikan meriam. Ia mulai membidik ke arah kedatangan tank
bongsor itu. Ia kemudian menembak.

Bammmm

Proyektil yang ditembakkan Johan meluncur deras kemudian menghantam bagian samping tank tersebut.

“Kita harus menghancurkan mesinnya agar ia tidak bisa berjalan,” kata Uly yang mengawasi dari senapan mesinnya.
“Kita tidak bisa melakukannya. Tank ini sudah tamat!” tukas Brandon seraya menembakkan meriamnya.

“Sepertinya tank itu mogok. Tidak terdengar lagi suaranya tapi mereka masih menembaki kita,” kata Johan seraya menembakkan kembali meriamnya.

Bammmmm
Tembakan Johan tepat mengenai sisi kiri belakang tank musuh. Asap terlihat mengepul disusul api berkobar dari area yang terkena tembakan itu.

“Kau berhasil mengenainya. Sebentar lagi tank itu akan meledak,” ucap Brandon sambil menyaksikan tank kubus tersebut mulai terbakar.
Para kru tank itu tampak berjibaku keluar dari tanknya yang mulai diselimuti lidah api.

Blarrrrrrrrr

Tank tersebut meledak disusul suara teriakan para kru. Beberapa orang kru yang berhasil keluar tidak dapat menghindarkan diri dari jilatan api yang membakar tank.
Johan bersama Uly dan Brandon hanya bisa melihat adegan tersebut dengan ngeri. Perang memang selalu menampilkan kengerian-kengerian yang tidak terbayangkan.

“Kita keluar dari tank?” Johan menatap bergantian ke arah Uly dan Brandon.
“Mau tidak mau. Tank ini sudah tidak bisa melaju lagi. Ayo,” tukas Uly seraya turun ke arah pintu di belakang meriam yang dioperasikan Johan.

Mereka bertiga pun keluar dari tank sembari mengendap-endap dengan senjata api yang siap ditembakkan.

“Tidak terlihat musuh. Hanya
bangkai tank itu. Tapi kita tetap harus berhati-hati karena mungkin musuh sedang bersembunyi, bersiap menyergap,” ujar Uly sambil mengedarkan pandangannya.

Johan menatap sekeliling kemudian merunduk di balik moncong tank yang sebelumnya ia tumpangi.

Brandon terlihat santai.
Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus kretek. Ia selanjutnya mengambil sebatang kretek dan menyalakannya.

“Dari sini kita bisa berjalan dengan tenang. Tidak ada musuh karena mereka telah habis di sini,” kata Brandon seraya berjalan gontai ke arah jalur yang
yang dipenuhi material dan mayat-mayat yang berserakan.

“Brandon?” ucap Johan saat melihat ke arah sebuah bangunan yang telah hancur bagian atasnya.

“Brandon, kembali!” seru Uly panik saat menyadari ada sesuatu yang dilihat oleh Johan dari bangunan dua lantai itu.
Brandon terlihat tidak peduli. Ia terus saja berjalan.

“Misi kita adalah mengantarkan Johan ke Urdinen. Dari sana ia akan segera mencapai perbatasan negeri ini dengan Belgia. Ayolah.” Brandon mengisap kreteknya dalam-dalam kemudian menghembuskan asapnya.

“Brandon! Merunduk!”
teriak Uly sambil berusaha mengejar Brandon.

Namun tiba-tiba.

Jderrrrrrrrr

Suatu letusan senjata terdengar dari atas bangunan dua lantai yang rusak itu. Letusan tersebut diikuti jatuhnya tubuh Brandon ke atas tanah dengan luka tembak menganga di dada kirinya.
“Brandon!” Uly menjatuhkan diri sesaat sebelum berhasil mencapai tubuh Brandon.

Sementara Johan dengan sigap memasuki tank kemudian menembakkan meriam sebelah kiri ke arah bangunan itu.

Bammmmm

Blarrrrrrrr
Bangunan lokasi tembakan sniper berasal hancur lebur hingga rata dengan tanah.

Johan dengan cepat menaiki anjungan senapan mesin kemudian menembakkannya ke arah siluet seseorang yang sedang merangkak keluar dari reruntuhan bangunan itu.
Setelah dirasa aman, Johan segera keluar kemudian menghampiri Uly yang sedang berlutut di samping jasad Brandon.

“Tidak ada satupun dari teman-temanku yang selamat. Mungkin aku sebentar lagi menyusul mereka. Johan, apapun yang terjadi, kau harus tetap hidup. Seberangi perbatasan
Urdinen dan kau akan kembali ke masa kau hidup. Jangan biarkan pengorbanan sektor Hellberg sia-sia. Seret iblis itu kembali ke neraka!” ucap Uly dengan nada menegas.

“Jangan bicara seolah-olah dirimu akan segera mati, Uly. Kau juga harus tetap hidup. Untuk apa kalian berkorban
jika aku tidak dapat menyaksikan kalian menikmati hidup dalam damai. Hiduplah hingga perang ini usai,” tukas Johan sambil menatap Uly.

Uly menggeleng. “Di sini banyak mayat tentara Jerman. Ambillah seragam yang pas untukmu dari mayat yang belum membusuk. Itu akan membuatmu
leluasa masuk ke dalam wilayah mereka. Apalagi kau adalah orang Jerman,” tutur Uly seraya bangkit. “Ayo, lebih cepat lebih baik. Kaisar berada tidak jauh dari Urdinen.”

Johan mengangguk. Ia pun mengikuti langkah Uly yang mengarah ke sebuah area pekuburan. Area tersebut terlihat
lebih rapi jika dibandingkan dengan wilayah pedesaan yang sebagian besar telah hancur.

Johan mengawasi area di depannya sembari tetap mengarahkan senjatanya. Begitupun dengan Uly yang melakukan hal yang sama.

Setengah jam berlalu, mereka pun mencapai perbatasan Urdinen.
Wilayah tersebut berupa hutan lebat dengan jalur lebar yang tampaknya bekas dilewati kendaraan tempur maupun para prajurit pada hari sebelumnya.

“Kita sebentar lagi sampai, kawan. Lihatlah, Urdinen di depan mata kita,” ujar Uly dengan nada optimis.

“Uly, sebaiknya jangan
tergesa-gesa. Lihatlah area ini tampaknya sangat tidak aman,” kata Johan sambil memperlambat langkahnya seraya mengamati kontur tanah di depan sana.

“Tidak masalah. Ayolah, jangan ciut nyali begitu,” kata Uly sambil terus melangkah hingga kemudian ia menginjak gundukan tanah
yang tiba-tiba berbunyi ‘klik’.

“Uly, berhenti di situ!” Johan berteriak seraya bergegas menuju Uly.

Uly terkekeh namun kedua matanya berurai air mata. “Jika kau berhasil, berikan ini kepada istriku atau putraku. Katakan aku menunggu mereka di Eden.” Dengan lirih Uly berkata
seraya memberikan selembar surat dan kalung dengan liontin bergambar dirinya bersama istri dan putra kecilnya kepada Johan.

Johan hanya bisa menatap pilu ke arah Uly kemudian menerima lembar surat dan kalung itu.

“Aku tidak memiliki pengalaman dalam hal menjinakkan ranjau. Tapi
aku akan mencari pemberat agar ranjau tidak meledak saat kau mengangkat kaki,” ucap Johan sambil mengedarkan pandangannya.

Uly menggeleng. “Itu tidak akan bekerja, kawan. Jangan naif, ranjau tidak bisa dijinakkan jika sudah terinjak.”
Johan terkejut mendengar perkataan Uly.

“Pergilah dan segera pakai seragam Jerman itu! Tinggalkan aku sebelum mereka menemukanmu!” pekik Uly sambil bersiap mengangkat kaki yang menginjak ranjau.
“Tunggu, Uly!” teriak Johan berusaha mencegah Uly meledakkan dirinya.

Namun,

Blarrrrrrrr.....

Ranjau yang diinjak Uly meledak menyerpihkan material ke udara. Kepulan asap mengepul dari ledakan tersebut.
Ranjau tersebut memiliki daya ledak yang tidak terlalu tinggi. Namun tetap saja Uly mengalami luka yang sangat parah hingga 90 persen di mana bagian tubuh dari pinggang ke bawah hancur. Namun tentara malang tersebut masih hidup meski dipastikan ia akan segera mati jika tidak
mendapatkan pertolongan medis yang serius.

Sedangkan Johan yang berjarak sekitar enam meteran, tidak terkena ledakan ranjau. Ia pun bergegas ke arah Uly yang sedang terkapar.

“Uly! Ya Tuhan!” Johan menghampiri Uly kemudian mencoba menenangkan rekannya itu.
“Pppergilah, Johan! Ledakan tadi akan membuat musuh curiga. Cepat pergi dan pakai seragam itu!” ucap Uly terbata seraya berusaha tegar sambil menatap Johan.

Terlihat darah mengucur di sekujur wajahnya. Belum lagi tubuhnya yang hancur berurai dengan darah yang menetes dari
luka-lukanya.

Johan menggeleng. Ia merasa tidak tega jika harus meninggalkan Uly dalam keadaan seperti itu. Namun ia juga tidak mungkin meminta bantuan di dalam wilayah yang dikuasai musuh. Itu tentu sangat berisiko.

“Ini, lakukanlah,” ucap Uly sambil membuka pengunci pistol
yg baru saja ia ambil dari pinggangnya. Ia kemudian memberikannya kepada Johan. “Lakukan dengan cepat. Setelah itu pergilah!” tambahnya.

“Aku tidak bisa melakukannya,” ucap Johan menolak permintaan Uly.

“Lakukan saja! Kita sedang dalam perang. Kau tidak tega menghabisiku sama
saja dengan tega membunuhku perlahan! Cepat lakukan!” kata Uly dengan suara parau.

Johan terdiam sejenak. Ia kemudian mengarahkan moncong pistol ke pelipis Uly. Ia merasa tidak tega untuk membunuh orang yang telah membantunya hingga sejauh ini.

Uly terlihat pasrah. Ia mulai
memejamkan kedua matanya.

“Maafkan aku.” Johan menekan pelatuk.

Dorrrrr

Sebutir peluru menembus pelipis Uly. Prajurit yang terluka berat itupun kini telah tiada. Ia menjadi tentara terakhir yang bersama Johan.
Kini Johan pun sendirian. Ia segera mengganti seragamnya dengan seragam tentara Jerman berwarna krem dengan helm besi berwarna hitam.

Selanjutnya ketika sore menjelang, ia berjalan mengendap-endap menuju suatu perkebunan gandum yang merupakan perbatasan Urdinen dengan Belgia.
Tidak lupa ia mengawasi setiap jengkal tanah yang hendak ia lewati. Ia khawatir jika masih ada ranjau yang tertanam di wilayah tersebut.

Johan pun berhasil melewati perbatasan. Tentu saja ia harus bersusah payah menembus pagar kawat berduri di sepanjang perbatasan.
Beruntungnya di perbatasan tersebut, penjagaannya sangat longgar. Oleh karenanya Johan dapat melewati perbatasan tanpa kesulitan yang berarti.

Menjelang malam, Johan tiba di sebuah bukit dengan pemandangan suatu kota di bawahnya. Kota yang tampaknya cukup ramai.
Di salah satu sudut jalan kota yang temaram dihiasi lampu-lampu bercahaya kuning, seorang tentara Jerman sedang berdiri bersandar di tiang lampu sembari sesekali menghisap sigaretnya. Asap mengepul dari sela-sela bibirnya dan menguar di udara.

Seorang tentara Jerman lainnya
terlihat muncul dari belakang, kemudian menepuk pundak tentara yang sedang bersandar itu.

“Hei, kamu sudah mendengar kabar kaisar akan kemari, ke negara ini?” ucap tentara yang baru tiba itu.

Tentara yang sedang merokok itu hanya menatap kosong ke depan. Ia termangu, kemudian
menoleh ke arah tentara yang baru saja menepuk pundaknya.

“Kau orang baru, hah? Hmm, kau sudah tahu soal kabar terbaru rupanya,” kata tentara yang sedang merokok itu.
Tentara yang adalah Johan itu menatap sejenak ke arah tentara Jerman di hadapannya.

“Beller, tahukah kamu
tepatnya ke mana kaisar akan berkunjung?” tanya Johan.

“Namaku Beuer, bukan Beller, dan aku tidak tahu pasti ke mana kaisar Willheim akan berkunjung,” tukas Beuer sambil acuh tak acuh mengisap rokoknya.

Johan tampak seperti sedang berpikir. Ia mulai memikirkan kemungkinan yg
bisa saja terjadi jika ia gagal bertemu kaisar.

“Brussel?” ucapnya hampir tidak terdengar.

“Apa kau bilang?” ucap Beuer sambil menoleh ke arah Johan.

Johan tidak menyahut. Ia kemudian melihat ke udara di mana terdapat kilauan terang menghujam tepat ke arah tenggara kota.
“Artileri?” gumamnya sambil pandangannya mengikuti ke arah jatuhnya proyektil tersebut.

Duarrrrrrr

Proyektil tersebut meledak tatkala mencapai objek yang berupa bangunan besar di pinggir kolam penampungan limbah.
Bangunan tersebut meledak bersama proyektil kemudian menyemburkan material ke segala arah. Api pun berkobar disusul asap hitam yang membubung ke udara.

Johan melihat ke arah asap yang membubung. Ia mengerutkan kening saat melihat siluet sesosok yang terbang.
“Ulrich!” Johan mundur hingga mencapai Beuer.

“Kau kenal orang itu?” tanya Beuer sambil melihat ke arah Johan dengan curiga.
“Kau juga mengenalnya?” tanya Johan sambil menatap Beuer penasaran.

Beuer tampak menatap Johan penuh selidik. Ia lama terpaku hingga kemudian ia berbicara.

“Ulrich adalah tentara yang masuk ke dalam divisi Bergwolf, suatu divisi pasukan Kekaisaran Jerman yang kebanyakan orang
menganggap bahwa divisi tersebut tidak pernah ada. Aku sdh lama menunggu kemunculan setidaknya satu di antara mereka. Aku ingin menghajarnya sampai mati!” papar Beuer membuat Johan terkejut.

“Kenapa kau berkata begitu? Bukankah Bergwolf adalah tentara Jerman sama seperti kita?"
Johan menatap Beuer penasaran.

“Mereka memang tentara Jerman tapi mereka bukan kawan. Mereka adalah musuh terselubung. Aku sering berharap tidak mati dulu sebelum membunuh setidaknya satu di antara mereka. Kau mungkin tidak tahu jika nama orang yang kau sebut barusan adalah
seorang Bergwolf yang sangat kukenal," papar Beuer.

“Aku tidak begitu mengenalnya tapi temanku ya. Temanku bertemu dengannya saat ia sedang mencari jalur aman untuk kami mencapai Hellberg,” kata Johan disambut tatapan bingung Beuer.

“Kami?” tanya Beuer.
“Tadinya aku bersama penduduk lokal bersama bayi dan kekasihnya. Sekarang mereka entah ke mana,” ungkap Johan. “Tapi Ulrich, dia mungkin memang berniat membantu kami keluar dari zona perang tapi sayangnya makhluk itu telah menguasainya.”

Johan menatap ke langit saat siluet
siluet tersebut semakin jelas terlihat. Sesosok makhluk asing bersayap seperti sayap kelelawar berwarna hitam kemerahan serta diselubungi lidah api.

Beuer menatap tajam ke arah kemunculan sosok asing di atas langit itu.

“Bergwolf! Aku tidak menyangka jika mitos pasukan iblis
Bergwolf benar-benar nyata!” Beuer lantas bergegas seraya menarik tangan Johan. “Kita sebaiknya pergi. Aku akan mengantarmu ke Brussel. Aku tahu kenapa makhluk tiba di sini.”

Tanpa bertanya-tanya lagi, Johan segera mengikuti ke mana Beuer pergi. Ia sesekali melihat ke belakang
tepatnya ke arah sosok Ulrich muncul. Makhluk bersayap itu rupanya sedang mengejarnya.

“Sial! Apa yang telah terjadi dengan pasukan Kapten Alfred? Apakah Hellberg sudah tamat?” gumam Johan sambil mempercepat langkahnya.

Tiba-tiba Beuer menghentikan langkahnya saat makhluk
terbang tersebut mendadak sudah ada di hadapannya.
Makhluk yang adalah Ulrich yang telah bermutasi itu menatap garang ke arah Johan dan Beuer. Ia menjejakkan kedua kakinya yang besar dan bercakar ke atas tanah hingga mengepulkan debu.

“Halo, Johan!” Suara parau terdengar dari
mulut makhluk berkepala serigala itu.

“Ulrich? Kau menghabisi mereka?” Johan menatap tegang ke arah makhluk mengerikan itu.

Ulrich menyeringai kemudian mengaum. Tampak gigi-gigi dan taring-taringnya ketika ia membuka mulutnya lebar-lebar.

Beuer yang sedari tadi celingukan
segera saja berlari sembari menarik tangan Johan. Laki-laki itu pun mengikuti ke mana Beuer berlari.

Sementara Ulrich, ia terlihat mengepakkan kedua sayapnya untuk kemudian mengejar dua tentara Jerman yang sedang berlari menghindarinya itu.

Beuer membawa Johan jauh hingga ke
pinggiran kota, di mana terdapat sebuah pangkalan udara di sana.

“Itu dia! Kau harus menerbangkan salah satunya!” ucap Beuer sembari terengah.

Johan terkejut mendengar perkataan Beuer. Ia menjadi gamang seketika karena perkataan tentara itu.

“Aku tidak bisa mengemudikan
pesawat!” tukas Johan masih dalam keadaan berlari di belakang Beuer.

“Kali ini kau harus bisa atau kau gagal!” kata Beuer sambil menoleh ke belakang. “Ayo cepat! Dia tepat di belakang kita.

Duarrrrrrr

Suatu ledakan membuncah tepat di belakang Johan dan Beuer. Rupanya sang
serigala terbang sedang melakukan serangan udara.

Beuer dan Johan pun mencapai hanggar di mana terdapat dua pesawat terparkir. Pesawat-pesawat tersebut merupakan pesawat baling-baling bermesin tunggal tanpa penutup kabin. Untuk menerbangkannya tentu diharuskan memakai helm dan
kacamata.

Beuer dengan cepat memeriksa seluruh pesawat, mulai dari memeriksa tangki bahan bakar hingga sayap-sayap pesawat.

“Ke mana gerangan orang-orang?” Johan celingukan di dekat pesawat yg sedang diinspeksi oleh Beuer.

“Kau terbangkan yang ini. Pesawat ini aman untuk kau
bawa hingga Brussel,” kata Beuer sambil menyambar helm yang dipakai Johan kemudian menggantinya dengan helm pilot.

Johan masih tampak gamang. Ia merasa ragu-ragu untuk melakukan apa yang diminta Beuer.

Sedangkan Beuer tampaknya mengerti keragu-raguan Johan.

“Cepat naik!
Kau bisa mengendarai mobil, bukan? Anggap saja mengemudikan pesawat seperti mengemudikan mobil juga. Tentu saja dengan beberapa pengecualian yang pasti kau akan segera mengerti,” kata Beuer seraya mendorong Johan ke arah tangga naik.

Johan pun mau tidak mau menaiki pesawat itu
kemudian duduk di kokpit.

“Pakai sabuk pengaman. Lepaskan jika pesawat hendak jatuh, dan oh, iya, ini parasutmu.” Beuer memberikan tas parasut kepada Johan.

Beuer seraya celingukan segera ke depan pesawat kemudian memutar baling-balingnya dengan cepat hingga kemudian mesin
mesin pesawat pun hidup.

Setelah mesin hidup, Beuer mendorong pesawat yang telah ada Johan di kokpitnya.

“Tarik tuasnya!” Johan pun mengikuti apa yang disuruh Beuer.

Pesawat yang ia kemudikan pun meluncur di atas landasan dekat hanggar tersebut. Johan pun mengingat-ingat apa
yang disampaikan Beuer secara kilat mengenai bagaimana cara menerbangkan pesawat.

Ia pun segera menarik tuas untuk menerbangkan pesawat.
Meski awalnya zigzag, pesawat pun akhirnya lepas landas. Johan pun kini harus mengarahkan pesawat ke arah barat laut seperti yang tercantum
dalam peta yang diberikan Beuer.

Johan pun kini berada cukup tinggi dari atas tanah.
Ketinggiannya cukup membuatnya merasa ngeri. Ditambah derasnya terpaan angin, membuatnya merasa mual.

Tak lama ia mendengar suara tembakan dari arah timur laut. Saat menoleh, ia melihat Ulrich
sedang ditembaki sebuah pesawat yang mirip dengan yang ia kendarai.

Johan pun dapat menebak jika itu adalah Beuer yg sedang berusaha mengalihkan perhatian Ulrich. Ia pun tidak membuang-buang kesempatan untuk menerbangkan pesawatnya lebih jauh dari posisi di mana Ulrich berada.
Cukup lama Johan terbang hingga ia pun merasa seperti ada perubahan hawa di sekitarnya. Ia pun menyadari bahwa ia telah mencapai tujuan. Ia kemudian teringat instruksi Beuer untuk menjatuhkan diri jika tidak dapat mendaratkan pesawat.

Johan pun bersiap melepas sabuk
pengamannya. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah selatan.

Saat melihat ke arah sumber ledakan, terlihat pesawat Beuer meledak setelah terkena serangan Ulrich.

“Beuer!” Belum sempat Johan melepas sabuk pengaman, mendadak serigala terbang itu menabrak pesawat yang
yang dikemudikannya.

“Aaaaahhhhh.....” Johan sekuat tenaga melepaskan sabuk pengaman setelah pesawatnya terbalik kemudian meluncur deras ke atas tanah.

Setelah berusaha keras, Johan pun berhasil terlepas dari kursinya. Ia pun meluncur deras ke atas tanah. Ketika mencapai area
dengan udara yang lebih tipis, ia pun melepaskan parasutnya.

Sedangkan Ulrich tampak meluncur ke arah Johan dengan kedua sayapnya yang merentang serta sepasang kakinya yang bercakar hendak mencengkeram Johan. Namun, suatu tembakan meriam dari darat sukses menjungkalkan Ulrich
hingga terlempar dan jatuh ke daratan.

Johan pun berhasil terhindar dari kejaran Ulrich. Ia pun dapat mendarat dengan selamat di pinggiran kota Brussel di mana banyak tentara Jerman berkerumun.

Setelah berhasil mendarat, beberapa orang tentara Jerman menghampirinya. Mereka
kemudian membawa Johan ke sebuah bangunan besar menggunakan truk militer.

Di dalam bangunan itu, Johan dipertemukan dengan seorang pria berperawakan tidak terlalu tinggi namun tegap serta berkumis panjang yang setiap ujungnya lancip. Pria tersebut hanya mengenakan pakaian serba
putih dengan sepasang lencana yang menempel di lengannya.

Pria itu menghampiri Johan kemudian menatapnya lekat-lekat. Setelah itu ia melihat ke arah gulungan kertas yang dipegang Johan.

“Jadi kau datang untuk memberikan itu kepadaku?” ucapnya sambil menatap Johan.
Johan mengangguk. Ia sudah tahu siapa yang sedang berdiri di hadapannya.

“Ketahuilah posisiku saat ini sedang goyah. Mungkin besok atau lusa bahkan beberapa menit ke depan statusku sudah bukan lagi kaisar. Namun aku berharap hal itu dapat menebus semua dosa dan kesalahanku yang
menyebabkan banyak nyawa melayang.” Pria itu mengambil gulungan kertas yang disodorkan Johan. “Hmm, baiklah. Gulungan ini berisi keinginanmu untuk kembali ke dunia asalmu. Pergilah, dan berhati-hatilah dengan ancaman yang akan mengikutimu. Makhluk itu tidak dapat dikalahkan di
sini. Carilah suatu kelompok yang menamakan diri sebagai Serdadu Hansip. Mereka dapat membantumu mengalahkan makhluk itu,” lanjutnya.

Setelah Kaisar berkata demikian, Johan merasakan tubuhnya menciut hingga ia pun kehilangan kesadaran.

Saat tersadar ia sudah berada di dalam
sebuah ruangan di mana ada beberapa orang yang ia kenal mengelilinginya.

“Bang Johan, kau sudah sadar,” ucap Ricky yang langsung berdiri kemudian merangkul Johan.

“Abang, alhamdulillah kamu kembali,” kata Rina yg juga turut merangkul Johan.

Johan menatap semuanya bergantian.
Kedua matanya berbinar pertanda bahagia karena berhasil kembali ke dunia asalnya.

“Syukurlah nak Johan sudah kembali. Kami sangat mengkhawatirkanmu. Tidak seharusnya waktu itu nak Johan pergi ke Warung Kiara.
Tempat itu sudah diisolasi sekarang. Apalagi setelah papa berhasil ditemukan,” kata ibunya Rina seraya menatap ke arah Johan.

Johan mengangguk. “Itu bukan kesalahan, bu. Mungkin memang sudah seharusnya itu yang terjadi,” ucapnya.

--Tamat--
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Acep Saepudin

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!