- KETAKUTAN MIRA : MEREKA IKUTI DIA -

Sebuah cerita horor. Jngn berharap real story kecuali anda ingin saya doakan benar2 alami yg horor2. Peace :p
#bacaceritahoror #ceritaht #fiksihoror #ceritahorror
Pagi itu di suatu sekolahan menengah atas. Suatu perkelahian terjadi antara dua siswi SMA di lapangan basket dekat lapangan upacara.

"Dasar psikopat! Kau bunuh mereka semua!" teriak siswi pertama berambut dikuncir belakang dengan seragam tertutup jaket.

"Terus saja ngomong!
Memangnya kau pikir aku benar-benar melakukannya! Mereka semua terperangkap di kota itu!" balas siswi yang menjadi lawannya yang berambut panjang tergerai acak-acakan.

"Alasan saja, kau psikopat!" teriak siswi pertama seraya melancarkan pukulannya yang telak mengenai dagu lawan
Sementara di sekitar mereka para siswa menonton seraya berteriak terkadang bertepuk tangan.

"Ayo, hajar dia, Sarah!" teriak seseorang siswi ke siswi pertama.

"Betul, Sarah. Dia sudah membunuh Roni, Andi, Firman, dan Linda!" teriak yang lainnya.
Siswi yang menjadi lawan hanya mendengus. Ia mendorong tubuh lawannya yang bernama Sarah itu hingga jatuh.

"Heh, kalian semua. Kalian pikir kalian bisa mem-bully-ku seperti yang kalian lakukan pada murid baru! Jika saja kalian mengalami apa yang telah kualami, kalian mungkin
akan merasa ingin mati saja!" kata siswi itu seraya mengedarkan pandangan dengan raut wajah tegang.

"Kau banyak omong, Mira! Hentikan omong kosongmu soal kota mati!" teriak seorang siswa seraya maju ke arah Mira.

Di saat itu Sarah kembali berdiri setelah jatuh oleh Mira.
Gadis itu tanpa pikir panjang lagi langsung menyerang Mira dengan tinju dan tendangannya. Sementara Mira yang tidak siap tentu saja terkena serangan beruntun tersebut hingga terjengkang kemudian jatuh telentang.

"Kawan-kawan, apa sekarang saja kita bunuh psikopat ini?!" teriak
Sarah lantang.

Para siswa yang berada di sana tidak lantas mengiyakan. Mereka tampak bingung sembari saling berbisik satu sama lain.

"Kita belum menemukan bukti kalau Mira membunuh Andi, Roni, Firman, dan Linda."

"Aku khawatir kasus ini hanya asumsi Sarah belaka.
Dia kan dari dulu tidak pernah suka sama Mira."

"Kenapa kalian tidak menjawab!" teriak Sarah.

"Kami tidak setuju, Sarah! Belum ada bukti kalau Mira membunuh mereka," tukas seorang siswa berambut tipis dengan penampilan rapi.

Siswa yang bersama Sarah menghampiri siswa itu.
"Mira adalah satu-satunya yang selamat sedangkan yang lainnya tinggal mayat kecuali Linda yang masih hilang. Aku bisa pastikan kalau Linda juga bernasib sama, Damar," kata siswa itu sambil menatap ke arah siswa bernama Damar itu. "Apa itu belum cukup untuk membuktikan kalau Mira
pelakunya?" lanjut dia.

Damar menatap sinis ke arah siswa itu.

"Mira sudah menjelaskan semuanya. Meski apa yang dia katakan seperti bualan, kenapa kita tidak mempertimbangkannya? Lagipula kalaupun dia bersalah, kalian tidak bisa main hakim begitu saja. Ini negara hukum, bung.
Biar polisi yang mengurus," kata Damar.

"Lebih baik kamu enyah saja, Damar! Aku tidak suka dengan sikap sok bijakmu!" sergah Sarah yang kini melihat dengan bengis ke arah Damar.

"Mental ABG!" ucap Damar seraya balik badan. Namun ia kemudian menoleh ke arah Mira,"Hadapi saja."
Di atas lantai dua gedung sekolahan, seorang guru tampak mengamati apa yang dilakukan para siswanya di lapangan basket.

"Mira? Sarah dan Adi mem-bully-nya? Aku akan memanggil mereka," gumam guru tersebut.

Beberapa saat kemudian di ruangan guru, tampak Mira, Sarah, dan Adi
berdiri berjajar di depan guru bernama Pak Adnan itu.

Pak Adnan tidak langsung menanyai mereka bertiga. Ia hanya melihat-lihat ketiganya secara bergantian. Selanjutnya pandangannya tertuju pada Mira. Ia tampak mengerutkan kening saat melihat sesosok perempuan berambut panjang di
belakang gadis itu.

"Hmm, apa sih sebenarnya yang kalian lakukan tadi di lapangan basket? Mau jadi berandalan, hah?" ucap Pak Adnan tanpa berkedip melihat ke arah sosok di belakang Mira.

Mereka bertiga hanya menunduk tanpa berani melihat ke arah Pak Adnan.
"Kenapa kalian berkelahi?" tanya Pak Adnan sembari menatap tajam ke arah Mira dan Sarah.

"Dia yang memukulku duluan!" Sarah menunjuk wajah Mira.

"Aku tidak akan memukulmu kalau mulutmu bisa dijaga!" balas Mira sambil menatap sengit ke arah Sarah.

"Cukup!" bentak Pak Adnan.
"Apapun masalah kalian seharusnya selesaikan dengan baik-baik bukan malah dengan ribut di sekolah. Apa kalian mau saya skors?" lanjut Pak Adnan.

"Ini soal Andi, Roni, Firman, dan Linda, pak. Saya yakin Mira membunuh mereka, pak," kata Sarah membuat Pak Adnan melihat ke arahnya.
"Oh, ya? Terus saya harus percaya kamu begitu? Adi, menurut kamu bagaimana soal tuduhan Sarah terhadap Mira. Kamu jujur saja soal itu," kata Pak Adnan seraya melihat ke arah Adi.

Adi tampak tergagap. Ia selanjutnya berucap ragu-ragu.

"Saya tidak yakin, pak."

"Lalu?" kata
Pak Adnan sambil memicingkan kedua matanya sembari menatap Adi.

"Logikanya begini, pak. Untuk apa coba Mira membunuh teman-teman yang bersama dia. Padahal setahu saya Mira tidak memiliki masalah apapun dengan mereka. Hubungannya dengan mereka baik-baik saja," ucap Adi.
"Sorry ya, di. Seorang psikopat bisa terlihat baik-baik saja dari luar. Lihat saja dia, terlihat sok tertindas. Dia pasti menyembunyikan fakta yang sebenarnya!" timpal Sarah dengan sengit.

"Aku psikopat? Bagaimana kalau kita berdua ke psikiater? Lalu kita sama-sama periksa diri
lalu lihat siapa yang psikopat!" balas Mira dengan sengitnya.

"Deal! Siapa takut!" tantang Sarah.

"Kalian berdua cukup! Lebih baik kalian membuat surat pernyataan untuk tidak lagi melakukan keributan. Dengan begitu, kalian bisa lebih saling menghargai. Faham?" lerai Pak Adnan
"Saya tidak mau, pak. Tidak sampai dia diseret ke penjara!" kata Sarah sambil menunjuk ke wajah Mira.

Pak Adnan menggeleng. "Buktikan kalau Mira bersalah. Jangan asal tuduh. Atau kamu yang saya seret ke kantor polisi!" ucap Pak Adnan tegas membuat Sarah tercengang.
Menjelang sore, setelah seluruh mata pelajaran selesai, para siswa/i sekolah menengah atas tersebut pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Begitupun Mira yang kini sedang berjalan sendiri melewati jalur sepi menuju rumah di mana ia tinggal.

Ketika melewati sebuah mobil box
yang terparkir di jalan tersebut, mendadak dua orang laki-laki muncul menyergap Mira.

Mira tentu saja kaget namun tidak sempat berteriak karena salah seorang dari mereka membekapnya hingga tidak sadarkan diri.

Mira yang pingsan pun dibawa oleh kedua laki-laki itu menggunakan
mobil box tersebut.

Lama mobil tersebut melaju keluar dari kota menuju suatu hutan yang sangat luas. Memasuki jalan tanah berbatu yang hanya cukup dilewati satu mobil, mobil box tersebut melaju dengan guncangan.

Mencapai sebuah rumah besar tua yang berdiri tepat di tengah-
tengah hutan, mobil tersebut berhenti.

Selanjutnya kedua orang penculik Mira membawa gadis itu memasuki rumah besar berdinding merah bata kusam itu. Di dalam rumah itu mereka berdua terlihat sibuk mengutak-atik handphone.

"Sial! Bagaimana kita bisa hubungi Sarah kalau tidak
ada sinyal begini," gerutu seorang penculik yang memegang handphone.

"Lebih baik kita tinggalkan saja perempuan ini. Kita ke kota temui Sarah," saran rekannya.

"Gila kau! Sudah mau malam begini. Kita tidak akan bisa keluar begitu saja dari hutan. Kau tahu kan mereka akan
keluar saat maghrib sampai shubuh," timpal penculik yang memegang handphone.

Rekannya terlihat bingung. Ia sejenak menatap ke arah Mira yang belum siuman.

"Sarah akan menerima akibatnya. Kecuali dia berubah baik terhadap gadis ini. Bukan baik yang dibuat-buat," ucapnya.
Malam menjelang. Suasana di sekitar rumah tersebut begitu gelap dan sunyi. Hampir tidak ada suara kecuali derit pepohonan yang tertiup angin.

Di sana tidak terdengar suara binatang malam seperti jangkrik atau yang lainnya. Binatang-binatang itu seolah enggan menyambut sang
malam area sekitar rumah tengah hutan tersebut.

Sementara di dalam rumah, kedua penculik sedang duduk di kursi menatap ke perapian.

"Jarta, menurutmu apa kita akan berhasil melewati malam di sini?" ujar penculik pertama.

"Aku sih sangsi kita bisa mengingat rumah ini sangat
angker. Rumah ini dulunya milik sebuah keluarga yang mengasingkan diri karena dikucilkan warga tempat asal mereka bertempat tinggal. Pak Raman merupakan kepala keluarga tersebut. Ia memilih membawa keluarganya ke hutan ini dan membangun rumah ini. Namun, setelah rumah selesai
dibangun, seluruh anggota keluarga Pak Raman meninggal tanpa diketahui penyebabnya," tukas Jarta yang kemudian bercerita.

"Bukannya yang meninggal hanya istrinya dan anak pertama dan kedua? Pak Raman dan anak bungsunya seolah menghilang begitu saja," kata rekan Jarta.
"Mereka semua sudah dianggap mati. Apalagi setelah ditemukannya mayat-mayat yang tidak dapat dikenali di sebuah kolam lumpur tidak jauh dari sini, lis," kata Jarta.

Mukhlis tidak menukas. Ia tampak seperti sedang berpikir. Sejenak ia memicingkan kedua matanya saat mendengar
suara pintu digedor-gedor.

"Mira sudah siuman. Biarkan saja dia. Kita hanya perlu menunggu pagi entah berhasil atau tidak," ujar Jarta seraya mengatupkan kedua tangan.

Sementara Mira yang dikurung dalam kamar tampak sedang menggedor-gedor pintu seraya berteriak.
"Keluarkan aku dari sini! Dasar penculik sialan!"

Jarta dan Mukhlis menggeleng.

"Dia memang tidak tahu ini tempat apa. Tapi suaranya yang nyaring bisa mengundang mereka datang," ucap Jarta.

Mukhlis tidak menimpali. Ia memutarkan pandangan saat merasa ada suatu kelebatan.
"Ta," ucap Mukhlis disambut tatapan ngeri Jarta.

Kelebatan tersebut kembali muncul saat Mira kembali berteriak dari dalam kamar di mana ia dikurung.

"Hei, keluarkan aku!"

Mira spontan menghentikan teriakannya ketika ia melihat sesuatu yang janggal muncul menembus tembok di
belakangnya.

"Apa! Kenapa aku harus mengalami hal ini lagi?" ucapnya seraya mundur kemudian merogoh tasnya di mana smartphone-nya berada.

Selanjutnya ia menyalakan senter gawainya tersebut dan mengarahkannya ke dinding di mana penampakan itu muncul. Penampakan tersebut
menghilang saat terkena cahaya namun kembali muncul saat Mira tidak menyorotinya.

Mendadak di luar terdengar suara teriakan Jarta dan Mukhlis.

"Aaaahhhh!!!"

Teriakan mereka diiringi suara gaduh seperti geraman seorang nenek-nenek serta cekikikan hantu perempuan yang tidak
asing.

"Toloooonnnngggg!!" terdengat suara Mukhlis berteriak diiringi suara benda tajam menembus tubuh seseorang dan jerit kematian yang memilukan.

Mira yang berada di dalam kamar berusaha mendobrak pintu namun nihil. Pintu dikunci dari luar.

Ia pun pontang-panting mencari
sesuatu yang mungkin bisa digunakannya untuk mendobrak pintu.

Ia pun menemukan sebatang pipa besi yang tampaknya bekas shockbreaker motor bagian depan. Ia pun menggunakan pips tersebut untuk menghancurkan pintu yang sebagian telah lapuk oleh rayap itu.

Setelah pintu berhasil
dibukanya, Mira membelalak menyaksikan para penculiknya tergantung di langit-langit. Salah satunya tertusuk sebilah golok berkarat dengan darah mengucur deras.

Mereka berdua telah tewas dibunuh oleh sesuatu yang tidak diketahui.

Mira sejenak teringat Sarah.

"Terkutuk!"
Mira merutuk.

Di saat itu pula terdengar suara deru mesin dari arah jalan di depan rumah tempatnya berada. Terlihatlah sebuah MPV dan sebuah pickup dobel kabin muncul kemudian berhenti pas di depan rumah.

Dari mobil-mobil tersebut keluarlah beberapa orang polisi serta
beberapa orang lainnya yang Mira kenali.

"Sarah? Pak Adnan, Damar, Adi, Bella? Mau apa mereka kemari bersama polisi?" gumam Mira saat mengintip dari balik jendela.

Mira kemudian terperanjat saat menyadari bahwa dirinya sedang dijebak. Artinya sebentar lagi ia akan dihadapkan
pada kasus seolah-olah dia baru saja membunuh kedua orang yang kini masih menggantung di langit-langit.

Benar saja, dari luar terdengar suara salah seorang polisi melalui pengeras suara.

"Saudari Mira diimbau tetap di tempat. Jangan mencoba melarikan diri!"
Mira saat itu panik. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Namun kemudian ia memilih untuk membuka pintu yang ternyata tidak dapat dibukanya karena terkunci dari luar.

"Mira, jangan coba-coba kabur. Kami sudah tahu apa yang sudah kau lakukan pada mereka!" Kali ini Sarah teriak.
Dua orang polisi kemudian maju untuk selanjutnya mendobrak pintu yang terkunci itu. Selanjutnya setelah pintu berhasil dibuka, mereka langsung melihat ke arah dua mayat yang tergantung.

Sementara Mira tetap berada di tempat tanpa berusaha untuk kabur ataupun membela diri.
"Saudari Mira kami tahan atas tuduhan pembunuhan. Silahkan tandatangan di sini," ujar salah seorang polisi sembari memperlihatkan surat penahanan yang entah sejak kapan dibuatnya.

Mira tanpa protes mengambil surat itu kemudian membacanya secara seksama di bawah cahaya senter
yang disorotkan salah seorang polisi.

"Sekarang sudah ketahuan siapa yang sebenarnya psikopat, huh!" ujar Sarah sinis sambil melirik ke arah Pak Adnan yang berdiri mematung di samping Damar dan Adi.

Mira melihat ke arah Sarah tanpa berkedip. Ia melihat sesosok nenek di
belakang gadis itu. Nenek tersebut menyeringai seraya memperlihatkan sebilah golok berkarat.

"Pak, apa bapak tahu tentang rumah ini?" ujar Mira tiba-tiba, membuat dua polisi yang menahannya terkejut.

Mereka saling pandang sebelum menjawab pertanyaan Mira.
"Rumah ini dulunya ditempati suatu keluarga yang terusir dari kampung halamannya. Lebih baik kamu tidak menanyakan hal itu lagi. Sebaiknya kita tinggalkan rumah ini," kata salah seorang polisi itu.

Mira mengernyitkan kening. Ia merasa tidak puas dengan jawaban itu.
"Kenapa anda tidak mau menjelaskannya, pak? Ada sesuatukah dengan rumah ini?" Mira menatap penasaran ke arah sosok di belakang Sarah.

Sarah yang merasa dilihati Mira terus-menerus merasa gusar. Ia balik menatap tajam ke arah Mira.

"Pak, sebaiknya kita seret psikopat ini!
Jangan berlama-lama atau kita bisa jadi korbannya yang berikutnya!" ucap Sarah sengit.

Pak Adnan yang sedari tadi diam di samping Damar lantas maju menghampiri Mira. Ia kemudian berbisik.

"Mereka ada di sini. Mereka mengikutimu dan akan selalu."

Mira tercengang mendengar
kata-kata Pak Adnan.

Mira sejenak melihat ke arah sosok nenek itu kemudian melihat ke arah sekumpulan orang berpenampilan mengerikan yang berada di belakang nenek itu.

Sebelum melihat sosok penampakan lainnya, dua polisi yang menangkapnya keburu menggiringnya keluar.
Sembari berjalan menjauhi rumah tersebut, Mira menengok ke arah para polisi lain yang sedang mengevakuasi dua jasad penculiknya.

Sementara Sarah bersama Pak Adnan dan yang lainnya tampak memasuki mobil yang sebelumnya membawa mereka.

Sesuatu terjadi. Mesin tidak dapat dihidup
kan. Begitupun dengan mobil polisi.

Kedua kendaraan itu sama-sama tidak dapat dihidupkan.

"Damar, kamu mengerti mesin, kan? Kenapa dengan mobil ini? Padahal tadi waktu kemari baik-baik saja," ujar Pak Adnan yang berada di balik kemudi.

Tanpa menyahut, Damar keluar dari mobil
kemudian menuju kap mesin dan membukanya.

"Mesin tidak bermasalah, pak. Semuanya baik-baik saja," ujar Damar setelah selesai memeriksa komponen-komponen di dalam kap mesin.

"Ini aneh," ucap Pak Adnan seraya mencoba menghidupkan mesin kembali.

Sementara Mira yang berada di
dalam mobil polisi hanya memperhatikan dua orang polisi yang sedang berusaha mencari titik penyebab mesin tidak dapat dihidupkan.

Mira dapat melihat beberapa sosok ganjil sedang memainkan mesin mobil menggunakan kedua tangan yang mirip capit kepiting. Sosok-sosok mistis itu
berukuran setengah tingginya dari manusia serta berkepala gundul dengan sepasang telinga yang runcing. Makhluk-makhluk itu juga berwajah mengerikan dengan lelehan darah di mulutnya.

Mira hanya bisa terhenyak di kursi tanpa berani berbuat apa-apa untuk mengusir makhluk-makhluk
itu. Ia sejenak teringat dengan buku kuno yang ia temukan di Buni Asri. Buku tersebut sempat ia baca beberapa halaman meski ia tidak faham apa artinya.

Ia hanya mengingat beberapa kata dalam bahasa Sunda seperti KAWITAN, PANJENENGAN, MULIH KA BUMI. Namun kata-kata itu rasanya
begitu umum baginya. Jadi ia mencoba mengingat kata yang jarang diucapkan orang.

Ia pun teringat kata CAHYA NU DATANG TI HATE NU BERESIH. Lantas apa maksudnya?

Mira pun mengeluarkan smartphone-nya. Ia dapat melakukan itu karena kedua tangannya tidak diborgol.
Ia selanjutnya menyalakan lampu smartphone seraya mengucapkan kata-kata tadi. Maka selanjutnya terlihatlah makhluk-makhluk itu berlari menjauhi kap mesin kemudian berlari-lari tak tentu arah.

Cahaya smartphone Mira sukses mengusir sosok-sosok tersebut. Selanjutnya Mira mencoba
keluar untuk membantu mobil yang ditumpangi Pak Adnan dan yang lain. Namun, salah seorang polisi mencegahnya keluar.

"Lebih baik tetap di mobil. Biarkan mereka. Kita hanya perlu pergi dari sini. Mereka akan baik-baik saja sampai pagi menjelang," kata polisi itu seolah tahu apa
yang baru saja terjadi.

Mira menatap bingung ke arah polisi yang sedang berdiri menghalangi pintu mobil di sampingnya.

"Kau akan tahu nanti, nona. Sekarang belum saatnya," lanjut polisi itu.

Mira kemudian melihat ke arah mobil Pak Adnan yang dikerubungi sosok-sosok negatif.
Sementara di dalam mobil tersebut, Sarah terlihat panik sembari celingukan. Begitu pun dengan Bella dan Andi. Mereka juga terlihat begitu panik.

"Duuh, kita harus bagaimana? Apa tidak ada yang benar-benar bisa memperbaiki mobil?" keluh Bella.

Sementara Damar yang berada di
di depan mobil tampak celingukan seraya menyorotkan senter smartphone-nya ke beberapa titik.

"Bagaimana, mar? Mereka masih belum pergi juga?" ujar Pak Adnan seraya memperhatikan gerak-gerik Damar.

Damar menggeleng.

"Kita harus tetap di sini sampai besok atau mereka akan
mengikuti kita," kata Damar.

Pak Adnan hanya menghela nafas kemudian melihat ke arah spion di mana terlihat mobil polisi yang mendampinginya telah melaju pergi.

"Kok mereka malah ninggalin kita? Mana bisa begitu, dong!" pekik Sarah semakin panik.

"Pak, bagaimana ini? Kok
kita ditinggalkan begini, sih?" kata Bella tidak kalah panik.

"Tenang anak-anak. Kita hanya perlu bertahan beberapa saat sampai mobil bisa dihidupkan kembali," tukas Pak Adnan mencoba menenangkan Sarah dan kawan-kawan.

"Mar, apa mesinnya rusak?" seru Andi di bangku belakang.
"Mesin dalam keadaan normal. Kita tidak bisa memperbaikinya sampai besok pagi," tukas Damar sambil melirik ke sampingnya di mana siluet wajah seorang nenek sedang menyeringai ke arahnya.

"ULAH GANGGU!!" pekik Damar tiba-tiba seraya menyorotkan senternya ke siluet tersebut.
Siluet tersebut terlihat memudar. Namun beberapa detik kemudian siluet tersebut muncul lagi seraya melayang ke arah Damar.

Pak Adnan yang berada di balik kemudi berteriak.

"Damar! Lari!"

Damar dengan cepat mundur kemudian mengarahkan senternya ke arah siluet tersebut hingga
sosok tersebut memancarkan aura berwarna merah terang.

Damar segera menuju ke arah pintu kiri mobil kemudian membukanya. Namun, tiba-tiba sesosok penampakan makhluk berbadan tinggi besar dengan kapak bergagang besar muncul mencegah Damar membuka pintu.

Damar mundur dengan
perlahan kemudian mengambil langkah seribu ke arah rumah besar.

"Damar! Mau ke mana kamu?" seru Pak Adnan kaget melihat apa yang dilakukan Damar.

Damar tidak menyahut. Ia terus berlari kemudian berhenti di depan pintu kemudian membukanya.

Sementara sosok negatif pembawa
kapak itu berjalan perlahan menuju ke arah Damar seraya mengeluarkan suara deru nafas yang berat.

Orang-orang yang di dalam mobil sepertinya tidak melihat kehadiran sosok besar itu. Mereka malah kebingungan melihat Damar yang malah memasuki rumah besar.

"Damar! Tunggu!" Pak
Adnan keluar dari mobil kemudian menyusul Damar.

Sementara yang lain terlihat celingukan dengan bingung. Mereka saling bertanya satu sama lain.

"Kita harus bagaimana?" ujar Bella seraya mengeluarkan smartphone kemudian mencoba melakukan panggilan.
"Tidak ada sinyal, bel. Kita tidak bisa menelepon siapapun," kata Andi sambil melihat ke arah Sarah.

Gadis itu terlihat seperti sedang komat-kamit. Tentu saja Adi gusar karenanya.

"Sarah, sedang apa kamu?" ucapnya.

Sarah tersentak kemudian celingukan. Ia sejenak terdiam.
"Aku merasa seperti melihat Linda, di." Kata-kata Sarah membuat Adi dan Bella terkejut. (Adi ya bukan Andi : maaf d twit sebelumnya salah nama)

"Itu tidak mungkin, sar. Linda sudah tiada bersama Roni, Andi, dan Firman," tukas Adi seraya menatap bingung ke arah Sarah.
Mendadak terdengar suara seperti suatu benda berat yang terjatuh di kejauhan disusul suara berderak-derak dan dentuman.

Semuanya serempak terdiam mendengarkan bunyi benturan keras tersebut.

"Mira?" ucap Adi saat menyadari bahwa suara tersebut seperti suara mobil yg kecelakaan
30 menit yang lalu.

Pikap dobel kabin berwarna cokelat yang membawa Mira melaju meninggalkan Pak Adnan dan rombongan. Pikap itu melaju melewati jalan berbatu yang diselingi jalur cekung berair dan juga berlumpur.

Pikap itu pun berguncang perlahan saat melintasi jalur tersebut
Saat itu mobil memang tidak bisa dipacu terlalu kencang mengingat ekstremnya jalur yang dilewati.

Lampu depan menyala terang menerobos gelapnya jalan di tengah hutan tersebut.

Beberapa lama kemudian, mobil mencapai jalan raya. Setelah berbelok, mobil pun mulai melaju kencang
"Pak Latif, sebaiknya jangan terburu-buru. Jalur ini terlalu berbahaya untuk dilewati dalam kecepatan tinggi. Terlalu berkelok-kelok jalannya, pak," ujar polisi yang duduk di samping Mira.

Pak Latif hanya mengangguk kemudian memelankan laju kendaraan. Namun ia merasa ada yang
aneh. Kecepatan mobil tidak berkurang justru malah bertambah.

"Pak Latif, tadi mendengar kata saya tidak?" Polisi tadi begitu gusar saat mobil malah makin ngebut.

"Maaf, Pak Ardi. Saya sudah mencoba memelankan mobil tapi malah jadi begini," tukas Pak Latif dengan panik.
Pak Ardi terkejut kemudian segera menyambar sesuatu dari langit-langit kabin kemudian memasangkannya ke leher Mira dan juga dirinya.

Pak Latif tampak berusaha mengendalikan mobil saat kecepatannya semakin naik. Rekan yang berada di sampingnya berusaha membantunya dengan memberi
instruksi.

"Ke kiri belok sedikit, pak! Awas ada papan rambu-rambu!"

Mobil semakin kencang saja berlarinya. Pak Latif pun kewalahan karenanya. Sementara ia justru tidak menginjak pedal gas. Sedangkan pedal rem seolah tidak berfungsi saat ia injak.

Hal itu jelas berakibat
pada tidak terkendalinya laju mobil yang pada akhirnya mobil pun menabrak tebing di sisi kiri jalan. Setelah menabrak tebing, mobil pun terjungkal kemudian jatuh dalam kondisi terbalik ke sisi kanan jalan yang berupa jurang.

Pikap tersebut pun jatuh ke jurang yang cukup dalam.
Setelah mobil berhenti menggelinding di dasar jurang, tampaklah Mira bersama para polisi tidak sadarkan diri. Hal itu terus berlanjut hingga polisi bernama Pak Ardi siuman.

Polisi berusia 50 tahunan itu mengerang seraya menyentuh keningnya yang terluka dan berdarah.
Ia kemudian membuka airbag yang menggembung di tubuhnya. Selanjutnya ia mencoba menyadarkan Mira dengan menyoroti wajah gadis itu.

"Dik, bangun. Kita tidak berhasil melewati rintangan. Kita harus menghadapinya perlahan," ucapnya seraya menyingkirkan airbag di tubuh Mira.
Mira terlihat membuka kedua matanya kemudian melihat ke arah Pak Ardi. Ia tertegun melihat siluet seorang perempuan berkebaya merah sedang berdiri sembari melihat ke arah pikap yang mengalami kecelakaan itu.

Mira dapat melihat jika wajah perempuan tersebut sangat menyeramkan.
"Ada apa, Mira?" tanya Pak Ardi saat sedang berusaha membuka pintu mobil yang terganjal pohon dari luar.

"Bagaimana keadaan teman-teman bapak? Apa mereka baik-baik saja?" Mira malah balik bertanya.

Pak Ardi kemudian memeriksa kondisi kedua rekannya yang masih belum siuman.
-SP Mira-
Pak Ardi membantuku keluar dari mobil terbalik itu. Kepalaku rasanya sakit sekali seperti habis tertimpa palu godam.

Setelah berhasil keluar dari mobil, aku menatap nanar sekeliling. Hanya gelap area hutan di dasar jurang ini yang kulihat.
Sesekali cahaya senter Pak Ardi menerangi area ke mana aku melihat.

“Mira, kita harus mencari jalan keluar dari sini. Kita masih dekat dengan lokasi kawan-kawanmu,” ujar Pak Ardi sembari sesekali melongok ke belakang ke arah dua rekannya yang masih tidak bergerak di dalam
mobil.

“Lalu bagaimana dengan mereka, pak?” Aku menatap ke arah mobil.

“Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan selamat atau tidak. Tapi aku yakin mereka masih hidup. Kita hanya perlu keluar dari sini untuk mencari bantuan,” tukas Pak Ardi.

Aku setuju untuk
bersama Pak Ardi keluar dari area kecelakaan. Meski aku merasa tidak tega meninggalkan dua orang polisi yang masih tidak sadarkan diri di bangku depan mobil yang terbalik itu.

Untungnya mobil tidak sampai meledak apalagi sampai terbakar. Oleh karenanya kami dapat selamat
dari
kecelakaan itu.

Pak Ardi berjalan di depan dengan lampu senternya yang menerangi jalur yang dipenuhi semak belukar juga pepohonan besar dan kecil. Aku menghentikan langkah saat mendengar suara seperti bisikan halus yang berbarengan dengan hembusan angin malam.

Aku menengok ke
belakang ke arah di mana mobil berada, namun tidak terlihat karena kami sudah cukup jauh meninggalkan mobil. Saat aku mengembalikan pandangan ke depan, betapa terperanjatnya aku saat Pak Ardi sudah tidak ada di depanku lagi.

Aku menyalakan senter hape sembari dengan nyalang
kedua mataku mencari-cari di mana keberadaan Pak Ardi.

“Pak Ardi, bapak di mana?” Aku terus berjalan sembari menghindari beberapa tumbuhan yang aku anggap berbahaya jika disentuh terutama bagian batangnya yang berduri.

Suaraku seolah menggema di area dasar jurang itu. Saat itu
suara bisikan halus kembali terdengar di telingaku.

“Mira, dongkap kadieu.” (Mira, kemarilah)

“Siapa itu?” Aku panik mendengar suara bisikan yang terdengar jelas menyebut namaku. “Pak Ardi, jangan bermain-main, pak! Ini sama sekali tidak lucu!”
Aku diam di tempat. Aku mencoba mendengarkan kembali suara bisikkan yang belum muncul kembali.

Aku memutarkan pandangan ke sekeliling hingga kemudian kedua mataku menangkap penampakkan sosok perempuan berkebaya merah. Sosok itu adalah yang sempat aku lihat waktu di mobil.
Penampakkan itu begitu jelas berada di antara dua pohon besar dengan daunnya yang rindang.

“Mira...” Rupanya suara bisikan tersebut berasal dari sosok mengerikan itu.

“Siapa kamu!” Aku menatap penuh takut ke arah sosok perempuan mengerikan itu.

Sosok tersebut kulihat semakin
mendekat ke arahku. Aku mundur perlahan.

Aku melihat wajah sosok itu sangat menyeramkan. Sosok itu memiliki wajah yang sebelahnya sudah hancur menyisakan tulang tengkorak. Sementara wajahnya yang masih berdaging dipenuhi belatung yang menggeliat-geliat.
Tiba-tiba sosok itu mendekatiku dengan kecepatan yang tidak dapat kuperkirakan.

“Aaaaaaaaaaahhhhhh.......!!”
Sosok itu menyerangku dengan ganasnya. Aku berteriak sembari mundur.

Tanpa membuang kesempatan, aku berlari sekuat tenaga. Semak-semak serta kondisi area yang berair tidak menyurutkanku.

Setelah beberapa lama aku berlari, kuhentikan langkah ini. Kucoba mengatur nafasku yang
tersengal-sengal. Saat aku melihat ke kejauhan, kulihat setitik cahaya di bawah sana.

Cahaya apa itu?

Aku berharap cahaya itu berasal dari rumah atau seseorang yang mungkin dapat membantu. Aku tidak berpikir kalau cahaya itu adalah Pak Ardi mengingat perkiraan posisinya belum
sejauh itu.

Ku melanjutkan langkah sembari jantungku berdegup kencang serta keringat bercucuran di wajahku.

Aku takut sosok itu mengejarku.

Aku merasa trauma jika bertemu lagi dengan makhluk-makhluk halus. Itu tidak lepas dari pengalaman burukku di Buni Asri.
Kota terbengkalai itu memang telah menjadi momok yang mengerikan bagiku. Meski demikian, aku masih berpikir tentang Linda.

Kuharap ia masih hidup dan aku ingin ada orang yang membantuku menyelamatkannya.

Kuteruskan langkahku menyusuri jalur bersemak-semak dan berumput tinggi.
Semakin dekat dengan sumber cahaya, semakin jelas terlihat sebuah rumah berdiri dengan suatu jalan setapak di depannya.

Semakin dekat ke rumah tersebut, aku tercengang karena tempat tersebut adalah sebuah pemukiman. Namun, dari sekian banyak rumah, hanya satu yang memiliki
tanda-tanda kehidupan, yaitu rumah sumber cahaya itu.

Aku berjalan melewati tanaman beluntas yang membentuk pagar di depan rumah itu. Dengan ragu-ragu, kudekati pintu kemudian mengetuknya.

Tok, tok, tok

“Permisi,” ucapku dengan takut setengah mati.
“Siapa itu?” Suara seorang laki-laki yang ditaksir berumur setengah baya terdengar menyahut.

“Saya sedang tersesat. Apakah anda mau membantu saya pergi ke kota terdekat?” Aku berucap dengan takut-takut.

Tak lama pintu dibuka, dan seorang laki-laki setengah baya berpakaian
serba hitam serta ikat kepala batik membelit rambutnya yang berantakan.

“Seorang gadis cantik malam-malam sendirian di sini? Pasti kau tidak tahu tempat apa ini.” Kulihat kedua mata laki-laki itu menatapku lekat dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Aku terkesiap mendengar
Aku terkesiap mendengar ucapannya sekaligus merasa penasaran.

“Masuklah. Di luar udaranya sangat tidak baik untuk tubuhmu. Aku besok akan mengantarmu ke pemberhentian bus terdekat,” laki-laki itu mempersilahkanku masuk.

Aku pun masuk ke dalam rumah dengan perasaan risih dan
khawatir.

“Ini kampung apa namanya, pak?” Kulihat lelaki itu menatapku setelah selesai menutup pintu.

“Jangan panggil ‘pak’. Panggil saja Akang Dudi,” tukas Pak Dudi membuatku bergidik. “Kampung ini namanya adalah Tangkal Tangkil. Kamu pasti tahu kenapa namanya demikian.”
Aku sejenak terdiam. Aku sebelumnya sempat melihat banyak pohon melinjo (tangkil) yang tumbuh di sekitar kampung.

“Malam sudah larut. Tidurlah. Ranjang itu cukup untuk kita berdua.” Aku lantas tersentak setelah ia berkata demikian.

“Terima kasih, kang Dudi. Mungkin sebaiknya
saya tidur di dipan saja,” ucapku dengan takut.

Tiba-tiba saja Pak Dudi menatapku dengan kedua matanya melotot dengan roman wajah garang.

“Saya bilang kamu tidur di ranjang dengan saya. Tidak boleh menolak!” Pak Dudi berkata setengah membentak.

Aku benar-benar takut saat ini.
Ya, aku harus kabur. Jika tidak, aku pasti akan diperkosanya.

Tanpa pikir panjang, ku langsung berlari ke arah pintu dan membukanya.

Sial! Aku lupa menarik pin pengunci pintu.

“Kau tidak akan bisa ke mana-mana!” Suara itu menakutkanku seiring dengan sepasang tangan yang
kekar mencengkeramku dan menarikku ke arah ranjang.

Rumah lowong tak berkamar itu terlihat sangat menyeramkan bagiku. Ditambah sang penghuni yang begitu buas mencengkeramku di atas ranjang.

“Lepaskan aku!” Sebisaku berteriak sembari meronta.

Rasanya susah sekali bagiku untuk
mengimbangi kuatnya tenaga Pak Dudi.

“Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Rasakan bagaimana dirimu kuperkosa!” Pak Dudi mulai berani menggerayangiku.

Di saat itu, saat ada sedikit peluang, kutendang kemaluannya sekeras-kerasnya.

Dukkkkkk,
“Aaaarrggghhh....!!” Pak Dudi mengaduh kemudian mundur seraya memegangi area terlarangnya yang barusan kutendang.

Aku dengan cepat melompat kemudian berlari ke arah pintu. Kusempatkan diri menyambar sebilah golok dari sarungnya yang menggantung di dinding. Setelah itu dengan
dengan cepat kubuka pintu.

Pin penunci pintu pun habis aku babat dengan golok hingga hancur.
Segera kuberlari keluar dari rumah.

Dalam gelapnya keadaan di pemukiman itu, aku berlari menembusnya. Di saat itu pula kudengar teriakan Pak Dudi.

“Awas kau!! Aku akan menemukanmu
dan akan kurobek!!”

Aku merasa agak emosi dan ingin kembali untuk mencincang tua keparat itu. Namun aku memilih terus berlari menelusuri jalan kecil di tengah pemukiman menuju hutan sebelah utaranya.

Semakin lama kutelusuri jalan itu, aku pun menemukan semacam tempat
penampungan kayu gelondongan dengan dua buah alat berat yang terparkir di sana.

Kusorotkan lampu senterku dan kuperiksa tempat itu, berharap dapat menemukan bantuan.

Namun, mendadak terdengar suara teriakan dari arah sebuah bangunan berupa rumah kecil.
“Ada orang asing! Tangkap!”

Tak lama kumelihat beberapa orang yang menenteng kapak serta senjata tajam lainnya berhamburan menuju ke arahku. Kondisi yang gelap membuatku tidak dapat melihat wajah mereka. Sementara cahaya senterku tidak cukup kuat untuk menyoroti wajah mereka.
Aku pantang berbicara dengan mereka. Aku langsung berlari menjauhi mereka.

“Dia kabur ke utara! Cegat dia! Putuskan lehernya!”

Teriakan itu terdengar mengerikan. Aku merasa orang-orang tersebut adalah orang-orang jahat yg tidak akan membiarkan orang asing memasuki wilayahnya.
Di saat ku sedang berlari sembari menyoroti jalan, mendadak muncul seseorang yang menenteng kapak di hadapanku.

Orang yang adalah laki-laki itu tanpa basa-basi mengayunkan kapaknya ke arahku. Ku lantas mundur kemudian menyoroti wajahnya yang gelap.

Orang tersebut makin
mengganas dengan serangannya yang mematikan. Aku terus menghindar untuk selanjutnya menuju area kosong dan kembali berlari.

Aku merasa orang tersebut mengejarku seraya mengayun-ayunkan kapak. Ku terus berlari hingga terdengar suara letusan pistol menyeruak di tengah kegelapan.
Aku menyadari rok yang kukenakan tertembus sesuatu yang kecil dan panas yang melesat cepat.

Penembak itu mengincarku!
Aku sembunyi di balik sebatang pohon besar. Sosok manusia berkapak itu tidak terlihat lagi. Namun, sosok yang lain muncul dengan langkah tidak teratur.
Sosok itu mengarahkan pistol ke berbagai arah. Pasti orang ini yang menembakku hingga menembus rok seragamku.

Untunglah peluru itu tidak sampai mengenai anggota tubuhku.

Senter sudah kumatikan. Kini ku mengendap ke arah sosok berpistol itu dengan golok yang siap kutebaskan.
Pelan ku buntuti dia. Setelah dekat, langsung saja kubelah kepalanya.

“Aaaaarrgggghhh....!” Orang tersebut berteriak panjang kemudian jatuh dan sekarat dengan kepalanya yang terluka besar di belakang.

Aku lantas mengambil pistolnya kemudian kusoroti wajahnya.
Kutercengang bingung. Orang ini tidak berwajah. Hanya hitam yg terpampang di area wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik semak-semak dari arah belakangku. Ku langsung beranjak cepat. Ku berlari menelusuri jalan kecil itu hingga sosok berkapak itu muncul menghadang jalan.
Kuarahkan pistol ke arahnya sembari kusorot wajahnya. Saat moncong pistol mengarah ke kepalanya, kutarik pelatuk hingga dua kali.

Dorr, dorr

Dua tembakan membuat sosok menakutkan itu terjengkang kemudian diam tidak bergerak lagi.
Setelah kupastikan orang itu sudah mati, aku
melanjutkan langkah meninggalkan area itu.

Namun karena aku tak tahu arah, langkahku justru menuju pondok pembalakkan kayu. Aku menyadari itu saat kulihat dua alat berat berwarna kuning terparkir di sana serta tumpukkan kayu gelondongan.

Sial! Kulihat gerombolan orang-orang
bersenjata itu kembali muncul dari balik kegelapan. Mereka merangsek ke arahku.

Kulepaskan tembakan ke arah musuh terdekat. Kemudian kulepaskan lagi tembakan hingga beberapa orang rubuh ke atas tanah. Di saat itu pula aku kehabisan peluru.

Kusimpan pistol itu ke dalam tas. Aku
berlari menjauh ke arah jalur sebelumnya di mana aku mengalahkan manusia kapak.

Dari situ, kuteruskan berlari meski nafasku tersengal-sengal.

Setelah agak jauh, aku berhenti. Selanjutnya kulihat ke belakang. Orang-orang gelap yang tersisa rupanya tidak mengikutiku lagi.
Tiba-tiba kudengar suara dengungan chainsaw diiringi teriakan seseorang yang tidak asing.

“Hayoo, kamu tidak akan bisa lari! Akan kucacah kau! Akan kumulai dari *****mu!”

Itu adalah suara Pak Dudi. Maniak itu rupanya sedang mengejarku. Dia belum terlihat hingga suatu cahaya
lampu muncul dari arah timur, tepatnya dari sela-sela pepohonan.

Tiba-tiba,

Grudddaagggg,

Sebatang pohon roboh tepat ke arahku. Hal itu jelas membuatku spontan lari ke area yang lebih aman.

Batang pohon besar itu rupanya dirobohkan oleh Pak Dudi menggunakan gergaji
mesinnya. Maniak itu dengan beringas berjalan ke arahku seraya menenteng mesin pembunuh itu.

Aku saat ini hanya bisa lari. Pistolku kehabisan peluru. Menggunakan golok sangat berisiko. Gergaji mesin adalah senjata pembunuh jarak dekat paling efektif. Oleh karenanya, aku harus
menghindar sejauh mungkin.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk melawannya. Aku hanya bisa berlari menghindar.

“Modar sia!!” Pak Dudi berteriak seraya menebaskan gergaji mesinnya.

Aku menghindar sembari melempar beberapa benda seperti balok kayu, batu, atau potongan
besi yang kutemukan.

Karena serangan Pak Dudi sulit kuimbangi, aku berlari ke arah pondok dengan tujuan memancing orang-orang gelap muncul. Siapa tahu mereka juga akan menyerang Pak Dudi, mengingat Pak Dudi adalah orang asing juga.

Meski aku sangsi dengan dugaan itu,
mendekati pondok tetap kulakukan.

Namun apa yang kupikirkan ternyata tidak bekerja. Orang-orang gelap tidak muncul juga. Apakah cahaya lampu Pak Dudi membuat mereka enggan muncul?

Saat ini, area sekitar pondok yang tadinya gelap menjadi terang oleh cahaya lampu yang dibawa Pak
Dudi. Lampu tersebut menempel di atas mesin gergajinya.

Sepertinya dugaanku benar. Orang-orang gelap tidak akan muncul karena kehadiran cahaya terang benderang. Seingatku cahaya senterku tidak berpengaruh terhadap mereka. Mungkin karena cahayanya yang lemah.

Di area sekitar
pondok juga tidak kutemukan mayat para penyerang itu, padahal aku yakin beberapa waktu lalu, kubunuh mereka di sini.

Kubersembunyi di balik tumpukan gelondongan sembari mengamati ke arah mana cahaya lampu itu bergerak.

“Di mana kau, gadis cantikku!!” Suara Pak Dudi kembali
terdengar.

Kali ini kudengar asal suaranya dari balik salah satu alat berat yang terparkir sekitar 10 meter dari posisiku.

Aku juga dapat melihat pergerakan cahaya lampunya semakin mendekat saja.

Dengan bersijingkat, kubergerak ke arah lokasi yang lebih tersembunyi.
Namun sial! Kumelihat setidaknya lima orang gelap dengan senjatanya muncul.

Ini mungkin bisa jadi kesempatanku membenturkan Pak Dudi dengan kelompok orang gelap. Namun, hal itu rasanya mustahil karena jauhnya jarak antara mereka. Selain itu, cahaya lampu Pak Dudi pasti akan
mengusir orang-orang gelap tersebut.

Hal yang dapat kulakukan adalah berlari ke sumber cahaya dan para penyerang pun mengikutiku. Di saat itu juga, Pak Dudi muncul seraya berlari pelan ke arahku sambil mengarahkan gergajinya.

“Modar sia!!”
Aku segera menghindar ke arah area kosong di sebelah kananku. Sembari kulihat para orang gelap beramai-ramai mengeroyok Pak Dudi.

Sayangnya, bentrokan itu dimenangkan si manusia gergaji. Para orang gelap habis sudah terkena tebasan gergaji mesin Pak Dudi.

Setelah selesai
menghabisi para orang gelap, Pak Dudi mengejarku hingga mencapai suatu sudut dinding kayu di mana aku tidak dapat ke mana-mana lagi.

“Hahahaha, sekarang kau akan mati!!” teriak Pak Dudi seraya dengan penuh kemenangan berjalan ke arahku.

Dengan gerakan cepat ia menghantamkan
gergaji mesinnya ke arahku dari atas ke bawah. Aku spontan mengambil sepotong balok kayu berukuran agak besar. Aku juga menjatuhkan diri karena jika tidak, maka mata gergaji akan cepat mengenai kepalaku.

Dengan kedua tanganku, kuangkat balok itu untuk menangkis gergaji mesin
Pak Dudi.

Ngeeeengggg...

Gergaji mesin mendengung keras saat rantai menyentuh balok yang kutahan dengan kedua tangan.
Kuatnya dorongan Pak Dudi membuatku semakin membenamkan badanku saja ke bawah.
Sejenak kutahan nafasku. Kumantapkan pikiranku agar tidak memikirkan apa yang akan terjadi, kudorong sekuat-kuatnya balok kayu itu.

Selanjutnya yang terjadi, mata gergaji meluncur deras ke arah wajah Pak Dudi.
Aku secepatnya menyingkir sesaat sebelum tubuh Pak Dudi jatuh ke arahku. Kulihat wajahnya terbelah dan menyemburkan darah setelah terkena hantaman rantai gergaji yang berputar.

“Aaaaaaaaaahhh....”

Suara teriakan Pak Dudi membahana di tengah gelapnya malam diikuti meredanya
suara dengungan gergaji mesin.

Aku segera pergi meninggalkan mayat Pak Dudi. Terlebih dahulu aku mengambil lampu yang menempel di handle gergaji mesin. Dengan lampu itu kusoroti jalan untuk selanjutnya kulanjutkan perjalananku.

Saat ini aku ingin kembali ke rumah besar di mana
barangkali Damar dan yang lainnya masih di sana. Aku juga merasa penasaran ke mana gerangan Pak Ardi setelah kami meninggalkan mobil dan dua rekan Pak Ardi.

Kulangkahkan kedua kakiku menelusuri jalanan gelap itu. Sunyi yang kurasakan saat ini. Angin malam berembus membuatku
bergidik.

Jalur yang kulewati saat ini adalah jalur sedikit berlumpur. Kulihat di depan sana beberapa rumpun bambu yang sebagian tanaman bambu menjuntai ke arah jalan.
Rumpun-rumpun bambu itu terlihat seolah menjadi suatu hiasan yang menambah seramnya tempat tersebut.
Sesekali terdengar suara deritan batang bambu yang bergoyang tertiup angin.

Kuhentikan langkah saat kudengar suara gemerisik dari salah satu rumpun bambu. Kuarahkan cahaya lampu ke arah rumpun tersebut.

Tidak ada apa-apa di sana.
Suara gemerisik kembali terdengar dari rumpun bambu yang lain.
Rumpun bambu yang kali ini ada di sebelah kananku.

Hhhhrrrrr....

Terdengar suara dengkuran mirip suara dengkuran babi dari rumpun bambu sebelah kiri jauh.

“Hhhihihihi.....”

Tiba-tiba aku mendengar suara tawa
menyeramkan dari arah belakangku. Kutolehkan kepala ke belakang.

Tidak ada apa-apa.

Saat kukembalikan pandangan ke depan.

“Hihihihihi........!!!!”
Sesosok perempuan berpakaian gombrong serba putih berambut panjang hingga ke pinggul menampakkan diri. Sosok itu juga berwajah mengerikan dengan kedua matanya melotot besar yang melelehkan darah dan nanah. Mulutnya yang lebar memperlihatkan gigi-giginya yang rusak dan kotor.
Ku mundur beberapa langkah setelah sosok itu melakukan serangan kejutan. Aku jga berlari menjauhi tempat di mana sosok itu menyerangku.

Suara kikikannya masih dapat kudengar. Semakin melengking, pertanda jaraknya denganku sudah cukup jauh.

Kuteruskan langkahku menyusuri jalur
gelap di antara rumpun-rumpun bambu tersebut. Suara kikikan kuntilanak masih terdengar jelas melengking.

Keluar dari area hutan bambu, kulewati jalan dengan pepohonan tinggi di sekitarnya. Semakin jauh kuberjalan, semakin dekat posisiku dengan suatu gapura yang berdiri kokoh
mengangkangi jalur yang akan kulewati.

Gapura tersebut memiliki tulisan yang terpotong “WILUJENG SUMPING DI .... ”.

Kuperhatikan gapura itu.

Sunyi di sekitar gapura. Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar.

Di balik gapura, kulihat siluet bangunan mirip pendopo
dengan beberapa batang pohon beringin tumbuh di sekitarnya.

Aku bimbang, apakah harus memasuki gapura itu atau kembali lagi ke arah hutan bambu. Kulihat di sekitar gapura, tidak ada jalur lain.
Kumerasakan suasana horor di depan gapura itu. Aku berpikir apapun yang berada di
balik gapura tersebut pastilah sama horornya dengan gapuranya.

Gedubrakkkk

Mendadak kudengar suara benda jatuh dari dalam gapura. Ku tersentak kaget. Ku lantas mundur seraya mengarahkan cahaya lampu darurat ke arah sumber suara.

Sssshhhh...

Terdengar suara mendesis yang juga
berasal dari balik gapura itu.

Sret, sret, sret

Kudengar suara seperti suatu benda berat yang bergerak di atas tanah dan tumpukan dedaunan kering. Aku jadi membayangkan jika suara besar tersebut berasal dari ular yang sangat besar.

Semakin keras suara desisan dan gesekan itu,
semakin jelas terlihat olehku sesosok penampakan makhluk mistis berwujud perempuan berbadan ular.

Sosok siluman ular itu menyeringai ke arahku seraya terus mendesis. Siluman ular itu melata ke arahku sembari menjulurkan lidahnya yang bercabang.

“Nek naon maneh kadieu?
Hayang sugih? Hayang dipikaasih batur? Sok bejakeun ka kuring nu boga ngaran Nyai Yaro!” (Mau apa kamu ke sini? Ingin kaya? Ingin dikasihani orang? Katakan padaku yang punya nama Nyai Yaro!) Perempuan ular itu berkata dalam bahasa Sunda yang tentu aku dapat memahaminya.
“Saya hanya ingin keluar dari tempat ini untuk menemukan teman-teman saya. Mereka sedang dalam bahaya.” Ku berucap ragu-ragu sembari kutatap ngeri sosok Nyai Yaro yang semakin mendekat.

“Hahahahaha..... Pamenta maneh lain nu dipikaarep ku kuring! Kuring moal daek nurutkeun
pamenta maneh!” (Permintaanmu bukan yang diharapkan olehku! Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu!)

“Maafkan saya, nyai. Saya tidak punya keinginan seperti yang biasa orang-orang inginkan. Saya hanya ingin keluar dari tempat ini. Saya ingin ke jalan raya, saya ingin menemui
teman-teman saya.” Aku keukeuh dengan keinginanku.

Nyai Yaro berhenti melata kemudian melotot ke arahku. Sembari mendesis ia menggeliatkan sekujur badannya.

“Nu ngageugeuh saalam jagat! Kuring ngabejakeun pamenta nu teu katarima!”
(Yang menguasai alam jagat! Aku mengabarkan permintaan yang tidak dapat diterima!)

Kulihat Nyai Yaro menengadahkan kedua tangan ke udara sembari komat-kamit. Sosok menyeramkan itu kembali menggeliat-geliat.
“Pamenta anjeun bakal kuring kabulkeun tapi aya syaratna!” (Permintaanmu akan kukabulkan tapi ada syaratna!)

Kutatap ngeri makhluk mistis itu. Rupanya apa yg kukatakan sebelumnya dia anggap sebagai permintaan. Aku bingung harus mengatakan apa untuk menjawab kata-kata Nyai Yaro.
“Saya tidak meminta anda mengabulkan permintaan saya. Saya cuma ingin keluar dari tempat ini tanpa anda ganggu.” Nyai Yaro melotot setelah perkataanku barusan.

“Kurang ajar, maneh! Wani-wani ngomong kitu ka aing!”(Kurang ajar, kamu! Berani-beraninya bicara begitu padaku!)
Nyai Yaro berkata dengan marah sembari kedua matanya yang berpupil kecil dan menyala merah melotot padaku.

Aku mundur perlahan saat kusadari Nyai Yaro tersulut amarahnya oleh perkataanku. Aku menatap waspada ke arahnya sembari tangan kananku menggenggam golok dan tangan kiriku
menggenggam lampu darurat hasil rampasan.

“Aaaahhhh, diteureuy dia ku aing!” (Aku telan kamu!) Nyai Yaro melata dengan cepat ke arahku. Dia mulai melakukan serangannya.

Aku harus menghadapinya seperti aku menghadapi para demit Buni Asri dulu meski aku tidak melihat cahaya
lampu ini dapat berpengaruh pada Nyai Yaro.

Nyai Yaro datang dengan cepat ke arahku. Cabikan kedua telapak tangannya yang berjari runcing mengarah kepadaku.

Mendadak Nyai Yaro menjerit saat kedua tangannya hampir mencapaiku.

“Aaahhhhh.... Maneh pasti katurunan si Raman!”
(Kau pasti keturunan si Raman!)

Aku terkejut mendengar kata-kata Nyai Yaro. Aku kemudian teringat pada obrolan dua orang penculikku di dalam rumah besar itu. Mereka sempat menyebut-nyebut nama Pak Raman dan keluarganya.
Namun aku merasa bingung kenapa siluman ular ini menyangkutpautkanku dengan Pak Raman?

“Aing teu bisa nyerang katurunan si Raman, jalma nu geus jadi anak buah Wawagor!” (Aku tidak bisa menyerang keturunan si Raman, orang yang sudah menjadi anak buah Wawagor!) serapah Nyai Yaro
sambil melata ke sana kemari.

Aku merasa bingung dengan kata-kata Nyai Yaro. Namun kemudian kuputuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Aku berniat kembali ke hutan bambu, tidak peduli apapun yang akan terjadi, termasuk dicegat kuntilanak.

Namun, baru aku mau berbalik,
Nyai Yaro sudah mencegatku sambil melihat dengan buas ke arahku.

“Ulah balik deui kaditu. Teruskeun ka jero bale-bale. Maneh bakal nyaho saha kulawarga maneh!” (Jangan balik lagi ke sana. Teruskan ke dalam pendopo. Kamu akan tahu siapa keluargamu!)
Aku hanya bisa tertegun
setelah mendengar kata-katanya.

“Buru! Atawa babaturan maneh bakal paragat ku Dewi Lajer!” (Cepat! Atau teman-temanmu akan dibunuh Dewi Lajer!) Nyai Yaro menghardikku sambil terus melata.

Aku pun segera berlari ke dalam gapura untuk selanjutnya kususuri pendopo hingga mencapai
suatu pintu besar yang tertutup di tengah-tengah.

Aku harus melewati pintu ini tapi aku tidak dapat membukanya. Sedangkan kulihat di sekitar pendopo tidak ada area lain yang dapat kulewati karena terhalang tembok tinggi di kedua sisinya.
Kusoroti pintu yang kokoh itu.
Induk kunci pintu tampak berkarat. Mungkin itu yang jadi penyebab pintu tidak dapat dibuka.

Kukeluarkan golok kemudian kucongkel perlahan celah di antara dua daun pintu berwarna merah itu. Perlahan-lahan pintu terbuka dan area gelap pun terlihat di depan mata di balik pintu ini.
Kusoroti area gelap itu hingga terlihatlah suatu ruangan besar dengan beberapa buah sofa bergaya klasik serta sebuah meja besar yang dipenuhi sarang laba-laba dan debu.

Aku juga melihat banyak sekali lukisan bergantung di dinding. Sebagian lukisan-lukisan tersebut sudah tidak
tidak dapat terlihat karena tertutup debu dan sarang laba-laba. Namun ada juga lukisan yang jelas terlihat bahkan seolah-olah seperti hidup.

Klontanggggg......

Mendadak terdengar suara mengklontang dari lorong di depan sana.

Ku terkejut hingga terdiam di tempat.
Kusorotkan lampu ke arah lorong yang sepertinya mengarah ke ruangan lain. Saat mulai kulangkahkan kedua kakiku, mendadak salah satu lukisan melayang ke arahku.

Prakkkkk

Aku refleks menghindar hingga lukisan itu jatuh ke atas lantai. Aku pun segera menyorot lukisan itu.
Terlihat jelas lukisan keluarga lengkap ayah, ibu, dan tiga anak perempuan dari yang paling besar hingga paling kecil.

Di lukisan tersebut jelas tertulis nama-nama anggota keluarga : Raman Sanjaya, Arsini Nuriasari, Dewi Indirahayu, Sanghyang Rana, Mira Aini Nurfatika.
Saat melihat nama terakhir, ku tercengang karena mirip dengan nama lengkapku. Tapi itu tidak mungkin namaku. Pasti hanya kebetulan mirip saja.

Namun kemiripan wajah gadis paling kecil berusia sekitar satu tahun lebih di lukisan itu agak mirip dengan wajahku saat aku masih
balita.

Mungkin itu memang aku. Tapi aku memiliki keluarga lengkap. Memang sih aku anak tunggal. Hal itu membuat kesan seolah-olah aku bukan anak kandung.

Kini pikiranku menjadi tidak tenang karena lukisan itu. Namun karena aku penasaran, kupecahkan lukisan berukuran 30 inci
itu, kemudian kugulung kanvas dengan lukisan keluarga tersebut dan kuselipkan di antara tali tasku.

Ku beranjak menuju lorong seraya kusoroti lorong menakutkan itu. Sepanjang dinding lorong kulihat banyak sekali lukisan yang sudah pudar terpampang.
Artinya bangunan ini sudah cukup lama berdiri. Makanya beberapa benda yang ada di dalamnya rusak dan berdebu.

Brugggg

Terdengar suara pintu dibanting tepat dari arah depan. Barangkali di depan sana terdapat pintu, entah pintu keluar ataupun pintu lainnya.
Aku tersentak kaget. Kuarahkan cahaya lampu ke arah sumber suara. Tidak terlihat adanya pintu. Hanya lorong yang sepi dan mencekam yang tampak.

Whuuuushhh

Kumerasa seperti ada angin berembus ke arah tengkuk. Aku tidak berani menoleh ke belakang karena kupikir hal astral lain
sedang menguntitku.

Whuuushhh

Hembusan angin terasa kembali berkelebat meniup punggungku hingga ke tengkuk. Aku penasaran namun ku tak berani menoleh.
Apapun itu yang menimbulkan hembusan angin pasti entitas astral yang hendak menggangguku.
Kuteruskan langkahku ke depan ke ujung lorong yang mulai terlihat. Ujung lorong tersebut adalah ruangan lain yang sama besarnya dengan ruangan sebelumnya. Namun di ruangan ini tidak ada sofa maupun meja. Hanya tumpukan perabot rongsokan yang menggunung.
Di setiap sisi ruangan terdapat kamar-kamar dengan pintunya yang tertutup. Di salah satu pintu terdapat papan nama berwarna putih dengan tulisan Mira Aini Nurfatika the Beloved Daughter.
Kuperhatikan lama sekali papan nama itu hingga kurasakan suatu tangan menyentuh pundakku dari belakang.
“Mira, anaking, tungtungna hidep dongkap. Ieu ambu, anaking.” (Mira, anakku, akhirnya kamu datang. Ini ibu, nak.) Suara seorang ibu-ibu terdengar mendayu-dayu di telingaku.

Aku masih belum berani menoleh. Aku takut sekali jika sosok di belakangku melakukan serangan dadakan.
“Anaking, tingali kadieu, tingali ambu anu tos ngantosan lami pisan kasumpingan hidep ka ieu panyicingan urang kapungkur.” (Anakku, lihatlah kemari, lihatlah ibu yang sudah menunggu lama sekali kedatanganmu ke tempat tinggal lama kita ini.) Suara itu kembali terdengar persis di
belakang tengkukku.

Kurasakan hembusan angin yang begitu dingin dan berbau bangkai campur bau lumpur. Aku sudah menduga jika suara sosok ibu tersebut bukanlah manusia.

Karena itulah, secepatnya aku bergulir ke arah kiri kemudian kulihat sesosok perempuan berbalut lumpur dengan
dengan penampilan mengerikan tengah menyeringai ke arahku.

“Ulah kabur!” (Jangan lari) Sosok itu melompat ke arahku seraya menggeram keras.

Aku lantas berlari ke arah suatu area di mana kulihat di atas lantainya terdapat semacam lingkaran besar dengan
simbol bintang kepala Baphomet.

Tempat itu bekas melakukan ritualkah?

Aku menyoroti area sekitar. Sosok itu tengah terseok-seok berjalan ke arahku dengan suara geramannya yang mengerikan.

Aku melihat mata sebelah kanan sosok itu terjuntai hingga ke mulut. Hanya urat yang
menjuntai dari kelopak yang tehubung dengan mata itu.

Saat sosok itu semakin mendekat, kuarahkan cahaya lampu ke wajah penampakan yg kupikir itu adalah Arsini, hantu ibu dalam lukisan itu.
Sosok itu tidak bergeming. Ia malah berlari ke arahku dan menerjangku. Aku menghindar,
namun tiba-tiba lantai tempatku berpijak runtuh. Aku pun jatuh terperosok ke dalam ruangan bawah tanah di bawah lantai dengan lambang okultis itu.

Aku pun jatuh telentang di dalam ruangan misterius itu. Sementara sosok Arsini tidak terlihat berada di ruangan itu.

Segera kuraih
lampu yang terjatuh kemudian aku bangkit berdiri. Kuputarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Kemudian ku melihat ke atas tepat ke arah langit-langit yang telah jebol.

Kualihkan kembali pandangan ke penjuru ruangan. Kulihat ada semacam terowongan sempit yang dipenuhi
sarang laba-laba sehingga hampir luput dari perhatianku.

Kressekkkk, gruppyaakkkk

Terdengar suara gemerisik dari arah belakangku. Saat kulihat beberapa sosok hitam berwujud seperti manusia namun merayap di atas tanah sedang merangsek ke arahku.

Grrrrrr......
Makhluk-makhluk tersebut merangkak cepat ke arahku. Aku lantas berlari ke arah terowongan sempit itu dan memasukinya dengan cara merangkak. Namun, salah satu makhluk itu berhasil menangkap kakiku yang sebelah kiri.

“Aaaahhhhh....” Kuberontak kemudian kaki kananku kutendang-
tendangkan ke arah makhluk yang sedang memegangiku.

Setelah kuberhasil melepaskan kakiku dari cengkeraman makhluk itu, ku langsung merangkak secepat mungkin di dalam terowongan sempit itu.

Ku terus merangkak cepat. Terlebih kusadari sosok-sosok itu sedang mengejarku. Semakin
Semakin jauh ku merangkak, semakin terlihat suatu ruangan di depan sana.

Sesampainya di sana, ku langsung keluar dari terowongan kemudian berlari melewati ruangan itu. Namun sial, aku terjatuh ke dalam kolam lumpur yang berada di ruangan itu.
Kumeronta di dalam lumpur. Namun
sejenak kuteringat bahwa ketika sedang terjebak lumpur ataupun air, jangan banyak meronta. Sebaliknya aku harus tetap tenang. Apalagi tanganku berhasil menyambar tali tambang yang menggantung di atas kolam lumpur.

Di saat aku berusaha keluar dari kolam lumpur, sosok-sosok hitam
merangkak itu telah mencapai tempat ini. Aku tidak dapat melihat mereka karena lampu yang kubawa terjatuh ke dalam lumpur.

Usahaku membuahkan hasil. Aku berhasil keluar dari kolam lumpur. Dengan segera aku berlari ke arah tangga naik saat sosok-sosok itu mengejarku.
Kulihat di atas tangga terdapat pintu yang tertutup. Kucoba membukanya namun nihil. Pintu terkunci dari luar sana.

Kugedor-gedor pintu dengan panik meski ku tidak berpikir jika di luar sana ada orang.

Sosok-sosok mengerikan itu semakin mendekat. Mereka merangkak jatuh bangun
menaiki tangga. Salah satu di antara mereka berhasil mencapai posisiku.

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Aku lantas melompat ke dalamnya dan dengan segera menutup pintu rapat-rapat.

Setelah ku berhasil menutup, kulihat ke depanku. Di sana Damar berdiri bersama Pak Ardi, dan
Pak Adnan, melihat ke arahku dengan bingung.

“Mira? Kamu sedang apa di dalam sana barusan?” Pak Adnan menatapku penasaran.

“Kenapa kamu bisa muncul dari sana? Padahal kita terpisah jauh dari sini,” kata Pak Ardi dengan mimik wajah bingung.
Aku belum menjawab pertanyaan mereka. Aku masih merasakan ketakutan akibat kejadian beberapa waktu itu.

“Tubuhmu kotor sekali, mir. Kamu habis tercebur di lumpur?” Damar menatapku dengan heran.

-SEKIAN -
(Masih ada lanjutannya tapi nanti)

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Acep Saepudin

Acep Saepudin Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @acep_saep88

31 Jan
- RAHASIA RERUNTUHAN DI TENGAH HUTAN -

Sebuah cerita yg tujuannya utk hiburan bukan untuk menakut-nakuti atau menceritakan sesuatu yg kebenarannya diragukan..

Selamat membaca..

@ceritaht @WdhHoror17 @IDN_Horor @bagihorror #ceritahorror #ceritahorror #ceritaseram Image
Sebelum lanjut ke ceritanya, penulis ingin menyampaikan bahwa gambar di atas hanya ilustrasi yg berasal dari platform editing cover...

Makasih
Brag, brag, brag,

Suara genderang bergema sesaat ketika di dalam rumah berbilik bambu itu sedang terjadi keributan. Keributan tersebut terjadi saat seorang perempuan muda kerasukkan, di mana kekasihnya mengamuk sambil bertingkah seperti hendak memukul gadis itu.
Read 204 tweets
15 Dec 20
-RUMAH BESAR DI TENGAH PERKEBUNAN SAWIT VERSI II-

Jika para pembaca pernah membaca thread Ketakutan Mira, maka thread ini yg menjadi lanjutannya. Semoga kalian semua suka. Makasih

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @WdhHoror17 @bagihorror #bacahorror #ceritaht Image
Menjelang dini hari di dalam sebuah rumah besar yang berdiri terpencil di tengah-tengah perkebunan sawit yang telah lama ditinggalkan.

Sarah berdiri di depan pintu, menghadang Mira yang hendak melewati pintu tersebut.

"Kau mau ke mana, maniak?" ucap Sarah dingin.
Mira menghentikan langkahnya kemudian menatap malas ke arah Sarah.

"Menyingkir dari jalanku, Sarah! Kau belum puas menindasku?" Mira menatap tajam ke arah teman sekelasnya yang ia tahu kerap membully-nya.

Sarah mendecih, "Aku tidak akan menekanmu terus-terusan jika kau tidak
Read 130 tweets
16 Nov 20
>>PARA PENGHUNI DESA MATI BAGIAN II<<

Sebuah thread dr sy pribadi. Semoga pembaca suka
Cerita masih berfokus pada desa terbengkalai yg berusaha dihidupkan kembali oleh saudara tiri Pak Raman

@bacahorror
@IDN_Horor @ceritaht @WdhHoror17 @Bagihoror #bacahoror #CeritaHororTwitter Image
Desa Cikahuripan yang telah lama mati, di salah satu sudut wilayahnya berupa rumah-rumah penduduk yang terbengkalai.

Saat itu kondisi di desa dalam keadaan gelap. Bukan karena hari telah malam, melainkan karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat kuat, yang mencengkeram desa
hingga tidak berkutik.

Di dalam salah satu rumah, Pak Raman berbaring dengan menyilangkan tangan kanannya di atas keningnya. Kedua matanya tampak terpejam.

Entah sudah berapa lama ia tertidur di dalam rumah yang telah ditinggalkan pemiliknya itu.

Sayup-sayup terdengar suara
Read 92 tweets
28 Oct 20
>Para Penghuni Desa Mati<

Sebuah thread dari Acep_saep...

Cerita akan sedikit mengulas apa yang terjadi di desa di mana di cerita sebelumnya keluarga Pak Raman diusir.

Selamat membaca

@WdhHoror17 @ceritaht @bagihorror @IDN_Horor #CeritaHororTwitter #ceritahoror #ceritaseram Image
Setelah semalam berlalu pasca diusirnya keluarga Pak Raman dari desa.

Pagi itu, desa yang dipimpin Kades Samsudin mengalami kegemparan yang dahsyat.

Bagaimana tidak, setidaknya sepuluh keluarga tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka tewas dengan seluruh tubuh dipenuhi luka-
luka yang sangat parah persis seperti yang terjadi pada Indira di cerita 'Rumah Besar di Tengah Perkebunan Sawit'.

Sepuluh keluarga tersebut setidaknya salah satu atau dua anggotanya adalah yang paling gencar mengusir Keluarga Pak Raman, bahkan menjadi orator utama.
Read 110 tweets
18 Oct 20
>Rumah Besar di Tengah Perkebunan Sawit<

Sebuah cerita mengenai suatu keluarga yg diusir dari desa karena dugaan persekutuan salah satu anggotanya dengan iblis..

@ceritaht #CeritaHororTwitter @IDN_Horor @WdhHoror17 #hororstory @bagihorror #ceritaseram Image
Di suatu pagi menjelang siang. Di jalanan desa itu terlihat beberapa orang warga sedang berjalan terburu-buru menuju ke arah selatan. Terkadang para warga tersebut menemui warga lain yang ditemuinya kemudian membicarakan sesuatu yang tampaknya penting sekali.

"Ayo kita labrak!"
Begitu kata-kata yang terdengar dari warga yang menemui warga lain yang ditemuinya.

Siapa sebenarnya yang akan mereka labrak? Jumlah mereka semakin banyak saja, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu bahkan para lansia. Mereka bersama menuju ke arah selatan.

Rombongan warga tersebut
Read 112 tweets
5 Oct 20
> Impian Pupus Sang Pengantin<

Sebuah cerita tentang macam2 aja, deh. Eksekusinya nanti aja, ya.

Lagi disuruh ngasuh sama bini...

#CeritaHororTwitter @ceritaht #ceritahoror @IDN_Horor @horrornesia @WdhHoror17 Image
November 1965

Sore itu di suatu rumah berbilik bambu di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Rumah yang teduh karena terletak berdekatan dengan rerumpunan bambu yang rindang.

Isah, si gadis putri Pak Ramidjan dan Bu Surtini, sedang di kamarnya bersama ibundanya.
Gadis tersebut sedang disisiri sang ibunda sembari berkeluh kesah mengenai hari pernikahannya yang seminggu lagi akan digelar.

"Bu, Isah merasa tidak percaya diri. Pernikahan ini bagiku terlalu mendadak. Padahal baru kemarin dia datang melamar, tahu-tahu seminggu lagi," ucap
Read 133 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!