My Authors
Read all threads
Sebuah Thread

- Pasukan Sirah Domba -

Mereka muncul dari balik gelapnya sebuah kebun misterius. Sepasukan makhluk halus yg haus darah muncul meneror desa.

Pict source : Google

@bagihorror @ceritaht @WdhHoror17 @horrornesia #CeritaHororTwitter #ceritahoror
Malam itu di suatu desa yang berlokasi tidak jauh dari hutan lebat. Tampak dua orang laki-laki sedang berbicara satu sama lain sambil celingukan.

"Pak Usup jangan bilang-bilang ke warga soal hal ini agar tidak ada kepanikan massal. Desa ini bisa bertahan karena apa yang
janggal yang terjadi selalu kita rahasiakan. Termasuk fakta perkebunan sawit yang tidak diketahui siapa pemiliknya ini," ucap laki-laki pertama.

Pak Usup menatap nyalang ke arah lawan bicaranya itu. Ia menghela nafas.

"Pak Nasrun, desa ini berdiri berkat sesepuh kita, Abah
Jahri bersama Pak Marbun. Mereka pasti punya alasan kenapa berani mendirikan pemukiman di tanah ini," kata Pak Usup menimpali perkataan Pak Nasrun.

"Alasan mereka masih belum kita tahu. Biasanya orang lain tidak akan berani membuka lahan dekat dengan wilayah-wilayah angker.
Apalagi membangun pemukiman di atasnya," tutur Pak Nasrun sembari menengok ke arah sebatang pohon sawit.

Pak Usup turut melihat ke arah pohon tersebut. Ia pun terperanjat saat melihat sesuatu berdiri di depan tanaman itu.

"Astaga, apa itu, pak!" pekik Pak Usup kaget.
Sementara Pak Nasrun tampaknya tidak kaget dengan munculnya sosok asing itu.

"Kita sebaiknya pergi, pak. Ia adalah salah satu dari mereka. Ia tidak akan menyerang kecuali kita mengusiknya," tukas Pak Nasrun seraya berlalu diikuti Pak Usup.
Penampakan sesosok mirip manusia namun memiliki tanduk domba di kepalanya terlihat menyeringai, melihat ke arah kepergian Pak Usup dan Pak Nasrun.

Ia mendesis sembari kedua matanya yang menyala merah melotot. "Manusia, aku datang!"
Pagi itu, desa tersebut kedatangan tiga orang bidan yang akan bertugas di puskesmas setempat. Mereka bertiga baru di desa tersebut.

Warga desa pun menyediakan tempat untuk tinggal bagi ketiganya. Setidaknya selama mereka bertugas di desa itu.

"Selamat datang di Desa
Cikahuripan, neng Laela, neng Rina, dan neng Dita. Semoga betah ya," ucap Pak Dodi yang merupakan Kades desa tersebut.

"Terimakasih, Pak Kades. Kalau boleh tahu lokasi puskesmasnya di mana ya, pak?" tukas Dita sambil menatap Pak Dodi.
"Puskesmas di sebelah sana, neng. Dekat dengan perkebunan sawit." Pak Dodi menunjuk ke arah ujung jalan.

"Tidak kelihatan, pak. Di sana cuma ada rumah-rumah warga," tukas Laela sambil mengikuti pandangan Pak Dodi.

Pak Dodi menggaruk kepala. "Neng nanti akan menemukan
puskesmasnya jika mengikuti jalan ini hingga melewati rumah-rumah warga yang di ujung sana," katanya.

"Jadi Pak Kades nggak mau mengantar kami, nih? Baiklah, cukup tahu ya," ucap Laela membuat Pak Dodi tercengang.

"Laela! Maafin kelakuan teman saya, Pak Kades. Dia orangnya
kadang-kadang suka sedeng (rada-rada)," kata Rina sambil menatap gusar ke arah Laela.

"Tidak apa-apa, neng Rina. Sekarang saya jadi tahu kalau neng Laela suka bercanda," tukas Pak Dodi. "Kalau begitu saya antar kalian ke puskesmasnya. Pak Usup juga akan ikut bersama kita."
Pak Dodi bersama Dita dan kawan-kawan berjalan melalui jalan desa menuju puskesmas. Bersama mereka turut serta Pak Usup yang tampak sesekali menoleh ke belakang.

Ia melihat ke arah Pak Nasrun yang sedang berdiri di depan balai desa sambil menggerak-gerakkan kedua tangan seperti
sedang memberi isyarat.

Tak lama mereka pun tiba di depan puskesmas desa. Puskesmas terletak di pinggir jalan desa bersama dengan pepohonan sawit.

Jarak puskesmas dengan pemukiman warga mencapai sekitar 500 meteran. Otomatis untuk mencapai puskesmas harus berjalan cukup jauh.
Sementara di desa jarang sekali ada kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat.

Sesampainya di depan puskesmas, mereka berdiri cukup lama sambil sesekali saling pandang seperti sedang merasa gamang.

“Puskesmas ini berhantu. Pasti setiap malam ada kuntilanak di kamar
sebelah kanan yang pertama,” ucap Laela membuat semuanya tercengang.

“Jangan ngawur, la! Kalau begini bisa-bisa aku nggak jadi tugas di sini,” sergah Rina dengan gusar.

Pak Dodi terkekeh mendengar perkataan Laela. “Jangan mengada-ngada, neng. Hantu yang eneng takutin tidak
pernah ada di sini. Jangan berasumsi yang tidak-tidak,” ucapnya.

“Pak Kades jangan suka menyembunyikan fakta, deh. Katakan saja yang sebenarnya,” kata Laela sambil memasang wajah mengejek.

“Saya rasa kita bisa mulai bertugas nanti malam, teman-teman. Kita bertiga bertugas
bersama-sama. Saya percaya Pak Kades, kok,” kata Dita disambut deheman Laela.

“Ehmm.” Deheman Laela membuat Pak Usup yang sedang berada di samping puskesmas menoleh.

Ia kemudian melihat ke arah sebatang pohon sawit yang berjarak sekitar lima meteran dari puskesmas.
“Adik-adik, sebaiknya kita melihat-lihat isi puskesmas biar nanti adik-adik tidak merasa kagok saat bertugas,” ucap Pak Usup seraya menghampiri Pak Dodi dan Rina, Dita, juga Laela.

Setelah Pak Usup membuka pintu puskesmas, mereka pun memasuki puskesmas untuk mengetahui setiap
sudut di dalam ruangan layanan kesehatan masyarakat itu.

Laela mengamati setiap jengkal ruangan. Kemudian pandangannya tertuju pada lorong di antara dua toilet yang saling berhadapan.
Ia seperti mendengar suara seseorang sedang menyalakan keran.

Saat menoleh ke belakang, semua orang lengkap, tidak ada yang sedang pergi.
Laela kemudian menghampiri Dita dan mengajaknya ke depan dua toilet itu.

“Ada apa sih, la? Kok tiba-tiba mengajakku ke sini?” Dita terlihat penasaran.

“Coba kamu dengarkan, dit.” Laela menyilangkan telunjuk di depan bibirnya.
Dita mencoba memperdengarkan suara yang sebelumnya terdengar oleh Laela.

“Iih kamu, nih. Aku tidak mendengar suara apa-apa selain suara Pak Kades dan yang lain di ruang tengah,” kata Dita terlihat gusar.

“Lho, kok suaranya nggak ada, ya. Padahal tadi aku mendengar suara seperti
keran yang dibuka,” tutur Laela bingung.

“Kamu terlalu paranoid, la. Mana ada suara-suara begitu sementara di toilet tidak ada siapa-siapa,” tukas Dita seraya pergi meninggalkan Laela.

Laela tercenung mendengar kata-kata Dita. Ia menghela nafas kemudian beranjak mengikuti
Dita.

Namun, baru dua langkah ia berjalan, terdengar lagi suara keran dibuka dengan suara air mengalir yang terdengar jelas dari arah toilet sebelah kiri yang merupakan toilet perempuan.

Karena penasaran, Laela pun mengintip melalui celah pintu toilet yang renggang karena
tidak ditutup dengan benar.

Saat mengintip, Laela terperanjat menyaksikan sesosok makhluk berbadan seperti manusia namun sangat besar dan tingginya mencapai langit-langit serta memiliki sepasang tanduk seperti tanduk domba di kepalanya.

Makhluk besar tersebut terlihat sedang
mencuci kedua tangannya sembari bergumam. “Wastafel ini terlalu kecil dan rendah buatku. Manusia memang tidak pernah membuat benda ini menjadi lebih besar lagi.”

Laela yang melihat penampakkan itu lantas pergi ke ruang tengah di mana teman-temannya serta Pak Dodi dan Pak Usup
menunggu.

“Neng Laela, habis dari mana?” tanya Pak Dodi sambil menatap penasaran ke arah Laela yang tampak seperti sedang ketakutan.

Laela belum menjawab. Ia mengatur nafasnya yang tersengal, mencoba menenangkan diri.

“Kamu melihat sesuatu, kah?” Pak Usup menatap penuh
selidik ke arah Laela.

“Anu, pak. Di kamar mandi ada...” Laela tidak melanjutkan kata-katanya saat Pak Usup memberi isyarat agar ia berhenti berbicara.

Tentu saja yang lain dibuat penasaran oleh tingkah Laela dan Pak Usup.

“Ada apa sih, la? Kamu melihat apa di toilet?” tanya
Rina penasaran.

“Pasti suara keran lagi. Kamu masih saja paranoid, la. Itu kan sdh lama dan juga bkan di sini,” kata Dita sambil menatap gusar ke arah Laela.

Pak Dodi mencoba menenangkan suasana. Ia faham betul jika di desa yg dipimpinnya selalu saja ada hal ganjil yg terjadi.
“Mungkin sebaiknya kita mengantarkan adik-adik ini ke rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama bertugas di desa ini, Pak Usup. Apapun yang terjadi, beritahu kami, adik-adik,” ujar Pak Dodi sambil mengedarkan pandangannya ke semua orang.

Pak Usup mengangguk setuju.
“Mari, adik-adik,” ucapnya.

Dita bersama teman-teman pun mengikuti Pak Dodi dan Pak Usup menuju rumah yang telah disediakan untuk mereka menetap. Rumah tersebut berada di belakang rumah-rumah warga setelah berbelok dari jalan desa ke gang kecil di antara rumah-rumah.
Rumah mungil bercat krem sedikit pudar itu berdiri diapit kebun warga.
Sementara di belakangnya merupakan tanah kosong yang terhubung langsung dengan hutan.

“Ini tidak salah, pak? Kok kita disuruh nempatin rumah dekat hutan begini?” tanya Laela sambil menatap ngeri ke arah
rumah itu.

“Ya elah, la. Memangnya kamu mau tinggal di rumah yang seperti apa? Pak Kades kan sudah pernah bilang bahwa tidak ada lagi rumah kosong di desa ini,” kata Dita sambil menatap gusar ke arah Laela.

“Begini, neng Laela. Rumah ini satu-satunya yang lokasinya mudah untuk
mengakses jalan desa menuju puskesmas. Sebenarnya ada rumah kosong lain tapi lokasinya terlalu dekat dengan tanah yang dianggap angker oleh warga. Lokasinya yang terlalu dekat dengan tanah angker itulah yang membuat rumah itu dikosongkan pemiliknya,” papar Pak Dodi.

“Tanah itu
biasa disebut sebagai Tanah Pengorbanan. Kami menyebutnya demikian,” timpal Pak Usup.

Laela tercenung kemudian menatap ke arah Dita dan Rina bergantian.

“Baiklah, tempat ini lebih baik. Tapi kami ingin Pak Kades berjanji.
Tolong jika di kemudian hari salah satu dari kami
kenapa-kenapa, Pak Kades harus bertanggung jawab!” ucap Laela membuat semuanya tertegun.

Dita yang mendengar kata-kata Laela, lantas menarik tangan temannya itu dan membawanya ke samping rumah.

“Laela, kamu apa-apaan, sih! Mau sok indigo? Kita di sini mau mengabdi. Kamu kok
percaya banget sama takhayul. Sumpah aku tidak habis pikir dengan orang-orang seperti kamu, yang selalu bilang pernah melihat hantu, lah, penampakan apapun itu. Kau tahu nggak, aku tidak pernah percaya yang begituan. Aku lebih percaya mereka yang mengaku pernah melihat hantu
adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa!” panjang sekali kata-kata sengit yang dilontarkan Dita.

Laela pun menggeleng-gelengkan kepala karena ucapan temannya yang terkesan tidak mempercayai hal gaib.

“Dit, aku hanya berusaha berhati-hati supaya kita tidak terkena
masalah karena menyepelekan kata-kata orang yang bisa melihat makhluk tak kasat mata. Ingat, dit. Kita hidup tidak sendirian. Makhluk gaib itu nyata adanya. Jangan sepelekan itu atau kita akan kena masalah,” kata Laela sambil menatap miris ke arah Dita.

“Aku percaya makhluk gaib
itu ada, tapi aku tidak percaya mereka bisa membahayakan kita. Jangankan membahayakan, menyentuh kita pun, mereka tidak bisa. La, jangan karena kepercayaanmu yang berlebihan bikin kamu menjadi tidak punya tatakrama dengan orang yang lebih tua dari kita,” tukas Dita memelankan
intonasi suaranya.

Rina terlihat muncul bersama Pak Dodi. “Kalian sedang membicarakan apa, sih? Kayaknya serius banget?” ucapnya ke Dita dan Laela.

“Maafin teman saya, Pak Kades. Dia memang terkadang suka berbicara yang aneh-aneh. Mungkin karena dia sedikit indigo?” kata Dita
Laela mendelik ke arah Dita. Terpancar kemarahan dari wajahnya yang kini memerah. Ia merasa seperti sedang disepelekan oleh temannya tersebut.

Ia pun hampir buta pikiran, ingin melabrak Dita yang dianggapnya sudah keterlaluan.

Rina yang melihat raut wajah Laela, lantas
menghampiri sahabatnya itu, kemudian menenangkannya.

“Sabar, la. Memang tidak semua orang bisa memaklumi keadaan kita. Banyak-banyak bersabar,” bisiknya ke telinga Laela yang terlindungi kerudung berwarna putih.

Pak Dodi seolah dapat menebak apa yang sedang dipikirkan Laela.
Ia pun berujar, “Saya bisa memaklumi apa yang kamu khawatirkan. Saya siap bertanggung jawab jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan pada kalian. Saya percaya dengan adanya makhluk-makhluk gaib yang hidup berdampingan dengan kita. Saya pun pernah menyaksikan sendiri
penampakkan beberapa di antara mereka.”

Dita tercengang mendengar penuturan Pak Dodi. Ia menggelengkan kepala. Ia kemudian menatap ke arah Rina dan Laela bergantian.

“Sekarang kita bisa menempati rumah ini suka ataupun tidak. Jangan banyak menuntut karena itu sangat egois,”
kata Dita kemudian menghampiri Pak Usup yang selesai membuka pintu rumah.

Beberapa lama kemudian, ketiga bidan desa itu pun sibuk membereskan seisi rumah, mulai dari ruangan depan hingga halaman belakang.

Laela yang merasa tidak nyaman dengan rumah itu merasakan seperti ada
pergerakkan seseorang di belakang rumah, padahal Rina dan Dita berada di ruang tengah. Sedangkan Pak Dodi dan Pak Usup telah kembali ke balai desa.

Laela kemudian menghampiri pintu belakang yg langsung mengarah ke halaman yg berbatasan dengan tanah lapang. Ia membuka pintu
tersebut kemudian melihat-lihat halaman belakang.

Tidak ada siapapun di sana. Namun saat menoleh ke belakang, ia kembali merasakan seperti ada seseorang yang sedang berjalan di halaman belakang tersebut.

“La, kamu sedang apa? Kenapa berdiri lama di depan pintu belakang begitu?”
ujar Rina yang muncul dari ruang tengah.

Laela terperanjat kaget karena merasa dikejutkan oleh Rina.

“Ah, kamu, rin. Bikin aku jantungan saja,” ucapnya seraya menutup pintu.

“Di belakang ada siapa ya, la? Kok kayak ada nenek-nenek sedang membawa sapu di sana,” kata Rina
membuat Laela tertegun.

Ia lantas melihat ke arah sela-sela bilik yang berlubang. Tidak terlihat ada siapapun.

“Tidak ada siapa-siapa, rin,” ucapnya gemetar.

Wajah Rina terlihat memucat. Ia segera menarik tangan Laela dan mengajaknya ke ruang tengah.
Dita yang sedang duduk di sofa kumal, segera berdiri ketika melihat dua temannya sedang berjalan terburu-buru sambil bergandengan tangan.

“Kalian berdua kenapa?” tanya Dita penuh selidik.

Rina dan Laela tidak segera menjawab. Mereka berdua malah melongo melihat ke arah Dita.
Dita yg dilihatin seperti itu tentu saja merasa risih. Ia menatap pakaian yang dikenakannya. Memang bukan pakaian yang sopan karena menampilkan auratnya.

Namun ia yakin bukan itu yg membuat kedua temannya melongo, karena ia sering berpakaian seperti itu di depan mereka berdua.
Laela tidak berkedip menatap ke arah Dita. Ia mulai membaca doa-doa dalam hati serta membaca ayat suci Al-Qur’an.

Kenapa ia melakukannya? Karena ia melihat sesosok nenek-nenek sedang menyeringai di belakang Dita. Sosok nenek tersebut memiliki sepasang mata yg menghitam menyatu
dengan kelopaknya.

Nenek itu mengenakan kain batik dan kebaya batik berwarna oranye. Sosok nenek itu terlihat tidak memijak bumi. Bagaimana pun nenek tersebut pasti bukan manusia.

Sedangkan Rina dengan sigap menyambar tangan Dita dan menariknya. Di saat itu pula sosok nenek
tersebut menghilang.

“Rin, kamu apa-apaan, sih? Lepasin!” pekik Dita merasa ngeri karena pegangan Rina membuatnya merasa aneh.

Rina pun melepaskan genggamannya. Ia mengedarkan pandangannya kemudian menghela nafas.
“Tadi itu mengerikan,” ucap Laela seraya menghempaskan badan ke sofa.

Waktu terus beranjak. Sore pun tiba, di mana ketiga bidan itu telah lengkap dengan seragam dan perlengkapan masing-masing di puskesmas.

Sejak tiba di sana, sudah ada sedikitnya sepuluh orang warga yang
mengantre untuk berobat.

Hingga malam menjelang, warga masih ada yang datang ke puskesmas. Bermacam-macam keluhan yang mereka sampaikan di hadapan para bidan yang merangkap dokter itu.

Di antara para pasien terdapat seorang pemuda. Ia datang mengantarkan ibunya yang sedang
sakit yang cukup parah. Hal itu terlihat dari kondisinya dengan kursi roda yang menjadi alat bantu berjalannya.

Pemuda itu terpaku pandangannya saat bertemu dengan Dita. Sepasang matanya seolah tidak berkedip saat menatap Dita.

“Selamat malam, mas. Ada yang bisa saya bantu?”
sapa Dita sambil menatap ramah ke arah pemuda itu saat duduk di hadapannya bersama sang ibunda.

“Eumm, eh, iya. Maaf, bu bidan, saya mau periksa kesehatan ibu saya. Beliau mengalami sakit seperti ini sudah sangat lama,” tukas pemuda itu dengan tergagap.
ibunya sakit apa?” tanya Dita sambil menatap ke arah ibu pemuda itu.

Ibu si pemuda hanya menatap kosong ke arah Dita. Raut wajahnya tampak lesu seperti tidak memiliki tenaga sedikitpun di dalam tubuhnya.

Lama si ibu terdiam. Dita pun merasa sangat penasaran. Ia mengalihkan
perhatiannya ke arah si pemuda yang ternyata sedang mencuri pandang.

Pemuda tersebut tersentak saat sadar Dita balik menatapnya.

“Oh, maaf, bu. Ibu saya kesulitan berbicara sejak sakit. Beliau butuh waktu untuk berbicara. Saya tdk tahu kenapa ini bisa terjadi,” kata si pemuda.
“Apa masnya sudah pernah memeriksakan ibu ke dokter sebelum saya?” tanya Dita sembari menatap penasaran ke arah si pemuda.

“Pernah, bu. Setidaknya saya pernah membawa ibu ke dokter sebanyak dua kali. Jawaban mereka selalu sama yaitu ibu saya tidak terserang penyakit apapun.
Tapi saya tidak percaya. Kalau ibu saya tidak sakit, lalu kenapa bisa menjadi seperti ini?” tutur si pemuda dengan nada tegang.

Dita tercenung mendengar kata-kata si pemuda itu. Ia kemudian teringat pada Laela yang sedang praktek di ruang seberangnya.

“Kalau boleh tahu nama
masnya siapa?” kata Dita menanyai pemuda itu.

“Nama saya Raman Sanjaya. Panggil saja Raman. Ini ibu saya, ibu Rini Asih, panggil bu Asih,” tukas Raman sambil menunduk.

“Saya Dita. Emm, kok nama belakangnya sama dengan nama belakang Pak Kades? Apa anda putranya?” kata Dita.
Raman tidak segera menjawab. Ia sepertinya merasa ragu untuk menjawab.

“Pak Kades memang ayah saya namun sudah lama bercerai dengan ibu. Ayah saya telah menikah lagi dan memiliki anak bernama Irman Sanjaya. Artinya Irman adalah adik tiri saya,” ungkap Raman.
Dita manggut-manggut mendengar penjelasan Raman. Namun ia kemudian sadar bahwa tidak seharusnya ia menanyakan hal yang seharusnya tidak ia tanyakan.

Ia kemudian menatap ke arah ibu Raman, namun pandangannya menangkap siluet suatu sosok besar di depan jendela kaca. Dita pun
terkejut melihat siluet tersebut.

Ia bangkit dari duduknya kemudian melihat dengan panik ke arah sosok itu.

Sedangkan Raman yang menyadari gelagat ganjil dari Dita, turut bangkit kemudian menengok ke belakang. Tidak terlihat apapun olehnya.

“Bu, bu Dita. Ada apa? Apa yg ibu
lihat?” tanya Raman bingung.
Dita tersentak, kemudian duduk dengan nafasnya yang memburu naik-turun.

Si ibu terlihat tersenyum. Senyuman yg ganjil karena terjadi di saat semua yang ada di ruangan sedang panik.

Senyumannya memperlihatkan gigi-giginya yang menghitam seperti
gigi seorang pengunyah sirih.

Waktu berlalu. Esok malamnya di puskesmas yang sama, Dita kembali bertugas memeriksa para pasien yang datang untuk berobat.
Tidak ada yang aneh saat satu persatu pasien memasuki ruang kerjanya hingga saat malam semakin larut.

Saat itu Dita
menunggu cukup lama setelah ia memanggil pasien berikutnya. Namun ia tidak mau ambil pusing. Ia pun menyibukkan diri dengan mengetik di laptopnya.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu berderit, membuat Dita mengalihkan perhatiannya ke arah pintu. Ia sejenak menahan nafas yang
hampir saja berhenti.

Ia terkejut sekaligus takut bukan main saat melihat sesosok makhluk berbadan tinggi dan besar memasuki ruang prakteknya. Makhluk itu memiliki sepasang tanduk seperti tanduk domba di kepalanya.

Makhluk tersebut adalah yang ia lihat pada kemarin malam saat
sedang melayani Raman dan bu Asih.

Lama Dita terpaku, tanpa dapat berkata sepatah kata pun. Ia benar-benar merasa takut dan ngeri melihat penampakkan menakutkan tersebut.

“Selamat malam, bu dokter. Saya ingin berkonsultasi dengan anda,” ujar makhluk besar itu dengan suaranya
yang parau menggelegar.

Dita gemetaran. Ia tidak dapat berbuat apapun. Bahkan ia tidak bisa pingsan meski merasa sangat ketakutan.

“Bu dokter, anda merasa takut dengan saya? Seharusnya tidak begitu karena anda memiliki tugas mulia yaitu mengobati orang yang sakit. Perkenalkan
saya Ashod dari klan Parta, klan yang lebih suka menjalani hidup damai bersama manusia,” tutur makhluk bernama Ashod tersebut.

Dita masih terpaku hingga kemudian ia akhirnya dapat mengendalikan diri.

“Sssilahkan Pak Ashod. Ada yang bbisa saya bantu?” ucap Dita tergagap.
“Saya kemari sebenarnya bukan untuk berobat. Saya ingin memberitahu anda sesuatu. Saya juga memiliki permintaan untuk anda, bu dokter,” papar Ashod dalam posisi masih berdiri.

Badan Ashod yang tinggi menjulang hingga langit-langit, membuat Dita harus menengadah.
“Appa iitu, Ppak Ashod?” tanya Dita masih dengan suara gemetar.

“Kedatangan anda sangat kami tunggu, bu dokter. Klan Raspati yang merupakan musuh kami sedang berencana untuk melenyapkan desa ini. Mereka juga akan membunuh seluruh penduduk desa hingga desa ini kembali menjadi
hutan belantara. Kami dari klan Parta tidak akan membiarkan hal itu karena bagi kami, memerangi manusia sangat tidak dibenarkan. Apalagi memerangi manusia-manusia berhati baik seperti mayoritas warga desa ini,” tutur Ashod. “Sudah cukup para manusia membunuh sesama atas dasar
perbedaan prinsip. Jangan sampai mereka menjadi seperti kami, klan Parta yang sekarang hanya tersisa empat orang.”

“Apa hubungannya dengan saya?” tanya Dita.

Ashod tidak langsung menjawab. Ia tampak celingukkan dengan cemas.
“Celaka! Aku harus pergi. Nanti saya akan kembali menemui anda, bu dokter,” ucap Ashod yang secara mendadak ia keluar dengan terburu-buru.
Setelah Ashod benar-benar keluar dari puskesmas, Dita langsung berlari ke ruangan praktek Laela. Tanpa basa-basi ia membeberkan apa yang baru saja dialaminya.

Laela mengucapkan kalimat tasbih (subhanallah) setelah mendengar pemaparan Dita.

Dita terkejut saat menyadari respon
Laela yang biasa-biasa saja, seolah apa yang ia alami adalah sesuatu yang biasa. Ia juga merasa heran karena Laela tidak menyangkalnya.

“La, kok kamu seperti tidak merasa aneh dengan apa yang baru kualami? Makhluk itu benar-benar ada!” kata Dita dengan nada panik.
“Iya, aku tahu, dit. Apa yang kamu lihat, aku juga sudah pernah melihatnya,” tukas Laela sembari menatap ke arah Dita.

“Apa? Kamu melihatnya di mana? Apa dia sempat berkenalan denganmu?” tanya Dita membuat Laela tercengang.

“Apa maksudmu berkenalan denganku?” tanya Laela
bingung.

“Jadi dia tidak menemuimu?” ucap Dita setengah bergumam.

Malam semakin larut saja. Ketiga bidan tersebut malam ini harus tetap berjaga di puskesmas karena khawatir ada pasien yang datang malam-malam.

Sembari berjaga itu, Dita berkumpul bersama Rina dan Laela di ruang
prakteknya sendiri.
“Pak Husen sudah pulang, kan?” tanya Dita sambil menatap ke arah Rina dan Laela bergantian.

“Iya, dit. Memangnya kenapa?” tukas Rina sambil menatap Dita penasaran.

Dita kemudian menceritakan kembali apa yang ia alami beberapa waktu lalu sambil menunjuk
lokasi di mana Ashod sebelumnya berada.

“Kamu tidak lari, dit?” tanya Rina dengan perasaan ngeri.

“Aku tidak mungkin bisa keluar dari sini. Dia berdiri tepat di situ, depan pintu, jadi ngehalangin aku untuk keluar.” Dita menunjuk-nunjuk pada area depan pintu ruangannya itu.
“Duuh, mana dia akan kembali lagi. Katanya ingin berbicara banyak denganku.”

Laela dan Rina saling pandang.

“Sebaiknya kita melaporkan ini pada Pak Kades. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Laela dengan wajah serius.

Dita setuju dengan usul Laela. Maka ia secepatnya mengambil
handphone-nya untuk menghubungi Pak Dodi.

Namun tiba-tiba Rina mencegahnya. “Dit, sebaiknya jangan tergesa-gesa menghubungi Pak Kades. Ini akan berakhir tidak baik jika sampai Pak Kades tahu hal ini dan menyebarkannya pada warga.
Rahasia Pasukan Sirah Domba jangan sampai diketahui warga desa.” Kata-kata Rina sukses membuat Dita dan Laela melotot.

Mereka terkejut dengan kata-kata Rina yang seolah-olah bukan ucapannya.

“Kamu?” Dita menatap kedua mata Rina yg pupilnya berubah warna menjadi biru terang.
“Rina, apa yang terjadi denganmu?” ucap Laela terkejut.

Malam terus berlalu hingga pagi pun tiba. Saat ini merupakan giliran bagi ketiga bidan itu untuk melepas penat karena bertugas semalaman di puskesmas.

Sementara pada pagi hingga sore tiada yang bertugas di sana, padahal
banyak warga yang ingin berobat pada waktu tersebut.

Ketiadaan tenaga medis yang bersedia bertugas di desa tersebut membuat warga desa kesulitan untuk berobat. Jika ingin berobat pada siang, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh ke desa sebelah.

Seharusnya waktu
beristirahat digunakan untuk beristirahat. Namun tidak bagi Dita yang memilih pergi keluar desa, tepatnya ke suatu tempat yang dinamakan Taman Ramayana. Ia pergi bersama Doni yang merupakan kekasihnya yang baru saja tiba untuk mengunjunginya.

Taman Ramayana sebagaimana namanya
merupakan suatu taman yang mengelilingi alun-alun dengan kolam air mancur di tengah-tengah.

Taman tersebut selalu ramai pengunjung terutama di siang hari. Kebanyakan pengunjung merupakan pasangan muda-mudi maupun keluarga yang ingin menikmati indahnya panorama di taman itu.
Dita bersama Doni tampak berjalan menyusuri jalan setapak di antara bunga-bunga berwarna-warni yang begitu indah dipandang mata. Mereka saling berbicara manis seperti yang biasa dilakukan pasangan dimabuk asmara.

“Bunga-bunga di taman ini begitu indah, namun dirimu tetaplah yang
terindah.” Begitu kata-kata klasik yang biasa dilontarkan laki-laki kepada perempuan yang keluar dari mulut Doni.

Dita tersenyum kemudian terkekeh. “Masa iya, sih? Bohong banget, ah. Seperti playboy aja pake gombalan segala,” ucapnya membuat Doni menggaruk kepala.
“Namanya juga sedang berusaha menjadi cowok romantis, sayang,” tukas Doni sambil menatap ke arah Dita.

“Begitu ya? Yank, sudah melihat kan desa yang jadi tempatku bekerja? Menurut kamu bagaimana?” kata Dita sambil balik menatap kekasihnya itu.

Doni terlihat seperti sedang
berpikir sebelum ia menjawab pertanyaan Dita.

“Desa itu terpencil? Aku mengakui lokasinya terlalu jauh dari desa temanku. Tempatnya terlalu terpencil. Itu pokoknya,” jawab Doni sambil menatap Dita dengan raut muka sulit ditebak.

Dita tidak berucap lagi. Ia termangu menatap ke
arah bunga-bunga.

Di kejauhan terlihat seorang pemuda bersama perempuan berkebaya hitam yang duduk di kursi roda. Pemuda tersebut adalah Raman yang sedang menemani ibunya berjalan-jalan di taman.

Raman telah mengetahui jika Dita sedang berada di taman bersama pacarnya.
Oleh karenanya ia hanya memperhatikan gadis itu dari kejauhan sembari membatin.

“Dita rupanya sudah punya kekasih. Aku memang tidak memiliki keberanian untuk mendekati dia. Apalagi aku baru pertama kali bertemu dengannya di puskesmas. Rasanya terlalu mustahil bagiku
mendekatinya,” gumamnya tanpa menyadari ibunya sedang memperhatikan gelagatnya.

Ibunya Raman atau Bu Asih tampak menyipitkan kedua matanya. Bibirnya seperti sedang komat-kamit.

“Tidak akan kubiarkan anakku mendekati perempuan laknat itu!”
Begitu kata-kata yang diucapkan Bu Asih meski tidak dapat terdengar oleh siapapun.

Sementara Dita yang masih terpaku pada setangkai bunga berwarna biru muda, menghela nafas saat tahu ada sesuatu di bunga tersebut.

“Kau masih mengingatku, bu dokter?” Suatu suara parau muncul
dari bunga tersebut.

“Kau?” ucap Dita membuat Doni terheran-heran.

“Sayang, kamu bicara apa?” Doni menatap bingung ke arah Dita.

“Oh, nggak apa-apa, sayang. Tadi aku sedikit ngelindur,” jawab Dita sembari tergagap.

“Mungkin kamu kecapekan karena tugas semalaman, sayang.
Sebaiknya kita pulang biar kamu bisa beristirahat,” kata Doni mengajukan saran.

Dita menggeleng. “Aku ingin buang air kecil, sayang. Kamu tunggu di sini saja, ya,” ucapnya seraya berlalu diikuti tatapan heran Doni.

Sesampainya di depan toilet, Dita tidak lantas masuk.
Ia melipir ke belakang unit toilet itu kemudian mendapati seekor bunglon berwarna biru muda sedang menempel di dinding belakang toilet yang memiliki warna sama.

“Jadi kamu menemuiku di sini?” Dita menatap bunglon itu dengan gusar.
Bunglon itu menggerakkan ekornya kemudian
berbicara layaknya manusia.

“Kau harus berhati-hati dengan perempuan lumpuh itu, bu dokter. Kasihan pemuda itu, memiliki ibu setengah setan. Perempuan itu adalah pengabdi Wawagor, iblis yang menjadi dewa bagi klan Raspati,” tutur bunglon atau Ashod yang sedang menyamar itu.
Dita lantas teringat dengan Raman yang waktu itu datang untuk memeriksakan ibunya. Saat itu ia sempat melihat makhluk yang perawakannya seperti Ashod. Namun ia ragu jika itu adalah Ashod mengingat warna sinar matanya bukan biru muda, melainkan merah tua.

“Jika pemuda itu datang
kembali untuk memeriksakan ibunya, lebih baik kamu panggil temanmu yang berhijab itu untuk membantumu. Sangat berisiko jika perempuan itu tiba-tiba menyemburkan bisanya padamu,” Ashod melanjutkan kata-katanya.

“Lalu, apa yang bisa kulakukan untukmu?” tanya Dita seraya menatap
Ashod.

“Kamu hanya perlu menjaga kujang mini ini. Bukan pusaka yang ampuh, namun ini bisa menyelamatkanku dan teman-temanku. Jaga kujang ini dan jangan sampai jatuh ke tangan perempuan pengabdi Wawagor itu,” papar Ashod sembari menjulurkan lidahnya.

Dari lidah bunglon jelmaan
Ashod tersebut muncullah sebilah kujang berukuran kecil dengan gagang berwarna cokelat serta bilahnya yang mengkilat terkena sinar matahari.

Dengan ragu-ragu, Dita mengambil kujang tersebut. Mendadak ia merasakan sekujur tubuhnya sangat panas seperti sedang terbakar.
“Tahan rasa terbakar itu. Itu lebih baik daripada menyaksikan pembantaian atas dasar perbedaan prinsip!” kata Ashod yang menyaksikan Dita meringis menahan panas yang tidak tertahankan.

Setelah kujang tersebut berhasil diambilnya, perlahan perasaan terbakar yang dirasakan Dita
memudar.

Di saat itu juga mendadak Doni muncul di belakang Dita.

“Sayang, kamu rupanya sedang di sini. Apa yang sedang kamu lakukan?” ucap Doni penasaran.
Di desa, di rumah tinggal Laela dan kawan-kawan, tampak Laela dan Rina sedang duduk-duduk di ruang tamu sambil berdiskusi.

“Kalau pasiennya bandel, getok aja, rin. Nggak perlu susah-susah,” kata Laela setelah mendengar curhatan Rina.

“Kamu sih enak ngomong begitu, la.
Getok orang bisa dipidanakan, lho,” sergah Rina tidak setuju.

“Rin, menurut kamu makhluk itu benar-benar ada nggak, sih?” Laela mengalihkan topik pembicaraan.

“Lah, kan kamu yang melihat sendiri, la. Malah nanya ke aku yang belum pernah melihat mereka,” tukas Rina tanpa
mengalihkan perhatian dari buku bacaannya.

Laela terkekeh sambil meraih buku yang sedang dibaca Rina.

“Langit Romantis di Negeri Sakura? Halah, dasar melankolis. Hahaha,” ucap Laela setelah melihat judul buku yang dibaca Rina.

“La, Dita kok belum pulang juga, ya?
Sudah jam lima, dia masih saja kelayapan di luar,” kata Rina tanpa mempedulikan ledekan Laela.

“Kan dia pergi sama Doni, rin. Kenapa juga harus dipertanyakan dia jam segini belum pulang,” tukas Laela.

Klotrakkkkk...

Terdengar suara benda jatuh dari arah dapur, membuat Rina
dan Laela saling pandang.

“Kucing kali, rin. Di sini kan tidak ada siapa-siapa lagi selain kita berdua,” kata Laela mencoba menepis kepenasaranan.

Klotrakkkkk

Suara benda jatuh kembali terdengar membuat keduanya bangkit dari duduk.

“Aku ingin tahu benda apa yang jatuh di
di dapur, la. Seingatku tidak ada barang yang kutaruh sembarangan di dapur,” kata Rina seraya berlalu menuju dapur.

Laela yang merasa bulu kuduknya merinding, lantas mengikuti Rina setelah menaruh bukunya Rina di atas meja.

Sesampainya di dapur, Rina dan Laela tidak menemukan
benda apapun yang tergeletak di lantai. Mereka pun penasaran. Seperti biasa Laela melongok melalui lubang pintu yang mengarah ke belakang.

Ia melihat nenek-nenek yang waktu itu menampakkan diri di belakang Dita, sedang menyeringai ke arahnya. Nenek tersebut mengenakan kebaya
berwarna hitam serta membawa sapu lidi bergagang panjang.

“Nenek itu sebenarnya siapa, sih? Kenapa selalu menampakkan diri di sekitar sini?” gumam Laela dengan perasaan tidak menentu.

Rina terlihat ketakutan saat turut melihat keluar pintu.
Ia juga melihat penampakkan nenek tersebut.

Brukkkkkk

Mendadak suatu benda berat jatuh di belakang mereka berdua. Saat menoleh, terlihatlah seonggok tulang-belulang manusia dengan tengkoraknya menghadap ke arah mereka berdua.

Laela dan Rina pun menjerit sembari berlari ke
ruang tamu untuk selanjutnya keluar dari dalam rumah.

Beberapa saat kemudian di depan rumah itu.

Pak Dodi dan Pak Usup menatap ke arah dua gadis yang sedang ketakutan itu.

“Seharusnya kalian tidak perlu takut terhadap nenek itu serta sihir-sihirnya. Dia sedang berusaha
mengusir kalian dari rumah itu. Tapi kami tidak akan tinggal diam,” ujar Pak Usup sambil mengedarkan pandangannya.

“Dulu rumah ini ditinggali seorang wanita yang memiliki nenek seorang dukun beranak namun memiliki ilmu hitam. Konon ilmu hitam itu membuat sang nenek tidak bisa
mati. Ia sering kali datang kemari untuk melindungi cucunya atau mengusir orang lain yang mengisi rumah ini,” tutur Pak Dodi.

“Lalu? Apa kami tidak bisa pindah rumah, pak? Kan rumah ini ada penunggunya,” tukas Laela sambil menatap gusar ke arah Pak Dodi.

“Hmm, kalau soal itu
saya belum bisa memutuskan, dek. Rumah kosong dekat Tanah Pengorbanan kondisinya cukup mengkhawatirkan. Rumah itu sudah mulai rusak dan membutuhkan perbaikan segera, dan itu tidak bisa instan,” kata Pak Dodi.

Laela terdiam kemudian melihat ke arah Rina yg tampak mengangkat bahu.
“Apa bapak tidak bisa mengusir nenek itu?” tanya Laela.

“Saya tidak mungkin melakukannya, mengingat ia juga adalah pemilik rumah ini. Yang bisa saya lakukan hanya mencoba meminta izin dan itu sudah saya lakukan. Soal diberi izin atau tidak, saya tidak tahu. Ia tidak pernah
merespon,” papar Pak Dodi seraya menghela nafas.

“Saya akan membuat pagar gaib supaya ia tidak mengganggu kalian lagi. Namun pagar gaib seperti halnya pagar biasa, akan rusak seiring waktu berjalan. Ketika gangguan kembali muncul, kalian harus memberitahu kami,” usul Pak Usup.
Setelah Pak Usup selesai membuat pagar gaib di sekeliling rumah yang ditempati Laela dan kawan-kawan, kini rumah tersebut tidak lagi didatangi sosok nenek bersapu gagang panjang itu.

Meski begitu, bukan berarti gangguan selesai setelah tiadanya sosok nenek tersebut. Tantangan
lainnya kini adalah di puskesmas yang menjadi tempat mereka bertiga melakukan tugas rutin. Terlebih mereka bertugas selalu pada malam hari. Terutama setelah tenaga medis bertambah dua orang yang khusus bertugas pada siang hari.

Dua orang itu adalah Arman dan Yakub. Mereka berdua
yang kini bertugas pada malam hari. Sedangkan para dokter perempuan akan bertugas pada siang hari, meski kadang-kadang mereka harus siap jika dipanggil untuk bertugas pada malam.

Suatu malam, Arman dan Yakub bertugas bersama Dita. Sebelum pasien datang, mereka terlebih dahulu
berkumpul di ruang tengah. Mereka tengah mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan tugas dan juga apa yang telah mereka rasakan selama bertugas di desa.

"Kok rasanya aku tidak betah di desa ini, ya. Bawaannya ingin segera pulang saja ke kampung," ujar Yakub.
"Aku juga begitu. Rumah yang kutempati bersama Yakub sering sekali mendapat teror dari makhluk kepala kambing itu. Tidak jarang mereka membuat kami harus mengungsi ke rumah Pak Kades," kata Arman sependapat dengan penuturan Yakub.

Dita tercenung mendengar penuturan kedua
rekannya itu. Ia ingin menghubungi Ashod, namun tidak tahu caranya. Ia memang belum pernah mencoba menghubungi makhluk yang telah memberi ia kepercayaan itu.

"Bertugas di sini mah memang harus besar nyali, mas. Sudah tidak aneh kalau di desa ini sering ada hal-hal aneh," katanya
"Kalau begini terus siapa yang tahan, mbak. Digangguin terus ya semua orang pasti akan minggat," tukas Arman.

Brugggggg,

Terdengar suara seperti benda keras dan berat yang menabrak sesuatu di belakang, membuat Dita dan yang lain terperanjat kaget.

"Apa itu? Seperti suara
tabrakkan?" ucap Yakub dengan nada panik.

"Aku akan memeriksanya," kata Arman seraya berlalu menuju bagian belakang puskesmas.

Dita dan Yakub tidak mau tinggal diam. Mereka pun mengikuti ke mana Arman pergi.

Sesampainya di ruang belakang, mereka terkejut melihat sesosok
makhluk besar bertanduk domba. Sosok itu sedang mengerang kesakitan. Sementara tidak jauh darinya terdapat sosok lain yang ukurannya sama.

Sosok yang lain itu memiliki sorot mata berwarna merah.

"Kalian jangan ke sini!" kata makhluk yang sedang terkapar itu sembari berusaha
bangun.

"Kamu siapa?" tanya Dita dengan nada panik.

Makhluk itu melihat ke arah Dita kemudian mengibaskan tangannya agar Dita dan kawan-kawan pergi.

Tanpa menunggu lagi, Dita dan yang lain segera meninggalkan ruangan belakang puskesmas. Sesampainya di ruang tengah, mereka
merasakan hawa panas menyelimuti.

Saat melihat keluar, Dita melihat banyak sekali makhluk sejenis Ashod namun memiliki sorot mata berwarna merah, sedang mengepung puskesmas.

Dita tentu saja merasa sangat panik menyaksikan hal itu. Ia bingung harus melakukan apa.
"Kita dikepung!" pekik Yakub dengan panik sambil celingukan. Wajahnya memancarkan ketakutan yang sangat.

Dita melihat ke arah sudut ruangan puskesmas di mana terdapat pot tanaman dengan tanaman yang mengeluarkan cahaya berwarna biru muda. Di situlah Ashod rupanya berada.
Dita kemudian menghampiri pot tanaman tersebut kemudian berjongkok di depan tanaman itu.

"Kalian tidak akan kenapa-kenapa. Keluarlah dari puskesmas dan cari sebuah rumah di desa sebelah. Bu dokter, pemuda itu dapat bekerjasama denganmu," ujar Ashod tanpa berani menampakkan diri.
Lalu bagaimana denganmu? Di belakang itu apakah dia temanmu? Dengan sedang dalam bahaya," tukas Dita sambil sekali-sekali melongok ke belakang.

"Ashkelon? Dia adalah petarung tertangguh kami. Dia tidak akan kalah begitu saja, kecuali jika seluruh unit musuh mengeroyoknya," jawab
Ashod yakin.

"Baiklah, aku akan mencari pemuda itu. Kamu jaga diri baik-baik," kata Dita kemudian beranjak pergi.

"Hei, Dita, kamu mau ke mana? Ini bahaya tahu!" seru Arman yang lantas menyusul gadis itu.

"Kita bisa keluar dari sini, teman-teman. Jangan tanya-tanya, oke!"
tukas Dita seraya berlari keluar puskesmas.

Sementara Arman dan Yakub hanya bengong melihat Dita yang terburu-buru meninggalkan puskesmas. Mereka terkejut saat Dita melewati begitu saja gerombolan makhluk raksasa bertanduk itu.

"Kita juga pergi. Tampaknya mereka tidak akan
mengganggu kita," kata Arman seraya berlalu keluar puskesmas diikuti Yakub.

Seperti halnya Dita, mereka berdua pun dapat melewati gerombolan Pasukan Sirah Domba itu tanpa gangguan.

Di rumah tempat tinggal Laela dan kawan-kawan, Laela dan Rina terkejut dengan kedatangan Dita
yang tergesa-gesa.

"Dita, kamu habis berlari?" tanya Rina sambil menyongsong temannya itu.

"Iya, rin. Mereka mengepung puskesmas!" tukas Dita seraya terengah-engah.

"Mereka?" ucap Laela sambil menatap penasaran ke arah Dita.

"Tuh, kan! Kita diganggu lagi!" keluh Rina.
"Setidaknya mereka tidak kemari, kan. Anehnya mereka seolah terpusat di puskesmas. Aku melihat sendiri di antara mereka ada yang sedang bertarung." Dita menatap ke arah Laela dan Rina bergantian. "Rin, la, aku membutuhkan bantuan kalian," tambahnya.

"Bantuan apa, dit?" tanya
Rina.

"Antar aku ke Desa Kayu Jati. Ada seseorang yang harus aku temui," papar Dita sembari menatap wajah kedua temannya itu bergantian.

"Malam-malam begini?" Laela menatap bingung ke arah Dita.

"Iya, la. Ini sangat penting. Plisss," kata Dita seolah memohon.
"Tidak perlu, bu dokter," ujar seseorang yang tiba-tiba muncul di teras rumah, membuat semuanya terkejut kemudian melihat ke arah orang tersebut.

"Kamu kok tiba-tiba ada di sini?" Dita menatap bingung ke arah orang yang baru tiba itu.
Semua orang menatap ke arah pemuda yang baru tiba itu. Mereka terkejut dengan kedatangan orang yang baru mereka lihat itu. Kecuali Dita tentunya yang sudah pernah bertemu dengan pemuda itu.

“Mas Raman? Kok bisa di sini? Tahu dari siapa tempat tinggal kami?” tanya Dita sembari
menghampiri Raman yang masih berdiri di tepi teras.

“Ayah saya yang menunjukkan tempat bu dokter tinggal. Beliau tahu maksud saya mencari bu dokter,” tukas Raman sambil mengalihkan pandangan pada Laela dan Rina. “Kenalkan nama saya Raman. Kalian pasti temannya bu dokter?”
lanjutnya memperkenalkan diri pada Laela dan Rina.

“Aku Laela dan ini Rina. Mas Raman kenal Dita di puskesmaskah?” tukas Laela sambil menoleh ke arah Rina.
Raman mengangguk kemudian menatap serius ke arah Dita. “Bu dokter, bolehkah saya memanggil nama anda?” ucapnya.
“Saya tidak pernah meminta mas Raman memanggil saya dengan sebutan ‘bu dokter’, kok. Silahkan mas Raman memanggil saya dengan nama saja. Tidak usah pakai ‘bu’. Saya bukan ibu-ibu, kok,” tukas Dita sambil menatap penasaran ke arah Raman. “Mas Raman kemari ada keperluan apa?
Oh iya, mas Raman masuk aja. Tidak enak mengobrol sambil berdiri begini.”

Setelah Raman duduk di sofa ruang tamu, mulailah ia mengutarakan maksud dan tujuannya.

“Kita sama-sama saling membutuhkan bantuan, mbak Dita. Saya membutuhkan mbak untuk memeriksa ibu saya yang sakitnya
kembali kambuh. Beliau kejang-kejang, mbak,” ujar Raman membuat Dita dan yang lain terkejut.

“Lantas kenapa harus saya yang periksa, mas?” tanya Dita bingung.
Raman menghela nafas seperti sedang sesak nafas. “Beliau memanggil-manggil nama ‘bidan Dita’. Sudah pasti yang beliau
maksud adalah mbak Dita sendiri,” tutur Raman.

Dita tercenung sejenak. “Di mana ibunya mas Raman sekarang?” ucapnya.

Raman terlihat ragu-ragu untuk menjawab. Ia seperti sedang berusaha menutupi apa yang seharusnya ia rahasiakan.

“Mas Raman, mbak Dita nanya, lho. Kenapa tidak
dijawab?” tegur Laela yang merasa seperti ada yg disembunyikan Raman.

“Oh, itu. Anu, ibu saya di rumah kerabat di kota S,” kata Raman dengan ragu-ragu.

Dita terkejut mendengar jawaban Raman. “Apa? Jadi saya harus ke sana malam-malam buta begini?”
Raman tercenung kebingungan.
“Tidak perlu, bu dokter. Datang saja ke rumah kayu. Di sanalah bu Asih berada. Bawa kujang itu. Jika terjadi sesuatu, bunuhlah!” ujar Rina membuat semuanya terkejut.

Terlihatlah kedua matanya menyala berwarna biru muda, pertanda Ashod muncul memberi petunjuk kepada Dita.
“Mas Raman, kenapa kamu berbohong?” tanya Dita sembari menatap tajam ke arah Raman yang masih terkejut dengan perkataan Rina.

Raman hanya celingukan, tidak tahu apa yang harus ia katakan.

“Aku rasa dia punya alasan kenapa berbohong, bu dokter. Sebaiknya bu dokter cepatlah ke
rumah kayu. Aku sebenarnya tidak ingin ada yang terbunuh. Namun kali ini terpaksa hal itu terjadi. Bukan demi aku dan teman-temanku, tetapi demi kalian dan seluruh warga desa ini,” ucap Ashod melalui lisan Rina.

“Maafkan aku karena telah berbohong. Aku melakukan itu karena aku
ingin menjauhkanmu dari ibuku, bu dokter. Beliau adalah wanita yang sangat aku hormati. Namun, beliau bisa berbahaya buatmu. Beliau sangat tercela,” tutur Raman seraya menghela nafas berat.

Dita dan Laela hanya bisa melongo mendengar pemaparan Raman. Sementara Rina yang sedang
dirasuki Ashod hanya memperhatikan Raman dan kelebatan bayangan yang sedang berusaha memasuki area rumah tempat tinggal Laela dan kawan-kawan.

“Bu dokter, pergilah! Laela akan mendampingimu. Sementara aku dan Rosdan akan mengalihkan perhatian para Raspati yang berusaha mengejar
kalian. Hei, pemuda, kau cepatlah temui ayahmu dan kabarkan kejadian ini,” kata Ashod kemudian.

Dita bersama Laela kemudian bergegas meninggalkan rumah menuju tenggara desa di mana rumah kayu berada. Sementara Raman menuju rumah Pak Dodi yang berada di utara.
Dita dan Laela tampak berlari kecil di jalan desa menuju salah satu dusun di mana rumah kayu berada. Konon, rumah itu adalah milik pendiri desa yaitu Marbun Sanjaya.

Rumah itu disebut rumah kayu karena hampir seluruh bagiannya adalah kayu, kecuali paku, engsel, dan gembok.
Rumah tersebut berdiri sekitar sepuluh meter jauhnya dari jalan desa. Rumah itu juga tidak teraliri listrik mengingat mitos yang beredar di masyarakat desa bahwa rumah tersebut harus dijauhkan dari unsur modern.
Ditambah lagi fakta bahwa rumah itu tidak ada yang mengisi. Jadi untuk apa dipasangi jaringan listrik jika tidak ada yang menghuninya.

Kembali ke Laela dan Dita yang sedang berjalan sambil terengah-engah.

“Jauh juga lokasinya. Kenapa sih tidak ada motor di sini?” ujar Dita
sambil mengusap keringat di keningnya.

“Dit, kamu kok percaya banget sama makhluk itu? Apa kamu tidak curiga terhadapnya?” tanya Laela.

“Aku hanya mengikuti apa yang dia pinta. Kalau aku menolak, bisa saja aku sudah mati sekarang,” tukas Dita.

“Hanya itu alasanmu?”
tanya Laela gusar.

Dita menghentikan langkahnya, kemudian melihat ke arah Laela dengan tatapan susah ditebak.

Sementara itu, siluet sebuah rumah besar berdiri sekitar lima belas meteran dari mereka.
Dita dan Laela berdiri sembari memandangi pintu rumah besar itu. Saat itu gelap karena tiadanya penerangan. Namun, mereka dapat melihat setitik cahaya dari sela-sela dinding kayu rumah tersebut.

“Sekarang bagaimana, la? Aku ragu banget sekarang,” ujar Dita dengan waswas.
“Aku tidak tahu mengenai persekutuanmu dengan makhluk itu, dit. Apapun yang telah kau lakukan akan menimbulkan konsekuensi yang berat. Mereka telah memilihmu dan kau siapkah akan hal itu?” tukas Laela.

Dita termenung sembari menatap gagang pintu dengan takut. Ia memang tidak
merasa yakin untuk melakukan apa yang diminta Ashod. Terlebih kata ‘bunuhlah’ yang terus saja terngiang-ngiang di benaknya.

“Aku tidak menyarankan kau menuruti mereka, dit. Tapi itu terserah kau saja, sih. Tapi bakal ada konsekuensi jika kau melanggar atau menuruti permintaan
mereka,” ucap Laela lagi.

Grudakkkkk

Terdengar suara benda jatuh di dalam rumah, membuat kedua gadis itu tersentak kaget. Keduanya saling pandang dengan perasaan waswas tidak terkira.

Brakkkk

Mendadak pintu depan yang sedang dihadapi Dita dan Laela terbuka kemudian
terbanting keras.

Whuuusshhhh

Angin kencang mendadak bertiup, meniup pepohonan yang berada di sekitar rumah hingga meliuk-liuk. Daun-daun jendela terbuka begitu saja dan berkibar-kibat karena tiupan angin kencang yang datang mendadak itu.

Dari dalam rumah terlihat nyala api
berkobar menerangi seluruh ruangan. Di balik kobaran api, terlihat siluet sosok seorang wanita berkebaya tengah berjalan gontai.
Dita dan Laela menatap dengan waspada ke arah kemunculan sosok itu.

Semakin jelas terlihat jika sosok tersebut adalah ibunya Raman atau bu Asih.
Hal itu membuat Dita terkejut karena setahunya bu Asih dalam kondisi tidak dapat berjalan sehingga menggunakan kursi roda.

Namun kali ini bu Asih dapat berjalan normal layaknya orang yang sehat. Sosoknya semakin mendekat ke arah pintu depan yang terbuka lebar diiringi cahaya
kobaran api di tengah ruangan.

“Selamat datang, anak-anak. Saya sangat senang dengan kedatangan kalian. Silahkan masuk ke rumah ini,” ucap bu Asih dengan mimik aneh.

Dita dan Laela hanya menatap ngeri ke arah bu Asih. Bagaimana tidak, ibu-ibu tersebut menyeringai
memperlihatkan gigi-giginya yang hitam.

“Lho, kenapa malah diam saja! Ayo masuk!” bentak bu Asih membuat ciut nyali ketuanya.

“Maaf, bu. Ada yang bisa kami bantu, kah? Putra ibu ingin saya memeriksa ibu,” kata Dita dengan ragu-ragu.

“Apa!” Bu Asih melotot ke arah Dita.
“Tadi sore, putra ibu, mas Raman datang meminta teman saya memeriksa ibu.” Laela mencoba membantu Dita.

“Saya tidak sakit. Kamu tidak perlu memeriksa saya,” ucap bu Asih dgn nada datar.

“Ngomong-ngomong ibu sudah bisa berbicara?” ujar Dita membuat bu Asih melotot ke arahnya.
“Saya ini tidak bisu. Terus apa yang akan kalian lakukan di sini?” Bu Asih menatap dingin ke arah Dita dan Laela.

Setelah berkata demikian, bu Asih berbalik kembali ke dalam rumah. Ia berjalan melewati kobaran api unggun yang menyala di tengah ruangan itu.
Hal itu membuat Dita dan Laela merinding.

Tiba-tiba suatu hal aneh terjadi, di mana mereka berdua secara mendadak berada di dalam suatu ruangan yang sangat luas dengan furnitur serta lukisan-lukisan besar.
“La, kok kita bisa berada di sini, sih?” ujar Dita dengan panik.

Laela tampak celingukan kemudian menatap ke arah sebuah lukisan yang terampang di dinding berwarna krem yang mulai pudar itu.

“Kita sebenarnya sedang berada di mana? Apa di dalam rumah itu, dit?
Tapi kita kan belum masuk,” kata Laela seraya mendekat ke arah lukisan itu.

“La, kamu mau ngapain? Lukisan itu seram, tau!” kata Dita seraya mengikuti Laela.

Lukisan berukuran satu meter dan setengah meter itu menampilkan sesosok laki-laki muda berpakaian adat Sunda
bernuansa serba merah. Laki-laki itu memegang keris yang tersarung yang terselip di pinggangnya. Yang membuat lukisan itu terlihat seram bukan sosok laki-laki itu, melainkan sosok-sosok di belakangnya.

“Aku seperti pernah melihat dia sebelumnya, tapi di mana, ya?” ucap Laela
setengah bergumam.

Dita tertegun saat melihat laki-laki di lukisan seolah-olah sedang memperhatikannya. “La, kamu merasa dia ngelihatin kamu, nggak?” ucapnya membuat Laela terkejut.

“Dia tidak menatap ke depan, melainkan ke kiri. Bagaimana mungkin dia melihat ke arah kita,”
sergah Laela sambil memperhatikan lukisan itu.

“Tapi aku melihatnya seperti sedang memperhatikanku, la,” kata Dita yakin sambil bergidik ngeri.

Whuuuussshh,

Angin kencang mendadak berhembus di dalam ruangan. Angin tersebut terasa dingin menghembus ke tubuh dua gadis itu.
Kelebatan sosok-sosok besar berseliweran di antara mereka. Sosok-sosok itu seperti sedang saling menyerang satu sama lain.

Mendadak tubuh Laela terangkat ke udara dengan wajah menengadah diikuti suara nafasnya yang tercekat seperti sedang dicekik oleh tangan tak kasat mata.
“Laela!” teriak Dita dengan panik sembari berusaha menyambar kaki Laela yang jaraknya semakin jauh saja dari lantai.

Glederrr......

Terdengar suara dentuman halilintar dibarengi cahaya kilat yang menerangi hingga ke dalam ruangan.

Usaha Dita sia-sia saja karena tubuh Laela
Usaha Dita sia-sia saja krn tubuh Laela smkin terangkat tinggi ke udara. Sementara ia jg merasakan udara semakin panas spt sedang berada di dekat bara api.

“Laela!” teriak Dita lgi sembari mengejar ke arah tubuh Laela yg kini melayang menjauh hingga ke salah satu sudut ruangan.
Dalam kepanikan yang dialami Dita, sosok bu Asih muncul dari sudut ruangan itu, berjalan pelan ke arahnya. Dita lantas menghentikan langkahnya, bersiap mundur.

“Hehehe, sekarang kamu bisa apa? Temanmu tidak akan tertolong. Dia akan mati sebagai balasan atas kelancanganmu
mengusikku!” Bu Asih menatap tajam ke arah Dita dengan tatapan ingin membunuh.

“Saya tidak merasa sudah mengusik hidup siapapun. Lepaskan teman saya. Dia tidak ada salah apa-apa sama ibu,” tukas Dita gemetar, berusaha memohon agar bu Asih segera melepaskan Laela.
Bu Asih melotot ke arah Dita. Sorot matanya menyiratkan kebencian yang Dita sendiri tidak memahaminya.

“Anakku sudah terpikat padamu. Padahal aku sudah menjodohkannya dengan Arsini, gadis yang kehidupannya jauh lebih baik daripada kamu!” kata bu Asih dengan nada tajam.
Dita terkejut mendengar perkataan bu Asih. Ia pun teringat pada Raman. Hatinya pun bertanya-tanya, apa iya Raman menaruh hati padanya.

Dita pun menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu apa-apa soal mas Raman. Lagipula itu bukan salah saya karena saya tidak memiliki kedekatan
apapun dengan mas Raman,” kata Dita memberanikan diri.

“Tetap saja kamu yang salah karena telah membuatnya terpikat. Wajah cantikmu harus saya hancurkan agar Raman tidak lagi menyukaimu!” Kata-kata bu Asih sangat di luar dugaan dan membuat Dita merasa muak mendengarnya.

Sring,
Mendadak sebilah pisau melayang cepat ke arah wajah Dita. Saking cepatnya, Dita pun tidak sempat menghindarinya. Akibatnya pipi sebelah kirinya tersayat pisau tersebut hingga terluka dan berdarah.

“Aaaahhhhh.....!!!” Dita menjerit kemudian mundur sembari menutupi pipinya yang
yang terluka.

“Baru satu sayatan. Sekarang yang kedua!” bu Asih yang kalap kembali melemparkan pisau yang sama ke arah wajah Dita.

Kali ini Dita dapat menghindari serangan itu dengan cara menjatuhkan diri. Pisau pun menghantam lukisan besar yang sebelumnya ia dan Laela lihat.
Pisau yang berlumur sedikit darah Dita itu menancap tepat di kening lukisan laki-laki berpakaian adat Sunda itu. Darah di pisau terpercik ke wajah lukisan itu.

Selanjutnya yang terjadi, sangat tidak masuk akal. Lukisan laki-laki itu bergerak keluar dari kanvasnya dan menjelma
menjadi sesosok laki-laki di lukisan itu. Laki-laki itu menatap pilu ke arah Dita, kemudian tanpa sepatah kata pun, ia melompat kemudian menghalangi Dita dari serangan bu Asih.

“Cukup sudah, kau pengikut Wawagor! Hadapi aku saja!” kata laki-laki itu dengan tegas sambil menatap
tajam ke arah bu Asih.

“Kau akhirnya keluar juga, Getah Damar! Kau ingin mati sampai berapa kali, hah! Berani menggangguku!” balas bu Asih seraya melemparkan pisau ke arah laki-laki bernama Getah Damar itu.

Damar menangkap pisau yang dilemparkan bu Asih ke arahnya kemudian
menjilati bilahnya. “Ini cukup sampai aku kembali ke Rawa Gaib,” ucapnya kemudian memberikan pisau itu ke Dita.

“Istriku, gunakan pisau ini dan kujang yang kamu bawa untuk membereskannya. Ash menginginkan kematian perempuan penyembah Wawagor ini. Kamu pasti tahu mana yang harus
kamu lakukan, bukan?” ucap Damar seraya menatap ke arah Dita yang sedang terkejut.

“Aku tidak bisa melakukannya begitu saja, dan aku bukan istrimu,” tukas Dita dengan gemetar.

“Darahmu sudah menjadi bagian dari hidupku, jadi kau adalah istriku sekarang. Apapun yg kau inginkan
akan aku lakukan, termasuk mengurus segala masalah yang berkaitan dengan para Sirah Domba. Suka tidak suka, itulah yang terjadi sekarang,” kata Damar membuat Dita semakin terkejut saja.

Ia menggelengkan kepala. “Iiitu tidak mungkin!”

“Cukup kalian berdua dengan kelakuan bodoh
itu!” Bu Asih mendadak menyerang Damar dengan tusuk konde yang ia lepaskan dari gelungan rambutnya.
Damar tidak sempat menghindar. Akibatnya tusuk konde menusuk belikatnya.

Dita yang sedang berusaha mengendalikan diri, lantas menusuk wajah bu Asih dengan kujang yang ia pegang
dengan tangan kanan. Selanjutnya pisau yang ia pegang dengan tangan kirinya, ia hujamkan ke jantung perempuan ganas itu.

Kedua senjata itu tepat sasaran. Bu Asih mundur kemudian menggeliat-geliat seraya menjerit-jerit dengan jeritan yang mengerikan.

Sementara Damar berlutut di
lantai sembari bertumpu dengan tangan kanannya sambil meringis menahan sakit.

Kembali ke bu Asih yang setelah menggeliat-geliat, tubuhnya menghilang begitu saja diiringi suara jeritannya yang melolong panjang.

Tak lama kemudian Dita menyaksikan kemunculan makhluk-makhluk Sirah
Domba yang sedang bertempur. Ia mengenali beberapa di antaranya seperti Ashod dan Ashkelon. Ia juga melihat tubuh Laela sedang diangkat oleh salah satu makhluk Sirah Domba dari faksi musuh.

“Laela! Lepaskan dia!” teriak Dita histeris.

Damar yang berusaha bangun, berbicara.
“Bersabarlah, istriku. Tunggu aku regenerasi. Luka ini terlalu parah. Tusuk konde itu milik Wawagor. Bisa menimbulkan luka yang sangat menyakitkan. Ini buktinya. Aaahhh!”

Damar tampak kesakitan saat berusaha mencabut tusuk konde dari punggungnya.

Mendadak salah satu pasukan
musuh menerjang ke arah Dita kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Aaahh, lepaskan aku! Tolooong!” Dita berteriak minta tolong.

Teriakan Dita terdengar oleh Ashkelon yang lantas berlari dengan posisi menyerang ke arah musuh yang sedang mengangkat tubuh Dita.

Bruggggg
Pukulan Ashkelon berhasil menumbangkan musuhnya hingga jatuh. Dita pun terlepas dari cengkeraman makhluk itu.

Namun tiba-tiba dari belakang, musuh yang lain muncul menusukkan pedang panjang ke punggung Ashkelon hingga tembus ke dada.

“Aaahhhhh!!!” Ashkelon menjerit kesakitan
kemudian terkulai jatuh.

“Ashkelon!” teriak Ashod saat melihat temannya jatuh bersimbah darah setelah menyelamatkan Dita.

“Tuan, tolong bantu mereka. Mereka tidak akan menang. Musuh terlalu banyak!” ucap Dita setelah berada di hadapan Damar.

Laki-laki itu tidak menjawab.
Ia malah sibuk dengan tangannya yang berupaya mencabut tusuk konde di punggungnya.

“Kumohon, tuan Damar. Bantu Ashod dan temannya. Jika tidak, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada teman saya,” kata Dita sambil menunjuk ke arah tubuh Laela yang masih tergantung di
salah satu tangan musuh. “Tuan Damar, aku istrimu. Tolong bantulah mereka!” Dita pun mengatakan kata-kata yang sukses membuat Damar menatap ke arahnya.

Damar dengan segenap kekuatannya, berhasil mencabut tusuk konde di punggungnya.

“Tidak usah berkata begitu, istriku. Aku sudah
berkewajiban memenuhi apa yang kamu inginkan,” ucap Damar kemudian melompat ke arah makhluk Sirah Domba yang sedang menggantung tubuh Laela.

Dengan tusuk konde sitaan, Damar menjatuhkan raksasa itu hingga terkapar. Laela pun terlepas dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Di sudut lain, Ashod bersama dua rekannya yang tersisa tengah terkepung pasukan musuh.

“Rosdan, Bryan, aku meminta maaf karena ini yang terjadi. Kita mengalami kekalahan yang menyakitkan lagi. Kita kehilangan Ashkelon, pejuang tertangguh kita.
Mungkin kita memang akan berakhir seperti ini. Wawagor akan segera datang mengeksekusi kita,” ucap Ashod seraya menatap waspada ke arah pasukan musuh yang mengepungnya.
Damar menyelinap di antara kaki-kaki pasukan musuh kemudian berdiri di hadapan Ashod.

“Kau masih ingat aku, Ash?” ujar Damar sambil menatap ke arah Ashod.

Ashod yg sedang berfokus pada musuh, trkejut dgn kedatangan Damar. Ia lantas mengalihkan pandangan ke arah laki-laki itu.
“Damar? Bagaimana bisa kau hidup lagi? Bukannya kau terbunuh di tangan Wawagor waktu itu?” kata Ashod tampak bingung.

“Gadis itu yang menghidupkanku. Dia berjasa padaku. Sayangnya dia tidak boleh jauh dariku untuk sekarang hingga selamanya,” tutur Damar membuat Ashod
mengernyitkan kening.

“Ini buruk! Tapi aku akan pikirkan caranya agar ia tidak terus terikat denganmu tanpa membuatnya atau membuatmu terbunuh. Sekarang yang penting bagaimana cara kita menghadapi Dilapati dan pasukannya,” tukas Ashod.

“Serahkan mereka padaku. Kalian hanya
perlu menghadapi Wawagor agar tidak kembali menyentuhku,” ucap Damar seraya menghunus keris yang terselip di pinggangnya.

“Mereka mulai menyerang!” teriak Rosdan seraya menebaskan pedang bergerigi miliknya.

Damar yg telah bersiap dengan serangan para Sirah Domba faksi Raspati,
melompat kemudian melayang di udara. Selanjutnya ia menusukkan kerisnya ke salah satu musuh berukuran besar itu.

Setidaknya dua sampai tiga musuh berhasil ia robohkan tanpa kesulitan yang berarti. Ia tampak mengejar ke arah musuh yang sedang mencecar Rosdan.

“Dilapati, kau
tidak akan berhasil tanpa Wawagor!” teriak Damar seraya menebas kaki musuh yang bernama Dilapati itu.

Dilapati terjengkang, kemudian menyambar ke arah Damar. Damar segera melompat seraya menghujamkan kerisnya.

Jresssss

Keris menusuk punggung Dilapati hingga makhluk tersebut
jatuh telungkup. Selanjutnya ia tidak bergerak lagi.

“Aku rasa aku sudah selesai, kawan-kawan. Aku akan membawa istriku dan temannya keluar dari sini. Wawagor tidak akan berani pada kalian. Setidaknya itu yang aku tahu,” ujar Damar kepada Ashod dan yg lainnya yg kini selesai
dengan pertempurannya.

“Aku yang akan menghajarnya jika dia berani mengusikmu lagi, Damar. Apalagi perempuan itu sudah mati sekarang,” tukas Ashod.

Damar mengangguk kemudian berlalu menuju Dita yang sedang berlutut di samping tubuh Laela.
Setelah Damar membawa Dita dan Laela
keluar dari ruangan misteri.

“Aku bersedia ikut denganmu ke tempat asalmu, tuan Damar,” ucap Dita sambil menatap ke arah Damar.

“Itu memang harus kamu lakukan.
Aku sebenarnya ingin kamu tetap menjadi manusia normal agar bisa tetap tinggal bersama teman-teman dan keluargamu. Tapi insiden itu telah memaksamu untuk terus bersamaku,” tutur Damar seraya menatap lembut ke arah Dita.

- Selesai, vroh -
Bagaimana ceritanya?
Ceritanya udh selesai ya. Semoga terhibur.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Acep Saepudin

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!