- Pasukan Sirah Domba -
Mereka muncul dari balik gelapnya sebuah kebun misterius. Sepasukan makhluk halus yg haus darah muncul meneror desa.
Pict source : Google
@bagihorror @ceritaht @WdhHoror17 @horrornesia #CeritaHororTwitter #ceritahoror
"Pak Usup jangan bilang-bilang ke warga soal hal ini agar tidak ada kepanikan massal. Desa ini bisa bertahan karena apa yang
Pak Usup menatap nyalang ke arah lawan bicaranya itu. Ia menghela nafas.
"Pak Nasrun, desa ini berdiri berkat sesepuh kita, Abah
"Alasan mereka masih belum kita tahu. Biasanya orang lain tidak akan berani membuka lahan dekat dengan wilayah-wilayah angker.
Pak Usup turut melihat ke arah pohon tersebut. Ia pun terperanjat saat melihat sesuatu berdiri di depan tanaman itu.
"Astaga, apa itu, pak!" pekik Pak Usup kaget.
"Kita sebaiknya pergi, pak. Ia adalah salah satu dari mereka. Ia tidak akan menyerang kecuali kita mengusiknya," tukas Pak Nasrun seraya berlalu diikuti Pak Usup.
Ia mendesis sembari kedua matanya yang menyala merah melotot. "Manusia, aku datang!"
Warga desa pun menyediakan tempat untuk tinggal bagi ketiganya. Setidaknya selama mereka bertugas di desa itu.
"Selamat datang di Desa
"Terimakasih, Pak Kades. Kalau boleh tahu lokasi puskesmasnya di mana ya, pak?" tukas Dita sambil menatap Pak Dodi.
"Tidak kelihatan, pak. Di sana cuma ada rumah-rumah warga," tukas Laela sambil mengikuti pandangan Pak Dodi.
Pak Dodi menggaruk kepala. "Neng nanti akan menemukan
"Jadi Pak Kades nggak mau mengantar kami, nih? Baiklah, cukup tahu ya," ucap Laela membuat Pak Dodi tercengang.
"Laela! Maafin kelakuan teman saya, Pak Kades. Dia orangnya
"Tidak apa-apa, neng Rina. Sekarang saya jadi tahu kalau neng Laela suka bercanda," tukas Pak Dodi. "Kalau begitu saya antar kalian ke puskesmasnya. Pak Usup juga akan ikut bersama kita."
Ia melihat ke arah Pak Nasrun yang sedang berdiri di depan balai desa sambil menggerak-gerakkan kedua tangan seperti
Tak lama mereka pun tiba di depan puskesmas desa. Puskesmas terletak di pinggir jalan desa bersama dengan pepohonan sawit.
Jarak puskesmas dengan pemukiman warga mencapai sekitar 500 meteran. Otomatis untuk mencapai puskesmas harus berjalan cukup jauh.
Sesampainya di depan puskesmas, mereka berdiri cukup lama sambil sesekali saling pandang seperti sedang merasa gamang.
“Puskesmas ini berhantu. Pasti setiap malam ada kuntilanak di kamar
“Jangan ngawur, la! Kalau begini bisa-bisa aku nggak jadi tugas di sini,” sergah Rina dengan gusar.
Pak Dodi terkekeh mendengar perkataan Laela. “Jangan mengada-ngada, neng. Hantu yang eneng takutin tidak
“Pak Kades jangan suka menyembunyikan fakta, deh. Katakan saja yang sebenarnya,” kata Laela sambil memasang wajah mengejek.
“Saya rasa kita bisa mulai bertugas nanti malam, teman-teman. Kita bertiga bertugas
“Ehmm.” Deheman Laela membuat Pak Usup yang sedang berada di samping puskesmas menoleh.
Ia kemudian melihat ke arah sebatang pohon sawit yang berjarak sekitar lima meteran dari puskesmas.
Setelah Pak Usup membuka pintu puskesmas, mereka pun memasuki puskesmas untuk mengetahui setiap
Laela mengamati setiap jengkal ruangan. Kemudian pandangannya tertuju pada lorong di antara dua toilet yang saling berhadapan.
Saat menoleh ke belakang, semua orang lengkap, tidak ada yang sedang pergi.
“Ada apa sih, la? Kok tiba-tiba mengajakku ke sini?” Dita terlihat penasaran.
“Coba kamu dengarkan, dit.” Laela menyilangkan telunjuk di depan bibirnya.
“Iih kamu, nih. Aku tidak mendengar suara apa-apa selain suara Pak Kades dan yang lain di ruang tengah,” kata Dita terlihat gusar.
“Lho, kok suaranya nggak ada, ya. Padahal tadi aku mendengar suara seperti
“Kamu terlalu paranoid, la. Mana ada suara-suara begitu sementara di toilet tidak ada siapa-siapa,” tukas Dita seraya pergi meninggalkan Laela.
Laela tercenung mendengar kata-kata Dita. Ia menghela nafas kemudian beranjak mengikuti
Namun, baru dua langkah ia berjalan, terdengar lagi suara keran dibuka dengan suara air mengalir yang terdengar jelas dari arah toilet sebelah kiri yang merupakan toilet perempuan.
Karena penasaran, Laela pun mengintip melalui celah pintu toilet yang renggang karena
Saat mengintip, Laela terperanjat menyaksikan sesosok makhluk berbadan seperti manusia namun sangat besar dan tingginya mencapai langit-langit serta memiliki sepasang tanduk seperti tanduk domba di kepalanya.
Makhluk besar tersebut terlihat sedang
Laela yang melihat penampakkan itu lantas pergi ke ruang tengah di mana teman-temannya serta Pak Dodi dan Pak Usup
“Neng Laela, habis dari mana?” tanya Pak Dodi sambil menatap penasaran ke arah Laela yang tampak seperti sedang ketakutan.
Laela belum menjawab. Ia mengatur nafasnya yang tersengal, mencoba menenangkan diri.
“Kamu melihat sesuatu, kah?” Pak Usup menatap penuh
“Anu, pak. Di kamar mandi ada...” Laela tidak melanjutkan kata-katanya saat Pak Usup memberi isyarat agar ia berhenti berbicara.
Tentu saja yang lain dibuat penasaran oleh tingkah Laela dan Pak Usup.
“Ada apa sih, la? Kamu melihat apa di toilet?” tanya
“Pasti suara keran lagi. Kamu masih saja paranoid, la. Itu kan sdh lama dan juga bkan di sini,” kata Dita sambil menatap gusar ke arah Laela.
Pak Dodi mencoba menenangkan suasana. Ia faham betul jika di desa yg dipimpinnya selalu saja ada hal ganjil yg terjadi.
Pak Usup mengangguk setuju.
Dita bersama teman-teman pun mengikuti Pak Dodi dan Pak Usup menuju rumah yang telah disediakan untuk mereka menetap. Rumah tersebut berada di belakang rumah-rumah warga setelah berbelok dari jalan desa ke gang kecil di antara rumah-rumah.
Sementara di belakangnya merupakan tanah kosong yang terhubung langsung dengan hutan.
“Ini tidak salah, pak? Kok kita disuruh nempatin rumah dekat hutan begini?” tanya Laela sambil menatap ngeri ke arah
“Ya elah, la. Memangnya kamu mau tinggal di rumah yang seperti apa? Pak Kades kan sudah pernah bilang bahwa tidak ada lagi rumah kosong di desa ini,” kata Dita sambil menatap gusar ke arah Laela.
“Begini, neng Laela. Rumah ini satu-satunya yang lokasinya mudah untuk
“Tanah itu
Laela tercenung kemudian menatap ke arah Dita dan Rina bergantian.
“Baiklah, tempat ini lebih baik. Tapi kami ingin Pak Kades berjanji.
Tolong jika di kemudian hari salah satu dari kami
Dita yang mendengar kata-kata Laela, lantas menarik tangan temannya itu dan membawanya ke samping rumah.
“Laela, kamu apa-apaan, sih! Mau sok indigo? Kita di sini mau mengabdi. Kamu kok
Laela pun menggeleng-gelengkan kepala karena ucapan temannya yang terkesan tidak mempercayai hal gaib.
“Dit, aku hanya berusaha berhati-hati supaya kita tidak terkena
“Aku percaya makhluk gaib
Rina terlihat muncul bersama Pak Dodi. “Kalian sedang membicarakan apa, sih? Kayaknya serius banget?” ucapnya ke Dita dan Laela.
“Maafin teman saya, Pak Kades. Dia memang terkadang suka berbicara yang aneh-aneh. Mungkin karena dia sedikit indigo?” kata Dita
Ia pun hampir buta pikiran, ingin melabrak Dita yang dianggapnya sudah keterlaluan.
Rina yang melihat raut wajah Laela, lantas
“Sabar, la. Memang tidak semua orang bisa memaklumi keadaan kita. Banyak-banyak bersabar,” bisiknya ke telinga Laela yang terlindungi kerudung berwarna putih.
Pak Dodi seolah dapat menebak apa yang sedang dipikirkan Laela.
Dita tercengang mendengar penuturan Pak Dodi. Ia menggelengkan kepala. Ia kemudian menatap ke arah Rina dan Laela bergantian.
“Sekarang kita bisa menempati rumah ini suka ataupun tidak. Jangan banyak menuntut karena itu sangat egois,”
Beberapa lama kemudian, ketiga bidan desa itu pun sibuk membereskan seisi rumah, mulai dari ruangan depan hingga halaman belakang.
Laela yang merasa tidak nyaman dengan rumah itu merasakan seperti ada
Laela kemudian menghampiri pintu belakang yg langsung mengarah ke halaman yg berbatasan dengan tanah lapang. Ia membuka pintu
Tidak ada siapapun di sana. Namun saat menoleh ke belakang, ia kembali merasakan seperti ada seseorang yang sedang berjalan di halaman belakang tersebut.
“La, kamu sedang apa? Kenapa berdiri lama di depan pintu belakang begitu?”
Laela terperanjat kaget karena merasa dikejutkan oleh Rina.
“Ah, kamu, rin. Bikin aku jantungan saja,” ucapnya seraya menutup pintu.
“Di belakang ada siapa ya, la? Kok kayak ada nenek-nenek sedang membawa sapu di sana,” kata Rina
Ia lantas melihat ke arah sela-sela bilik yang berlubang. Tidak terlihat ada siapapun.
“Tidak ada siapa-siapa, rin,” ucapnya gemetar.
Wajah Rina terlihat memucat. Ia segera menarik tangan Laela dan mengajaknya ke ruang tengah.
“Kalian berdua kenapa?” tanya Dita penuh selidik.
Rina dan Laela tidak segera menjawab. Mereka berdua malah melongo melihat ke arah Dita.
Namun ia yakin bukan itu yg membuat kedua temannya melongo, karena ia sering berpakaian seperti itu di depan mereka berdua.
Kenapa ia melakukannya? Karena ia melihat sesosok nenek-nenek sedang menyeringai di belakang Dita. Sosok nenek tersebut memiliki sepasang mata yg menghitam menyatu
Nenek itu mengenakan kain batik dan kebaya batik berwarna oranye. Sosok nenek itu terlihat tidak memijak bumi. Bagaimana pun nenek tersebut pasti bukan manusia.
Sedangkan Rina dengan sigap menyambar tangan Dita dan menariknya. Di saat itu pula sosok nenek
“Rin, kamu apa-apaan, sih? Lepasin!” pekik Dita merasa ngeri karena pegangan Rina membuatnya merasa aneh.
Rina pun melepaskan genggamannya. Ia mengedarkan pandangannya kemudian menghela nafas.
Waktu terus beranjak. Sore pun tiba, di mana ketiga bidan itu telah lengkap dengan seragam dan perlengkapan masing-masing di puskesmas.
Sejak tiba di sana, sudah ada sedikitnya sepuluh orang warga yang
Hingga malam menjelang, warga masih ada yang datang ke puskesmas. Bermacam-macam keluhan yang mereka sampaikan di hadapan para bidan yang merangkap dokter itu.
Di antara para pasien terdapat seorang pemuda. Ia datang mengantarkan ibunya yang sedang
Pemuda itu terpaku pandangannya saat bertemu dengan Dita. Sepasang matanya seolah tidak berkedip saat menatap Dita.
“Selamat malam, mas. Ada yang bisa saya bantu?”
“Eumm, eh, iya. Maaf, bu bidan, saya mau periksa kesehatan ibu saya. Beliau mengalami sakit seperti ini sudah sangat lama,” tukas pemuda itu dengan tergagap.
Ibu si pemuda hanya menatap kosong ke arah Dita. Raut wajahnya tampak lesu seperti tidak memiliki tenaga sedikitpun di dalam tubuhnya.
Lama si ibu terdiam. Dita pun merasa sangat penasaran. Ia mengalihkan
Pemuda tersebut tersentak saat sadar Dita balik menatapnya.
“Oh, maaf, bu. Ibu saya kesulitan berbicara sejak sakit. Beliau butuh waktu untuk berbicara. Saya tdk tahu kenapa ini bisa terjadi,” kata si pemuda.
“Pernah, bu. Setidaknya saya pernah membawa ibu ke dokter sebanyak dua kali. Jawaban mereka selalu sama yaitu ibu saya tidak terserang penyakit apapun.
Dita tercenung mendengar kata-kata si pemuda itu. Ia kemudian teringat pada Laela yang sedang praktek di ruang seberangnya.
“Kalau boleh tahu nama
“Nama saya Raman Sanjaya. Panggil saja Raman. Ini ibu saya, ibu Rini Asih, panggil bu Asih,” tukas Raman sambil menunduk.
“Saya Dita. Emm, kok nama belakangnya sama dengan nama belakang Pak Kades? Apa anda putranya?” kata Dita.
“Pak Kades memang ayah saya namun sudah lama bercerai dengan ibu. Ayah saya telah menikah lagi dan memiliki anak bernama Irman Sanjaya. Artinya Irman adalah adik tiri saya,” ungkap Raman.
Ia kemudian menatap ke arah ibu Raman, namun pandangannya menangkap siluet suatu sosok besar di depan jendela kaca. Dita pun
Ia bangkit dari duduknya kemudian melihat dengan panik ke arah sosok itu.
Sedangkan Raman yang menyadari gelagat ganjil dari Dita, turut bangkit kemudian menengok ke belakang. Tidak terlihat apapun olehnya.
“Bu, bu Dita. Ada apa? Apa yg ibu
Dita tersentak, kemudian duduk dengan nafasnya yang memburu naik-turun.
Si ibu terlihat tersenyum. Senyuman yg ganjil karena terjadi di saat semua yang ada di ruangan sedang panik.
Senyumannya memperlihatkan gigi-giginya yang menghitam seperti
Waktu berlalu. Esok malamnya di puskesmas yang sama, Dita kembali bertugas memeriksa para pasien yang datang untuk berobat.
Tidak ada yang aneh saat satu persatu pasien memasuki ruang kerjanya hingga saat malam semakin larut.
Saat itu Dita
Tak lama kemudian terdengar suara pintu berderit, membuat Dita mengalihkan perhatiannya ke arah pintu. Ia sejenak menahan nafas yang
Ia terkejut sekaligus takut bukan main saat melihat sesosok makhluk berbadan tinggi dan besar memasuki ruang prakteknya. Makhluk itu memiliki sepasang tanduk seperti tanduk domba di kepalanya.
Makhluk tersebut adalah yang ia lihat pada kemarin malam saat
Lama Dita terpaku, tanpa dapat berkata sepatah kata pun. Ia benar-benar merasa takut dan ngeri melihat penampakkan menakutkan tersebut.
“Selamat malam, bu dokter. Saya ingin berkonsultasi dengan anda,” ujar makhluk besar itu dengan suaranya
Dita gemetaran. Ia tidak dapat berbuat apapun. Bahkan ia tidak bisa pingsan meski merasa sangat ketakutan.
“Bu dokter, anda merasa takut dengan saya? Seharusnya tidak begitu karena anda memiliki tugas mulia yaitu mengobati orang yang sakit. Perkenalkan
Dita masih terpaku hingga kemudian ia akhirnya dapat mengendalikan diri.
“Sssilahkan Pak Ashod. Ada yang bbisa saya bantu?” ucap Dita tergagap.
Badan Ashod yang tinggi menjulang hingga langit-langit, membuat Dita harus menengadah.
“Kedatangan anda sangat kami tunggu, bu dokter. Klan Raspati yang merupakan musuh kami sedang berencana untuk melenyapkan desa ini. Mereka juga akan membunuh seluruh penduduk desa hingga desa ini kembali menjadi
“Apa hubungannya dengan saya?” tanya Dita.
Ashod tidak langsung menjawab. Ia tampak celingukkan dengan cemas.
Laela mengucapkan kalimat tasbih (subhanallah) setelah mendengar pemaparan Dita.
Dita terkejut saat menyadari respon
“La, kok kamu seperti tidak merasa aneh dengan apa yang baru kualami? Makhluk itu benar-benar ada!” kata Dita dengan nada panik.
“Apa? Kamu melihatnya di mana? Apa dia sempat berkenalan denganmu?” tanya Dita membuat Laela tercengang.
“Apa maksudmu berkenalan denganku?” tanya Laela
“Jadi dia tidak menemuimu?” ucap Dita setengah bergumam.
Malam semakin larut saja. Ketiga bidan tersebut malam ini harus tetap berjaga di puskesmas karena khawatir ada pasien yang datang malam-malam.
Sembari berjaga itu, Dita berkumpul bersama Rina dan Laela di ruang
“Pak Husen sudah pulang, kan?” tanya Dita sambil menatap ke arah Rina dan Laela bergantian.
“Iya, dit. Memangnya kenapa?” tukas Rina sambil menatap Dita penasaran.
Dita kemudian menceritakan kembali apa yang ia alami beberapa waktu lalu sambil menunjuk
“Kamu tidak lari, dit?” tanya Rina dengan perasaan ngeri.
“Aku tidak mungkin bisa keluar dari sini. Dia berdiri tepat di situ, depan pintu, jadi ngehalangin aku untuk keluar.” Dita menunjuk-nunjuk pada area depan pintu ruangannya itu.
Laela dan Rina saling pandang.
“Sebaiknya kita melaporkan ini pada Pak Kades. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Laela dengan wajah serius.
Dita setuju dengan usul Laela. Maka ia secepatnya mengambil
Namun tiba-tiba Rina mencegahnya. “Dit, sebaiknya jangan tergesa-gesa menghubungi Pak Kades. Ini akan berakhir tidak baik jika sampai Pak Kades tahu hal ini dan menyebarkannya pada warga.
Mereka terkejut dengan kata-kata Rina yang seolah-olah bukan ucapannya.
“Kamu?” Dita menatap kedua mata Rina yg pupilnya berubah warna menjadi biru terang.
Malam terus berlalu hingga pagi pun tiba. Saat ini merupakan giliran bagi ketiga bidan itu untuk melepas penat karena bertugas semalaman di puskesmas.
Sementara pada pagi hingga sore tiada yang bertugas di sana, padahal
Ketiadaan tenaga medis yang bersedia bertugas di desa tersebut membuat warga desa kesulitan untuk berobat. Jika ingin berobat pada siang, mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh ke desa sebelah.
Seharusnya waktu
Taman Ramayana sebagaimana namanya
Taman tersebut selalu ramai pengunjung terutama di siang hari. Kebanyakan pengunjung merupakan pasangan muda-mudi maupun keluarga yang ingin menikmati indahnya panorama di taman itu.
“Bunga-bunga di taman ini begitu indah, namun dirimu tetaplah yang
Dita tersenyum kemudian terkekeh. “Masa iya, sih? Bohong banget, ah. Seperti playboy aja pake gombalan segala,” ucapnya membuat Doni menggaruk kepala.
“Begitu ya? Yank, sudah melihat kan desa yang jadi tempatku bekerja? Menurut kamu bagaimana?” kata Dita sambil balik menatap kekasihnya itu.
Doni terlihat seperti sedang
“Desa itu terpencil? Aku mengakui lokasinya terlalu jauh dari desa temanku. Tempatnya terlalu terpencil. Itu pokoknya,” jawab Doni sambil menatap Dita dengan raut muka sulit ditebak.
Dita tidak berucap lagi. Ia termangu menatap ke
Di kejauhan terlihat seorang pemuda bersama perempuan berkebaya hitam yang duduk di kursi roda. Pemuda tersebut adalah Raman yang sedang menemani ibunya berjalan-jalan di taman.
Raman telah mengetahui jika Dita sedang berada di taman bersama pacarnya.
“Dita rupanya sudah punya kekasih. Aku memang tidak memiliki keberanian untuk mendekati dia. Apalagi aku baru pertama kali bertemu dengannya di puskesmas. Rasanya terlalu mustahil bagiku
Ibunya Raman atau Bu Asih tampak menyipitkan kedua matanya. Bibirnya seperti sedang komat-kamit.
“Tidak akan kubiarkan anakku mendekati perempuan laknat itu!”
Sementara Dita yang masih terpaku pada setangkai bunga berwarna biru muda, menghela nafas saat tahu ada sesuatu di bunga tersebut.
“Kau masih mengingatku, bu dokter?” Suatu suara parau muncul
“Kau?” ucap Dita membuat Doni terheran-heran.
“Sayang, kamu bicara apa?” Doni menatap bingung ke arah Dita.
“Oh, nggak apa-apa, sayang. Tadi aku sedikit ngelindur,” jawab Dita sembari tergagap.
“Mungkin kamu kecapekan karena tugas semalaman, sayang.
Dita menggeleng. “Aku ingin buang air kecil, sayang. Kamu tunggu di sini saja, ya,” ucapnya seraya berlalu diikuti tatapan heran Doni.
Sesampainya di depan toilet, Dita tidak lantas masuk.
“Jadi kamu menemuiku di sini?” Dita menatap bunglon itu dengan gusar.
Bunglon itu menggerakkan ekornya kemudian
“Kau harus berhati-hati dengan perempuan lumpuh itu, bu dokter. Kasihan pemuda itu, memiliki ibu setengah setan. Perempuan itu adalah pengabdi Wawagor, iblis yang menjadi dewa bagi klan Raspati,” tutur bunglon atau Ashod yang sedang menyamar itu.
“Jika pemuda itu datang
“Lalu, apa yang bisa kulakukan untukmu?” tanya Dita seraya menatap
“Kamu hanya perlu menjaga kujang mini ini. Bukan pusaka yang ampuh, namun ini bisa menyelamatkanku dan teman-temanku. Jaga kujang ini dan jangan sampai jatuh ke tangan perempuan pengabdi Wawagor itu,” papar Ashod sembari menjulurkan lidahnya.
Dari lidah bunglon jelmaan
Dengan ragu-ragu, Dita mengambil kujang tersebut. Mendadak ia merasakan sekujur tubuhnya sangat panas seperti sedang terbakar.
Setelah kujang tersebut berhasil diambilnya, perlahan perasaan terbakar yang dirasakan Dita
Di saat itu juga mendadak Doni muncul di belakang Dita.
“Sayang, kamu rupanya sedang di sini. Apa yang sedang kamu lakukan?” ucap Doni penasaran.
“Kalau pasiennya bandel, getok aja, rin. Nggak perlu susah-susah,” kata Laela setelah mendengar curhatan Rina.
“Kamu sih enak ngomong begitu, la.
“Rin, menurut kamu makhluk itu benar-benar ada nggak, sih?” Laela mengalihkan topik pembicaraan.
“Lah, kan kamu yang melihat sendiri, la. Malah nanya ke aku yang belum pernah melihat mereka,” tukas Rina tanpa
Laela terkekeh sambil meraih buku yang sedang dibaca Rina.
“Langit Romantis di Negeri Sakura? Halah, dasar melankolis. Hahaha,” ucap Laela setelah melihat judul buku yang dibaca Rina.
“La, Dita kok belum pulang juga, ya?
“Kan dia pergi sama Doni, rin. Kenapa juga harus dipertanyakan dia jam segini belum pulang,” tukas Laela.
Klotrakkkkk...
Terdengar suara benda jatuh dari arah dapur, membuat Rina
“Kucing kali, rin. Di sini kan tidak ada siapa-siapa lagi selain kita berdua,” kata Laela mencoba menepis kepenasaranan.
Klotrakkkkk
Suara benda jatuh kembali terdengar membuat keduanya bangkit dari duduk.
“Aku ingin tahu benda apa yang jatuh di
Laela yang merasa bulu kuduknya merinding, lantas mengikuti Rina setelah menaruh bukunya Rina di atas meja.
Sesampainya di dapur, Rina dan Laela tidak menemukan
Ia melihat nenek-nenek yang waktu itu menampakkan diri di belakang Dita, sedang menyeringai ke arahnya. Nenek tersebut mengenakan kebaya
“Nenek itu sebenarnya siapa, sih? Kenapa selalu menampakkan diri di sekitar sini?” gumam Laela dengan perasaan tidak menentu.
Rina terlihat ketakutan saat turut melihat keluar pintu.
Brukkkkkk
Mendadak suatu benda berat jatuh di belakang mereka berdua. Saat menoleh, terlihatlah seonggok tulang-belulang manusia dengan tengkoraknya menghadap ke arah mereka berdua.
Laela dan Rina pun menjerit sembari berlari ke
Beberapa saat kemudian di depan rumah itu.
Pak Dodi dan Pak Usup menatap ke arah dua gadis yang sedang ketakutan itu.
“Seharusnya kalian tidak perlu takut terhadap nenek itu serta sihir-sihirnya. Dia sedang berusaha
“Dulu rumah ini ditinggali seorang wanita yang memiliki nenek seorang dukun beranak namun memiliki ilmu hitam. Konon ilmu hitam itu membuat sang nenek tidak bisa
“Lalu? Apa kami tidak bisa pindah rumah, pak? Kan rumah ini ada penunggunya,” tukas Laela sambil menatap gusar ke arah Pak Dodi.
“Hmm, kalau soal itu
Laela terdiam kemudian melihat ke arah Rina yg tampak mengangkat bahu.
“Saya tidak mungkin melakukannya, mengingat ia juga adalah pemilik rumah ini. Yang bisa saya lakukan hanya mencoba meminta izin dan itu sudah saya lakukan. Soal diberi izin atau tidak, saya tidak tahu. Ia tidak pernah
“Saya akan membuat pagar gaib supaya ia tidak mengganggu kalian lagi. Namun pagar gaib seperti halnya pagar biasa, akan rusak seiring waktu berjalan. Ketika gangguan kembali muncul, kalian harus memberitahu kami,” usul Pak Usup.
Meski begitu, bukan berarti gangguan selesai setelah tiadanya sosok nenek tersebut. Tantangan
Dua orang itu adalah Arman dan Yakub. Mereka berdua
Suatu malam, Arman dan Yakub bertugas bersama Dita. Sebelum pasien datang, mereka terlebih dahulu
"Kok rasanya aku tidak betah di desa ini, ya. Bawaannya ingin segera pulang saja ke kampung," ujar Yakub.
Dita tercenung mendengar penuturan kedua
"Bertugas di sini mah memang harus besar nyali, mas. Sudah tidak aneh kalau di desa ini sering ada hal-hal aneh," katanya
Brugggggg,
Terdengar suara seperti benda keras dan berat yang menabrak sesuatu di belakang, membuat Dita dan yang lain terperanjat kaget.
"Apa itu? Seperti suara
"Aku akan memeriksanya," kata Arman seraya berlalu menuju bagian belakang puskesmas.
Dita dan Yakub tidak mau tinggal diam. Mereka pun mengikuti ke mana Arman pergi.
Sesampainya di ruang belakang, mereka terkejut melihat sesosok
Sosok yang lain itu memiliki sorot mata berwarna merah.
"Kalian jangan ke sini!" kata makhluk yang sedang terkapar itu sembari berusaha
"Kamu siapa?" tanya Dita dengan nada panik.
Makhluk itu melihat ke arah Dita kemudian mengibaskan tangannya agar Dita dan kawan-kawan pergi.
Tanpa menunggu lagi, Dita dan yang lain segera meninggalkan ruangan belakang puskesmas. Sesampainya di ruang tengah, mereka
Saat melihat keluar, Dita melihat banyak sekali makhluk sejenis Ashod namun memiliki sorot mata berwarna merah, sedang mengepung puskesmas.
Dita tentu saja merasa sangat panik menyaksikan hal itu. Ia bingung harus melakukan apa.
Dita melihat ke arah sudut ruangan puskesmas di mana terdapat pot tanaman dengan tanaman yang mengeluarkan cahaya berwarna biru muda. Di situlah Ashod rupanya berada.
"Kalian tidak akan kenapa-kenapa. Keluarlah dari puskesmas dan cari sebuah rumah di desa sebelah. Bu dokter, pemuda itu dapat bekerjasama denganmu," ujar Ashod tanpa berani menampakkan diri.
"Ashkelon? Dia adalah petarung tertangguh kami. Dia tidak akan kalah begitu saja, kecuali jika seluruh unit musuh mengeroyoknya," jawab
"Baiklah, aku akan mencari pemuda itu. Kamu jaga diri baik-baik," kata Dita kemudian beranjak pergi.
"Hei, Dita, kamu mau ke mana? Ini bahaya tahu!" seru Arman yang lantas menyusul gadis itu.
"Kita bisa keluar dari sini, teman-teman. Jangan tanya-tanya, oke!"
Sementara Arman dan Yakub hanya bengong melihat Dita yang terburu-buru meninggalkan puskesmas. Mereka terkejut saat Dita melewati begitu saja gerombolan makhluk raksasa bertanduk itu.
"Kita juga pergi. Tampaknya mereka tidak akan
Seperti halnya Dita, mereka berdua pun dapat melewati gerombolan Pasukan Sirah Domba itu tanpa gangguan.
Di rumah tempat tinggal Laela dan kawan-kawan, Laela dan Rina terkejut dengan kedatangan Dita
"Dita, kamu habis berlari?" tanya Rina sambil menyongsong temannya itu.
"Iya, rin. Mereka mengepung puskesmas!" tukas Dita seraya terengah-engah.
"Mereka?" ucap Laela sambil menatap penasaran ke arah Dita.
"Tuh, kan! Kita diganggu lagi!" keluh Rina.
"Bantuan apa, dit?" tanya
"Antar aku ke Desa Kayu Jati. Ada seseorang yang harus aku temui," papar Dita sembari menatap wajah kedua temannya itu bergantian.
"Malam-malam begini?" Laela menatap bingung ke arah Dita.
"Iya, la. Ini sangat penting. Plisss," kata Dita seolah memohon.
"Kamu kok tiba-tiba ada di sini?" Dita menatap bingung ke arah orang yang baru tiba itu.
“Mas Raman? Kok bisa di sini? Tahu dari siapa tempat tinggal kami?” tanya Dita sembari
“Ayah saya yang menunjukkan tempat bu dokter tinggal. Beliau tahu maksud saya mencari bu dokter,” tukas Raman sambil mengalihkan pandangan pada Laela dan Rina. “Kenalkan nama saya Raman. Kalian pasti temannya bu dokter?”
“Aku Laela dan ini Rina. Mas Raman kenal Dita di puskesmaskah?” tukas Laela sambil menoleh ke arah Rina.
Raman mengangguk kemudian menatap serius ke arah Dita. “Bu dokter, bolehkah saya memanggil nama anda?” ucapnya.
Setelah Raman duduk di sofa ruang tamu, mulailah ia mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Kita sama-sama saling membutuhkan bantuan, mbak Dita. Saya membutuhkan mbak untuk memeriksa ibu saya yang sakitnya
“Lantas kenapa harus saya yang periksa, mas?” tanya Dita bingung.
Raman menghela nafas seperti sedang sesak nafas. “Beliau memanggil-manggil nama ‘bidan Dita’. Sudah pasti yang beliau
Dita tercenung sejenak. “Di mana ibunya mas Raman sekarang?” ucapnya.
Raman terlihat ragu-ragu untuk menjawab. Ia seperti sedang berusaha menutupi apa yang seharusnya ia rahasiakan.
“Mas Raman, mbak Dita nanya, lho. Kenapa tidak
“Oh, itu. Anu, ibu saya di rumah kerabat di kota S,” kata Raman dengan ragu-ragu.
Dita terkejut mendengar jawaban Raman. “Apa? Jadi saya harus ke sana malam-malam buta begini?”
Raman tercenung kebingungan.
Terlihatlah kedua matanya menyala berwarna biru muda, pertanda Ashod muncul memberi petunjuk kepada Dita.
Raman hanya celingukan, tidak tahu apa yang harus ia katakan.
“Aku rasa dia punya alasan kenapa berbohong, bu dokter. Sebaiknya bu dokter cepatlah ke
“Maafkan aku karena telah berbohong. Aku melakukan itu karena aku
Dita dan Laela hanya bisa melongo mendengar pemaparan Raman. Sementara Rina yang sedang
“Bu dokter, pergilah! Laela akan mendampingimu. Sementara aku dan Rosdan akan mengalihkan perhatian para Raspati yang berusaha mengejar
Dita bersama Laela kemudian bergegas meninggalkan rumah menuju tenggara desa di mana rumah kayu berada. Sementara Raman menuju rumah Pak Dodi yang berada di utara.
Rumah itu disebut rumah kayu karena hampir seluruh bagiannya adalah kayu, kecuali paku, engsel, dan gembok.
Kembali ke Laela dan Dita yang sedang berjalan sambil terengah-engah.
“Jauh juga lokasinya. Kenapa sih tidak ada motor di sini?” ujar Dita
“Dit, kamu kok percaya banget sama makhluk itu? Apa kamu tidak curiga terhadapnya?” tanya Laela.
“Aku hanya mengikuti apa yang dia pinta. Kalau aku menolak, bisa saja aku sudah mati sekarang,” tukas Dita.
“Hanya itu alasanmu?”
Dita menghentikan langkahnya, kemudian melihat ke arah Laela dengan tatapan susah ditebak.
Sementara itu, siluet sebuah rumah besar berdiri sekitar lima belas meteran dari mereka.
“Sekarang bagaimana, la? Aku ragu banget sekarang,” ujar Dita dengan waswas.
Dita termenung sembari menatap gagang pintu dengan takut. Ia memang tidak
“Aku tidak menyarankan kau menuruti mereka, dit. Tapi itu terserah kau saja, sih. Tapi bakal ada konsekuensi jika kau melanggar atau menuruti permintaan
Grudakkkkk
Terdengar suara benda jatuh di dalam rumah, membuat kedua gadis itu tersentak kaget. Keduanya saling pandang dengan perasaan waswas tidak terkira.
Brakkkk
Mendadak pintu depan yang sedang dihadapi Dita dan Laela terbuka kemudian
Whuuusshhhh
Angin kencang mendadak bertiup, meniup pepohonan yang berada di sekitar rumah hingga meliuk-liuk. Daun-daun jendela terbuka begitu saja dan berkibar-kibat karena tiupan angin kencang yang datang mendadak itu.
Dari dalam rumah terlihat nyala api
Dita dan Laela menatap dengan waspada ke arah kemunculan sosok itu.
Semakin jelas terlihat jika sosok tersebut adalah ibunya Raman atau bu Asih.
Namun kali ini bu Asih dapat berjalan normal layaknya orang yang sehat. Sosoknya semakin mendekat ke arah pintu depan yang terbuka lebar diiringi cahaya
“Selamat datang, anak-anak. Saya sangat senang dengan kedatangan kalian. Silahkan masuk ke rumah ini,” ucap bu Asih dengan mimik aneh.
Dita dan Laela hanya menatap ngeri ke arah bu Asih. Bagaimana tidak, ibu-ibu tersebut menyeringai
“Lho, kenapa malah diam saja! Ayo masuk!” bentak bu Asih membuat ciut nyali ketuanya.
“Maaf, bu. Ada yang bisa kami bantu, kah? Putra ibu ingin saya memeriksa ibu,” kata Dita dengan ragu-ragu.
“Apa!” Bu Asih melotot ke arah Dita.
“Saya tidak sakit. Kamu tidak perlu memeriksa saya,” ucap bu Asih dgn nada datar.
“Ngomong-ngomong ibu sudah bisa berbicara?” ujar Dita membuat bu Asih melotot ke arahnya.
Setelah berkata demikian, bu Asih berbalik kembali ke dalam rumah. Ia berjalan melewati kobaran api unggun yang menyala di tengah ruangan itu.
Tiba-tiba suatu hal aneh terjadi, di mana mereka berdua secara mendadak berada di dalam suatu ruangan yang sangat luas dengan furnitur serta lukisan-lukisan besar.
Laela tampak celingukan kemudian menatap ke arah sebuah lukisan yang terampang di dinding berwarna krem yang mulai pudar itu.
“Kita sebenarnya sedang berada di mana? Apa di dalam rumah itu, dit?
“La, kamu mau ngapain? Lukisan itu seram, tau!” kata Dita seraya mengikuti Laela.
Lukisan berukuran satu meter dan setengah meter itu menampilkan sesosok laki-laki muda berpakaian adat Sunda
“Aku seperti pernah melihat dia sebelumnya, tapi di mana, ya?” ucap Laela
Dita tertegun saat melihat laki-laki di lukisan seolah-olah sedang memperhatikannya. “La, kamu merasa dia ngelihatin kamu, nggak?” ucapnya membuat Laela terkejut.
“Dia tidak menatap ke depan, melainkan ke kiri. Bagaimana mungkin dia melihat ke arah kita,”
“Tapi aku melihatnya seperti sedang memperhatikanku, la,” kata Dita yakin sambil bergidik ngeri.
Whuuuussshh,
Angin kencang mendadak berhembus di dalam ruangan. Angin tersebut terasa dingin menghembus ke tubuh dua gadis itu.
Mendadak tubuh Laela terangkat ke udara dengan wajah menengadah diikuti suara nafasnya yang tercekat seperti sedang dicekik oleh tangan tak kasat mata.
Glederrr......
Terdengar suara dentuman halilintar dibarengi cahaya kilat yang menerangi hingga ke dalam ruangan.
Usaha Dita sia-sia saja karena tubuh Laela
“Laela!” teriak Dita lgi sembari mengejar ke arah tubuh Laela yg kini melayang menjauh hingga ke salah satu sudut ruangan.
“Hehehe, sekarang kamu bisa apa? Temanmu tidak akan tertolong. Dia akan mati sebagai balasan atas kelancanganmu
“Saya tidak merasa sudah mengusik hidup siapapun. Lepaskan teman saya. Dia tidak ada salah apa-apa sama ibu,” tukas Dita gemetar, berusaha memohon agar bu Asih segera melepaskan Laela.
“Anakku sudah terpikat padamu. Padahal aku sudah menjodohkannya dengan Arsini, gadis yang kehidupannya jauh lebih baik daripada kamu!” kata bu Asih dengan nada tajam.
Dita pun menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu apa-apa soal mas Raman. Lagipula itu bukan salah saya karena saya tidak memiliki kedekatan
“Tetap saja kamu yang salah karena telah membuatnya terpikat. Wajah cantikmu harus saya hancurkan agar Raman tidak lagi menyukaimu!” Kata-kata bu Asih sangat di luar dugaan dan membuat Dita merasa muak mendengarnya.
Sring,
“Aaaahhhhh.....!!!” Dita menjerit kemudian mundur sembari menutupi pipinya yang
“Baru satu sayatan. Sekarang yang kedua!” bu Asih yang kalap kembali melemparkan pisau yang sama ke arah wajah Dita.
Kali ini Dita dapat menghindari serangan itu dengan cara menjatuhkan diri. Pisau pun menghantam lukisan besar yang sebelumnya ia dan Laela lihat.
Selanjutnya yang terjadi, sangat tidak masuk akal. Lukisan laki-laki itu bergerak keluar dari kanvasnya dan menjelma
“Cukup sudah, kau pengikut Wawagor! Hadapi aku saja!” kata laki-laki itu dengan tegas sambil menatap
“Kau akhirnya keluar juga, Getah Damar! Kau ingin mati sampai berapa kali, hah! Berani menggangguku!” balas bu Asih seraya melemparkan pisau ke arah laki-laki bernama Getah Damar itu.
Damar menangkap pisau yang dilemparkan bu Asih ke arahnya kemudian
“Istriku, gunakan pisau ini dan kujang yang kamu bawa untuk membereskannya. Ash menginginkan kematian perempuan penyembah Wawagor ini. Kamu pasti tahu mana yang harus
“Aku tidak bisa melakukannya begitu saja, dan aku bukan istrimu,” tukas Dita dengan gemetar.
“Darahmu sudah menjadi bagian dari hidupku, jadi kau adalah istriku sekarang. Apapun yg kau inginkan
Ia menggelengkan kepala. “Iiitu tidak mungkin!”
“Cukup kalian berdua dengan kelakuan bodoh
Damar tidak sempat menghindar. Akibatnya tusuk konde menusuk belikatnya.
Dita yang sedang berusaha mengendalikan diri, lantas menusuk wajah bu Asih dengan kujang yang ia pegang
Kedua senjata itu tepat sasaran. Bu Asih mundur kemudian menggeliat-geliat seraya menjerit-jerit dengan jeritan yang mengerikan.
Sementara Damar berlutut di
Kembali ke bu Asih yang setelah menggeliat-geliat, tubuhnya menghilang begitu saja diiringi suara jeritannya yang melolong panjang.
Tak lama kemudian Dita menyaksikan kemunculan makhluk-makhluk Sirah
“Laela! Lepaskan dia!” teriak Dita histeris.
Damar yang berusaha bangun, berbicara.
Damar tampak kesakitan saat berusaha mencabut tusuk konde dari punggungnya.
Mendadak salah satu pasukan
“Aaahh, lepaskan aku! Tolooong!” Dita berteriak minta tolong.
Teriakan Dita terdengar oleh Ashkelon yang lantas berlari dengan posisi menyerang ke arah musuh yang sedang mengangkat tubuh Dita.
Bruggggg
Namun tiba-tiba dari belakang, musuh yang lain muncul menusukkan pedang panjang ke punggung Ashkelon hingga tembus ke dada.
“Aaahhhhh!!!” Ashkelon menjerit kesakitan
“Ashkelon!” teriak Ashod saat melihat temannya jatuh bersimbah darah setelah menyelamatkan Dita.
“Tuan, tolong bantu mereka. Mereka tidak akan menang. Musuh terlalu banyak!” ucap Dita setelah berada di hadapan Damar.
Laki-laki itu tidak menjawab.
“Kumohon, tuan Damar. Bantu Ashod dan temannya. Jika tidak, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada teman saya,” kata Dita sambil menunjuk ke arah tubuh Laela yang masih tergantung di
Damar dengan segenap kekuatannya, berhasil mencabut tusuk konde di punggungnya.
“Tidak usah berkata begitu, istriku. Aku sudah
Dengan tusuk konde sitaan, Damar menjatuhkan raksasa itu hingga terkapar. Laela pun terlepas dalam kondisi tidak sadarkan diri.
“Rosdan, Bryan, aku meminta maaf karena ini yang terjadi. Kita mengalami kekalahan yang menyakitkan lagi. Kita kehilangan Ashkelon, pejuang tertangguh kita.
“Kau masih ingat aku, Ash?” ujar Damar sambil menatap ke arah Ashod.
Ashod yg sedang berfokus pada musuh, trkejut dgn kedatangan Damar. Ia lantas mengalihkan pandangan ke arah laki-laki itu.
“Gadis itu yang menghidupkanku. Dia berjasa padaku. Sayangnya dia tidak boleh jauh dariku untuk sekarang hingga selamanya,” tutur Damar membuat Ashod
“Ini buruk! Tapi aku akan pikirkan caranya agar ia tidak terus terikat denganmu tanpa membuatnya atau membuatmu terbunuh. Sekarang yang penting bagaimana cara kita menghadapi Dilapati dan pasukannya,” tukas Ashod.
“Serahkan mereka padaku. Kalian hanya
“Mereka mulai menyerang!” teriak Rosdan seraya menebaskan pedang bergerigi miliknya.
Damar yg telah bersiap dengan serangan para Sirah Domba faksi Raspati,
Setidaknya dua sampai tiga musuh berhasil ia robohkan tanpa kesulitan yang berarti. Ia tampak mengejar ke arah musuh yang sedang mencecar Rosdan.
“Dilapati, kau
Dilapati terjengkang, kemudian menyambar ke arah Damar. Damar segera melompat seraya menghujamkan kerisnya.
Jresssss
Keris menusuk punggung Dilapati hingga makhluk tersebut
“Aku rasa aku sudah selesai, kawan-kawan. Aku akan membawa istriku dan temannya keluar dari sini. Wawagor tidak akan berani pada kalian. Setidaknya itu yang aku tahu,” ujar Damar kepada Ashod dan yg lainnya yg kini selesai
“Aku yang akan menghajarnya jika dia berani mengusikmu lagi, Damar. Apalagi perempuan itu sudah mati sekarang,” tukas Ashod.
Damar mengangguk kemudian berlalu menuju Dita yang sedang berlutut di samping tubuh Laela.
Setelah Damar membawa Dita dan Laela
“Aku bersedia ikut denganmu ke tempat asalmu, tuan Damar,” ucap Dita sambil menatap ke arah Damar.
“Itu memang harus kamu lakukan.
- Selesai, vroh -
Ceritanya udh selesai ya. Semoga terhibur.