Seorang temen saya udah lama banget belajar seni teater & bermain peran
Pas kumpul bareng temen, kalau dia cerita, sekalipun itu beneran nyata, kami selalu curiga dia cuma bermain peran. Cuma pura-pura. Tak jarang jadi bahan tawa: Maklum pemain teater :)
"Sekalipun itu beneran nyata, kami selalu curiga dia cuma bermain peran. Kenapa?"
Karena dia udah lama banget belajar seni teater & bermain peran.
Begitu pula mungkin yang terjadi dalam hal: kita suka meragukan cinta & kebaikan orang lain.
"Maksudnya gimana?"
Sekalipun beneran dicintai atau ada yg berbuat baik, kita cenderung meragukannya & tak percaya. "Pasti ada maksud, modus. Pasti pura2."
Kenapa?
Mungkin karena beberapa kali mengalami begitu, lalu memukul rata semuanya begitu.
Tapi yang jarang disadari, penyebabnya adalah...
Karena kita sering diajari untuk mencintai & berbuat baik.
Kok bisa?
Sejak kecil, begitu sering kita diajari untuk mencintai, berbuat baik, jangan menyakiti & membenci. Orang lain juga diajari serupa.
Sehingga kita menganggap cinta itu bisa jadi rekayasa, tak lagi apa adanya.
Tapi gimana kalau ada yang benci?
Sikap kita sebaliknya. Kita jarang bahkan tak pernah meragukannya. "Enggak mungkin dia pura2 membenci. Dia pasti membenciku."
Ternyata kita lebih percaya benci daripada cinta. Tanpa sadar, kita merasa membenci itu lebih autentik daripada cinta.
Jadi sadar, kalau saya jadi suka ngetes pasangan, suka meragukan cinta & kebaikan orang lain,
bisa jadi artinya saya terjajah oleh akumulasi ajaran cinta & berbuat baik yg ada di kepala sendiri
Penghalang besar merasakan cinta barangkali adalah ajaran mengenai cinta itu sendiri
Kalau saya tidak terjajah, saya jadi bisa memberi ruang kemungkinan:
"Kalau ada yang cinta, bisa jadi itu beneran cinta.
Kalau ada yang benci, bisa jadi itu hanya pura-pura."
Sekian.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Jadi apa yang terjadi setelahnya? Langsung meledak.
Ini yg perlu kita antisipasi mulai sekarang... & cenderung sudah saya perkirakan
Selama awal pandemi & psbb, iya menaati aturan tapi karena kualitas sebagian orang dalam mengelola emosi cenderung belum tepat, cenderung ditekan... maka saat psbb dilonggarkan, jadi bersikap ngawur
Sering menemui keramaian, hanya ikut-ikutan aja apa yang dilakukan banyak orang, tentu akan bikin kita punya banyak teman. Jumlah followers pun jadi bertambah. Seru nan mengasyikkan ya?
Tapi kita jadi asing dengan diri kita sendiri. Terlalu jauh terseret kerumunan.
Kita jadi mirip dengan kebanyakan orang. Serupa massa. Masalahnya, kita jadi kehilangan keunikan. Orang-orang pun akan menganggap kita begitu:
“Tak mengenal, bahkan tak menghargai kita sebagai individu2 dengan keberagaman.
Cenderung memaksa untuk sama. Alergi dengan beda.”
“Tahun 2015, saya jadian sama seseorang. Merancang menua bersama. Namun, setelah menjalani hubungan berdua selama 4 tahun, penuh suka dan duka, akhirnya meski tak kami inginkan, kami pun berpisah.”
“Perpisahan itu saya rasa lebih karena keegoisan saya yg begitu besar. Sampai sekarang, saya terkunci di fase menyalahkan diri sendiri. Ditambah sangat ingin melupakannya, saya sampai melakukan hal2 yg semestinya tak saya lakukan
Gimana cara mengurangi menyalahkan diri sendiri?”
Kita perlu menyeimbangkan menyalahkan diri sendiri dengan pelan2 belajar mencintai diri sendiri.
Menyalahkan diri sendiri itu tak sepenuhnya buruk kok. Hanya perlu diseimbangkan dengan mencintai diri sendiri.
Iya, ini terasa lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.
Setiap kali bertemu masalah, saya & Indri akan berusaha sebisa mungkin punya momen buat ngobrol santai, bertukar sudut pandang. Seringkali momen itu tjd malam saat rebahan sebelum kami tidur.
Dan, larut malam itu, kami ngobrol soal gimana caranya biar kami bisa memulihkan marah.
“Kita tidak bisa mengendalikan sepenuhnya orang lain,” Indri memulai pendapatnya, ia menarik selimut.
“Kita perlu sadar diri, orang lain pun punya hak untuk menjalani hidup sesuai keinginannya,” sambungnya.