NORMALISASI DI TENGAH FRUSTASI
.
.
.
Januari tahun 2019 yang lalu, pak Gubernur pernah bilang normalisasi sungai akan segera dilakukan.
"Kenapa ga dari awal memerintah?"
Ya rugilahh... target dia kan nyapres. Mang ga butuh duit?
"Apa hubungannya?"
Bayangkan, berapa banyak uang mengalir atas dana bencana?
Hanya bencana banjir saja yang bisa diprediksi dan pasti datang kan? Lima tahun memerintah, lima kali bencana banjir dalam sekala besar didapat.
Sudah gitu, banjir yang sengaja dibiarin juga berdampak pada citra politiknya.
Bukan dianggap tak mampu mengendalikan bencana, itu efek kecil saja. Mencari peluang untuk selalu dapat menjatuhkan citra Presiden adalah keuntungan besarnya.
Panggung seperti itu yang ingin dia ciptakan. Dan pertunjukan dijamin akan selalu hadir, paling tidak setahun sekali.
Banjiri istana dan berharap di tegor, heboh di dapat, drama tayang. Terserah dia akan ambil peran apa. Terdzolimi? Terlihat jagoan berani menentang Presiden? Apa saja bisa.
Beruntung Presiden ga nanggapin.
"Brarti Presiden payah dong? Masak warga Jakarta jadi korban dia diam saja?"
Presiden ga berbeda dengan rakyat Jakarta yang lain. Rumahnya terletak di wilayah hukum milik Gubernur. Otonomi daerah berbicara tak seperti bayangan kita
yakni Presiden sebagai atasan gubernur bisa suka-suka menegur dan melakukan intervensi.
.
.
Untuk itulah Gubernur selalu punya cara untuk menciptakan drama. Ada peluang Presiden terperosok diharapkannya.
"Trus apa dong makna normalisasi itu bagi dia sekarang?"
Emang dia masih butuh dana bencana lagi? Kan engga. Dia sudah bukan Gubernur lagi tahun depan.
Masih ada satu kali lagi sih, pada awal tahun 2022. Makanya, sangat mungkin tahun 2021 ini baru akan dimulai.
Anggap saja baru akan selesai pertengahan tahun 2022, maka dana bencana untuk tahun 2022 masih dia dapat kan? Plus gong besar proyek normalisasi.
Proyek normalisasi sungai itu gedhe. Duit yang bakal diturunin juga banyak. Dilakukan pada akhir pemerintahannya lagi...🙄
"Maksudnya, buat bekal pensiun gitu?"
Masak buat nyapres? Ngigau itu pasti...
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ya, nama Ahok sama dengan penista agama, dah gitu aja...!
Simpilifikasi semacam ini ternyata telah menjadi budaya sebagian masyarakat.
Suka tidak suka itu telah terjadi.
📷mymodernmet
Mereka mendorong dirinya sedemikian jauh dalam paham sempit sehingga "BERTANYA" yang seharusnya adalah proses sederhana dan proses alamiah cara otak bekerja untuk menilai sebuah peristiwa,
DITINGGALKAN.
Contoh sederhana.
Belum lama saya iseng membaca sebuah status di sebuah platform media sosial dengan narasi bahwa perempuan yang tidak menutupi auratnya dengan sempurna, dia akan dijadikan bahan bakar di neraka.
Dengan mudah kita berucap kata dlm kompak ketika anggota militer kita diserang oleh OPM di Papua. Itu lebih dari sekedar pantas untuk mereka dapatkan. Mereka menggadaikan nyawa demi setiap jengkal keutuhan NKRI yg ingin dibuat koyak.
📷Mark Kostabi
Mereka pahlawan.
Musuh kita disana jelas. Mereka saudara kita yang sedang minta dari milik kebersamaan kita tapi dengan senjata ditangan.
Saat ini, siapakah yang berdiri paling depan dalam perang ganas melawan virus jahat perampok masa depan kita, mereka para tenaga kesehatan.
Negara telah dengan tegas menetapkan wilayahnya dalam kondisi darurat. Perang kita bersama melawan musuh tak kasat mata, covid-19.
PASAL PENISTAAN AGAMA KEMBALI MENEMUKAN KORBAN
.
.
SEKALI LAGI
.
.
.
Sebagai sebuah peristiwa, sepertinya itu sudah berlangsung sejak lama. Butuh waktu panjang hingga terlapor ditetapkan sebagai tersangka apalagi berkas lengkap di Kejaksaan.
📷Moma
Dimulai dari adanya laporan, panggilan pertama, kedua, pemeriksaan saksi dan bukti hingga gelar perkara dan terakhir komunikasi ke Kejaksaan.
Jelas itu proses panjang. Jelas, peristiwa itu pasti juga sudah diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan apalagi ini terkait dengan isu sensitif dan terlapor adalah tenaga medis yang saa-saat ini sedang sangat dibutuhkan.
Kejadian hukum tak masuk akal kini terulang kembali. Pematang Siantar Sumatera Utara menjadi TKP atas peristiwa ini.
Empat petugas medis yang memandikan jenasah dilaporkan telah berbuat melanggar hukum.
"Apa kejahatannya?"
Memandikan dia yang bukan muhrimnya.🙄
Keempatnya kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik dan kasus juga sudah dianggap langkap oleh Kejaksaan. Dua dari tsk itu adalah petugas forensik rumah sakit.
Adapun pasal yang digunakan polisi untuk menjerat petugas tersebut adalah Pasal 156 huruf a juncto Pasal 55 ayat 1 tentang Penistaan Agama dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Bencana di satu sisi, anugerah pada sisi yang lain, itu realitas yang selalu muncul. Demikian pula dengan Jakarta sebagai ibu kota yang selalu banjir pada setiap musim hujan, bisa juga dilihat dari sisi pandang itu.
Banyak orang pintar berpendapat, teknologi seharusnya dapat berperan mengatasi hal tersebut. Apalagi bila dana ada. Tak ada alasan itu tak bisa.
Seharusnya, ya..!!
Namun bagaimana bila banjir justru dimaknai sebagai proyek?
Bukankah memang ada budget atas dana bencana alam? Dan jumlahnya tidak kecil?
Jangan berpikir ini untuk mereka yang menjadi korban. Ini tentang proyek yang mau ga mau harus hadir dan mereka yang dapat rejeki karena terlibat mengurus proyek tersebut.
Ketika musuh terlalu besar dan kuat, akal kita gunakan. Bukan konfrontasi secara langsung kita pilih. Lincah dan gesit gerakan tubuh kita yang lebih kecil kita gunakan.
📷Firnadi
Pukulan tangan kecil kita memang tak akan langsung membuat lawan jatuh. Dia terlalu kuat dan perkasa. Sangat mungkin, diperlukan lebih dari 20 atau bahkan 50 kali lawan harus terpukul dan itu pun harus pada tempat vital.
Dan itu pun dengan syarat jangan sampai kita sempat terpukul terlebih dahulu.
Itulah gambaran tentang Jokowi. Dia hadir di tengah sekelompok orang dengan kekuatan super dan dilindungi benteng pertahanan yang perkasa.