Dengan mudah kita berucap kata dlm kompak ketika anggota militer kita diserang oleh OPM di Papua. Itu lebih dari sekedar pantas untuk mereka dapatkan. Mereka menggadaikan nyawa demi setiap jengkal keutuhan NKRI yg ingin dibuat koyak.
📷Mark Kostabi
Mereka pahlawan.
Musuh kita disana jelas. Mereka saudara kita yang sedang minta dari milik kebersamaan kita tapi dengan senjata ditangan.
Saat ini, siapakah yang berdiri paling depan dalam perang ganas melawan virus jahat perampok masa depan kita, mereka para tenaga kesehatan.
Negara telah dengan tegas menetapkan wilayahnya dalam kondisi darurat. Perang kita bersama melawan musuh tak kasat mata, covid-19.
Militan kita adalah para tenaga kesehatan. Pribadi-pribadi hebat yang tak kenal takut demi nyaman kita bersama sebagai manusia yang nyawanya sedang terancam. Mereka berdiri pada garda terdepan pada medan pertempuran itu.
Mereka adalah pahlawan kita hari ini.
📷Etsy
Seharusnya, fokus mereka, para nakes tersebut adalah musuh yang mematikan itu. Tugas mereka adalah melindungi kita dari bahaya tak kasat mata yang selalu siap setiap saat akan mencuri nyawa kita.
Kini, dengan pengecutnya, mereka justru kita tikam dari belakang.
Dengan tidak tahu malu, sebagian saudara kita yang senang bersembunyi dalam jubah telah berlaku pengecut. Mereka menyerang. Mereka mengambil kesempatan dalam sempit ruang gerak keterbatasan nakes dan menghujamkan belati tajamnya. Penistaan agama.
Mereka adalah benalu dalam kebersamaan kita yang sebenarnya.
Lantas kemana kita para pecinta NKRI?
Kemana suara kita yang lantang saat anggota militer kita diserang OPM?
📷rgproprio
Militer kita hari ini adalah para nakes. Mereka yang berdiri pada barisan paling depan itu benar tidak berbaju militer, tapi apa yang mereka berikan pada kita adalah hal sama yang anggota tentara jaminkan ketika mereka bertugas di daerah konflik, nyawanya.
📷creapills
Seharusnya, kita bersuara. Seharusnya kita berteriak dalam gempita membela 4 orang tenaga kesehatan di Pematang Siantar yang hari ini sedang dikriminalisasi orang-orang tak tahu diri itu sama seperti ketika tentara kita diserang gerombolan pengacau bersenjata di Papua.
"Trus kenapa pemerintah seolah diam? Takut? Dinas Kesehatan kemana? Polisi dan Jaksa masa malah tunduk?"
📷ArtBrokerage
Kita ingatkan saja bahwa Presiden saja baru menerbitkan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Buat apa Perpres diterbitkan? Biar mereka yang jawab. Kita kerjakan apa yang dapat kita lakukan. Bersuara.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
UNGKAP PENUMPANG GELAP | dalam kasus 4 nakes di Pematang Siantar
.
.
.
Mudah bagi kita yang berada di luar sistem dan lalu berkata, "Payah polisi. Negara lemah. Negara takut dan selalu tunduk oleh tekanan para radikal."
Berita telah lengkapnya penuntutan atas 4 orang tenaga kesehatan yang diduga melanggar pasal penistaan agama di Pematang Siantar Sumatera Utara membuat kita mencari kambing hitam.
Polisi dan negara, sekaligus biang kerok semua peristiwa itu, suami di mana jenasah istrinya dijadikan obyek.
Marah sekaligus jengkel kita berucap pada media dimana kita punya kesempatan menulis rasa itu. Apa yang terpikir di kepala kita, kita sebut dalam narasi.
Ya, nama Ahok sama dengan penista agama, dah gitu aja...!
Simpilifikasi semacam ini ternyata telah menjadi budaya sebagian masyarakat.
Suka tidak suka itu telah terjadi.
📷mymodernmet
Mereka mendorong dirinya sedemikian jauh dalam paham sempit sehingga "BERTANYA" yang seharusnya adalah proses sederhana dan proses alamiah cara otak bekerja untuk menilai sebuah peristiwa,
DITINGGALKAN.
Contoh sederhana.
Belum lama saya iseng membaca sebuah status di sebuah platform media sosial dengan narasi bahwa perempuan yang tidak menutupi auratnya dengan sempurna, dia akan dijadikan bahan bakar di neraka.
PASAL PENISTAAN AGAMA KEMBALI MENEMUKAN KORBAN
.
.
SEKALI LAGI
.
.
.
Sebagai sebuah peristiwa, sepertinya itu sudah berlangsung sejak lama. Butuh waktu panjang hingga terlapor ditetapkan sebagai tersangka apalagi berkas lengkap di Kejaksaan.
📷Moma
Dimulai dari adanya laporan, panggilan pertama, kedua, pemeriksaan saksi dan bukti hingga gelar perkara dan terakhir komunikasi ke Kejaksaan.
Jelas itu proses panjang. Jelas, peristiwa itu pasti juga sudah diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan apalagi ini terkait dengan isu sensitif dan terlapor adalah tenaga medis yang saa-saat ini sedang sangat dibutuhkan.
Kejadian hukum tak masuk akal kini terulang kembali. Pematang Siantar Sumatera Utara menjadi TKP atas peristiwa ini.
Empat petugas medis yang memandikan jenasah dilaporkan telah berbuat melanggar hukum.
"Apa kejahatannya?"
Memandikan dia yang bukan muhrimnya.🙄
Keempatnya kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik dan kasus juga sudah dianggap langkap oleh Kejaksaan. Dua dari tsk itu adalah petugas forensik rumah sakit.
Adapun pasal yang digunakan polisi untuk menjerat petugas tersebut adalah Pasal 156 huruf a juncto Pasal 55 ayat 1 tentang Penistaan Agama dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
NORMALISASI DI TENGAH FRUSTASI
.
.
.
Januari tahun 2019 yang lalu, pak Gubernur pernah bilang normalisasi sungai akan segera dilakukan.
"Kenapa ga dari awal memerintah?"
Ya rugilahh... target dia kan nyapres. Mang ga butuh duit?
"Apa hubungannya?"
Bayangkan, berapa banyak uang mengalir atas dana bencana?
Hanya bencana banjir saja yang bisa diprediksi dan pasti datang kan? Lima tahun memerintah, lima kali bencana banjir dalam sekala besar didapat.
Sudah gitu, banjir yang sengaja dibiarin juga berdampak pada citra politiknya.
Bukan dianggap tak mampu mengendalikan bencana, itu efek kecil saja. Mencari peluang untuk selalu dapat menjatuhkan citra Presiden adalah keuntungan besarnya.