Kejadian hukum tak masuk akal kini terulang kembali. Pematang Siantar Sumatera Utara menjadi TKP atas peristiwa ini.
Empat petugas medis yang memandikan jenasah dilaporkan telah berbuat melanggar hukum.
"Apa kejahatannya?"
Memandikan dia yang bukan muhrimnya.🙄
Keempatnya kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik dan kasus juga sudah dianggap langkap oleh Kejaksaan. Dua dari tsk itu adalah petugas forensik rumah sakit.
Adapun pasal yang digunakan polisi untuk menjerat petugas tersebut adalah Pasal 156 huruf a juncto Pasal 55 ayat 1 tentang Penistaan Agama dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Penetapan tersangka kepada empat petugas forensik tersebut adalah setelah penyidik polisi mendapatkan laporan dari suami Zakiah, Fauzi Munthe.
Sang suami tidak terima dengan perbuatan empat petugas tersebut karena dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam fardu kifayah, yaitu jenazah wanita dimandikan oleh pria yang bukan muhrim.
"Serius? Bukankah penyidik kepolisian punya kewenangan menetapkan sebuah perbuatan dianggap memenuhi unsur atau tidak kan? Kenapa perkara seperti ini saja harus diteruskan?"
Pak Listyo Sigit sebagai Kapolri yang baru memang seharusnya dengar.
Ya, apalagi masuknya pada ranah penistaan agama. Ini ranah yang terlihat sangat seperti karet. Bisa melar sana, melar sini sesuai subyektifitas dan mood penguasa.
"Apa ga aneh, memandikan jenasah dianggap menista agama?"
Sudahlah, kita ga mungkin dapat berdebat dengan mereka yang diciptakan untuk tidak berakal. Sulit bagi kita orang normal melihat itu sebagai kasus hukum.
Kita tak mungkin dapat berdebat tentang penistaan agama, dah gitu aja.
Apa yang harus menjadi urgensi kita adalah maksud dibalik semua itu. Terjadinya instabilitas di negeri ini.
Sangat mungkin ini terkait dengan satu keping puzzel kebersamaan kita. Keping itu sengaja dibiarkan terlepas agar gambaran tentang persatuan kita tidak pernah utuh.
Keping itu adalah kunci yang sengaja selalu dibuat tak mungkin terpasang. Kita dibuat selalu dalam kondisi terpecah.
Amuk dan marah para petugas medis akan membuat penanganan pandemi Covid-19 langsung berantakan.
Demo sebagai protes mereka yang berdiri paling depan pada perang melawan pandemi dan justru dihukum dengan sesuatu yang tidak masuk akal sangat berpotensi membuat kekacauan.
Apakah itu tak terlihat sebagai sebuah kesengajaan demi arah negara kalah dalam perang kita bersama melawan pandemi, itulah pentingnya pak Listyo Sigit berbicara.
Negara harus hadir melindungi para petugas medis dari serangan seperti ini.
Benar, bukan mereka target, tapi dalam kasus ini, bermula dari merekalah potensi instabilitas negeri ini akan terganggu. Ingat, tenaga medis kita tidak banyak.
Jangan buat para petugas medis dibuat semakin sulit dengan sesuatu yang sangat tidak masuk akal.
Jangan mereka dihukum karena mereka sedang melaksanakan tugas negara.
Mereka adalah pahlawan.
Tak layak negara memperlakukan pahlawan dengan tak hormat apalagi mempidanakan mereka yang sedang menggadaikan nyawanya demi tugas besar bangsa dan negara ini.
Bukan Tentara berperang dalam pandemi ini, bukan pula Polisi berdiri pada baris paling depan dalam pertempuran jenis ini, petugas medis.
Jangan justru mereka yang sedang bertempur membela keselamatan kita, mereka justru kita khianati. Bangsa macam apakah kita bila seperti itu?
Kita semua, yang kemarin mendeklarasikan diri sebagai buzzer NKRI, seharusnya bergerak. Tak layak kita hanya diam. Naikkan tagar, buatlah narasi demi membela NKRI dari rongrongan para radikal tak cinta negara.
SavePetugasMedisPematangSiantar
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ya, nama Ahok sama dengan penista agama, dah gitu aja...!
Simpilifikasi semacam ini ternyata telah menjadi budaya sebagian masyarakat.
Suka tidak suka itu telah terjadi.
📷mymodernmet
Mereka mendorong dirinya sedemikian jauh dalam paham sempit sehingga "BERTANYA" yang seharusnya adalah proses sederhana dan proses alamiah cara otak bekerja untuk menilai sebuah peristiwa,
DITINGGALKAN.
Contoh sederhana.
Belum lama saya iseng membaca sebuah status di sebuah platform media sosial dengan narasi bahwa perempuan yang tidak menutupi auratnya dengan sempurna, dia akan dijadikan bahan bakar di neraka.
Dengan mudah kita berucap kata dlm kompak ketika anggota militer kita diserang oleh OPM di Papua. Itu lebih dari sekedar pantas untuk mereka dapatkan. Mereka menggadaikan nyawa demi setiap jengkal keutuhan NKRI yg ingin dibuat koyak.
📷Mark Kostabi
Mereka pahlawan.
Musuh kita disana jelas. Mereka saudara kita yang sedang minta dari milik kebersamaan kita tapi dengan senjata ditangan.
Saat ini, siapakah yang berdiri paling depan dalam perang ganas melawan virus jahat perampok masa depan kita, mereka para tenaga kesehatan.
Negara telah dengan tegas menetapkan wilayahnya dalam kondisi darurat. Perang kita bersama melawan musuh tak kasat mata, covid-19.
PASAL PENISTAAN AGAMA KEMBALI MENEMUKAN KORBAN
.
.
SEKALI LAGI
.
.
.
Sebagai sebuah peristiwa, sepertinya itu sudah berlangsung sejak lama. Butuh waktu panjang hingga terlapor ditetapkan sebagai tersangka apalagi berkas lengkap di Kejaksaan.
📷Moma
Dimulai dari adanya laporan, panggilan pertama, kedua, pemeriksaan saksi dan bukti hingga gelar perkara dan terakhir komunikasi ke Kejaksaan.
Jelas itu proses panjang. Jelas, peristiwa itu pasti juga sudah diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan apalagi ini terkait dengan isu sensitif dan terlapor adalah tenaga medis yang saa-saat ini sedang sangat dibutuhkan.
NORMALISASI DI TENGAH FRUSTASI
.
.
.
Januari tahun 2019 yang lalu, pak Gubernur pernah bilang normalisasi sungai akan segera dilakukan.
"Kenapa ga dari awal memerintah?"
Ya rugilahh... target dia kan nyapres. Mang ga butuh duit?
"Apa hubungannya?"
Bayangkan, berapa banyak uang mengalir atas dana bencana?
Hanya bencana banjir saja yang bisa diprediksi dan pasti datang kan? Lima tahun memerintah, lima kali bencana banjir dalam sekala besar didapat.
Sudah gitu, banjir yang sengaja dibiarin juga berdampak pada citra politiknya.
Bukan dianggap tak mampu mengendalikan bencana, itu efek kecil saja. Mencari peluang untuk selalu dapat menjatuhkan citra Presiden adalah keuntungan besarnya.
Bencana di satu sisi, anugerah pada sisi yang lain, itu realitas yang selalu muncul. Demikian pula dengan Jakarta sebagai ibu kota yang selalu banjir pada setiap musim hujan, bisa juga dilihat dari sisi pandang itu.
Banyak orang pintar berpendapat, teknologi seharusnya dapat berperan mengatasi hal tersebut. Apalagi bila dana ada. Tak ada alasan itu tak bisa.
Seharusnya, ya..!!
Namun bagaimana bila banjir justru dimaknai sebagai proyek?
Bukankah memang ada budget atas dana bencana alam? Dan jumlahnya tidak kecil?
Jangan berpikir ini untuk mereka yang menjadi korban. Ini tentang proyek yang mau ga mau harus hadir dan mereka yang dapat rejeki karena terlibat mengurus proyek tersebut.
Ketika musuh terlalu besar dan kuat, akal kita gunakan. Bukan konfrontasi secara langsung kita pilih. Lincah dan gesit gerakan tubuh kita yang lebih kecil kita gunakan.
📷Firnadi
Pukulan tangan kecil kita memang tak akan langsung membuat lawan jatuh. Dia terlalu kuat dan perkasa. Sangat mungkin, diperlukan lebih dari 20 atau bahkan 50 kali lawan harus terpukul dan itu pun harus pada tempat vital.
Dan itu pun dengan syarat jangan sampai kita sempat terpukul terlebih dahulu.
Itulah gambaran tentang Jokowi. Dia hadir di tengah sekelompok orang dengan kekuatan super dan dilindungi benteng pertahanan yang perkasa.