UNGKAP PENUMPANG GELAP | dalam kasus 4 nakes di Pematang Siantar
.
.
.
Mudah bagi kita yang berada di luar sistem dan lalu berkata, "Payah polisi. Negara lemah. Negara takut dan selalu tunduk oleh tekanan para radikal."
Berita telah lengkapnya penuntutan atas 4 orang tenaga kesehatan yang diduga melanggar pasal penistaan agama di Pematang Siantar Sumatera Utara membuat kita mencari kambing hitam.
Polisi dan negara, sekaligus biang kerok semua peristiwa itu, suami di mana jenasah istrinya dijadikan obyek.
Marah sekaligus jengkel kita berucap pada media dimana kita punya kesempatan menulis rasa itu. Apa yang terpikir di kepala kita, kita sebut dalam narasi.
📷zee chen
Marah, muak, tak habis pikir hingga frustasi.
"Benarkah negara kalah? Benarkah Polisi tak berani?"
Apa pun jawaban akan muncul, itu juga selalu menjadi acuan atas pertanyaan baru. Selalu muncul argumen baru dimana kita memang tak bisa terima atas kondisi seperti itu.
Kita tak mau terima pada fakta bahwa negara dengan segala kelebihannya harus mengalah pada tekanan. Apa pun alasannya.
Peristiwa itu sendiri sudah dimulai sejak 20 September 2020 tahun lalu. Tak ada hal aneh pada awalnya.
Jenasah seorang perempuan berumur 50 tahun yang meninggal karena covid dihadapkan pada kondisi darurat.
Intinya, ada diskusi, ada perdebatan dan keberatan dari pihak keluarga dan Rumah Sakit atas tata cara akibat kedaruratan itu sendiri.
Intinya, atas debat itu pun muncul kesepakatan bersama.
Seharusnya sudah selesai di sana.
Menjadi tak kondusif, karena hadirnya pihak ke tiga. Bermula dari beredarnya foto dan video atas pengurusan jenasah tersebut, cerita berkembang menjadi liar.
📷FubizNet
Suara pertama muncul hanya berselisih 3 hari sejak kejadian tersebut. Pada 23 September MUI setempat menegur dan memanggil direktur rumah sakit umum milik pemerintah itu untuk meminta penjelasan.
Pihak Rumah Sakit akhirnya menyatakan permintaan maaf pada 28 September yakni 5 hari sesudah teguran tersebut.
📷chessprint
Bukan selesai didapat, Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia, Gerakan Pemuda Al Wasliyah bersama ormas Islam lainnya justru mendatangi kantor wali kota di Jalan Merdeka.
Ketua Gerakan Pemuda Al Wasliyah Pematangsiantar M Hidayatullah menyampaikan delapan tuntutan.
Salah satunya adalah mengganti dr Ronald Saragih sebagai Direksi RSUD dr Djasamen Saragih dan Kepala Dinas Kesehatan.
Bak gayung bersambut, gerakan lebih besar yakni aksi aksi organisasi mahasiswa pun terjadi pada 29 September dan dilakukan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Kalimat penistaan agama muncul di sini.
Terakhir, massa dalam jumlah lebih dari seribu berkumpul di Lapangan Haji Adam Malik. Aksi ini ini dhadiri oleh tokoh dan organisasi Islam seperti HMI, BKPRMI, Majelis Ta’lim Mahabbaturosul SAW serta tokoh muslim dan ratusan warga lainnya.
Akibat demo besar tersebut, Wali Kota akhirnya mengumumkan pemecatan direktur dan 3 wakil direktur Rumah Sakit tersebut.
Demikian pula dengan Kapolres yang harus berusaha meredakan demo tersebut dengan mengatakan bahwa atas kasus tersebut, 4 terlapor sudah diproses dan status sudah ditingkatkan pada tahap penyidikan.
"Kemana cerita ini akan di bawa?"
Ingat demo besar-besaran di hampir seluruh Indonesia dan terjadi pembakaran di Jogja, Jakarta dan banyak kota lain pada 8 dan 9 Oktober 2020?
Ya.., demo UU Ciptaker.
Demo dalam sekala massif hingga negara harus sangat hati-hati cara penanganannya demi kondusif kita bersama.
Artinya, sangat naif bila kita tak merujuk pada cerita itu saat melihat peristiwa Pematang siantar.
Artinya, sangat konyol bila kita mengatakan bahwa kejadian Pematang siantar tak terhubung dalam sekala yang lebih besar lagi yakni rusuh nasional
dalam rangka membuat negara ini lumpuh.
.
.
Artinya, ada grand design, ada para kreator bermain di sana, dan maka untuk sesaat negara harus mengalah.
"Maksudnya, 4 orang tenaga kesehatan itu cuma jadi tumbal?"
Tak ada orang benar-benar ingin ibu Meliana di penjara. Mereka hanya ingin memanfaatkan cerita Ibu Meliana itu sebagai natu pijakan fan maka Tanjung Balai lumpuh.
Bukan Ahok mereka ingin hajar dan maka demo 212 menemukan momentum tepat bagi Jakarta tumbang.
Demikian pula demo Ciptaker dan peristiwa Pematang Siantar dimaknai sebagai pembuka, ke 4 orang tenaga medis itu hanya alasan antara.
Semuanya mengarah pada RI 1. Semua tertuju pada bagaiman caranya Presiden tumbang dan semua korban hanya batu pijakan.
"Trus bagaimana nasib 4 nakes itu?"
Itulah tugas kita rakyat yang cinta NKRI bersuara dan terus bersuara.
Benar efpei sudah tumbang, namun jumawa sikap kita atas peristiwa itu dan kita kendor, hanya akan membuat mereka bangkit kembali bahkan dengan sosok yang lebih besar lagi.
Teriak sekuat kita mampu. Tulis sebanyak kita bisa. Mereka yang masih berteriak dalam demo dan menuntut 4 nakes tersebut diadili adalah mereka yang masih melihat peluang adanya korban penistaan agama.
Dan ini adalah tentang moment atas apa yang mereka ingin kembali hidupkan.
"Iya, tapi ga adil dong kalau perkara itu terus dilanjutkan di Pengadilan?
Proses adalah proses. Sistem itu harus dilalui demi proses itu sendiri. Sidang dalam Pengadilan adalah tentang beradunya saksi dan bukti. Dalam sifang di Pengadilan itu pula semua akan dibuka.
Bukankah banyak hal tak logis kenapa cerita sederhana berubah menjadi penistaan dan track record mengatakan bahwa tuntutan berwarna seperti ini adalah cara-cara mereka biasa gunakan?
📷George Bazelits
Keterkaitan kenapa negosiasi antara pelapor dan Rumah Sakit yang sudah sepakat tiba tiba berubah menjadi laporan pada Kepolisian dan fakta demo yang terjadi 3 kali dan makin besar pasti memiliki benang merah.
Dengar-dengar, ada loh kaitan sama si tukang nyinyir paling hebat nomor 1 di dunia di mana dia pernah duduk di M*I pusat.
Di sana, benang merah atas kasus ini harus kita bongkar. Jangan demi nafsu bejat mereka, tenaga medis dan pahlawan kita hari ini justru negara korbankan.
Laporan pada dugaan terjadinya kerumunan pada peristiwa kunjungan Presiden di NTT bukan bertujuan pada kesalahan tindakan atas kejadian itu sendiri. Itu lebih pada niat beriklan dan pansos bersambung.
Ditinjau dari sisi mana pun, laporan itu pasti ditolak. Tak memenuhi unsur. MAKA, cerita bersambungnya adalah Polisi atau aparat HUKUM TAK INDEPENDEN AKAN MEREKA GORENG & PANGGUNG TERSEDIA BAGI MEREKA.
Mereka hanya butuh eksis meski tak sedikit pun ada nalar di sana. Tak penting karena hakekatnya bukan pada logis atau tidak logis, tapi hadir dalam frasa "selalu dikalahkan", atau hukum tidak adil, tidak berpihak pada mereka dan dzolim kemudian dimaknai.
Misteri Alam kembali berulang dalam lingkaran abadi yang terselubung tanya, kenapa.
Temaramnya surya, mendesak malam. Esok pagi, sang fajar PASTI datang.
Burung-burung berkicau dalam riang. Bunga pun terhampar dalam semerbak wanginya & tak bertanya.
Embun pagi yang entah mengapa, selalu membundar dan kemudian runtuh dalam beratnya sendiri, seolah takdir bagi pelengkap drama kehidupan itu.
Ironisnya, makhluk tercerdas yang mengaku sebagai satu-satunya pemilik hak waris semesta Sang Khalik itu justru tak memiliki kecerdasan sederhana membaca nikmat ini.
Mereka sibuk dengan murka dan lalu tertawa dalam angkara.
Mereka bangga dengan yudha bersimbah darah sesama.
Ya, nama Ahok sama dengan penista agama, dah gitu aja...!
Simpilifikasi semacam ini ternyata telah menjadi budaya sebagian masyarakat.
Suka tidak suka itu telah terjadi.
📷mymodernmet
Mereka mendorong dirinya sedemikian jauh dalam paham sempit sehingga "BERTANYA" yang seharusnya adalah proses sederhana dan proses alamiah cara otak bekerja untuk menilai sebuah peristiwa,
DITINGGALKAN.
Contoh sederhana.
Belum lama saya iseng membaca sebuah status di sebuah platform media sosial dengan narasi bahwa perempuan yang tidak menutupi auratnya dengan sempurna, dia akan dijadikan bahan bakar di neraka.
Dengan mudah kita berucap kata dlm kompak ketika anggota militer kita diserang oleh OPM di Papua. Itu lebih dari sekedar pantas untuk mereka dapatkan. Mereka menggadaikan nyawa demi setiap jengkal keutuhan NKRI yg ingin dibuat koyak.
📷Mark Kostabi
Mereka pahlawan.
Musuh kita disana jelas. Mereka saudara kita yang sedang minta dari milik kebersamaan kita tapi dengan senjata ditangan.
Saat ini, siapakah yang berdiri paling depan dalam perang ganas melawan virus jahat perampok masa depan kita, mereka para tenaga kesehatan.
Negara telah dengan tegas menetapkan wilayahnya dalam kondisi darurat. Perang kita bersama melawan musuh tak kasat mata, covid-19.
PASAL PENISTAAN AGAMA KEMBALI MENEMUKAN KORBAN
.
.
SEKALI LAGI
.
.
.
Sebagai sebuah peristiwa, sepertinya itu sudah berlangsung sejak lama. Butuh waktu panjang hingga terlapor ditetapkan sebagai tersangka apalagi berkas lengkap di Kejaksaan.
📷Moma
Dimulai dari adanya laporan, panggilan pertama, kedua, pemeriksaan saksi dan bukti hingga gelar perkara dan terakhir komunikasi ke Kejaksaan.
Jelas itu proses panjang. Jelas, peristiwa itu pasti juga sudah diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan apalagi ini terkait dengan isu sensitif dan terlapor adalah tenaga medis yang saa-saat ini sedang sangat dibutuhkan.