Misteri Alam kembali berulang dalam lingkaran abadi yang terselubung tanya, kenapa.
Temaramnya surya, mendesak malam. Esok pagi, sang fajar PASTI datang.
Burung-burung berkicau dalam riang. Bunga pun terhampar dalam semerbak wanginya & tak bertanya.
Embun pagi yang entah mengapa, selalu membundar dan kemudian runtuh dalam beratnya sendiri, seolah takdir bagi pelengkap drama kehidupan itu.
Ironisnya, makhluk tercerdas yang mengaku sebagai satu-satunya pemilik hak waris semesta Sang Khalik itu justru tak memiliki kecerdasan sederhana membaca nikmat ini.
Mereka sibuk dengan murka dan lalu tertawa dalam angkara.
Mereka bangga dengan yudha bersimbah darah sesama.
Nestapa meraja, duka menggelora dan buana pun larut dalam duka..
Disana, bukan drama sedih tentang tetes air mata dan duka kita ingin bercerita. Arogansi manusia yang bangga dengan kecerdasannya, namun tak sadar sedang mempermalukan diri sendiri.
Agama kita maknai sebagai perjanjian bermaterai dalam bentuk kitab. Kita akui itu sebagai perintahNya. Kita berjalan dengan pongah karena "rasa" sepihak sebagai utusanNya.
Ketika nurani kita tak bergeming atas rintihan sesama yang terdengar parau meminta ampun dan pedang tetap menebas kita bertakkbir "Tuhan Maha Besar".
Ketika mata tak berkedip atas darah mengalir dan telinga tak lagi mampu mendengar rintih kesakitan mereka yang kita anggap musuh, kaum yang tak sepaham dengan kita dan sekali lagi kita berteriak "Tuhan Maha Basar" dan tak ada tanya dalam hati, benarkah itu?
Entahlah.....😢
Binatang pun tak seperti itu.
Pahala dan janji surga. Hanya itu yang kita cari. Hanya itu hasrat kita ingin.
Di sana, diantara celah desakan nafsu tak berbatas itu, kita tersesat. Kita hilang dalam diri kita sendiri.
Lantas, tak lama sejak itu hadir, kita pun dibuat sibuk menolak setiap gagasan dan bukti atas pencapaian olah pikir umat manusia.
Bukankah misteri Alam akan temaramnya surya sebagai tanda penutup hari dan segarnya embun saat pagi merekah
yang dimulai dari sapaan hangat sang surya, akan terus berulang dalam lingkaran abadi yang terselubung tanya tak terjawab adalah makna bahwa Tuhan hadir dan namun kita sibuk mencari?
.
.
Berterimakasih atas hari baru dengan terbitnya matahari yang masih selalu dari sebelah timur, bersama kicau burung, semerbak wangi bunga dan tetes embun pagi, dan sejuknya malam, ucapan "selamat pagi, siang dan malam, teman", adalah cara sederhana mensyukuri nikmatNya.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Laporan pada dugaan terjadinya kerumunan pada peristiwa kunjungan Presiden di NTT bukan bertujuan pada kesalahan tindakan atas kejadian itu sendiri. Itu lebih pada niat beriklan dan pansos bersambung.
Ditinjau dari sisi mana pun, laporan itu pasti ditolak. Tak memenuhi unsur. MAKA, cerita bersambungnya adalah Polisi atau aparat HUKUM TAK INDEPENDEN AKAN MEREKA GORENG & PANGGUNG TERSEDIA BAGI MEREKA.
Mereka hanya butuh eksis meski tak sedikit pun ada nalar di sana. Tak penting karena hakekatnya bukan pada logis atau tidak logis, tapi hadir dalam frasa "selalu dikalahkan", atau hukum tidak adil, tidak berpihak pada mereka dan dzolim kemudian dimaknai.
UNGKAP PENUMPANG GELAP | dalam kasus 4 nakes di Pematang Siantar
.
.
.
Mudah bagi kita yang berada di luar sistem dan lalu berkata, "Payah polisi. Negara lemah. Negara takut dan selalu tunduk oleh tekanan para radikal."
Berita telah lengkapnya penuntutan atas 4 orang tenaga kesehatan yang diduga melanggar pasal penistaan agama di Pematang Siantar Sumatera Utara membuat kita mencari kambing hitam.
Polisi dan negara, sekaligus biang kerok semua peristiwa itu, suami di mana jenasah istrinya dijadikan obyek.
Marah sekaligus jengkel kita berucap pada media dimana kita punya kesempatan menulis rasa itu. Apa yang terpikir di kepala kita, kita sebut dalam narasi.
Ya, nama Ahok sama dengan penista agama, dah gitu aja...!
Simpilifikasi semacam ini ternyata telah menjadi budaya sebagian masyarakat.
Suka tidak suka itu telah terjadi.
📷mymodernmet
Mereka mendorong dirinya sedemikian jauh dalam paham sempit sehingga "BERTANYA" yang seharusnya adalah proses sederhana dan proses alamiah cara otak bekerja untuk menilai sebuah peristiwa,
DITINGGALKAN.
Contoh sederhana.
Belum lama saya iseng membaca sebuah status di sebuah platform media sosial dengan narasi bahwa perempuan yang tidak menutupi auratnya dengan sempurna, dia akan dijadikan bahan bakar di neraka.
Dengan mudah kita berucap kata dlm kompak ketika anggota militer kita diserang oleh OPM di Papua. Itu lebih dari sekedar pantas untuk mereka dapatkan. Mereka menggadaikan nyawa demi setiap jengkal keutuhan NKRI yg ingin dibuat koyak.
📷Mark Kostabi
Mereka pahlawan.
Musuh kita disana jelas. Mereka saudara kita yang sedang minta dari milik kebersamaan kita tapi dengan senjata ditangan.
Saat ini, siapakah yang berdiri paling depan dalam perang ganas melawan virus jahat perampok masa depan kita, mereka para tenaga kesehatan.
Negara telah dengan tegas menetapkan wilayahnya dalam kondisi darurat. Perang kita bersama melawan musuh tak kasat mata, covid-19.
PASAL PENISTAAN AGAMA KEMBALI MENEMUKAN KORBAN
.
.
SEKALI LAGI
.
.
.
Sebagai sebuah peristiwa, sepertinya itu sudah berlangsung sejak lama. Butuh waktu panjang hingga terlapor ditetapkan sebagai tersangka apalagi berkas lengkap di Kejaksaan.
📷Moma
Dimulai dari adanya laporan, panggilan pertama, kedua, pemeriksaan saksi dan bukti hingga gelar perkara dan terakhir komunikasi ke Kejaksaan.
Jelas itu proses panjang. Jelas, peristiwa itu pasti juga sudah diketahui oleh banyak pihak yang berkepentingan apalagi ini terkait dengan isu sensitif dan terlapor adalah tenaga medis yang saa-saat ini sedang sangat dibutuhkan.