Banyak versi pendapat tentang Moksa, tetapi saya tidak akan berpendapat tentang Moksa hanya akan bercerita tentang Moksanya Raden Wibisana dalam cerita pewayangan dimana para pembaca dapat memaknai sendiri arti adegan cerita Raden Wibisana sebelum Moksa (Mangkat).
Dalam cerita pewayangan lakon "Wahyu Makutharama" terdapat adegan Raden Wibisana sebelum mangkat (moksa), beliau harus mengeluarkan Saudara halusnya (saudara gaib) yg berjumlah empat yang berupa, Nafsu-4, yang juga dikenal dengan Sedulur Papat ( 4 Saudara Halus)
Yang lahir bersama jabang bayi yang menyertai selama hidupnya. Mereka mempertanyakan, mengapa kami dikeluarkan dari dirimu Raden? Dijawab oleh Sang Pangeran bahwa, mereka tidak diperlukan lagi dalam kehidupan berikutnya, karena Sang Pangeran akan segera mangkat
Selanjutnya akan hidup di alam rohani. Dijelaskan kepada para saudaranya bahwa, jika kalian tetap ikut aku, maka, diriku tidak bisa meneruskan perjalanan ke alam rohani, manunggal (menyatu) dengan Gusti Yang Maha Kuasa.
Raden Wibisana kemudian berterimakasih kepada mereka yang telah membantu selama hidupnya di Bumi. Setelah acara perpisahan yang mengharukan itu Raden Wibisana mangkat (moksa).
Makna dari adegan tersebut adalah ajaran Spiritual Jawa, bahwa, jika Jiwa masih bersatu dengan nafsu-nafsunya, maka Sang Jiwa tidak akan dapat masuk kedalam Alam Rohani.
Jika nafsu-nafsu masih menyertainya saat meninggal maka Jiwanya masih akan gentayangan di alam gaib, atau ke alam yang lebih kasar seperti di bumi atau dimensi yang lebih rendah. Manusia mati hanya Jasadnya saja sedangkan tubuh halusnya yang berlapis-lapis tidak mati.
Lapisan tubuh halus berupa, tubuh suprakausal (Ego halus), tubuh kausal (kecerdasan, akal budi) yang menyatu dengan Jiwa tetap akan mengikuti perjalanan Jiwa selanjutnya setelah kematian fisik.
Maka bagi manusia yg ingin menyatu, atau ingin hidup bahagia disisiNya, harus mampu melepas semua nafsu-nafsunya sebelum meninggal seperti Raden Wibisana. Sebagai latihan melepas nafsu, didalam hidup ini manusia seharusnya dapat mengendalikan
atau mampu menjadi pemimpin dari para nafsu empat itu tadi, bukan sebaliknya hidup menghamba kepada nafsu-nafsu yang menyertainya, sehingga terjebak segala cara demi memuaskan keinginan dari Sedulur Papat yang selalu menyertainya.
Setelah mampu memimpin nafsu-nafsu tersebut, mulailah melepas Kemelekatan dengan duniawi.
Setelah mampu melepas kemelekatan duniawi, pada saatnya mampu melepas sama sekali Nafsu Papat seperti Raden Wibisana.
Sehingga Jiwa ada harapan dapat meneruskan perjalananNya ke alam rohani, hidup disisiNya, atau yang juga disebut dimensi cahaya. Rahayu.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketika banyak pepunden tidak lagi di ingat, diuri-uri atau hanya dikenal sebagai tempat wingit bahkan mendapat stigma angker hanya untuk mencari materi saja seperti nomor togel dll.
Disinilah peran pepunden akan saya jelaskan, sebenarnya pepunden adalah pelindung disuatu wilayahnya. Untuk melindungi anak piturunya dan orang orang yang tinggal dinwilayah tersebut.
Kerajaan Salakanagara diyakini merupakan kerajaan (sunda) tertua di Nusantara.
-A Thread
Berdasarkan naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.
Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban Salakanagara sama persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad. Dan yang memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda dan Salakanagara.
Spiritualisme atau laku kebatinan berkaitan dengan pemahaman manusia akan hakekat hidupnya.
Hal ini berkaitan langsung dengan sistem religi yang dipahami dan dianut. Pada sistem religi, mitologi, dan hakekat hidup Jawa, maka laku kebatinan Jawa juga sejalan dengan ketiga hal tersebut. Laku kebatinan jawa terbagi dalam tiga golongan, antara lain:
1. Laku kebatinan sebagai bagian dari ritual manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sistem religi Jawa.
Banyak yang mengatakan, “Wong Jowo Ora Njawani” yang artinya orang Jawa tidak menunjukkan tabiat orang Jawa yang sesungguhnya. Tingkah laku, moral dan kepribadiannya sudah bukan orang Jawa yang sesungguhnya.
Banyak yg beranggapan, bahwa ajaran moral dan filosofi hidup orang Jawa itu sudah tidak relevan lagi dgn kehidupan skrg yg serba canggih. Sehingga bukan hal yg mustahil kalau ajaran moral dan filosofi hidup orang Jawa yg diturunkan oleh nenek moyang kita itu bakalan lenyap.
Padahal, ajaran moral dan filosofi hidup orang Jawa tersebut memiliki makna yang sangat mendalam yang mengarah ke kebahagiaan hidup. Selain itu, jika dicocokkan dengan ajaran agama apa saja juga tidak ada penyimpangan.
Alam akan memberikan kabar. Nenek moyang kita bangsa nusantara ini khususnya Jawa selalu gemar lelaku mendekatkan diri atau menyatu dengan alam guna mendapatkan kabar apa yang akan bakal terjadi di muka bumi sebelum ilmu teknologi seperti sekarang ini ada.
Lelaku lelana laladan sepi menghisap energi-energi alam semesta entah itu energi matahari, bulan bintang angin, atau air lautan dll semua ini bisa sangat bermanfaat apabila si pelaku spiritual tadi sudah bisa sambung rasa.
Sambung rasa atau selaras dengan alam bumi jawa tentunya harus sama gelombang energi elektromagnetik kita dengan si alam bumi jawa yang sudah di pasang dan di rancang oleh leluhur tanah jawa.
Percaya tidak percaya. Kita harus kembali pada diri kita masing-masing. "Ingat ngger Leluhur sudah turun gunung". Persiapkan dirimu, leluhur sedang mencari wadah untuk singgah. Wadah itu ya diri kita ini. Yang jelas leluhur tidak asal pilih wadah.
Apabila leluhur sudah mengikutimu, membimbingmu. Hidupmu akan ayem tentrem. Beliau adalah guru spiritual/ghaibmu yang akan menuntunmu ke jalan Tuhan jalan kebenaran.
Pernahkah kamu merasa kalau dunia ini sudah tua? Leluhur turun gunung itu bukan asal turun, tapi beliau sayang terhadap kita anak cucunya, beliau nangis melihat tingkah-tingkah konyol kita yang serakah, sombong, merasa paling hebat, merusak tatanan alam, adu domba dll.