Halo...
Kali ini saya akan membagikan cerita lagi dari pengalaman salah satu narasumber yang kemarin sempat DM saya. Beliau menceritakan saat berada di bumi perkemahan, terjadinya kesurupan masal waktu itu.
Narasumber meminta segala nama tokoh dan tempat untuk tidak disebutkan secara gamblang, oleh karena itu, dalam cerita ini, semua nama tokoh dan tempat saya samarkan.
Jadi, kalau nanti saya kebablasan menyebutkan nama dan tempat, saya minta untuk dijadikan konsumsi sendiri saja
Jadi sebelum di mulai... Jangan lupa RT dan like ya..
Jawa Tengah 2011
Matahari masih mengambang rendah di timur saat truck yang mengangkut rombongan melaju dengan kecepatan sedang. Sepuluh putra dan sepuluh putri telah terpilih mewakili pangkalan untuk mengikuti kemah tingkat kabupaten.
Berdesak-desakan dengan barang dan peralatan tidak melunturkan senyum di wajah kami. Justru kami seolah menjadikan hal itu sebagai kesenangan tersendiri, atau bisa dibilang liburan khusus siswa pilihan dari rutinitas belajar kelas sebelas.
Mendapat teman baru, serta cerita seru telah memenuhi isi kepalaku seperti pengalaman sebelumnya. Aku memang sering terpilih mewakili pangkalan untuk kemah setara lomba tingkat. Bukan semata-mata berburu piala, tapi mendapat ilmu barulah yg membuat hati ini antusias.
Kali ini kemah akan diselenggarakan di suatu desa di provinsi Jawa Tengah. Untuk menuju ke lokasi truck harus melewati lintasan sepanjang pantai utara yang berkelok-kelok cukup tajam. Tak sedikit para pengemudi yang apes mengalami kecelakaan di tempat itu.
Bahkan kami juga melewati wilayah Alas Roban yang terkenal dengan cerita mistisnya, yaitu warung melayang kilometer lima belas.❗ ( kalo ada waktu akan saya ceritakan, jika ada yang pernah mengalami boleh mampir sini cerita 😁)
Namun, entah kenapa saat truck mulai masuk ke jalan yang lebih kecil, hati ini mendadak hambar. Aku bukan orang yang peka dengan hal ghaib. Akan tetapi, bukan berarti tidak pernah sama sekali mengalami hal atau kejadian ganjil.
Sebab dulu waktu kecil, aku pernah rewel berat gara-gara diteror oleh bocah ireng. Sampai bapak dan ibu membawa aku ke orang pintar agar jangan sampai melihat penampakan lagi.
Jalan yang lebih kecil itu menuju langsung ke bumi perkemahan. Mungkin sekitar satu kilo meter dari jalan besar. Setiba di lokasi, kami disambut dengan beberapa rumah belanda yang bisa dibilang masih cukup terawat.
Pohon-pohon besar menyerupai kanopi memberi kesan sejuk dan asri tempat itu. Walau cuaca di wilayah situ tergolong panas. Salah satu rumah belanda yang berada tepat di samping bumi perkemahan dijadikan ruang sekretariat oleh panitia.
Setelah mendapat nomor kapling tenda, semua bergegas memasuki area bumi perkemahan. Sebagai anak Pramuka, mendirikan tenda besar bukanlah hal sulit. Tak butuh waktu lebih dari setengah jam, tenda dengan corak warna-warni sudah banyak memenuhi tanah berumput hijau itu.
Ada sekitar lima belas tenda di kapling putri dan lima belas tenda di kapling putra.
Setelah istirahat siang dan ishoma, rupanya sudah ada kegiatan. Panitia mewajibkan setiap sangga mengirim delapan orang untuk tugas lapangan dan menyisakan dua anak untuk korvei.
Karena atribut tenda seperti pionering gerbang dan pagar belum jadi, maka disepakati kalau aku dan Tia yang berjaga di tenda sembari merampungkan yang belum selesai. Aku memang sering dipercaya untuk urusan tali-temali.
Sehingga tidak kaget kalau urusan membuat pionering pasti akan dibebankan kepadaku.
Singkat cerita aku dan Tia selesai merapikan semuanya sekitar pukul tiga sore. Kami duduk di depan tenda sambil mengibas-ngibaskan topi besek berharap keringat di leher dan muka cepat kering. Sesuai kebiasaan, aku mengechek ponsel,
siapa tahu ada pesan masuk sambil menghilangkan rasa hambar yang sedari tadi mengusik. Aku membalas beberapa pesan yang tersangkut di layar ponsel.
"Lila, mandi, yuk?!" ajak Tia tiba-tiba. "Kalau nunggu yang lain ... nanti malah antre. Malas aku!" desahnya melanjutkan.
"Boleh," sahutku. "Mau mandi numpang rumah warga apa di rumah belanda itu?"
Sejak awal kami memang diinstruksikan untuk menggunakan kamar mandi yang ada di dua rumah belanda dekat buper atau menumpang di rumah warga yang berada di belakang area buper. Sedangkan untuk laki-laki disarankan untuk mandi di sungai belakang permukiman.
"Ke rumah belanda saja yang dekat. Lagian agak jauh dan malu juga pamitnya kalau ke rumah warga." Kata-kata Tia memang benar karena untuk menuju rumah warga, kami harus melewati daerah kapling tenda putra dan beberapa pohon asam besar.
"Okelah!" Aku mengangguk lalu cepat menyambar handuk dan tempat mandi dari tas gemuk di dalam tenda.
Sesampainya di depan kamar mandi aku merasa ada yang aneh. Seolah ada beberapa pasang mata mengintai dan siap menerkam. Padahal waktu itu hanya ada kami berdua.
Ada dua kamar mandi dengan bak air besar tanpa jamban dan empat kamar mandi bak air kecil berjamban.
"Tia, mandi bareng aja, yuk?!" pintaku memelas.
"Kamu kenapa, sih? Aneh banget! Ogah! Mandi sendiri! Orang kamar mandi banyak pada kosong begini!" sungut Tia dengan raut mencibir.
Aku hanya bisa mendesah lesu saat Tia masuk ke salah satu bilik kamar mandi bak besar dan menutup pintu. Rungut Tia bukan tanpa alasan, karena biasanya aku ini malah yang paling berani diantara yang lain.
Aku bahkan pernah bertugas memakai pakaian kunti di kuburan menakut-nakuti siswa baru di kemah penerimaan tamu ambalan. Namun entah kenapa, di tempat ini nyaliku menciut.
Dengan terburu-buru aku menanggalkan pakaian dan mengguyur tubuh. Airnya tidak terlalu dingin, tapi kamar mandi itu terasa lembab dengan banyak lumut menempel pada dinding. Saat pintu tertutup ruangan itu juga minim cahaya.
Hanya ada kaca kecil persegi di dinding bagian atas sebagai akses masuk pancaran sinar matahari.
Aku tidak keramas dan hanya mandi sekenanya. Pikiranku saat itu yang penting cpt selesai dan keluar. Begitu rampung membilas, aku langsung memakai kembali rok pramuka dan kaos biru.
Sedangkan baju pramuka aku sengaja lipat agar bisa dipakai nanti saat kegiatan.
Saat keluar, ada seorang kakak berkalung identitas panitia sedang mengantre di depan pintu tempat Tia mandi. Rupanya di situ sudah ramai anak yang baru pulang berkegiatan.
Kamar mandi yang baru kupakai juga langsung terisi oleh peserta lain.
"Nungguin siapa, Dik?" tegur kakak panitia itu saat melihatku tidak kunjung berlalu dan malah mematung bego di sampingnya.
"Teman aku yang sedang mandi," jawabku menunjuk kamar mandi yang dipakai Tia.
Kakak panitia itu malah menunjukkan ekspresi heran. "Emang kamu kenal sama Kak Dito?" selidiknya.
"Bukan! Yang di dalam itu Tia!" tukasku agak ketus.
"Perempuan yang pakai handuk pink sama bandana merah itu?" koreknya dengan wajah seolah penasaran.
"Lho! Kakak, kok, tahu?" Dahiku mengernyit. "Perasaan tadi pas kami masuk belum ada Kakak, deh."
"Anak itu sudah keluar dari tadi, Dik!" ungkapnya. "Dia malah sudah beberapa kali ke sini nyari Lila, katanya."
Benar saja, ketika pintu bilik itu terbuka bukan lagi Tia yang terlihat. Namun seorang pemuda bercelana pramuka dengan baju cokelat yang belum terkancing sempurna. Aku sontak memalingkan muka menyembunyikan mulut yang menganga.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menerobos keluar dari rumah belanda tersebut dan memburu Tia.
Rupanya anak itu sedang membagikan jatah nasi bungkus pada teman sepangkalan. "Tia! Kamu enggak jadi mandi, ya?" tembak ku kesal.
"Aku kira kamu tidur di kamar mandi!" sinis nya. "Digedor diam saja, dipanggil enggak jawab! dasar! Sudah begitu, mandinya lama lagi!"
"Lama apanya? Itu sudah estimasi mandi tercepat yang pernah aku lakukan! Lihat! Aku saja cuma mandi sekenanya! Enggak sempat keramas kaya kamu!" Jariku menunjuk-nunjuk rambut Tia yang masih setengah basah.
"Sudah! Ada apa, tha ini?" sela Andi, ketua sangga putra. "Sudah, La ... jangan emosi. Mungkin kamu lelah dan belum makan. Sana makan dulu!" titahnya.
Dengan segala kerendahan, aku menepis semua pikiran buruk dan mencoba menerima kalau ini bukan masalah besar. Aku berusaha melupakan kejadian aneh barusan. Sebab, saat aku melihat jam di layar gawai ternyata waktu sudah menunjuk pukul lima.
'Apa mungkin aku mandi selama dua jam dan bukan di kolam renang?' batinku tak habis pikir.
Selepas kegiatan sarasehan malam, tepat pukul sepuluh para peserta di perintahkan untuk tidur. Sebenarnya aku sudah agak melupakan kejadian aneh tadi sore. Apalagi ada seorang kakak panitia yang tadi bertemu di kamar mandi malah mengajak berkenalan.
Pemuda itu bernama Kak Azam. Dia sangat ramah dan malah menawariku mencharge ponsel yg memang dayanya hampir habis.
Sebelum tidur, aku dan Risa bercakap lirih terlebih dahulu. Risa menceritakan pengalaman tadi siang saat mengikuti kegiatan memanen lebah madu.
Aku tentu mendengarkan ceritanya dengan semangat membara. Seperti biasa obrolan merambat panjang.
Sampai saat hampir semua telah terlelap dan suasana mendadak sepi. Tiba-tiba terdengar seperti gesekan langkah kaki dengan daun kering.
Suaranya terasa sangat dekat lewat di samping tenda kami. Kebetulan tendaku bersebelahan dengan pintu gerbang utama keluar masuk dan jalan kampung.
"Enggak biasanya ada yang patroli sampai masuk area tenda," bisik Risa bernada sebal.
"Intip, yuk," ajak ku berbisik siapa tahu ada orang iseng.
Aku dan Risa kompak tengkurap. Kami menyingkap bagian bawah tenda berusaha mengintip dari celah yang tercipta. Hawa aneh kembali menyeruak.
Pasalnya di wilayah tenda tidak ada sama sekali daun berserakan. Sejauh mata memandang hanya lampu jalan yang menyala remang serta suram. Akan tetapi, suara berisik itu masih jelas terdengar dekat. Jika itu suara angin, rasanya tidak mungkin.
Karena memang jarang berembus angin di wilayah itu. Jarak pohon dengan tendaku juga jauh. Kami berpandangan sejenak dan sigap menutup rapat tenda untuk kembali ke posisi semula.
Tangan Risa yang basah dan dingin terus meremas pergelangan ku. Bibirnya mulai komat-kamit membaca doa. Aku sendiri mencoba berpikir positif walau saat itu bulu di sekujur tubuh sudah berdiri. Kami tidak berani membangunkan yang lain takut terjadi keributan.
Namun, ada yang lebih mengejutkan ketika terdengar bisikan panas tepat di telinga kiri ku. "Ndang turu!" (Cepat tidur!) Suara itu berat seperti milik lelaki renta atau kakek-kakek.
Aku memiringkan badan memeluk tubuh Risa yang rupanya sama-sama gemetar. Lebih menyebalkan lagi saat Risa bertanya, "Kamu dengar suara itu, enggak?"
Tanpa menyahut, aku hanya mengangguk kecil dan berusaha memejamkan mata. Aku berharap malam ini segera berlalu.
Meski bukan gangguan berat, tapi jika terus-menerus rasanya cukup menjatuhkan mental juga.
Keesokan paginya aku dan Risa sepakat untuk tidak menceritakan kejadian semalam di tempat itu. Kami mungkin akan membagi cerita saat sudah sampai di sekolah seperti biasa. Aku sendiri berusaha memfokuskan pikiran pada kegiatan menyenangkan hari itu seperti Menjelajah,
baris-berbaris, tanya jawab soal seputar Pramuka dan lomba memasak.
Sore hari setelah aktivitas aral lintang, semua anak diberi waktu bersih diri sebelum ke acara puncak yaitu malam api unggun dan pentas seni. Hampir semua kamar mandi penuh.
Rumah warga yang tidak terlalu padat itu tampak sesak dengan antrean lusuh para peserta.
"Lila! Dari pada kelamaan, kita mandi di kolam samping pabrik aja, yuk?!" Ina mengajakku.
"Bukannya tempat itu enggak boleh, ya? Kan, kita enggak ada perintah mandi di situ," tolak ku menyipitkan mata.
"Tapi kamu tadi lihat sendiri, kan? Ada tempat mandi di situ, jaraknya enggak jauh juga," bujuknya.
Sesungguhnya aku menolak lahir batin ajakan Ina tersebut. Namun, karena diseret paksa dan dari tadi pagi aku belum mandi, akhirnya pasrah juga. Kelakuan tidak mandi pagi dan hanya mencuci muka saat kemah adalah lumprah di pergaulanku.
Kami selalu berpikir akan segera kotor-kotoran, jadi sekalian mandi sore saja. Yang penting deodoran dan minyak wangi jangan sampai lupa.
Jarak kamar mandi pabrik itu sekitar seratus meter dari buper (bumi perkemahan). Di belakangnya tampak area persawahan kuning yang luas. Bangunan kuno terbengkalai itu terlihat pucat dan muram oleh coretan abstrak tangan-tangan jail.
Terdapat peringatan yang ditulis di papan kayu lapuk untuk tidak menyentuh mesin-mesin di dalam pabrik.
"Aku duluan!" Ku ayun kaki untuk masuk ke bilik tunggal tersebut.
Sayangnya, aku kalah oleh tubuh gempal Ina yang nyelonong begitu saja. Dia tersenyum licik sebelum menutup pintu. Aku hanya bisa mendengus sambil mengepal-ngepal tangan berharap tega meninju pipi bulatnya. Inilah tidak enaknya punya badan yang kurus.
Perasaan ini semakin tidak enak, tapi meninggalkan Ina seorang diri bukanlah sesuatu yang bijak. Lagi pula dia berjanji untuk tidak lama-lama. Sesekali aku mengintip ke dalam pabrik. Suasananya begitu hitam dan hambar.
Setelah Ina selesai, aku bergegas masuk bergantian. "Jangan pergi sebelum aku selesai!" ancam ku mengangkat jari telunjuk.
Dengan perasaan was-was bercampur ragu, aku nekat membuka baju dan mandi. Seperti waktu itu, aku mandi sekenanya. Tempat mandi ini lebih lembab dan pengap. Yang lebih membuat merinding adalah bau anyir yang semakin lama kian jelas tercium.
Tiap kali mata terpejam oleh guyuran air, bayangan hantu di film-film tak lelah berseliweran. Alhasil aku seperti orang gelagapan.
Entah sudah bersih atau belum, aku segera memakai baju ganti saat terdengar suara benda tajam bergesekan.
Mungkin itu adalah suara petani yang membersihkan cangkul mereka selepas dari sawah. Namun, sepertinya aku salah total.
Ketika aku keluar, tak ada seorang pun termasuk batang hidung Ina. Lagi-lagi aku dikhianati teman sendiri.
Aku sempat melongok bagian belakang kamar mandi untuk memastikan kalau memang tidak ada siapa-siapa.
Kaki ini mendadak lemas saat tiba-tiba tercium bau ubi bakar yang menyengat disertai suara geraman. Ingin melesat, tapi kaki terasa tertancap di tanah, sedangkan tulangnya melembek bagai puding jelly. Hati ini pasrah, namun tidak dengan pikiranku.
Dengan susah payah, aku mengumpulkan kekuatan untuk berlari.
Aku mengayun kaki sekuat mungkin. Aku berusaha berteriak walau yang keluar hanya angin kosong dari tenggorokan. Sesuatu seperti sarang laba-laba mendadak menerpa muka ini.
Seketika aku terjatuh dan tepak mandi ku ikut terpelanting di jalan berbatu.
Dengan tangan gemetar, aku meraih kembali tepak mandi dan bangkit untuk berlari. Sialnya, Sandal jepit ku putus sehingga membuat tubuh ini terbanting untuk kedua kali. Pipiku sudah basah waktu itu karena suara geraman terus mendengung di telinga.
Suara itu sangat jelas, sampai aku ingin kencing di celana.
Aku terus berlari. Rasanya itu adalah seratus meter terpanjang yg pernah kulalui. Begitu sampai di depan tenda aku jongkok meringkuk sambil sesenggukan. Hampir semua anak mengerumuniku. Mulut ini kian keras menangis.
Waktu itu aku tidak sadar berapa lama ditenangkan. Seingatku, ada tangan yang mendarat keras di pipi. Lalu telinga ini mendengar sentakan dari Andi.
"Istighfar, Lila! Sadar! Sudah! Jangan nangis!" Barulah aku tergugah untuk menenangkan diri dengan mengingat Tuhan.
Setelah cukup tenang dan menyeruput teh hangat, aku mulai berhenti menangis. Saat itu sudah hampir maghrib sehingga semua bergegas ke masjid terdekat.
Teman-teman belum berani menanyakan padaku perihal apa yang terjadi. Mereka jelas lebih paham tentang bagaimana cara bereaksi untuk saat ini. Terlalu menuruti rasa ingi tahu hanya akan memperkeruh keadaan.
Aku hanya berharap semua ini sudah selesai. Tetapi saat baru selesai dari masjid hendak ke bumi perkemahan, langkah kami dicegah oleh beberapa panitia. "Untuk adik-adik sementara di sini dulu sampai ada perintah selanjutnya!" tegas salah seorang panitia berperawakan tinggi kurus
"Kayaknya tadi kelelahan dan belum sempat makan," timpal Risa yang memang sedari tadi di sampingku.
Seseorang menepuk pundak Kak Azam memberi isyarat agar cepat beranjak. "Jangan lupa makan!" pesannya sebelum pergi.
Andi selaku ketua sangga putra memiliki tanggung jawab besar untuk teman sepangkalan. Dia yang menamparku meminta maaf dengan meminjamkan sandal jepit miliknya.
Ia juga menyuruh beberapa anak yang ada di masjid untuk tetap tinggal sesuai arahan panitia. Sedangkan dia akan mencari teman sepangkalan lain agar tidak terpencar lagi. Karena memang hampir tidak mungkin dua puluh orang akan berkumpul terus menerus.
Pasti ada kalanya drama mencari teman itu terjadi.
Namun, karena terlalu lama menunggu ketua sangga, akhirnya satu per satu dari kami mencar lagi. Tak terkecuali aku dan Risa. Kami berdua berniat kembali ke tenda untuk mengambil ponsel.
Awalnya sayup, tapi semakin mendekati bumi perkemahan suara teriakan itu kian kentara.
Betapa terkejutnya kami. Aku sontak membekap mulut sementara Risa memeluk sebelah lenganku. Rupanya sedang terjadi kesurupan massal di lokasi perkemahan.
Ada yang berteriak dengan suara lain, mengamuk, merayap bagai buaya, atau tertawa dan menangis tanpa alasan. Para panitia serta kakak pembina tampak kewalahan.
Karena insiden tersebut semua acara malam itu dibatalkan. Bahkan peserta yang tidak mengalami kesurupan diungsikan tidur di masjid. Menurut kabar yang beredar, para penunggu di sana tidak senang dengan kedatangan kami.
Tak tanggung-tanggung, ada sekitar tiga puluh peserta yang hilang kesadaran.
****
Setelah Lila dan kawan-kawan berangkat sekolah paska bolos berjama'ah, barulah semua cerita dari mereka terungkap. Rupanya tidak hanya Lila saja yang mengalami gangguan. Hanya saja Lila lebih diserang pada mental.
Sedangkan beberapa peserta putra, sempat diperlihatkan berupa penampakan gaun putih tengah ongkang kaki di atas pohon asam. Andi sendiri sempat diganggu suara cekikikan. Bahkan waktu Lila dan Risa mendengar suara kakek-kakek, ternyata Tia merasa kepalanya dibelai dari luar tenda.
Namun, gadis itu memilih diam dan melanjutkan tidur. Beruntung dari pangkalan Lila tidak ada yang kesurupan. Sebenarnya masih banyak cerita dari teman-teman perihal kemah waktu itu.
Saat membolos, Lila menyempatkan diri menemui ustaz menanyakan perihal kejadian aneh yg di alami.
Menurut beliau, Lila ini sebenarnya sudah diincar. Namun, 'mereka' tidak sanggup karena weton nya kuat. Lagi, jiwanya menolak dikuasai 'mereka'. Ditambah gerbang penglihatannya terhadap hal macam itu sudah pernah ditutup.
*** Selesai
Mohon maaf jika cerita tidak seseram yang kalian bayangkan, setidaknya dari cerita itu bisa kita ambil hikmahnya. 😁🙏
Saya kalong undur diri
Sampai jumpa di thread horror lainnya
Wassalamu'alaikum
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dari judulnya ada yang tau siapa mereka?
Silahkan komen sebelum saya mulai ceritanya.
Kisah ini berawal di tahun 2010 waktu Nia masih duduk di bangku SMA, tepatnya hari jumat, saat ujian praktek Seni tarian kuda kepang/jaran kepang. Semua siswa kelas 1,2 dan 3 memenuhi isi lapangan sekolah, memberikan sorak semangat untuk peserta ujian.
Saya mau membagikan kisah perjalanan hidup dari seseorang yg kemarin DM saya, suatu pengalaman gaib, dimana, dia gak sepenuhnya percaya dgn apa yg telah di alami. Namun dari kejadian itu, dia mempunyai suatu anugrah yg tidak dimiliki orang lain.
Narasumber meminta segala nama tokoh dan tempat untuk tidak disebutkan secara gamblang, oleh karena itu, dalam cerita ini, semua nama tokoh dan tempat saya samarkan.
Jadi, kalau nanti saya kebablasan menyebutkan nama dan tempat, saya minta untuk dijadikan konsumsi sendiri saja.
Halo sedulur @cerita_setann
Cerita malam ini ditulis oleh Mbak Wien selaku author Komunitas Pena Hitam. Tentunya sudah mendapatkan ijin untuk saya bagikan di sini.
Jangan lupa RT & LIKE biar rame.
Jam 21:00 saya mulai.
Namaku Suryo, aku memiliki sebuah kisah mistis yang tak terlupakan seumur hidup. Kisah itu terjadi saat aku berusia dua puluh dua tahun.
Aku terlahir di tanah Jawa. Namun, aku menghabiskan masa kecil hingga pendidikan SMU di wilayah Sumatra.