Di sekolah, mungkin banyak dari kita yang diajarkan science sebagai sesuatu yang pasti, statis, final, hanya perlu dihafalkan, no debat.
Hal yang totally misleading karena malah mengesankan science sebagai dogma baru.
In a nutshell, sebenarnya apa definisi dari science?
Plot twist nya adalah, walau scientific revolution terjadi di abad 15 (kalau patokannya Copernicus), secara filosofis, pembahasan penting tentang apa itu science baru terjadi di awal abad 20 (kalau patokannya Popper).
Tentu tanpa bermaksud sisihkan peran Descartes dan Bacon.
Science disini tentu “modern science” ya, untuk membedakan dengan natural philosophy.
Menurut Popper, science itu pada prinsipnya berusaha membuktikan sesuatu salah, dan kalau tidak salah, maka mendekati benar.
Ini yang penting : “mendekati benar”
Science berusaha mencari kesalahan, sementara pseudo-science berusaha mencari pembenaran (cocokologi),
Hanya dengan terus membuktikan & menyingkirkan kemungkinan salah, science bisa mendekati kebenaran. Terus mendekati, tak bisa & justru tak boleh final.
Nah syarat untuk bisa menyingkirkan kesalahan ini satu : klaim harus bisa diuji untuk bisa dibuktikan salah atau benar.
Istilah kerennya : falsifiable.
Contohnya, klaim “saya ganteng tapi hanya kalo lagi sendirian dalam gelap dan ga ada yang liat / rekam” itu unfalsifiable.
Dengan syarat falsifiability ini, mulai bisa dilihat bahwa science justru progresif karena tidak pernah bilang result nya final.
Teori yang bertahan bukan kebenaran mutlak, tapi tidak terbukti salah sepanjang diuji oleh siapa saja.
Science sediakan reliability, bukan certainty.
Sulit bisa ada murid yang bisa berpikir scientific apabila gurunya melarang pertanyaan atas sesuatu yang diajarkan di kelas.
Tidak masalah kalau tidak tau diameter matahari berapa, katup jantungnya kodok berapa, tapi proses scientist bisa tau jawabannya jauh lebih penting.
Nah tapi falsifiability ini mudah diucapkan, tapi sulit untuk selalu dijalankan.
Setiap dari kita punya pre-existing belief yang sangat kita sayangi dan membuat tak rasional, tidak terkecuali scientist.
Disini penjelasan Kuhn mengenai science masuk ke arena.
Kuhn bilang, science tidak berjalan linear dengan proses falsifiability, tetapi berbentuk siklus yang lompatannya terjadi seperti sebuah revolusi.
Copernicus propose Heliosentris bukan dari “koreksi bertahap” model Geosentris Ptolemy.
Dalam kondisi normal, scientist akan anggap sesuatu yang melenceng sebagai anomali, sampai titik dimana terlalu banyak anomali yang ciptakan crisis.
Di saat seperti ini, akan terjadi paradigm shift. Lalu jadi new normal, menunggu crisis baru yang akan perlu paradigm shift lagi.
Kuhn terlihat lebih realistis, tapi menurut beberapa pihak pandangan ini berbahaya.
Batasan antara science & pseudoscience yang terpisah tegas dengan falsifiability jadi punya celah.
Misalnya “astrologi dianggap tak scientific hanya karena belum ada paradigm shift di astronomi”
Lakatos berusaha akomodir Popper dan Kuhn.
Yaudah gini aja, pertama kita perlu bagi tingkatan. Ada yang disebut “hard core hypothesis” dan “auxilary hypothesis”.
Contoh :
Hard core : general relativity
Auxilary : light bending, black hole, gravitational wave, etc
Nah paradigm nya Kuhn punya ruang di hard core, falsifiability nya Popper punya ruang di auxilary.
Jadi tinggal lihat, hard core nya progresif ga? Prediksinya akurat? Hasilkan fakta baru? Kalau iya, bagus. Kalau enggak, bau-baunya perlu consider cari alternatif.
Jadi yang di falsify secara praktis di level auxilary, tapi kalau auxilary banyak salah ya hard core nya berarti ga progresif.
Contoh : Saat scientist predict orbit Uranus with Newton law, kok meleset. Tapi ga simpulkan Newton salah. Eh ternyata benar, malah jadi nemu Neptunus.
Secara praktis scientist jarang consult dengan philosopher tentang apa itu science, karena toh modern science lahir learning by doing dibanding ada strict set of rules.
Sampai kepentok hal ekstrim seperti interpretation of quatum mechanics, dan string theory science apa bukan.
Science itu intinya tentang metode, bukan hasil, apalagi dogma.
Dan science membuat prediksi akurat karena bersedia diuji & lolos dari pembuktian salah, sementara dogma & pseudoscience tinggal comot hasilnya dan pakai cocokologi untuk berusaha tetap relevan.
Happy weekend! 👋🏻
Catatan tambahan :
Untuk yang suka mencocok-cocokkan dogma dengan science, sebaiknya hati-hati. Karena science bergerak, sementara dogma janjikan jawaban final.
Memang selalu ada cara kreatif untuk ngeles dengan ambiguitas interpretasi, tapi kredibilitas dogma bisa tergerus.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kita seringkali terlalu arogan dan berasumsi bahwa worldview & sistem kepercayaan kita adalah yang paling benar & mulia.
Tapi tahukah kamu bahwa sistem kepercayaan peradaban besar di dunia, yang bertahan sampai saat ini, sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis kemunculannya?
Transisi penting peradaban manusia dari gaya hidup berburu-pengumpul ke agrikultur sangat bergantung dari ketersediaan air.
Bukan kebetulan bahwa 4 peradaban kuno semuanya ada di dekat sungai besar : Mesir, Mesopotamia, Harappa (India), dan China.
Kalau semua ada di dekat sungai besar, kenapa keempatnya mengembangkan budaya dan sistem kepercayaan yang sangat berbeda?
Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa kondisi sungai yang sangat berbeda sangat berpengaruh budaya seperti apa yang berkembang di setiap peradaban itu.
Salah satu celah dalam pembahasan ini adalah bagaimana mendefinisikan orang pintar.
IMO, “pintar” yang dimaksud sebenarnya lebih merujuk ke kekayaan informasi yang dimiliki. Semakin punya banyak info (pintar), semakin banyak referensi untuk ngarang (bias).
Kenapa “scientific revolution” bersemi di Eropa, bukan di Timur Tengah, China, atau India yang secara peradaban di Abad Pertengahan cenderung lebih maju?
Disclaimer : 1. Ini lebih ke topik sejarah science, dimana bias sangat mungkin terjadi dan terbuka untuk sanggahan 2. Science yang dimaksud adalah “modern science”, yang bersemi di abad 16 3. Sebelum abad 16, agar tak ambigu, kita gunakan istilah “natural philosopher”
Apabila anda hidup di abad ke-11 dan diminta untuk menebak dimana “modern science” akan tumbuh, kemungkinan besar anda akan menjawab Baghdad.
Sebelum runtuh akibat invasi Mongol, Baghdad adalah tempat berkumpulnya peradaban dunia baik sebagai perdagangan maupun pengetahuan.
Berhubung lagi nge trend menghubungkan bencana alam dengan dosa manusia, apa ada ya riset serius untuk buktikan korelasinya?
Klaim ini sebenarnya falsifiable dan bisa dibuktikan secara empiris loh. Datanya juga rasanya cukup tersedia.
Misalnya :
Analisis hubungan antara persebaran penduduk berdarkan “agama mayoritas” dan “moral masyarakat” (apapun definisinya) di suatu wilayah dengan frekuensi dan keparahan :
a) tsunami
b) gempa bumi
c) tornado
d) gunung meletus
e) etc
Nanti bisa dilihat, misalnya untuk daerah yang lebih sering gempa, mana korelasi yang terbukti kuat. Apakah :
1. Kedekatan dengan gunung aktif 2. Kedekatan dengan patahan (major / minor) 3. Kepercayaan mayoritas masyarakatnya 4. Angka kriminalitas penduduknya 5. Etc
Newton itu religius dalam konteks konvensional, sementara Einstein tidak (setidaknya di masa tuanya).
Tapi preferensi religiusitas (apabila itu dipadankan sebagai KEBAIKAN) antara keduanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai KEBENARAN ILMIAH atas teori yg mereka ajukan.
Ini yang penting dipahami :
Harun Yahya SALAH bukan karena dia ketahuan sebagai seseorang yang TIDAK BAIK akibat terjerat masalah hukum yang konyol,
tetapi karena sejak awal tulisan dan videonya itu PSEUDOSCIENCE, tak ada KEBENARAN ILMIAH di dalamnya.