1. Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarkanmu.(al-Baqarah : 282). Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah adalah Sang Pengajar Hakiki bagi orang-orang bertakwa. Dalam hal ini, takwa berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
2. Sebenarnya orang beriman selalu belajar kepada Allah ketika ia menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Banyak sekali pengetahuan yang diberikan oleh Allah ketika ia menjakankan perintah-Nya dan menjauhi larangab-Nya.
3. Di antara perintah Allah kepada orang beriman adalah menginfakkan sebagian rezeki yang telah diberikan seperti dijelaskan dalam ayat di bawah ini.
4. Sekarang, saya akan menceritakan pengalaman pribadi ketika saya kedatangan seseorang untuk meminta sumbangan. Saat itu, saya sedang duduk menikmati segelas kopi. Tidak lama kemudian seorang laki-laki datang bertamu. Saya pun mempersilahkannya untuk masuk ke dalam rumah.
5. Setelah duduk, laki-laki itu mengeluarkan proposal pembangun sebuah pesantren di kota asalnya. Tampak tulisan dalam proposal itu, Fulan 5000, Fulan 1000, Fulan 1000. Intinya, infak terbanyak adalah 5000. Sedangkan infak paling sedikit 1000.
6. Setelah membaca proposal itu, saya pun berniat untuk memberikan infak kepada laki-laki itu. Nah, tiba-tiba saja saya merasakan susahnya mencari rezeki. Tentu saja bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika saya berniat untuk berinfak tapi saya merasakan susahnya mencari rezeki?
7. Tentu saja, niat berinfak jadi tertunda gara-gara teringat susahnya mencari rezeki. Kamudian saya bertanya dlm hati,"Ya Allah, saya mau berinfak tapi saya teringat susahnya cari duit?" Tiba-tiba ada bisikan dlm hati,"Jika mau berinfak, jangan melihat bagaimana kamu bekerja!"
8. Saya pun berhasil membuang perasaan susah dari hati. Namun muncul persoalan lain dalam hati. Tiba-tiba saya menyadari banyaknya kebutuhan hidup. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika saya mau berinfak tapi teringat banyaknya kebutuhan hidup.
9. Kembali saya bertanya dalam hati,"Ya Allah, bgmn saya bisa berinfak jika saya teringat banyaknya kebutuhan hidup?" Tiba-tiba muncul jawaban dalam hati,"Jika kamu mau berinfak, jangan lihat banyaknya kebutuhan hidupmu!"
10. Saya pun berhasil untuk tidak memikirkan banyaknya kebutuhan hidup. Kemudian saya berusaha untuk memberikan infak. Namun tetap saja ada permasalahan. Tiba-tiba saya mengetahui keburukan laki-laki di depan saya.
11. Bisa dibanyangkan apa yang terjadi ketika saya berniat untuk berinfak tapi saya mengetahui keburukan si penerima infak. Saya pun bertanya dalam hati,"Ya Allah, bagaimana saya bisa berinfak jika saya mengetahui keburukan si penerima infak?"
12. Tiba-tiba muncul jawaban dalam hati,"Jika kamu mau berinfak kepada seseorang, janganlah kamu melihat susahnya cari rezeki, banyaknya kebutuhan hidupmu dan keburukan si penerima tapi lihatlah Allah yang memberi rezeki kepadamu dan orang yang ada di hadapanmu!"
13. Supaya kita mudah dalam berinfak maka janganlah kita mengingat susahnya mencari rezeki, mengingat banyaknya kebutuhan hidup kita dan memandang keburukan si penerima tapi kita menyadari bahwa Allah yang memberikan rezeki kepada kita dan orang lain yang ada di hadapan kita.
14. Ternyata ketika saya hendak berinfak terungkap dgn jelas jika selama ini saya merasakan susahnya mencari rezeki, mengingat banyaknya kebutuhan hidup dan memandang keburukan orang lain. Hanya saja semua itu tdk saya sadari sampai seorang laki-laki datang untuk meminta infak.
15. Saya berpikir bagaimana manusia bisa dermawan dan murah hati jika ia merasakan susahnya mencari rezeki, mengingat banyaknya kebutuhan hidupnya dan memandang keburukan orang lain. Sekarang saya sadar sepenuhnya bhw semua itu adalah tiga penyebab kebakhilan dalam diri manusia.
16. Sekarang kita merenungkan perkataan orang kafir dalam ayat di bawah ini.
17. Sesungguhnya orang-orang kafir itu mengingkari keterlibatan Allah dlm urusan rezeki. Bagi mereka, harta kekayaan itu adalah hasil kerja keras mereka sendiri dan tidak ada keterlibatan Allah sama sekali. Sebab itu, jika diperintah untuk berinfak maka mereka teringat tiga hal.
18. Pertama, mereka teringat bagaimana mencari rezeki. Kedua, apa tujuan mereka mencari rezeki. Ketiga, siapa yang menerima rezeki dari mareka. Ketiga hal itu baru terungkap dengan jelas ketika mereka diperintah untuk berinfak.
19. Tiba-tiba saya menyadari jika Allah ingin mengungkapkan tiga hal dalam diri saya dengan perintah berinfak. Pertama, hati saya merasakan susah dalam mencari rezeki. Kedua, saya anya menikirkan kebutuhan hidup saya sendiri. Ketiga, saya suka memandang keburukan orang lain.
20. Saya pun merenung diri sendiri dengan mengajukan pertanyaan,"Apakah aku percaya kepada Allah dan pertolongan-Nya dalam mencari rezeki?" Saya pun menjawab,"Ya, saya percaya kepada Allah dan Dia memberikan pertolongan-Nya kepadaku dalam mencari rezeki."
21. Setelah itu, saya bertanya kembali,"Apakah selama ini aku merasakan susah dalam mencari rezeki?" Saya pun menjawab,"Ya, selama ini aku merasakan susah dalam mencari rezeki." Saya pun terdiam dan berpikir lebih dalam lagi untuk memahani apa yang terjadi dalam diri saya.
22. Jika saya percaya kepada Allah dan pertolongan-Nya dalam mencari rezeki, mengapa hati saya merasakan susah dalam mencari rezeki? Bukankah perasaan susah saat mencari rezeki justru merupakan bukti nyata bagi saya sendiri jika saya tidak mendapatkan pertolongan Allah.
23. Jika saya percaya kpd Allah dan pertolongan-Nya dlm mencari rezeki maka tidak boleh ada perasaan susah dlm hati. Sebab itu, saya harus membuang perasaan susah dlm hati jika tdk maka saya berada dlm ketidakpercayaan kpd Allah dan pertolongan-Nya dlm mencari rezeki.
24. Sampai di sini, saya sadar. Bgmn diri saya terbuka untuk menerima rezeki dari sisi Allah jika saya tdk percaya kpd Allah dan pertolongan-Nya? Selain itu, bgmn saya bisa dikatakan percaya kpd Allah dan pertolongan-Nya dlm mencari rezeki jika hati saya merasakan kesusahan?
25. Sekarang saya tahu diri saya terbuka untuk menerima rezeki dari sisi Allah dengan (1) percaya kepada Allah dan pertolongan-Nya dalam mencari rezeki; dan (2) membuang perasaan susah dari dalam hati. Saya pun tahu jika setan telah menanamkan perasaan susah dalam hati saya.
26. Sesungguhnya berinfak sebagai perintah Allah tidak hanya mengungkapkan apa yang ada dalam perasaan saya tapi berinfak juga mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran saya. Ternyata apa yang saya pikirkan hanya kebutuhan hidup diri saya sendiri. Saya pun terdiam dan berpikir.
27. Selain harus percaya kepada Allah dan pertolongan-Nya, saya harus percaya jika kebutuhan saya telah ditanggung oleh-Nya sehingga saya tidak perlu memikirkan kebutuhan saya sendiri. Sebab itu, saya harus memikirkan kebutuhan orang lain.
28. Sekarang bertambah tahu diri saya terbuka untuk menerima rezeki dari sisi Allah dengan (1) percaya kepada Allah dan pertolongan-Nya dalam mencari rezeki; (2) membuang perasaan susah dari dalam hati dan (3) memikirkan kebutuhan orang lain.
29. Sebagai perintah Allah, berinfak juga mengungkapkan bahwa saya masih suka memandang keburukan sesama. Akhirnya, saya tahu diri saya terbuka untuk menerima rezeki dari sisi Allah dengan mengakui kebaikan orang sebagai wujud pertolongan Allah kepada diri saya.
30. Kita bisa membuka diri selebar-lebarnya untuk menerima rezeki dari sisi Allah dengan empat tahap. Pertama adalah tahap akidah, yaitu percaya (beriman) kepada Allah dan pertolongan-Nya dalam mencari rezeki.
31. Kedua adalah tahap spiritual,yaitu membuang perasaan susah dari hati pada saat mencari rezeki). Ketiga adalah tahap intelektual, yaitu memikirkan kebutuhan orang lain sebagai prinsip dalam mencari rezeki.
32. Keempat adalah tahap sosial, yaitu mengakui kebaikan orang lain sebagai wujud pertolongan Allah dalam mencari rezeki.
33. Sesungguhnya perintah berinfak seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an akan menguji orang beriman apakah dirinya benar-benar beriman kepada Allah dan pertolongan-Nya dalam mencari rezeki.
34. Seandainya orang beriman itu menyatakan diri beriman kepada Allah dan pertolongan-Nya namun ia merasakan kesusahan dalam hati pada saat mencari rezeki maka perasaan susah itu menunjukkan keimanannya masih sebatas lisan dan belum sampai ke dalam hatinya.
35. Sesungguhnya perintah berinfak seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an akan menguji orang beriman apakah dirinya benar-benar beriman bahwa Allah menanggung dan mencukupi kebutuhan hidupnya.
36. Seandainya orang beriman itu menyatakan diri beriman bahwa Allah senantiasa menanggung dan mencukupi kebutuhan hidupnya namun ia masih memikirkan apa yang telah dijamin oleh-Nya maka keimanannya belum sampai ke dalam kemampuan inteleknya.
37. Sesungguhnya perintah berinfak seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an akan menguji orang beriman apakah dirinya benar-benar beriman bahwa Allah melibatkan orang lain dalam urusan rezekinya.
38. Seandainya orang beriman itu menyatakan diri beriman bahwa Allah melibatkan orang lain dalam urusan rezekinya namun ia masih suka memandang keburukan orang lain maka keimanannya belum sampai dalam kehidupan nyata.
39. Kita dapat belajar dari pengalaman berinfak bahwa keimanan tidak bisa diuji kebenarannya hanya berdasarkan pada argumentasi. Namun keimanan harus diuji kebenarannya berdasarkan kondisi spiritual, kemampuan intelektual dan realitas sosial.
40. Sekarang, saya akan menjelaskan hijab pertama yg menutupi diri kita untuk menerima rezeki dari sisi Allah. Hijab itu berupa iktikad jika rezeki adalah hasil kerja keras. Misal, orang ditanya,"Uang itu dari mana?" Lalu orang menjawab,"Uang itu hasil kerja kerasku."
41. Sebenarnya tidak sedikit orang yang beriktikad bahwa rezeki adalah hasil kerja kerasnya sehingga untuk memberikan sebagian rezeki itu muncul berbagai pertimbangan yang tidak penting. Perlu diingat bahwa Allah memberi manusia rezeki tanpa mempertimbangkan perilaku manusia.
42. Hijab kedua yang menutupi diri kita untuk menerima rezeki dari sisi Allah adalah perasaan susah di hati. Jika hijab pertama berupa persoalan iktikad maka hijab kedua berupa persoalan spiritual.
43. Hijab ketiga yang menutupi diri kita untuk menerima rezeki dari sisi Allah adalah memikirkan kebutuhan hidupnya sendiri. Sedangkan hijab keempat yang menutupi diri kita untuk menerima rezeki dari sisi Allah adalah memandang keburukan orang lain.
44. Hijab ketiga berupa persoalan intelek. Sedangkan hijab keempat berupa persoalan sosial. Jadi, selama kita masih tertutupi oleh keempat hijab itu maka diri kita akan sulit melihat datangnya rezeki dari sisi Allah dalam hidup kita.
45. Jadi, hijab yang menutupi diri kita untuk menerima rezeki dari sisi Allah ada empat macam. Pertama adalah hijab iktikad. Kedua adalah hijab spiritual. Ketiga adalah hijab intelektual. Sedangkan keempat adalah hijab sosial.
46. Sekian kultwit dari saya. Semoga mencerahkan sahabat @KitabHikam. Terima kasih buat retweet untuk menyebarkan ilmu kepada sesama.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
1. Pertama-tama, kita harus memahami bagaimana hati kita sampai bisa merasakan kesusahan dalam mencari rezeki. Jika kita sudah memahami kejadiannya maka kita mudah untuk membuang perasaan susah itu dari dalam hati.
2. Mengapa orang miskin seringkali merasakan kesusahan dalam mencari rezeki dengan banyak berkeluh kesah seperti tampak dalam kehidupan sehari-hari?
Suatu saat saya membaca kitab Ihya karya Al-Ghazali tentang dua pilar dunia. Ia mengatakan bahwa "jah" dan harta merupakan dua pilar dunia. Menurutnya, harta adalah kepemilikan beragam barang yang bisa diambil manfaat. Lalu apakah "jah" menurut pandangan Al-Ghazali?
1. Secara bahasa, kata "jah" berarti pangkat dan kedudukan. Dalam pandangan Al-Ghazali, "jah" didefinisikan sebagai menguasai hati untuk mendapatkan ketaatan dan penghormatan. Seperti diketahui bahwa ketaatan dan penghormatan tidak bisa dilepaskan dari hati.
2. Saya akan menjelaskan perbedaan antara ketaatan dan penghormatan dengan kasus dalam kehidupan sehari-hari agar lebih mudah dipahami.
1. Suatu saat, saya mendengar kumandang azan Subuh. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya,"Mengapa salat dibandingkan dengan tidur?" Jangan-jangan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tidur. Pikiran saya terus saja bergerak untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu.
2. Tidak lama kemudian, saya teringat kitab Bidayah karya Al-Ghazali. Dalam kitab itu, Al-Ghazali menjelaskan kegiatan manusia dari bangun tidur hingga tidur. Bahkan ia menjelaskan bahwa sepertiga umur manusia dipergunakan dan dihabiskan untuk tidur.
1. Orang bersandar pada amal ada dua kelompok. Pertama, para abid (al-ubbad) yang bersandar pada amal untuk bisa masuk surga, bersenang-senang di dalamnya dan selamat dari azab Allah. Kedua, para murid yang bersandar pada amal untuk menyingkap beragam tutup dari hati.
2. Lebih lanjut asy-Syarqawi menjelaskan bahwa kedua kelompok itu tercela dan muncul dari memandang diri (ru'yat an-nafs) serta menisbatkan beragam amal kepada diri mereka sendiri. Sementara itu, para arif tidak seperti kedua kelompok itu.
Assalamu 'alaikum wr wb,
Malam ini, saya akan memberikan kultwit tentang kritik Ibn 'Atha'illah terhadap percaya diri. Semoga kultwit ini memberikan pencerahan buat sahabat-sahabat @KitabHikam. Amin.
1. Pertama-tama, saya akan mengemukakan penjelasan asy-Syarqawi mengenai orang-orang arif. Ia mengatakan bhw adapun orang-orang arif, mereka tidak melihat sesuatu pada diri mereka sehingga mereka bersandar kepadanya. Sebaliknya, mereka memandang bahwa Subyek Hakiki adalah Allah.
2. Dan sesungguhnya mereka adalah tempat bagi penampakan Subyek Hakiki saja.
أما العارفون فلا يرون لأنفسهم شيئا حتى يعتمدوا عليه بل يشاهدون أن الفاعل الحقيقي هو الله تعالى وأنهم محل لظهور ذلك فقد (الشرقاوي)