Aku menggigil dan tanganku gemetar, saat dinginnya bilah mandau yang tajam menyayat-nyayat tenggorokan hingga jakunku terasa sangat sakit. Belum cukup, pak Salundik kini menyayat punggungku seperti memotong roti. Namun, anehnya tidak ada darah yang keluar.
Hanya perih yang terasa di punggung meski tidak ada luka segores pun."Sinikan tanganmu!" sentak pak Salundik.
Masih terheran-heran, kubiarkan pak Salundik menyayat lenganku. Aku merasa ngeri saat mandau itu berusaha merobek kulit dengan kuat.
Aku bahkan menutup mata ketika pak Salundik mencoba mencincang lenganku, tapi lagi-lagi aku baik-baik saja. Tebasan mandau pak Salundik seperti mengenai ban, memantul-matul dan tidak melukai meski tetap terasa sakit.
"Sudah selesai. Selama 40 hari kedepan, jangan memakan daging babi, anjing dan ular. Jangan pula meminum tuak. Pokoknya, jangan memakan daging dan minuman yang berwarna merah.
Sekarang bersihkan air kencing di celanamu. Kami tunggu di depan," ungkap pak Salundik lalu berlalu begitu saja.
Duduk di atas lesung, aku belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi barusan. Aku masih terhenyak dan jantungku masih berdegub kencang.
Rasanya sulit dipercaya, senjata tajam itu tidak melukai tubuhku sedikitpun. Sepertinya, aku baru saja diisi ilmu kebal senjata tajam.
*****
Pukul 07.00 pagi, kami semua berkumpul di rumah pak Salundik. Di situ telah ada pambakal Bahat, mantir Tuweh, pak Brusli serta dua orang lagi kerabat pak Salundik. Aku yang telah berganti pakaian, datang dengan rasa percaya diri tinggi.
Rencananya, tujuh orang akan menggeruduk pambakal Dehen di desa seberang, meminta dia menghentikan mengirim parang maya di desa ini. Bila cara baik-baik tidak berhasil, kemungkinan akan ada pertumpahan darah.
"Kasno, kau jangan terlalu merasa jumawa. Dehen bukanlah orang sembarangan. Parang biasa mungkin takkan bisa melukaimu, tapi mandau yang memiliki isi bisa saja menembus kulitmu," kata pak Salundik dengan wajah serius.
Aku hanya mengangguk, walau dalam hati tetap saja rasanya aku penuh percaya diri. Kata pak Salundik, ilmu kebal di tubuhku suata saat akan luntur, kecuali aku mau memakan untalan, yaitu ilmu kebal yang dimasukkan ke dalam tubuh.
Tentu saja aku menolak karena resikonya cukup mengerikan, yaitu mati jadi hantu.
Usai sarapan, kami berangkat ke desa Sei Bahandang dengan 4 sepeda motor, sementara rumah dititipkan pada kerabat.
Masing-masing orang membawa mandau di pinggang, termasuk diriku yang mendapat mandau dari pak Salundik. Hanya pak Salundik yang membawa dua mandau. Satunya adalah mandau mantikei tempo hari, ia tenteng di tangan setelah dibungkus kain kuning.
Ketika melewati telaga jimat, kami semua melongo. Tumbuhan di sekitarnya banyak yang layu dan mati. Sepeda motor otomatis kami hentikan untuk tahu apa yang telah terjadi dengan telaga angker itu.
Pak Salundik bergegas turun dari boncengan dan berlari ke tepi telaga dalam keadaan panik. Aku dan beberapa orang lainnya segera menyusul, dan terlihatlah kalau telaga jimat telah kering kerontang. Benar-benar kering hingga dasarnya terlihat tanpa ada air setetes pun.
Baru kusadari, ternyata telaga ini memiliki dasar yang sangat dalam, mungkin 30 meter lebih. Siapa pun yang terjatuh ke dalam sana, maka tidak ada jalan selamat.
Kecuali aku, semua yang berdiri di tepi telaga tampak khawatir.
Wajah mereka benar-benar pucat, seolah ada bencana yang akan segera menghampiri.
"Kasno, apa yang kau lakukan semalam?" hardik pak Salundik dengan mata melotot.
Ia lantas mendekat dan mencengkram kerah bajuku dengan kencang.
Pak Salundik semakin emosi dan mengangkat kerah bajuku semakin tinggi hingga aku kesulitan bernafas. Celaka! Pak Salundik hendak melempar tubuhku ke dasar telaga.
Untung saja Pambakal Bahat dan beberapa orang bergerak cepat menyabarkan pak Salundik.
"Salundik, sudahlah! Tidak ada waktu. Ingat anak-anakmu!" sentak pambakal.
Sontak pak Salundik tersadar dan melempar tubuhku ke atas rerumputan yang telah mati. Aku hanya bisa meringis menahan sakit karena terkena duri belukar yang tajam.
*****
Pukul 9 lewat beberapa menit, kami menginjakkan kaki di dermaga desa Sei Bahandang. Sesuai petunjuk juru mudi kelotok tadi, kami melangkah ke arah hilir menuju rumah pambakal Dehen.
Masih seperti beberapa hari lalu, desa ini seakan-akan menyimpan permusuhan tanpa sebab kepada kami. Warga menatap kami dengan curiga, beberapa orang langsung masuk ke dalam rumah dan mengawasi gerak-gerik kami yang menenteng mandau di jalan desa.
Kami terus melangkah dengan perasaan was-was, diiringi degub jantung yang berdebar-debar. Langkah kami semakin pelan, saat terlihat banyak warga berkumpul di depan salah satu rumah yang cukup besar. Sepertinya akan ada hajatan.
Beberapa warga terlihat tengah memasang tenda menggunakan terpal. Beberapa orang lainnya tengah mengeruk batang pohon dengan beliung.
Kami mempercepat langkah, ingin bertanya kediaman Dehen. Pambakal Bahat lalu bertanya pada salah seorang warga yang mengumpulkan kayu bakar.
"Permisi, pahari. Rumah pambakal Dehen, dimana ya?"
Warga tadi menyeka keringat, lalu menatap kami satu-persatu.
"Ya, di sini rumahnya. Ada perlu apa mencari pambakal?"
"Kami ada keperluan mendesak. Kami butuh bantuan beliau," jawab pak Bahat.
Lelaki itu menghela nafas panjang dan mengipas-ngipas wajahnya dengan topi yang ia kenakan.
"Percuma, pambakal Dehen sudah meninggal. Ini, kami sedang menyiapkan acara kematiannya."
Mendengar kalimat pria itu kami jadi kaget setengah mati.
Meninggal!? Dua hari lalu ia masih sehat, bagaimana mungkin ia meninggal begitu saja," tanya pak Salundik tidak percaya.
"Ia mati diterkam anjingnya sendiri. Anjingnya mendadak menjadi gila sewaktu berburu. Sulit dipercaya, karena anjing adalah binatang setia.
Tapi...anjing-anjing itu tiba-tiba seperti kesurupan. Anjing-anjing itu, sepertinya dikendalikan orang lain dari jauh," terang lelaki itu seraya menyalakan sebatang rokok lalu pergi entah kemana.
Kami semua terdiam dan saling pandang, tidak percaya dengan apa yang kami dengar barusan. Bagaimana mungkin, orang yang paling dicurigai mengirim parang maya justru meninggal terlebih dahulu. Apalagi, ia meninggal dengan cara tragis.
Kulihat pak Salundik begitu terpukul. Selama beberapa saat ia terpaku seperti orang linglung. Kini keadaan bertambah runyam. Satu-satunya harapan kini pupus begitu saja.
Kami memutuskan pulang, mencari cara lain. Namun belum jauh kami beranjak, seorang lelaki berusia sekitar 35tahun berlari mengejar kami. Lelaki itu ternyata sekretaris desa, dan menggantikan peran Dehen sebagai pambakal untuk sementara.
Ia lantas mengajak kami ke rumah duka, untuk mengucapkan bela sungkawa pada pihak keluarga. Sambil berjalan, ia menceritakan bagaimanan kades yang baru beberapa bulan menjabat itu, meninggal secara tiba-tiba.
"Kemarin pagi, pambakal Dehen dan tiga orang lainnya pergi berburu. Namun tragis, 7 ekor anjing yang mereka bawa justru mengamuk.
Anjing-anjing itu menyerang mereka secara membabi buta. Hanya satu orang selamat, sisanya mati di tempat.
Dehen yang paling mengenaskan, tubuhnya sulit dikenali. Tubuhnya baru bisa kami temukan dini hari tadi, jauh di dalam hutan sana," jelas sekdes panjang lebar.
Sembari berjalan, kami mendengarkan penjelasan pak sekdes dengan seksama. Sementara pak Salundik terlihat tidak terlalu fokus, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Namun, raut wajahnya lebih terlihat seperti orang kebingungan.
Kami akhirnya tiba di rumah pambakal Dehen yang sudah ramai pelayat. Di tengah ruangan, terbujur jenazah yang seluruh tubuhnya ditutupi kain bahalai ( jarik ). Seorang wanita paruh baya dan tiga anak kecil menangis meraung-raung di samping jasad Dehen.
Sepertinya yang menangis itu adalah istri dan anak-anaknya.
Selain itu, juga ada beberapa anggota keluarga yang terlihat berduka. Mata mereka semuanya sembab karena menangis.
Siapa saja yang termasuk anggota keluarga, bisa dikenali dari ikat kepala kain putih yang mereka kenakan.
Selama 40 hari kedepan, anggota keluarga dilarang untuk pergi ke ladang, mencari ikan, berburu, melakukan perjalanan jauh, apalagi berpesta.
Orang Dayak menyebutnya pali liau. Mereka baru boleh beraktivitas seperti biasanya setelah masa berkabung dicabut, yang ditandai dengan melepas ikat kepala kain putih. Kalau melanggar pali liau, maka dipercaya akan mendatangakan nasib buruk.
Kami lantas melepas mandau yang terikat di pinggang dan mengumpulkannya jadi satu, karena tidak baik datang ke rumah duka dengan membawa senjata tajam. Pak Sekdes lalu mengajak kami menemui istri mendiang Dehen dan anggota keluarga lainnya untuk mengucap bela sungkawa.
Setelah itu, kami kemudian duduk lesehan di teras bersama beberapa pelayat lainnya.
Seorang wanita muda bergegas membawakan kami kopi dan asbak, sedangkan pak Sekdes menyalakan sebatang rokok lalu mulai bercerita.
"Hanya Gerson dan keluarganya yang belum datang melayat. Sepertinya, keluarga sial itu adalah orang yang paling bahagia atas kematian Dehen."
Kami tercengang mendengar penuturan pak Sekdes. Ternyata perseteruan dua keluarga ini belum usai, tapi malah merembet ke desa kami yang jauh di perbukitan.
Siapa yang benar dan siapa yang salah masih belum jelas. Namun karena tidak enak, tidak seorang pun yang mulai bertanya.
Kami biarkan saja pak Sekdes yang meracau dengan sendirinya.
"Beberapa bulan lalu, warga desa berniat hendak mengusir Gerson dan keluarganya. Mereka dianggap membawa petaka bagi desa ini. Ternak banyak yang mati, ladang banyak yang gagal panen.
Kalau bukan Dehen yang menahan kemarahan warga, entah apa jadinya nasib Gerson dan keluarga," ucap sekdes berapi-api.
Kami hanya termangu mendengar penuturan pak Sekdes.
"Entah apa yang ia lakukan, sepertinya ada orang yang sangat dendam pada pak Gerson.
Saking dendamnya, orang itu ingin menghabisi Gerson sekeluarga."
Pak Sekdes menerawang, mengingat-ingat kejadian selanjutnya. Pelayat yang berkumpul di teras juga tampak serius mendengarkan cerita pak sekdes.
"Seingatku, sewaktu menjabat jadi pambakal, Gerson bersikap cukup adil. Hanya saja, selalu ada orang yang tidak puas. Orang itu pulalah yang mencelakai si Bawi. Bukan, bukan si Bawi. Tubuh Bawi hanya dipinjam untuk menebar petaka lebih mengerikan lagi.
Tubuhnya dijadikan sarang untuk menebar parang maya berantai. Karena itu pulalah, kenapa mertuanya meninggal. Bahkan, tetangganya juga pada kabur ketakutan. Dan sekarang, Dehen serta beberapa orang juga turut jadi korban."
Pak sekdes menatap lurus ke arah pak Salundik. Tatapannya lekat, penuh pengharapan.
"Pahari Salundik, bisakah anda membantu? Membantu membersihkan desa ini dari kekuatan jahat yang mengintai kami?"
Pak Salundik tidak segera menjawab. Ia hanya menyesap rokoknya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab lirih.
"Pahari, sebenarnya aku juga sangat ingin membantu. Apalagi kedua anak serta tetanggaku juga terancam. Hanya saja, aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Bawi.
Dunia gaib, tidak jauh berbeda dengan dunia medis. Jangan sampai, yang keseleo kaki yang diurut tangan. Ujung-ujungnya malah akan berakibat fatal."
Obrolan itu terhenti, ketika seorang warga dengan balutan perban di tangan tiba-tiba muncul dan memotong pembicaraan.
Wajahnya lebam-lebam, penuh luka gores seperti habis kecelakaan.
"Jika ingin menyembuhkan anakmu dan Bawi, mulailah dari Ukar."
Aku dan pak Salundik tersentak begitu mengetahui pemilik suara.
Di balik wajahnya yang babak belur, masih bisa dikenali bahwa dia adalah orang yang ikut mengejar kami menggunakan tombak.
Aku menelan ludah berkali-kali sewaktu dia seketika duduk di hadapan kami.
"Ukar!?" tanya pak Salundik dengan dahi mengkerut.
Pria itu mengangguk pelan, lantas berucap dengan suara serak dan mata melotot.
"Iya, si Ukar. Karena jampi-jampinya lah, anjing-anjing itu mengamuk. Karena ulahnya pula, Kamiyak bangkit dari alam kubur dan tak bisa lagi ia kendalikan."
...to be potato...
Sampai jumpa malam jumat yak. Tabe 😇🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kulihat, ada puluhan patung kayu ulin yang bergerak-gerak di tiang penopangnya. Satu-satu mereka berhasil lepas dan mengelilingiku sehingga tidak ada celah untuk kabur.
Aku benar-benar gila, tidak bisa membedakan antara mimpi atau kenyataan.
Yang paling mengerikan, patung prajurit Dayak yang menghunus mandau terus bergerak mendekat.
Aku ingin lari tapi rasa takut lebih menguasai. Rasa takut membuat kakiku tidak bisa melangkah. Tubuhku terdiam, berdiri dengan lutut gemetar.
"Bu, malam ini aku dan istri akan nginap di rumah mertua di kecamatan. Anakku mendadak sakit keras, tadi malam menangis terus," kata polisi Rudi.
"Loh, Kasno akan sendirian di rumah dinas ini," timpal bu Suhai.
"Gak ada pilihan, bu. Aku takut bayiku kenapa-kenapa. Soalnya...tadi malam aku melihat ada yang mengerikan di belakang."
Polisi Rudi lantas menceritakan apa yang ia lihat dini hari tadi. Katanya, sewaktu pulang setelah mencari Sarunai dan Agau, ia langsung berganti pakaian.
Parang Maya : Perang Santet di Tanah Dayak
Bab 15 : Barisan Semut Hitam
Aku menutup pintu sepelan mungkin agar tidak mengeluarkan bunyi. Sembari menahan nafas, aku melangkah hati-hati dan kembali ke dalam kelambu perlahan-lahan.
Kusembunyikan badan di dalam selimut dan kupeluk guling erat-erat. Suara geraman seperti anjing terdengar di samping kamar. Jantungku rasa melompat-lompat tak terkendali. Aku mematung, tak berani bergerak, pura-pura tidur.
Bantu Rt dan Qrt ya supaya semakin semangat nulisnya.
Suasana di depan telaga jimat dicekam kepanikan luar biasa. Lima orang pria, termasuk aku, sekuat tenaga menarik tubuh Agau.
Pambakal Bahat dan mantir Tuweh, berjibaku berusah melepaskan pak Salundik dari cengkraman Agau.
Buuk!
Tendangan pak Salundik di dada membuat Agau terpental ke udara. Tubuh bocah kesurupan itu membentur batang pohon besar lalu hempas di atas semak belukar. Agau bangkit, merangkak bagai anjing liar. Ia bahkan menjulur-julurkan lidah, benar-benar liar dan bengis.
Pukul 11 malam kami melakukan pencarian dipimpin langsung pak Salundik. Ia membawa perlengkapan ritual dari rumah dan mandau mantikei tadi ia simpan di sana.
Sebagai seorang kekasih, aku sangat khawatir dengan keadaan Serunai. Entah ia ada dimana di saat malam seperti ini.
Karna itu aku bertekad habis-habisan ikut melakukan pencarian, meski nyawa jadi taruhan.
Titik pencarian diawali dari sungai tempat menghilangnya Sarunai dan Agau. Aku tergopoh membawa parapen milik pak Salundik, semacam tungku untuk membakar kemenyan atau kayu gaharu.