Micka Profile picture
Nov 18 86 tweets 13 min read
Namaku Norman (bukan nama sebenarnya. Penulis). Aku akan menceritakan pengalaman
mendaki gunungku di tahun 2006. Waktu itu aku masih kuliah di semester 7. Aku menyukai
kegiatan mendaki gunung.
Meskipun belum bisa juga dikategorikan sebagai “Anak Pecinta
Alam” yang kegiatannya rutin mendaki berbagai gunung. Mendaki gunung kulakukan semata-mata karena aku menyukai dan mengagumi keindahan
gunung dengan hutan rimbanya, hawanya yang sejuk, dan udaranya yang menyegarkan.
Saat itu adalah pengalaman pertamaku ke Gunung Gede yang berada di Jawa Barat, tepatnya di antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.
Dahulu ketika masih di bangku sekolah dasar aku sudah sering mendengar cerita-cerita tentang Gunung Gede, tapi seputar kisah-kisah kejadian mistisnya.
Aku ingat pernah membaca berita di koran sekelompok anak muda yang sedang berwisata ke daerah Kebun Raya Cibodas yang
merupakan bagian dari kawasan Gunung Gede, saat mereka berfoto pada sebuah air terjun
mereka terkejut melihat hasil fotonya.
Di antara tirai air terjun yang menjadi latar foto nampak kepala manusia yang sangat besar.
Apabila ditegasi itu merupakan kepala sosok raksasa. Entah bagaimana penjelasannya akan
fenomena tersebut mengingat kala itu belum ada aplikasi foto editor.
Bahkan belumlah era
telepon genggam seperti sekarang.
Namun demikian jika sudah berada di gunung aku sedikit melupakan hal-hal yang mistis dan
menyeramkannya.
Pesona dan keindahan pegunungan mampu mengalihkan semua hal itu. Paling tidak bagiku. Tapi tetap saja doa dan kewaspadaan selalu mengiringi langkahnya saat mendaki gunung.
Baiklah, kembali ke kisah pendakianku. Aku mendaki Gunung Gede bersama teman-teman kuliahku. Salah satu teman kuliahku mengajak teman-teman alumni SMA-nya. Jadilah total
pesertanya 9 orang.
Titik awal pendakian kami dari Cibodas, dan rencananya turun dari Gunung Putri. Kami
merencanakan pula berapa lama kami mendaki. Dikarenakan kami semua kuliah dan saat itu
sedang masa liburan maka ditetapkan pendakian itu akan berlangsung selama 3 hari 2 malam.
Itu merupakan pendakian yang santai, kami memang hendak menikmati semaksimal mungkin. Sebenarnya sih malam pertama kami bermalam di camp 2. Itu dikarenakan memang kami tiba
di Cibodas saat hari sudah malam pukul 8. Paginya setelah sarapan barulah kami melanjutkan perjalanan.
Saat menyusuri jalur pendakian suasananya begitu ceria. Terkadang keluar juga bercandaan
dengan kata-kata makian kasar bahkan menyerempet porno. Lalu tawa yang lepas
membahana. Ya maklumlah, namanya juga anak muda, seringnya sembrono dan tidak berpikir
panjang.
Akhirnya pada sore hari kami tiba di camp yang bernama Kandang Badak. Camp Kandang
Badak merupakan camp terakhir rute Cibodas sebelum mencapai puncak Gunung Gede. Camp
itu juga merupakan persimpangan apabila hendak menuju ke puncak Gunung Pangrango.
Di Kandang Badak kami mendirikan tenda. Rencananya kami akan melakukan pendakian ke
puncak pada waktu dini hari pukul 3 untuk dapat menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Gede. Istilah yang dikenal di kalangan pendaki adalah Summit Attack.
Malam hari itu diisi dengan keceriaan bahkan kehebohan, atau malahan kegaduhan.
Bayangkan, di camp Kandang Badak bukan kami saja rombongan pendaki, banyak juga
rombongan lainnya.
Meski tidak seramai jika pendakian di bulan Agustus yang biasanya digelar
seremonial upacara 17 Agustus di lapangan Surya Kencana.
Di antara rombonganku saja sudah ramai dan seru dengan candaan, saat itu kepada “tetangga”
tenda-tenda dari rombongan pendaki lainnya juga kami saling bergurau, melemparkan candaan
dan celaan-celaan.
Tentu saja tanpa maksud menghina, namun agar menghangatkan suasana
malam yang sangat dingin.
Gelak tawa para pendaki memecah kesunyian rimba di sekitar camp Kandang Badak. Bahkan
ada kelompok pendaki yang bernyanyi seperti layaknya paduan suara meskipun tanpa diiringi
instrumen musik
yang memang merupakan salah barang yang tidak diizinkan dibawa ke dalam
lingkungan Gunung Gede yang juga merupakan cagar Taman Nasional.
Malam semakin larut, kantuk pun mulai menghinggapi mataku. Tubuh juga rasanya cukup letih
setelah berjalan sedari pagi dan siangnya.
Lagi pula kami memang harus segera beristirahat
karena rencana dini hari nanti akan Summit Attack ke puncak.
Salah seorang teman mendakiku berteriak dari dalam tenda ditujukan ke seluruh pendaki yang malam itu bermalam di camp Kandang Badak; “SELAMAT MALAM PARA BADAK !!” Derai tawa kembali terdengar pecah. Rencana tinggal rencana, kami semua bangun kesiangan.
Rencana pukul 3 dini hari berangkat
menuju puncak namun anggota rombonganku yang paling awal bangun saja pukul 6 pagi. Kami hanya tertawa-tawa saja akan kenyataan itu.
Saat bangun tidur aku merasa bagian belakang pahaku pegal-pegal.
Sebenarnya wajar-wajar
saja jika mendaki bagian kakilah yang paling terasa pegal. Karena berjalan cukup jauh, menanjak pula, ditambah lagi dengan beban bawaan dalam tas carrier.
Untuk mengurangi rasa pegal itu dan agar siap kembali berjalan melanjutkan perjalanan maka
aku terpikir hendak mengolesi paha bagian belakangku dengan krim pereda nyeri. Untuk itu aku
perlu membuka celanaku.
Dikarenakan di dalam tenda ada teman-temanku dan aku merasa risih jika harus membuka
celana di hadapan mereka, maka terpikir pula olehku melakukannya di luar tepatnya di
belakang tenda.
Di belakang tenda aku menurunkan celanaku hingga hanya celana dalam saja yang kukenakan. Pantatku (maaf) menghadap ke arah lebatnya pepohonon rimba.
Baru beberapa oles krim ke
bagian belakang paha tiba-tiba terdengar ada benda yang jatuh, seperti ada yang melempar
sesuatu ke arahku namun lebih tepatnya ke atas dedaunan pada pohon di posisiku berdiri.
Kemudian, “BUGG!!”, terdengar seperti ada yang jatuh ke permukaan tanah. Saat itu aku membayangkan sesuatu yang jatuh itu adalah batu yang cukup besar jika diterka dari bunyinya
saat menghantam permukaan tanah. Lalu dedaunan dari atas pohon berguguran.
Beberapa
ranting kecil juga turut luruh. Aku terkejut, lalu menoleh ke belakang, kemudian ke sekeliling.
Aku tidak melihat seseorang, atau hewan liar misalnya. Bahkan, bunyi berdebam yang ku kira
batupun tidak ku lihat sama sekali.
Karena logikanya jika itu batu pastilah masih akan terlihat
menggelinding pada permukaan tanah yang tidak terlalu rata. Aku benar-benar tidak bisa memastikan asal suara dan apakah itu.
Beberapa teman-temanku keluar dari tenda bertanya-tanya, “Apaan tuh Man?”

“Ga tau,”
jawabku. Bahkan pendaki dari rombongan lain yang tendanya didirikan tidak jauh dari tenda
kami mendengar juga, lalu bertanya hal yang sama. Aku jawab juga tidak tahu kepada mereka.
Aku merasa ada yang tidak beres, kemudian aku berkata lirih, “maap, maap”, entah kepada
siapa. Segera saja aku menyudahi mengolesi pahaku dengan krim dan bergabung kembali ke
teman-temanku lainnya yang sedang bersiap-siap sarapan.
##

Pukul 10 menjelang siang kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede.
Keceriaan bersama teman-teman saat berjalan membuatku lupa atas kejadian tadi pagi.
Semakin dekat ke puncak tibalah kami pada satu titik pendakian yang paling menantang
adrenalin para pendaki. Sebuah tanjakan yang dinamai “Tanjakan Setan”.
Tanjakan itu memang tidak terlalu tinggi, sekitar 10 sampai 15 meter, namun tingkat
kemiringannya nyaris 90°.
Untuk dapat melewatinya para pendaki harus berpegang pada tali kuat yang tersedia, dan posisi pijakan kaki harus benar-benar dipastikan bertumpu pada permukaan yang kokoh.
Apabila pegangan tali terlepas atau pijakan longsor dapat dipastikan pendaki akan menderita
cedera yang cukup serius jika sampai terjatuh. Maka dari itu konsentrasi dan kehati-hatian tetap
diperlukan.
Rombongan kami berhasil melewati Tanjakan Setan tanpa halangan berarti. Sesampai di
atasnya kami tidak langsung melanjutkan perjalanan dikarenakan melihat lanskap
pemandangan yang indah.
Pemandangan sekitar Tanjakan Setan adalah bukit-bukit dengan hamparan lautan hijau rimba belantara diselimuti kabut putih pada beberapa bagian. Kita mendapatkan pemandangan “penglihatan burung” dikarenakan posisinya berada pada ketinggian.
Tak dinyana salah seorang temanku tiba-tiba berteriak, “ANYAAA!!”, kemudian terdengar gema; “NYA..NYA..NYA..”

Entah siapa Anya, mungkin pacarnya. Kami jadi tertawa dibuatnya. Aku
pun berpikir seru juga mendengar gema yang kita teriakkan.
Lalu hal yang sama diikuti oleh
lainnya termasuk diriku. Memanggil nama-nama pujaannya masing-masing.
Hingga akhirnya nama-nama yang tidak jelas siapa, “MUNAROH!!, ROH..ROH..ROH”, “QIWW!!..QIW..QIW..QIW”, “WOY!..WOY..WOY..WOY”, “ANYBODY HOME?!!..HOM..HOM..HOM..”.
Semakin ngaco. Lalu temanku kepikiran usil, dia berteriak, “BANG! Bang…Bang..Bang... ABANG BAKSO! So..So..So.. SINI BANG! Bang..Bang..Bang..” Derai tawapun pecah.
Bercandaan berlanjut, seseorang menyeletuk, “Lo tau ga ini kan tanjakan… nah elo pada
setannya!”
Hahahaha, tawa kembali pecah. Tidak lama kemudian tiba juga kami di puncak Gunung Gede. Lantas kami berfoto-foto di
puncak teratas Gunung Gede, berlanjut berfoto dengan latar kaldera Gunung Gede.
Lubang
kawah berdiameter sangat lebar dan dalam, terihat kepulan asap seperti awan yang besarnya tidak seberapa menyempul dari bawahnya.. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah dan
membuat takjub..
Setelah bersantap siang lanjut beristirahat sebentar, kamipun melanjutkan perjalanan ke alun-alun Surya Kencana.

*Aku (sebelah kanan) bersama temanku di Alun-alun Surya Kencana.
Tiba di lapangan atau alun-alun Surya Kencana hari sudah menjelang
sore. Saat itu suasananya sudah temaram, meskipun masih sekitar pukul 5 sore. Hal itu
disebabkan juga oleh kabut.
Alun-alun Surya Kencana merupakan sebuah lahan yang sangat lapang bagaikan sabana.
Letaknya tidak jauh dari puncak Gunung Gede. Di sana terdapat hamparan bunga Edelweis, si
bunga abadi yang tidak akan layu dan hanya dapat tumbuh di dataran tinggi pegunungan.
Di Surya Kencana juga merupakan titik temu pendaki yang hendak menuju puncak Gunung
Gede atau Pangrango yang berangkat dari basecamp Gunung Putri ataupun Salabintana,
Sukabumi. Sebagaimana telah direncanakan, kami hendak turun melalui jalur Gunung Putri.
Hari sudah
semakin sore, sebentar lagi masuk waktu maghrib. Saat berjalan menyusuri jalan setapak yang
menuju gerbang Gunung Putri suasananya hening dan sepi.
Aku merasa aneh juga, semalam di camp Kandang Badak suasananya tidak ubahnya seperti
pasar malam saja, ramai sekali. Mengapa saat hendak turun lewat Gunung Putri hanya ada
rombongan kami.
Tapi ku pikir kebanyakan pendaki pasti sudah terlebih dahulu turun karena berhasil Summit
Attack menyaksikan matahari terbit dari puncak Gunung Gede pada subuh hari lalu turun di
siang harinya. Sedangkan rombonganku bangun kesiangan.
Atau boleh jadi juga rombongan pendaki lainnya setelah berhasil menuju puncak Gunung Gede kemudian turun kembali mengambil rute yang sama dengan saat berangkat yakni lewat
basecamp Cibodas, istilahnya disebut Tektok.
Benar-benar hanya kami bersembilan berjalan di lapang yang luas diantara sabana bunga Edelweis. Batas alun-alun Surya Kencana adalah hutan rimba. Suasananya terasa syahdu sekaligus mistis.
Kali ini aku dan rombongan tidak banyak bersenda gurau, suasana sedikit muram.
Mungkin
faktor kami sudah cukup kelelahan. Atau bisa jadi juga sebagaimana yang aku rasa, teman-
temanku juga merasa diantara rimbunan lebatnya pepohonan yang menghitam ada yang
sedang memperhatikan kami. Entahlah.
Langkah kami mengantar pada gerbang masuk menuju hutan rimba Gunung Putri. Waktu
menunjukan pukul 6 sore, sudah masuk waktu maghrib.
Karena pertimbangan kami sudah terlalu banyak istirahat maka diputuskan melanjutkan perjalanan. Rencananya untuk istirahat
nanti saja sekalian jika sudah tiba di desa di kaki Gunung Putri.
Saat memasuki gerbang Gunung Putri yang saat itu hanya terbuat dari kayu, aku merasa
seperti masuk ke dimensi lain. Suasananya berubah lebih gelap dikarenakan vegetasi pohon-
pohon besar mulai rapat.
Kami pun berjalan dengan menyalakan senter genggam, beberapa
temanku memakai senter kepala.
Oh iya, aku lupa menyampaikan di awal. Salah seorang peserta pendakian kami adalah
perempuan, bahkan dia satu-satunya peserta perempuan. Namanya Tami (bukan nama
sebenarnya).
Meskipun perempuan dia cukup tangguh. Selama pendakian dia tidak
ingin dimanjakan, meskipun kami semua yang laki-laki melindunginya semaksimal mungkin.
Namun semenjak di Surya Kencana kondisi tubuh Tami menurun, dia sangat kelelahan. Maka
dari itulah saat berjalan menapaki hutan rimba gelap pekat Gunung Putri kami tidak dapat
berjalan bergegas. Meskipun sebenarnya kami dapat melakukannya.
Perjalanan turun gunung
selalu lebih cepat daripada saat mendaki, dikarenakan tidak melawan gravitasi. Bahkan
beberapa pendaki saat turun gunung ada yang mampu sambil setengah berlari.
Kami jadi lebih sering berhenti sejenak untuk memastikan Tami baik-baik saja. Saat
pemberhentian kedua, atau kira-kira setengah jam berjalan sejak dari gerbang masuk Gunung
Putri, aku menyapu pandanganku ke sekeliling.
Saat menengok ke arah kananku, di antara
celah-celah pepohonan aku melihat ada cahaya-cahaya. Tadinya aku pikir itu adalah cahaya lampu-lampu rumah dari desa yang ada di kaki Gunung
Putri nun jauh di bawah sana.
Tapi kemudian aku berpikir bahwa kami belumlah terlalu jauh dari
Surya Kencana yang masih terbilang puncak Gunung Gede, apakah memang desa sudah bisa
terlihat.
Apa yang ku lihat dan pertanyaan dalam benakku kusimpan sendiri saja. Karena suasana saat
itu sudah terasa tidak enak, berbeda 180° dengan suasana di awal pendakian yang ceria.
Perasaanku tidak enak, aku hanya hanya ingin segera sampai di basecamp Gunung Putri.
Tidak ada lagi canda pada perjalanan turun kali ini, kami semua seperti terhanyut dalam pikiran
masing-masing. Paling-paling komunikasi antar kami adalah saling mengingatkan agar berhati-
hati melangkah jika ada yang melihat seperti akar misalnya, agar jangan sampai tersandung.
Ketika sekitar hampir satu jam berjalan kepalaku terasa berat, bahkan sampai aku merasa kesadaranku seperti semakin menurun. Tubuhku terasa panas padahal kami masih di atas
gunung pada malam hari pula yang semestinya hawanya sejuk. Peluhku membasahi pakaian.
Aku paksakan saja berjalan mengabaikan rasa berat di kepala, tapi entah mengapa aku ingin berteriak. Aku mencoba menjernihkan pikiranku meski sambil berjalan terhuyung.
Aku berpikir
seperti ada sesuatu yang ingin merebut sukmaku, dan kemudian aku merasa ingin tertawa terbahak-bahak. Benakku berpikir, apakah aku ini akan kerasukan?
“Tidak! tidak! itu tidak boleh terjadi. Lagi pula ini masih di tengah hutan belantara, mana sudah malam juga. Jika terjadi apa-apa dengan rombonganku sepertinya bantuan dari orang lain akan
sulit,” kataku membatin.
Aku meminta teman-temanku berhenti sebentar untuk beristirahat, kepalaku terasa semakin
berat. Lantas aku panggil temanku Chafid, “Fid, tolong gue. Tolong baca-bacain gue doa di punuk gue. Doa apa aja yang lo bisa.” Chafid langsung saja melakukan yang aku pinta.
Dia tidak bertanya mengapa atau kenapa atau ada apa.
Teman-teman yang lain juga demikian, tidak bertanya. Tak salah lagi, kami semua sedang
berpikir hal yang sama, ada yang tidak beres. Kami sedang diganggu oleh makhluk halus
penghuni Gunung Putri.
Aku mendengar Chafid sedang membacakan doa-doa, di belakang punukku. Aku sendiri tak
tahu doa apa yang dibacakannya. Kemudian dia meniup punukku. Setelah dibacakan doa rasa
berat di kepalaku berkurang dan kesadaranku seolah semakin penuh. Aku bersyukur.
Lalu aku diberi minum air putih. “Yuk cepet yuk jalan lagi,” kata temanku yang lain. Kamipun melanjutkan perjalanan lagi.
Hingga di satu lokasi, aku melihat vegetasi pepohonan terdapat pohon yang batangnya
berdiameter besar-besar.
Saat aku menyorot cahaya senterku ke bagian atas pohon yang berdiri di sisi kiri dan kanan
jalan kami bagaikan pilar gapura besar aku melihat 2 sosok perempuan mengenakan gaun
putih sedang terbang saling bertukar posisi dahan pohon. Itu adalah Kuntilanak.
Aku terkejut setengah mati. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Lagi-lagi aku berusaha
menguasai diriku. Tidak memberitahu teman-teman yang lain atas apa yang ku lihat. Namun
demikian aku berseru, “jangan nyenter ke atas ya! jangan nyenter ke atas!”
Chafid yang sejak membacakan doa-doa kepadaku berjalannya berdekatan denganku
mengulagi seruanku kepada teman lainnya, seolah menegaskan. Lagi-lagi teman-temanku tidak
ada yang bertanya mengapa atau bergurau. Semua diam sambil tetap berjalan dan
menuruti saranku.
Akhirnya setelah perjalanan yang menegangkan kami mulai melihat perkebunan. Itu adalah
tanda kami sudah dekat dengan desa. Dan benar saja, rumah yang dijadikan pos jaga oleh
petugas basecamp Gunung Putri sudah di depan mata. Bukan main aku merasa lega dan bersyukur.
Di pos basecamp Gunung Putri kami menyelesaikan semua keperluan administrasi kepada petugas. Setelah segala urusan beres kamipun menuju salah satu warung milik penduduk untuk beristirahat, mengisi perut dan bebersih badan di kamar mandi mushola.
Saat sedang duduk-duduk di warung badan dan pikiran sudah lebih segar, barulah semuanya berani berbicara menceritakan apa yang dirasakan saat perjalanan turun gunung di Gunung
Putri. Semua dari kami memang merasakan merasakan hal yang ganjil di sana.
Apakah setelah pendakian ke Gunung Gede saat itu dengan semua yang aku alami lantas membuatku kapok ke Gunung Gede? jawabannya adalah tidak.
Beberapa tahun kemudian aku kembali mendaki ke sana, kembali melewati rute Gunung Putri, kembali mengagumi keindahan
alun-alun Surya Kencana dengan padang bunga Edelweisnya.
Namun aku belajar agar lebih menjaga sikap dimanapun aku berada, terlebih di gunung.
Karena pada hakikatnya sebagai pengunjung kita adalah tamu, dan tamu sudah sepantasnya
bersikap sopan kepada tuan rumah.
Pelajaran lainnya adalah, aku tidak mau lagi berjalan mendaki gunung dan memasuki hutan di
kala waktu maghrib. Konon di waktu itulah semua makhluk gaib penghuni gunung keluar dari persembunyiannya.

- S E L E S A I -

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Micka

Micka Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Micka0619

Nov 11
Disclaimer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Pada suatu sore sebuah truk melaju dengan deras. Si supir tampak kesulitan berusaha
mengendalikan truk yang menjadi liar. Truk itu mengalami masalah pada pedal gasnya. Saat
melaju pada gigi 4 dengan kecepatan 80 km/jam pedal gas tidak kembali ke posisi semula.
Read 70 tweets
Nov 1
Disclaimer : Kisah ini berlatar Bandung di tahun 2000. Nama tokoh dan lokasi spesifik telah disamarkan.
Tidak terasa Rizki telah memasuki tahap akhir perkuliahannya. Rizki seorang mahasiswa
sebuah universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan hukum. Saat itu dia sedang bersiap
menyusun skripsi.
Read 51 tweets
Oct 24
7 HARI (cetar-cetor #5)

Disclamer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Yadi seorang supir angkutan umum minibus yang melayani rute kota M ke kota S dan
sebaliknya. M adalah sebuah kota kecil setingkat kecamatan yang berjarak sekitar 100 km dari
kota S. Durasi perjalanannya ± 5 jam. Yadi sendiri bertempat tinggal di kota M.
Read 39 tweets
Sep 27
“KESURUPAN” (chapter 1)

Dulu pernah aku bertetangga dengan seorang bapak-bapak yang tinggal sendirian di rumahnya. Sebut saja namanya Pak M.
Sebenarnya dia memiliki istri dan seorang anak perempuan yang waktu itu masih sekolah di sekolah dasar, namun sepertinya ada masalah keluarga yang
membuat istri dan anaknya meninggalkan Pak M, pulang ke kampung istrinya di sebuah kota
kecil di Jawa Timur.
Read 74 tweets
Aug 18
TEROR DI KOS-KOSAN

(Disclaimer: Nama karakter dalam cerita ini bukan nama sebenarnya. Lokasi sengaja disamarkan)
Ganjar memutuskan mencari kosan yang letaknya tidak jauh dari kantor di bilangan RS, Jakarta. Selama
4 bulan terakhir ia pulang pergi Gadog – Jakarta dengan menggunakan bus kemudian menyambung
dengan kereta dari Bogor.
Read 70 tweets
Aug 11
WANGI PANDAN

Di ruang UGD sebuah rumah sakit nampak sekeluarga sedang membacakan Surah Yasin kepada seorang
bapak yang terbaring tak berdaya.

Bapak itu sedang sakaratul maut. Namun seolah dia masih enggan melepas nyawa dari raganya.
Sementara angka-angka indikator pada alat ventilator menunjukan semakin menurunnya tanda-tanda kehidupan. Bunyi khas seperti alarm pada alat itu semakin terdengar.
Read 40 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(