Namaku Norman (bukan nama sebenarnya. Penulis). Aku akan menceritakan pengalaman mendaki gunungku di tahun 2006. Waktu itu aku masih kuliah di semester 7. Aku menyukai kegiatan mendaki gunung.
Meskipun belum bisa juga dikategorikan sebagai “Anak Pecinta Alam” yang kegiatannya rutin mendaki berbagai gunung. Mendaki gunung kulakukan semata-mata karena aku menyukai dan mengagumi keindahan gunung dengan hutan rimbanya, hawanya yang sejuk, dan udaranya yang menyegarkan.
Saat itu adalah pengalaman pertamaku ke Gunung Gede yang berada di Jawa Barat, tepatnya di antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.
Dahulu ketika masih di bangku sekolah dasar aku sudah sering mendengar cerita-cerita tentang Gunung Gede, tapi seputar kisah-kisah kejadian mistisnya.
Aku ingat pernah membaca berita di koran sekelompok anak muda yang sedang berwisata ke daerah Kebun Raya Cibodas yang merupakan bagian dari kawasan Gunung Gede, saat mereka berfoto pada sebuah air terjun mereka terkejut melihat hasil fotonya.
Di antara tirai air terjun yang menjadi latar foto nampak kepala manusia yang sangat besar. Apabila ditegasi itu merupakan kepala sosok raksasa. Entah bagaimana penjelasannya akan fenomena tersebut mengingat kala itu belum ada aplikasi foto editor.
Bahkan belumlah era telepon genggam seperti sekarang. Namun demikian jika sudah berada di gunung aku sedikit melupakan hal-hal yang mistis dan menyeramkannya.
Pesona dan keindahan pegunungan mampu mengalihkan semua hal itu. Paling tidak bagiku. Tapi tetap saja doa dan kewaspadaan selalu mengiringi langkahnya saat mendaki gunung.
Baiklah, kembali ke kisah pendakianku. Aku mendaki Gunung Gede bersama teman-teman kuliahku. Salah satu teman kuliahku mengajak teman-teman alumni SMA-nya. Jadilah total pesertanya 9 orang.
Titik awal pendakian kami dari Cibodas, dan rencananya turun dari Gunung Putri. Kami merencanakan pula berapa lama kami mendaki. Dikarenakan kami semua kuliah dan saat itu sedang masa liburan maka ditetapkan pendakian itu akan berlangsung selama 3 hari 2 malam.
Itu merupakan pendakian yang santai, kami memang hendak menikmati semaksimal mungkin. Sebenarnya sih malam pertama kami bermalam di camp 2. Itu dikarenakan memang kami tiba di Cibodas saat hari sudah malam pukul 8. Paginya setelah sarapan barulah kami melanjutkan perjalanan.
Saat menyusuri jalur pendakian suasananya begitu ceria. Terkadang keluar juga bercandaan dengan kata-kata makian kasar bahkan menyerempet porno. Lalu tawa yang lepas membahana. Ya maklumlah, namanya juga anak muda, seringnya sembrono dan tidak berpikir panjang.
Akhirnya pada sore hari kami tiba di camp yang bernama Kandang Badak. Camp Kandang Badak merupakan camp terakhir rute Cibodas sebelum mencapai puncak Gunung Gede. Camp itu juga merupakan persimpangan apabila hendak menuju ke puncak Gunung Pangrango.
Di Kandang Badak kami mendirikan tenda. Rencananya kami akan melakukan pendakian ke puncak pada waktu dini hari pukul 3 untuk dapat menikmati matahari terbit dari puncak Gunung Gede. Istilah yang dikenal di kalangan pendaki adalah Summit Attack.
Malam hari itu diisi dengan keceriaan bahkan kehebohan, atau malahan kegaduhan. Bayangkan, di camp Kandang Badak bukan kami saja rombongan pendaki, banyak juga rombongan lainnya.
Meski tidak seramai jika pendakian di bulan Agustus yang biasanya digelar seremonial upacara 17 Agustus di lapangan Surya Kencana.
Di antara rombonganku saja sudah ramai dan seru dengan candaan, saat itu kepada “tetangga” tenda-tenda dari rombongan pendaki lainnya juga kami saling bergurau, melemparkan candaan dan celaan-celaan.
Tentu saja tanpa maksud menghina, namun agar menghangatkan suasana malam yang sangat dingin.
Gelak tawa para pendaki memecah kesunyian rimba di sekitar camp Kandang Badak. Bahkan ada kelompok pendaki yang bernyanyi seperti layaknya paduan suara meskipun tanpa diiringi instrumen musik
yang memang merupakan salah barang yang tidak diizinkan dibawa ke dalam lingkungan Gunung Gede yang juga merupakan cagar Taman Nasional. Malam semakin larut, kantuk pun mulai menghinggapi mataku. Tubuh juga rasanya cukup letih setelah berjalan sedari pagi dan siangnya.
Lagi pula kami memang harus segera beristirahat karena rencana dini hari nanti akan Summit Attack ke puncak.
Salah seorang teman mendakiku berteriak dari dalam tenda ditujukan ke seluruh pendaki yang malam itu bermalam di camp Kandang Badak; “SELAMAT MALAM PARA BADAK !!” Derai tawa kembali terdengar pecah. Rencana tinggal rencana, kami semua bangun kesiangan.
Rencana pukul 3 dini hari berangkat menuju puncak namun anggota rombonganku yang paling awal bangun saja pukul 6 pagi. Kami hanya tertawa-tawa saja akan kenyataan itu. Saat bangun tidur aku merasa bagian belakang pahaku pegal-pegal.
Sebenarnya wajar-wajar saja jika mendaki bagian kakilah yang paling terasa pegal. Karena berjalan cukup jauh, menanjak pula, ditambah lagi dengan beban bawaan dalam tas carrier.
Untuk mengurangi rasa pegal itu dan agar siap kembali berjalan melanjutkan perjalanan maka aku terpikir hendak mengolesi paha bagian belakangku dengan krim pereda nyeri. Untuk itu aku perlu membuka celanaku.
Dikarenakan di dalam tenda ada teman-temanku dan aku merasa risih jika harus membuka celana di hadapan mereka, maka terpikir pula olehku melakukannya di luar tepatnya di belakang tenda.
Di belakang tenda aku menurunkan celanaku hingga hanya celana dalam saja yang kukenakan. Pantatku (maaf) menghadap ke arah lebatnya pepohonon rimba.
Baru beberapa oles krim ke bagian belakang paha tiba-tiba terdengar ada benda yang jatuh, seperti ada yang melempar sesuatu ke arahku namun lebih tepatnya ke atas dedaunan pada pohon di posisiku berdiri.
Kemudian, “BUGG!!”, terdengar seperti ada yang jatuh ke permukaan tanah. Saat itu aku membayangkan sesuatu yang jatuh itu adalah batu yang cukup besar jika diterka dari bunyinya saat menghantam permukaan tanah. Lalu dedaunan dari atas pohon berguguran.
Beberapa ranting kecil juga turut luruh. Aku terkejut, lalu menoleh ke belakang, kemudian ke sekeliling. Aku tidak melihat seseorang, atau hewan liar misalnya. Bahkan, bunyi berdebam yang ku kira batupun tidak ku lihat sama sekali.
Karena logikanya jika itu batu pastilah masih akan terlihat menggelinding pada permukaan tanah yang tidak terlalu rata. Aku benar-benar tidak bisa memastikan asal suara dan apakah itu.
Beberapa teman-temanku keluar dari tenda bertanya-tanya, “Apaan tuh Man?”
“Ga tau,” jawabku. Bahkan pendaki dari rombongan lain yang tendanya didirikan tidak jauh dari tenda kami mendengar juga, lalu bertanya hal yang sama. Aku jawab juga tidak tahu kepada mereka.
Aku merasa ada yang tidak beres, kemudian aku berkata lirih, “maap, maap”, entah kepada siapa. Segera saja aku menyudahi mengolesi pahaku dengan krim dan bergabung kembali ke teman-temanku lainnya yang sedang bersiap-siap sarapan.
##
Pukul 10 menjelang siang kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede. Keceriaan bersama teman-teman saat berjalan membuatku lupa atas kejadian tadi pagi.
Semakin dekat ke puncak tibalah kami pada satu titik pendakian yang paling menantang adrenalin para pendaki. Sebuah tanjakan yang dinamai “Tanjakan Setan”.
Tanjakan itu memang tidak terlalu tinggi, sekitar 10 sampai 15 meter, namun tingkat kemiringannya nyaris 90°.
Untuk dapat melewatinya para pendaki harus berpegang pada tali kuat yang tersedia, dan posisi pijakan kaki harus benar-benar dipastikan bertumpu pada permukaan yang kokoh.
Apabila pegangan tali terlepas atau pijakan longsor dapat dipastikan pendaki akan menderita cedera yang cukup serius jika sampai terjatuh. Maka dari itu konsentrasi dan kehati-hatian tetap diperlukan.
Rombongan kami berhasil melewati Tanjakan Setan tanpa halangan berarti. Sesampai di atasnya kami tidak langsung melanjutkan perjalanan dikarenakan melihat lanskap pemandangan yang indah.
Pemandangan sekitar Tanjakan Setan adalah bukit-bukit dengan hamparan lautan hijau rimba belantara diselimuti kabut putih pada beberapa bagian. Kita mendapatkan pemandangan “penglihatan burung” dikarenakan posisinya berada pada ketinggian.
Tak dinyana salah seorang temanku tiba-tiba berteriak, “ANYAAA!!”, kemudian terdengar gema; “NYA..NYA..NYA..”
Entah siapa Anya, mungkin pacarnya. Kami jadi tertawa dibuatnya. Aku pun berpikir seru juga mendengar gema yang kita teriakkan.
Lalu hal yang sama diikuti oleh lainnya termasuk diriku. Memanggil nama-nama pujaannya masing-masing. Hingga akhirnya nama-nama yang tidak jelas siapa, “MUNAROH!!, ROH..ROH..ROH”, “QIWW!!..QIW..QIW..QIW”, “WOY!..WOY..WOY..WOY”, “ANYBODY HOME?!!..HOM..HOM..HOM..”.
Semakin ngaco. Lalu temanku kepikiran usil, dia berteriak, “BANG! Bang…Bang..Bang... ABANG BAKSO! So..So..So.. SINI BANG! Bang..Bang..Bang..” Derai tawapun pecah. Bercandaan berlanjut, seseorang menyeletuk, “Lo tau ga ini kan tanjakan… nah elo pada setannya!”
Hahahaha, tawa kembali pecah. Tidak lama kemudian tiba juga kami di puncak Gunung Gede. Lantas kami berfoto-foto di puncak teratas Gunung Gede, berlanjut berfoto dengan latar kaldera Gunung Gede.
Lubang kawah berdiameter sangat lebar dan dalam, terihat kepulan asap seperti awan yang besarnya tidak seberapa menyempul dari bawahnya.. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah dan membuat takjub..
Setelah bersantap siang lanjut beristirahat sebentar, kamipun melanjutkan perjalanan ke alun-alun Surya Kencana.
*Aku (sebelah kanan) bersama temanku di Alun-alun Surya Kencana.
Tiba di lapangan atau alun-alun Surya Kencana hari sudah menjelang sore. Saat itu suasananya sudah temaram, meskipun masih sekitar pukul 5 sore. Hal itu disebabkan juga oleh kabut. Alun-alun Surya Kencana merupakan sebuah lahan yang sangat lapang bagaikan sabana.
Letaknya tidak jauh dari puncak Gunung Gede. Di sana terdapat hamparan bunga Edelweis, si
bunga abadi yang tidak akan layu dan hanya dapat tumbuh di dataran tinggi pegunungan.
Di Surya Kencana juga merupakan titik temu pendaki yang hendak menuju puncak Gunung Gede atau Pangrango yang berangkat dari basecamp Gunung Putri ataupun Salabintana, Sukabumi. Sebagaimana telah direncanakan, kami hendak turun melalui jalur Gunung Putri.
Hari sudah semakin sore, sebentar lagi masuk waktu maghrib. Saat berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju gerbang Gunung Putri suasananya hening dan sepi.
Aku merasa aneh juga, semalam di camp Kandang Badak suasananya tidak ubahnya seperti pasar malam saja, ramai sekali. Mengapa saat hendak turun lewat Gunung Putri hanya ada rombongan kami.
Tapi ku pikir kebanyakan pendaki pasti sudah terlebih dahulu turun karena berhasil Summit Attack menyaksikan matahari terbit dari puncak Gunung Gede pada subuh hari lalu turun di siang harinya. Sedangkan rombonganku bangun kesiangan.
Atau boleh jadi juga rombongan pendaki lainnya setelah berhasil menuju puncak Gunung Gede kemudian turun kembali mengambil rute yang sama dengan saat berangkat yakni lewat basecamp Cibodas, istilahnya disebut Tektok.
Benar-benar hanya kami bersembilan berjalan di lapang yang luas diantara sabana bunga Edelweis. Batas alun-alun Surya Kencana adalah hutan rimba. Suasananya terasa syahdu sekaligus mistis. Kali ini aku dan rombongan tidak banyak bersenda gurau, suasana sedikit muram.
Mungkin faktor kami sudah cukup kelelahan. Atau bisa jadi juga sebagaimana yang aku rasa, teman- temanku juga merasa diantara rimbunan lebatnya pepohonan yang menghitam ada yang sedang memperhatikan kami. Entahlah.
Langkah kami mengantar pada gerbang masuk menuju hutan rimba Gunung Putri. Waktu menunjukan pukul 6 sore, sudah masuk waktu maghrib.
Karena pertimbangan kami sudah terlalu banyak istirahat maka diputuskan melanjutkan perjalanan. Rencananya untuk istirahat nanti saja sekalian jika sudah tiba di desa di kaki Gunung Putri.
Saat memasuki gerbang Gunung Putri yang saat itu hanya terbuat dari kayu, aku merasa seperti masuk ke dimensi lain. Suasananya berubah lebih gelap dikarenakan vegetasi pohon- pohon besar mulai rapat.
Kami pun berjalan dengan menyalakan senter genggam, beberapa temanku memakai senter kepala. Oh iya, aku lupa menyampaikan di awal. Salah seorang peserta pendakian kami adalah perempuan, bahkan dia satu-satunya peserta perempuan. Namanya Tami (bukan nama
sebenarnya).
Meskipun perempuan dia cukup tangguh. Selama pendakian dia tidak ingin dimanjakan, meskipun kami semua yang laki-laki melindunginya semaksimal mungkin.
Namun semenjak di Surya Kencana kondisi tubuh Tami menurun, dia sangat kelelahan. Maka dari itulah saat berjalan menapaki hutan rimba gelap pekat Gunung Putri kami tidak dapat berjalan bergegas. Meskipun sebenarnya kami dapat melakukannya.
Perjalanan turun gunung selalu lebih cepat daripada saat mendaki, dikarenakan tidak melawan gravitasi. Bahkan beberapa pendaki saat turun gunung ada yang mampu sambil setengah berlari.
Kami jadi lebih sering berhenti sejenak untuk memastikan Tami baik-baik saja. Saat pemberhentian kedua, atau kira-kira setengah jam berjalan sejak dari gerbang masuk Gunung Putri, aku menyapu pandanganku ke sekeliling.
Saat menengok ke arah kananku, di antara celah-celah pepohonan aku melihat ada cahaya-cahaya. Tadinya aku pikir itu adalah cahaya lampu-lampu rumah dari desa yang ada di kaki Gunung Putri nun jauh di bawah sana.
Tapi kemudian aku berpikir bahwa kami belumlah terlalu jauh dari Surya Kencana yang masih terbilang puncak Gunung Gede, apakah memang desa sudah bisa terlihat.
Apa yang ku lihat dan pertanyaan dalam benakku kusimpan sendiri saja. Karena suasana saat itu sudah terasa tidak enak, berbeda 180° dengan suasana di awal pendakian yang ceria. Perasaanku tidak enak, aku hanya hanya ingin segera sampai di basecamp Gunung Putri.
Tidak ada lagi canda pada perjalanan turun kali ini, kami semua seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing. Paling-paling komunikasi antar kami adalah saling mengingatkan agar berhati- hati melangkah jika ada yang melihat seperti akar misalnya, agar jangan sampai tersandung.
Ketika sekitar hampir satu jam berjalan kepalaku terasa berat, bahkan sampai aku merasa kesadaranku seperti semakin menurun. Tubuhku terasa panas padahal kami masih di atas gunung pada malam hari pula yang semestinya hawanya sejuk. Peluhku membasahi pakaian.
Aku paksakan saja berjalan mengabaikan rasa berat di kepala, tapi entah mengapa aku ingin berteriak. Aku mencoba menjernihkan pikiranku meski sambil berjalan terhuyung.
Aku berpikir seperti ada sesuatu yang ingin merebut sukmaku, dan kemudian aku merasa ingin tertawa terbahak-bahak. Benakku berpikir, apakah aku ini akan kerasukan?
“Tidak! tidak! itu tidak boleh terjadi. Lagi pula ini masih di tengah hutan belantara, mana sudah malam juga. Jika terjadi apa-apa dengan rombonganku sepertinya bantuan dari orang lain akan sulit,” kataku membatin.
Aku meminta teman-temanku berhenti sebentar untuk beristirahat, kepalaku terasa semakin berat. Lantas aku panggil temanku Chafid, “Fid, tolong gue. Tolong baca-bacain gue doa di punuk gue. Doa apa aja yang lo bisa.” Chafid langsung saja melakukan yang aku pinta.
Dia tidak bertanya mengapa atau kenapa atau ada apa. Teman-teman yang lain juga demikian, tidak bertanya. Tak salah lagi, kami semua sedang berpikir hal yang sama, ada yang tidak beres. Kami sedang diganggu oleh makhluk halus penghuni Gunung Putri.
Aku mendengar Chafid sedang membacakan doa-doa, di belakang punukku. Aku sendiri tak tahu doa apa yang dibacakannya. Kemudian dia meniup punukku. Setelah dibacakan doa rasa berat di kepalaku berkurang dan kesadaranku seolah semakin penuh. Aku bersyukur.
Lalu aku diberi minum air putih. “Yuk cepet yuk jalan lagi,” kata temanku yang lain. Kamipun melanjutkan perjalanan lagi. Hingga di satu lokasi, aku melihat vegetasi pepohonan terdapat pohon yang batangnya berdiameter besar-besar.
Saat aku menyorot cahaya senterku ke bagian atas pohon yang berdiri di sisi kiri dan kanan jalan kami bagaikan pilar gapura besar aku melihat 2 sosok perempuan mengenakan gaun putih sedang terbang saling bertukar posisi dahan pohon. Itu adalah Kuntilanak.
Aku terkejut setengah mati. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Lagi-lagi aku berusaha menguasai diriku. Tidak memberitahu teman-teman yang lain atas apa yang ku lihat. Namun demikian aku berseru, “jangan nyenter ke atas ya! jangan nyenter ke atas!”
Chafid yang sejak membacakan doa-doa kepadaku berjalannya berdekatan denganku mengulagi seruanku kepada teman lainnya, seolah menegaskan. Lagi-lagi teman-temanku tidak ada yang bertanya mengapa atau bergurau. Semua diam sambil tetap berjalan dan menuruti saranku.
Akhirnya setelah perjalanan yang menegangkan kami mulai melihat perkebunan. Itu adalah tanda kami sudah dekat dengan desa. Dan benar saja, rumah yang dijadikan pos jaga oleh petugas basecamp Gunung Putri sudah di depan mata. Bukan main aku merasa lega dan bersyukur.
Di pos basecamp Gunung Putri kami menyelesaikan semua keperluan administrasi kepada petugas. Setelah segala urusan beres kamipun menuju salah satu warung milik penduduk untuk beristirahat, mengisi perut dan bebersih badan di kamar mandi mushola.
Saat sedang duduk-duduk di warung badan dan pikiran sudah lebih segar, barulah semuanya berani berbicara menceritakan apa yang dirasakan saat perjalanan turun gunung di Gunung Putri. Semua dari kami memang merasakan merasakan hal yang ganjil di sana.
Apakah setelah pendakian ke Gunung Gede saat itu dengan semua yang aku alami lantas membuatku kapok ke Gunung Gede? jawabannya adalah tidak.
Beberapa tahun kemudian aku kembali mendaki ke sana, kembali melewati rute Gunung Putri, kembali mengagumi keindahan alun-alun Surya Kencana dengan padang bunga Edelweisnya.
Namun aku belajar agar lebih menjaga sikap dimanapun aku berada, terlebih di gunung. Karena pada hakikatnya sebagai pengunjung kita adalah tamu, dan tamu sudah sepantasnya bersikap sopan kepada tuan rumah.
Pelajaran lainnya adalah, aku tidak mau lagi berjalan mendaki gunung dan memasuki hutan di kala waktu maghrib. Konon di waktu itulah semua makhluk gaib penghuni gunung keluar dari persembunyiannya.
- S E L E S A I -
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Disclaimer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Pada suatu sore sebuah truk melaju dengan deras. Si supir tampak kesulitan berusaha mengendalikan truk yang menjadi liar. Truk itu mengalami masalah pada pedal gasnya. Saat melaju pada gigi 4 dengan kecepatan 80 km/jam pedal gas tidak kembali ke posisi semula.
Disclaimer : Kisah ini berlatar Bandung di tahun 2000. Nama tokoh dan lokasi spesifik telah disamarkan.
Tidak terasa Rizki telah memasuki tahap akhir perkuliahannya. Rizki seorang mahasiswa sebuah universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan hukum. Saat itu dia sedang bersiap menyusun skripsi.
Disclamer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Yadi seorang supir angkutan umum minibus yang melayani rute kota M ke kota S dan sebaliknya. M adalah sebuah kota kecil setingkat kecamatan yang berjarak sekitar 100 km dari kota S. Durasi perjalanannya ± 5 jam. Yadi sendiri bertempat tinggal di kota M.
Dulu pernah aku bertetangga dengan seorang bapak-bapak yang tinggal sendirian di rumahnya. Sebut saja namanya Pak M.
Sebenarnya dia memiliki istri dan seorang anak perempuan yang waktu itu masih sekolah di sekolah dasar, namun sepertinya ada masalah keluarga yang membuat istri dan anaknya meninggalkan Pak M, pulang ke kampung istrinya di sebuah kota kecil di Jawa Timur.
(Disclaimer: Nama karakter dalam cerita ini bukan nama sebenarnya. Lokasi sengaja disamarkan)
Ganjar memutuskan mencari kosan yang letaknya tidak jauh dari kantor di bilangan RS, Jakarta. Selama 4 bulan terakhir ia pulang pergi Gadog – Jakarta dengan menggunakan bus kemudian menyambung dengan kereta dari Bogor.
Di ruang UGD sebuah rumah sakit nampak sekeluarga sedang membacakan Surah Yasin kepada seorang bapak yang terbaring tak berdaya.
Bapak itu sedang sakaratul maut. Namun seolah dia masih enggan melepas nyawa dari raganya.
Sementara angka-angka indikator pada alat ventilator menunjukan semakin menurunnya tanda-tanda kehidupan. Bunyi khas seperti alarm pada alat itu semakin terdengar.