“Mendekati jam 12 malam suasana yang tadinya hening dipecahkan oleh teriakan-terikan histeris dan tangisan dari salah satu ruang kelas yang menjadi tempat tidur murid perempuan.
Bahkan beberapa murid perempuan terlihat berlarian berhamburan keluar kelas. Suasananya menjadi heboh. Para kaka Pembina berlarian menuju ruang kelas dimana para murid histeris.”
Yang sedikit ada perdebatan adalah bunyi angklung di ruang penyimpanan peralatan. SDN X memiliki satu ruang khusus untuk menyimpan peralatan olah raga seperti kasur busa untuk lompat tinggi berikut seperangkat tiangnya, bola-bola baik volley, bola sepak dan basket,
lalu panggung kecil tempat berdiri pemimpin upacara bendera pada setiap hari Senin pagi, kemudian sound system, dan seperangkat angklung. Mas Rebo berkisah bahwa pada suatu malam dia mendengar suara dari ruang peralatan.
Saat itu sebenarnya belumlah terlalu larut malam. Masih sekitar jam setengah sebelas. Saat kejadian itu ia sedang mendengarkan lagu dari pemutar musiknya sambil tidur-tiduran di dipannya. Saat sedang asyik menikmati lagu kesukaannya telinganya menangkap bebunyian lain.
Awalnya dia pikir suara itu dari lagu yang sedang ia dengar, namun seingatnya lagu kesukaannya itu tidak ada alunan angklungnya. Mas Rebo kemudian mengecilkan suara pemutar musiknya. Benar saja, itu suara angklung, dan itu bukan dari musik yang sedang ia dengarkan!
Mas Rebo beranjak keluar sambil membawa senter. Dikarenakan seperangkat angklung hanya ada di ruang peralatan, maka ia memastikan langkahnya langsung menuju ruang itu. Saat berjalan menuju ruang peralatan suara angklung masih terdengar namun tidak jelas lagu apa yang mengalun.
Nadanya sembarang namun benar-benar seperti ada yang sedang memainkannya. Sebelum membuka kunci pintu ruang perlatan terlebih dahulu mas Rebo menyalakan senternya kemudian ia sorot cahayanya ke dalam ruangan melalui kaca jendelanya.
Suara itu seketika berhenti, namun terlihat beberapa bilah angklung bergoyang pertanda sehabis dimainkan.
Kemudian ia membuka pintu ruang peralatan dengan maksud hendak memastikan saja. Ia lalu menyoroti ke berbagai arah dengan cahaya senter, tidak ada siapapun. Untuk lebih memastikan ia lalu menyalakan lampu ruangan itu.
Tetap, tidak terlihat siapapun, yang ia lihat hanya beberapa barang yang tetap pada tempatnya. Keesokan harinya ketika mas Rebo menceritakan apa yang dialaminya semalam itu kepada beberapa guru.
Sebagian menganggap itu adalah perbuatan para penunggu sekolah namun sebagian lain yakin itu dilakukan oleh tikus yang menggelantungi angklung sehingga menghasilkan bunyi.
Boleh jadi pendapat yang mengatakan bahwa itu perbuatan tikus benar adanya. Namun seingat mas Rebo sejak saat pertama ia menyoroti ruangan dengan cahaya senter ia tidak melihat seekor tikus pun lari.
Lagi pula untuk membunyikan angklung yang seperangkat itu meskipun mengalunkan nada yang tidak jelas mestilah lebih dari tiga ekor tikus yang menggelayuti, kenyataannya sekali lagi, mas Rebo tidak melihat seekor tikuspun.
Pada malam-malam berikutnya terkadang alunan bunyi angklung kembali terdengar. Mas Rebo mendiamkan saja. Ia mulai terbiasa dengannya, sebagaimana juga sudah terbiasa mendengar suara orang sedang menyapu dan seseorang yang sedang mandi sambil bersenandung.
#
Namanya Ibu Sri. Dia salah satu staf guru di SDN X. “Bu Sri”, demikian rekan guru dan para murid memanggilnya saat mengajar mata pelajaran matematika.
Pelajaran yang bagi sebagian murid SD adalah pelajaran yang paling tidak difavoritkan dan terasa menakutkan paling tidak bagi murid kelas 5 dan kelas 6 SDN X.
Terasa menakutkan dikarenakan ibu Sri yang mengajar matematika adalah guru yang sangat tegas, alias galak atau bahasa kerennya adalah guru killer. Personanya sangat jarang tersenyum.
Dia sangat tidak suka apabila sedang menjelaskan pelajaran dipergokinya ada murid yang bercakap.
Jika bu Sri murka maka penggaris kayu 60 cm yang selalu ia bawa-bawa sebagai alat penunjuk di papan tulis ketika sedang menjelaskan materi ia pakai juga untuk memukul meja murid yang ia tuju kemurkaannya. “CETARR!!”, “Perhatikan kalo saya sedang menjelaskan!!” hardiknya.
Maka itulah jika bu Sri sedang mengajar maka dipastikan suasananya kelas itu menjadi sepi senyap mencekam bak kuburan. Ada saja komentar usil anak-anak SD mencocok-cocokannya sifat galak bu Sri itu dengan hewan menakutkan, yakni menjadi ibu Sri-gala.
Bicara bu Sri yang jika sedang mengajar maka suasana kelas menjadi sepi senyap mencekam bak kuburan, suatu kali SDN X mengadakan kegiatan Pramuka yang diperuntukan bagi murid kelas 5. Kegiatan Pramuka itu adalah kenaikan tinggat dari Siaga menjadi Penggalang.
Kegiatan kenaikan tingkat itu dimulainya sore hari hingga malam. Maka murid kelas 5 dan beberapa guru yang menjadi Pembina akan bermalam di sekolah. Beberapa guru turut menjadi “kakak” Pembina yang bertugas juga sebagai panitia kegiatan, termasuk bu Sri.
Para alumni SDN X yang masih aktif di kegiatan Pramuka juga turut membantu menjadi Pembina sekaligus panitia.
Setelah rangkaian kegiatan ketrampilan dan pengetahuan Pramuka tingkat dasar Penggalang yang digelar semenjak petang hingga menjelang waktu maghrib maka malam harinya tibalah pada acara puncak inisiasi yakni “Jurit Malam”, ada juga yang menyebutnya “Jerit Malam”.
Jurit Malam intinya adalah kegiatan uji nyali para Pramuka yang akan menjadi Penggalang. Tiap regu yang biasanya beranggotakan 10 orang berjalan pada malam hari berjalan melewati tempat yang dianggap menyeramkan.
Di kalangan para siswa Pramuka peserta, pada sore hari saat istirahat makan berlanjut sholat Isya sudah menggunjingkan info dari kaka kelas peserta tahun lalu
bahwa biasanya bu Sri pada acara Jurit Malam akan menyamar menjadi kuntilanak untuk menambah “tingkat kesulitan” uji nyali. Selain guling yang digantungkan pada pohon dengan maksud seolah-olah pocongan.
Namun demikian meskipun sudah mendapat bocoran info tetap saja mereka merasa cemas. Rute berjalan Jurit Malam sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar wilayah dekat-dekat SDN X saja.
Namun tidak jauh dari wilayah pemukiman masih terdapat makam tua milik warga Betawi asli setempat yang dinamakan “Kober”. Kober itulah yang akan dilewati para peserta Jurit Malam. Tiba saat Jurit Malam. Agung, Surya, Adi, Ari, dan Daru tergabung dalam satu regu.
Mereka menamakan regu mereka “Elang”. Pada pos pertama sampai ketiga mereka akan menjumpai kakak Pembina yang memberi pertanyaan semacam tes. Pertanyaannya adalah seputar Pancasila, Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka, sandi-sandi, dan hal lainnya terkait kepanduan.
Setelah ketiga pos itulah sebagai tes terakhir mereka harus melewati kober. Dari jarak beberapa meter dari kober mereka sudah melihat sosok dengan rambut panjang terurai memakai
pakaian entah gaun atau daster warna serba putih berdiri saja mematung tidak jauh dari kober yang hanya terdiri dari lima makam itu. Dua pocongan yang sebenarnya adalah guling juga terlihat menggantung di pohon yang ada di sekitar kober.
Ketika persis melewati kober itu, para anggota regu Elang berusaha tenang berjalan meskipun jantung mereka berdebar dan dengkul rasanya gemetar. Namun dalam hati mereka berdoa. Si “kuntilanak” saat dilewati tidak berbuat apa-apa, hanya diam saja sambil menunduk.
Namun beberapa dari anggota regu Elang sudah menebak bahwa itu memang bu Sri, dikarenakan ibu Sri sendiri sempat menampakkan wajahnya. Betapa leganya anak-anak Pramuka itu,
apalagi tidak jauh dari kober dimana bu Sri menyamar sebagai kuntilanak ternyata ada tiga orang kakak Pembina lainnya yang berjaga.
Setelah berhenti kemudian berbaris dan melapor kepada ketiga kaka Pembina itu merekapun diizinkan untuk kembali ke SDN X yang berarti pula selesailah seluruh rangkaian tes.
Pukul 11 malam seluruh peserta kegiatan Pramuka sudah kembali di SDN X. Sebagai tempat bermalam para murid maka 4 ruang kelas dirubah fungsinya menjadi barak tempat tidur mereka. Murid laki-laki dan perempuan dipisahkan.
Saat di ruang kelas suara riuh tawa dan percakapan terdengar dari murid-murid menceritakan keseruan pengalaman mereka. Namun para kakak Pembina memerintahkan agar segera lekas istirahat tidur. Suasana pun menjadi hening.
Mendekati jam 12 malam suasana yang tadinya hening dipecahkan oleh teriakan-teriakan histeris dan tangisan dari salah satu ruang kelas yang menjadi tempat tidur murid perempuan. Bahkan beberapa murid perempuan terlihat berlarian berhamburan keluar kelas.
Suasananya menjadi heboh. Para kakak Pembina berlarian menuju ruang kelas dimana para murid histeris. “Adik adik ada apa?, ada apa? Tenang… tenang…” kata para Pembina. “Itu kak,…itu..foto ibu Kartini… foto ibu Kartini…” jawab mereka sambil menangis gemetaran.
“Kenapa foto ibu Kartini?” tanya kakak Pembina heran. Sebagaimana kita tahu bahwa pada ruang kelas baik di tingkat SD sampai SMA dipajang beberapa foto Pahlawan Nasional. “Ma..ma..matanya ka…mata ibu Kartini keluar darah….” kata mereka sambil sesenggukan.
Lalu mereka semua ditenangkan dengan diberi minum. Saat murid-murid sudah terlihat sedikit tenang, Pak Maulana guru IPA yang juga Ketua Pembina Pramuka SDN X menanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi.
Indah, salah seorang siswi yang tadi berada dalam kelas itu bercerita bahwa Eka yang tidak bisa memejamkan matanya karena tidak terbiasa tidur selain di kamarnya terkejut ketika melihat foto Ibu Kartini matanya mendelik-delik sambil melotot kemudian mengeluarkan darah.
Eka menjerit histeris sambil menunjuk-nunjuk ke foto ibu Kartini. Jeritan Eka membangunkan seisi kelas. Di tengah kebingungan mereka melihat ke arah jari Eka menunjuk. Lalu mereka semua pun histeris.
“Beneran pak, saya juga liat mata bu Kartini ngelirik-ngelirik sambil melotot terus nangis darah”, papar Indah. “Pas kita semua lari keluar saya ngeliat ada bu Sri masih jadi kuntilanak malah diem aja berdiri di depan kelas,” lanjutnya.
Mendengar penuturan Indah, Pak Maulana dan Pembina lainnya tertegun. Setelah kejadian heboh itu, para panitia menyalakan lampu kelas. Tidak ada yang aneh pada foto ibu Kartini sebagaimana diutarakan murid-murid yang histeris.
Dan bu Sri, setelah tugasnya menyamar menjadi kuntilanak selesai ia tidak bermalam di sekolah, sudah langsung pulang dijemput suaminya.
- S E L E S A I -
Catatan tambahan: kejadian ini berlatar di Bekasi di tahun 90an.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Mas Rebo menengadahkan kepalanya ke atas batang pohon jambu air. Terlihat wujud sosok seorang perempuan sedang berdiri. Sosok itu mengenakan pakaian seperti gaun putih, kakinya tidak nampak, rambutnya yang panjang sebahu terlihat berantakan…....”
(Disclamer: Ini adalah beberapa cerita mistis yang pernah terjadi di sebuah Sekolah Dasar Negeri “X” (SDN X) yang terletak di kota Bekasi. Nama-nama karakter adalah bukan nama sebenarnya)
Di gunung inilah dikisahkan Raja terakhir Majapahit yakni Prabu Brawijaya V melakukan Moksa, yakni sirnanya raga dari alam dunia kasat mata ke alam ghaib yang tak kasat mata. Beda dengan manusia pada umumnya yang mengalami meninggal dunia jika "tugasnya selesai" di dunia.
Banyak kejadian atau kisah mistis di luar nalar logika di Gunung Lawu. Seperti yang belum lama dialami pendaki ini.
Saat mencapai puncak Hargo Dalem dia berfoto di warung mbok Yem. Sebagai catatan, mbok Yem adalah seorang tokoh ikonik di Gunung Lawu.
Namaku Norman (bukan nama sebenarnya. Penulis). Aku akan menceritakan pengalaman mendaki gunungku di tahun 2006. Waktu itu aku masih kuliah di semester 7. Aku menyukai kegiatan mendaki gunung.
Meskipun belum bisa juga dikategorikan sebagai “Anak Pecinta Alam” yang kegiatannya rutin mendaki berbagai gunung. Mendaki gunung kulakukan semata-mata karena aku menyukai dan mengagumi keindahan gunung dengan hutan rimbanya, hawanya yang sejuk, dan udaranya yang menyegarkan.
Disclaimer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Pada suatu sore sebuah truk melaju dengan deras. Si supir tampak kesulitan berusaha mengendalikan truk yang menjadi liar. Truk itu mengalami masalah pada pedal gasnya. Saat melaju pada gigi 4 dengan kecepatan 80 km/jam pedal gas tidak kembali ke posisi semula.
Disclaimer : Kisah ini berlatar Bandung di tahun 2000. Nama tokoh dan lokasi spesifik telah disamarkan.
Tidak terasa Rizki telah memasuki tahap akhir perkuliahannya. Rizki seorang mahasiswa sebuah universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan hukum. Saat itu dia sedang bersiap menyusun skripsi.
Disclamer : Nama tokoh dan lokasi spesifik dalam cerita ini telah disamarkan.
Yadi seorang supir angkutan umum minibus yang melayani rute kota M ke kota S dan sebaliknya. M adalah sebuah kota kecil setingkat kecamatan yang berjarak sekitar 100 km dari kota S. Durasi perjalanannya ± 5 jam. Yadi sendiri bertempat tinggal di kota M.