Thread by @ndreamon

Berpikir itu capek.

Bila pikiranmu nyangkut di masa lalu, kamu jadi capek karena sedih dan menyesal.

Bila pikiranmu nyangkut di masa depan, kamu jadi capek karena cemas.

Maka, selain manajemen waktu, kita juga perlu manajemen energi. Alokasikan energi di masa kini saja yuk.

Tapi, bukan berarti ga mikirin masa depan loh.

Misalnya ada acara minggu depan, kita tetap perlu mikirin.

Bedanya, kita mencoba menyadari apa yang bisa diantisipasi di hari ini (memusatkan energi di hal yang pas) dibanding mikirin “duh gimana ya nanti kalau saya gagal.

Secara sederhana, beda antisipasi dan overthinking adalah begini:

Antisipasi fokus pada problem solving (“what can I do?”, “apa yang harus disiapin”)

Sedangkan overthinking tidak. (“Gimana kalau nanti saya lupa?” ,”gimana kalau saya diketawain?”, “gimana kalau dimarahin?”)

Dalam teori kognitif, ada pola pikiran otomatis bernama catastrophizing (catastrophic = musibah) yang sering muncul tanpa disadari. Biasanya polanya adalah “what if” disertai dengan skenario yang wow dan berlebihan. Ini yang bikin jadi nggak tenang.

Nah, perlu kebijaksanaan untuk mengenali, mana ‘what if’ yang perlu dan yang nggak. Kalau masih di bawah kendali kita, mungkin perlu dipikir.

Misal, ada acara.

“duh gimana kalau minumnya kurang ya?” ➡️ jadi persiapan ngitung jumlah orang dan stok minuman (problem solving) ✅

Ada juga contoh what if yang nggak perlu:

“Duh, gimana ya kalau nanti ternyata makanannya ga enak, terus jadi diomongin, nanti saya jadi malu, jadi viral di medsos, jadi thread di twitter”

Di skenario atas, terlalu banyak hal di luar kendali kita. Mikirin ini malah bikin capek

Jadi, ingatlah... kalau sadar kamu lagi mikir masa depan, coba tanyakan lagi:

“Apa yang bisa saya lakukan di masa kini?”

Kalau bingung jawabnya, mungkin perlu dapat masukan dari teman yang dipercaya, atau bantuan profesional