Bagi pribadi, utas ini didedikasikan untuk alm. ayah saya yang sudah pergi jalan jauuuuuh sekali, berangkat pas setahun lalu.
Denial (menyangkal)-1
Tahap pertama adalah kita kaget, nggak percaya. “Ah nggak bener tuh!” atau “pasti ada yang salah” jadi kalimat yang sering terucap.
Walaupun bukti disajikan, kita masih sulit percaya.
Pada kondisi berduka, denial kadang muncul dalam perilaku “seolah2 dia kaya masih ada”. Masih membayangkan orang itu ada di rumah kita... atau bahkan membiarkan barang2nya tetap di tempat semula.
Ini tahap yang wajar dalam proses penyembuhan
Ketika papa pergi, kami masih berada dalam proses denial tanpa disadari. Ibu masih memasak kebanyakan tanpa disadari. Barang2 papa kami biarkan. Rekening papa dibiarkan. Masih langganan cable tv padahal ga ada yang nonton.
Ini membantu kami menguatkan diri.
Anger (marah) - 1
Dalam masa tertentu, tiba2 kita merasa ada pihak yang harus disalahkan. Dokter? Anggota keluarga? Diri sendiri? Tuhan?
Kita mulai mempertanyakan, kenapa dia pergi? Dia hidupnya sehat loh! Kenapa bukan yang lain?
Kemarahan ini terjadi karena cinta kita. Suatu cinta yang berubah menjadi kemarahan.
Bagi kami, ketika papa pergi, kemarahan utama justru pada diri sendiri.
Kenapa sih dulu nggak ngabisin waktu bareng? Sekarang kan udah nggak bisa lagi!
Bargaining (seandainya saja) - 1
Bargaining memiliki struktur khas, yaitu kita mulai berhenti marah dan mulai bikin skenario baru:
“Seandainya dulu saya bawa ke RS X, mungkin kondisi berbeda”
“Seandainya saja berobat ke luar kota/luar negeri...”
Bagi saya, bargaining ini tumpang tindih dengan anger. Saya seorang dokter, kematian anggota keluarga untuk penyakit yang preventable adalah suatu pukulan besar.
Seandainya saja dulu saya periksa lebih rutin... seandainya saja...
Bargaining ini bisa bulanan.
Bagi saya pribadi, fase bargaining ini yang membuat saya paling sulit move on.
Kita membuat skenario2 yang menurut kita PASTI lebih baik seandainya kita lakukan.
Saya diingatkan terus: “emang yakin kalau kamu lakukan itu, outcome pasti lebih bagus?”
Depression - 1
Ketika akhirnya kita mulai move on dari masa lalu dan kembali ke masa kini, muncul fenomena baru: perasaan depresi. Kita sadar bahwa di masa kini, orang itu sudah tidak ada, dan tidak akan ada lagi.
Perlu diingat, perasaan depresi ini proses wajar
Perasaan depresi berbeda dengan gangguan depresi. Dalam kondisi yang wajar, orang akan merasa depresi ketika orang terdekatnya hilang. Tapi, kita punya harapan akan hari yang lebih baik.
Yang bahaya adalah ketika perasaan itu menetap dan mengganggu fungsi harian
Pada diri sendiri (dan keluarga) saya mencoba mengingatkan bahwa perasaan depresi pada kondisi berduka itu wajar, bukan penyakit yang perlu ‘diperbaiki’.
Ini ibaratnya alarm bunyi ketika ada kebakaran. Justru wajarnya ada tahapan ‘alarm bunyi’ di kondisi itu.
Masalah mungkin timbul ketika perasaan depresi berkepanjangan. Ibaratnya, kebakarannya udah reda, gedungnya udah aktif lagi, eh tapi alarmnya masih bunyi terus.
Dalam kondisi ini, mungkin perlu penanganan psikoterapi atau obat.
Acceptance (terima) - 1
Tahap akhir ketika kita bisa menerima situasi. Kita bisa memaafkan orang-orang, termasuk diri sendiri, atas proses duka yang dialami.
Kita melihat bahwa masih ada jalanan di depan. Hidup dia sudah usai, hidup kita belum.
Acceptance BUKAN berpikir positif, melainkan berikir rasional. Pada tahap ini, kita mengakui “ya, papa udah nggak ada. Sekarang, kita bisa melakukan apa?”
Acceptance BUKAN menggantikan sosok yang hilang, melainkan mengembalikan ke hari-hari yang wajar.
Penerimaan ini bukan suatu tujuan akhir, tapi proses.
Sampai sekarang, saya rasa kami belum bisa 100% menerima kepergian sosok papa (siapa sih yang bisa?)
Tapi kami usaha menerima bahwa kejadian itu sudah terjadi. Nggak pakai tapi-tapian. Sudah terjadi. Titik.
Berapa lama durasi masing2?
Tidak ada patokan. Ada aja yang baru seminggu sudah acceptance. Saya pernah ketemu pasien yang 10 tahun masih tahap bargaining (“seandainya saja...”)
Apakah bisa ‘mundur’?
Bisa banget. Hari ini kamu pikir kamu terima, besoknya denial lagi.
Saya masih sedih, kadang masih nangis kalau keingat orang yang udah pergi, itu gimana?
Ya nggak apa2. Masa nggak boleh nangis...
it’s okay to be not okay, but it’s not okay to stay that way. Siap?
Gimana cara biar cepet move on dari duka itu?
Tiap orang punya cara berbeda. Bagi saya, teknik mindfulness sangat membantu (ahlinya mas @AdjieSanPutro). Saya diingatkan bahwa semua emosi dan pikiran boleh mampir... dan akan pergi sendiri. Begitu pula sedih dan menyesal.