Please Likes and RT agar penulis dapat terus berkarya
This is my second thread
Kembali saya ingatkan, mohon untuk para pembaca jika sekiranya mengetahui latar, tokoh, atau segala bentuk keterkaitan dengan cerita untuk tidak membocorkan kerahasiaan sesuai dengan keinginan narasumber.
Nama nama tokoh akan tetap saya samarkan seperti cerita sebelumnya demi menjaga kerahasiaan identitas pemilik cerita.
Cerita langsung saya dapat dari empunya, yang kebetulan juga putra dari salah satu teman seperguruan Eyang Prawiro.
Let the story begin...
FLASHBACK 24< TAHUN LALU
Desir ombak terdengar sepanjang perjalanan. Seluas mata memandang hanyalah hamparan lautan biru yang terlihat. Sudah lebih dari dua malam Hardi berada di kapal itu.
KM. TIDAR, terpampang jelas di sisi badan kapal yang menyebrangi hamparan air itu
Hardi mulai merasa lelah dengan perjalanannya itu. Goncangan ombak yang menggetarkan kapal membuatnya sedikit pusing. Entah berapa lama ia menahannya hingga perlahan mulai terlihat daratan yang ditujunya.
Ia segera memeriksa semua barang bawaannya dari kampung halamannya itu, berharap semua masih aman dan tidak ada yang hilang.
Semakin nampak jelas dermaga pelabuhan yang akan menjadi tempat kapal itu berlabuh, entah kenapa hatinya berdetak begitu kencang.
Pintu keluar kapal dibuka, sampailah ia di tanah yang tak pernah dijamahnya selama ini. Ia segera berjalan keluar dari dermaga dan mencari tanah. Iya tanah, ia mempunyai cara menyampaikan salam yang unik.
Ia mengambil sejumput tanah lalu ditelanlah tanah itu sebagai bentuk
bahwa ia datang dengan kedamaian dan memohon ijin untuk menyambung hidup ditanah leluhur lain tersebut.
Terlihat ransel yang ada dipunggungnya sedikit bergerak gerak.
"Menengo, sing sopan!"
(Diamlah, yang sopan!) ucap Hardi seorang diri
Entahlah benda apa yang dibawanya itu.
Ia segera mencari angkutan untuk membawanya ke rumah sang mertua. Ia dipindah tugaskan kesana, sebelum surat kepindahan selesai, istrinya sudah lebih dulu diboyong oleh ayah mertuanya.
Di perjalanan ia terus memikirkan putri kecilnya. Sudah dua bulan lebih mereka tak berjumpa.
Tampak secarik alamat yang ia bawa, bertuliskan Jalan BTN Hartaco Indah. Disanalah istri dan mertuanya mengontrak rumah.
Mertuanya sudah lama merantau kesana, ia juga bukan orang sembarangan. Mertuanya itu memiliki ilmu kebatinan yang cukup tinggi.
Setibanya disana ia melangkah masuk ke halaman rumah leter U tersebut, terlihat putrinya tengah bermain sendirian disana.
Hardi mengambil kerikil, bersembunyi lalu melemparkannya kearah anak itu.
Putrinya bingung tiada siapapun yang terlihat tengah melemparinya.
Lalu Hardi tak lagi bersembunyi dan mengulangi perbuatannya itu. Putrinya yang menengok kearahnya segera berlari kearahnya
"Bapaaaaak" sembari memeluk tubuh ayahnya "Timur kangen" yang disusul oleh keluarnya wanita dari arah dapur lalu segera berjalan menghampirinya
"Mas kok gak kirim surat toh, ndak bilang bilang kalo mau kesini" protesnya dengan manja yang disambut oleh peluk hangat sang suami.
Istri Hardi segera mengajaknya untuk menyambangi tempat tinggal orang tuanya. Disana ia disambut riuh oleh adik adik istrinya
Memang mertuanya itu mempunyai anak yang cukup banyak, 10. 10 anak dengan jarak kelahiran yang berdekatan. Bisa membayangkan betapa asiknya disambut oleh banyak orang? Ia menganggap adik adik iparnya itu selayaknya anak sendiri. Hingga mereka sangat sayang kepada Hardi.
Terlihat kedua mertuanya keluar dari salah satu kamar, menyambutnya dengan senyum hangat
"Kapan teko Di.."
(Kapan sampainya Di..)tanya ibu mertua yang sedang dicium tangannya oleh Hardi
"Nembe mawon Mak"
(Baru aja mak) Hardi menjawabnya sambik beralih untuk mencium tangan
ayah mertuanya.
*Hehehe* tawa ayahnya terkekeh kekeh
"Jebul akeh gawanane"
(Ternyata banyak bawaannya) ucap si ayah mertua
"Ojo cobo cobo yo Di, ikimono duk panggone dewe"
(Jangan coba2 ya Di, ini bukan wilayah kita) ucap orang tua yang biasa dipanggil Mbah Jenggot oleh warga
Jenggot ayah mertuanya memang panjang, bahkan ketika anak kesayangannya menikah dengan Hardi, ia mengepang janggut itu dan menyelipkan bunga kantil diujungnya.
Menurutnya itu lambang keikhlasan untuk melepas bunga yang telah ia besarkan. Serta mewariskan kelebihannya pada rahim
istri Hardi. Terbukti Timur lahir dengan banyak kelebihan.
"Nggih Pak, tapi kok daleme mboten jenengan resiki Pak? Kan mboten sae kangge Timur"
(Iya tapi kenapa rumahnya gak bapak *bersihkan* dulu pak? Kan tidak bagus buat Timur)
"Aku pengen ngerti olehanmu seko etan"
(Aku pengen tau yang kau dapat dari arah timur) jawabnya sembari menyalakan rokok yang terselip diantara bibirnya.
Mereka berdua ngobrol panjang lebar hingga sore hari, Hardi dan istrinya pun pamit untuk pulang.
Setibanya di kontrakan Hardi merasakan hawa hawa yang cukup
negatif. Ia merasa rumah itu dipenuhi dendam.
Hardi menyuruh istri dan anaknya untuk masuk terlebih dulu, sementara ia diluar merapalkan mantra dan mengeluarkan Gono Ulung miliknya. Dari dalam benda itu keluarlah pria muda dengan badannya yang tegap, bertelanjang dada dan hanya
menggunakan sual hitam dengan kain jarik melilit pinggangnya.
"Tunggoni neng kene"
(Berjaga disini!) perintah Hardi yang hanya dijawab anggukan oleh pria itu.
Hardi melangkah memasuki rumah,
seorang lelaki tua tampak mengikutinya masuk
"Siapa kau?" bentak Hardi pada sosok itu
"Jangan kurang ajar. Aku tuan rumah dan kau hanya tamu disini" tandas sosok itu yang kemudian menghilang.
Akhirnya Hardi beristirahat hingga suara adzan maghrib berkumandang. Ia segera mandi
lalu menunaikan sholat bersama istrinya.
Timur yang menonton tv sendirian diruang tamu terdengar tertawa cekikikan dan berlari larian seperti bermain dengan seseorang. Sholat Hardi dan istrinya menjadi tidak fokus karenanya.
Selesai sholat mereka segera menghampiri Timur.
Cahaya diruang tv entah kenapa menjadi gelap, tidak seperti saat mereka tinggalkan tadi
"Dek lampune rusak po?"
(Dek lampunya rusak ya?) tanya Hardi
"Mboten eg mas, ndek mau apik wae kok"
(Gak tuh mas, tadi baik baik aja kok) jawab Mbak Sri
Iya, nama istri Hardi adalah Sri
jarak umur mereka 7 tahun, saat itu usia Mbak sri 22 tahun dan Timur baru saja menginjak 3 tahun
"Timuuur... Adek dimana" panggil Mas Hardi pada putrinya
*hihihihi* hanya terdengar suara tawa anak kecil yang entah darimana asalnya, namun sangat jelas itu bukan suara Timur
"Yo ngeneiki mas gawene, ora mari mari nek wes kadung dolanan"
(Ya begini mas biasanya, gak selesai selesai kalo udah main) jelas Mbak Sri
Sedikit banyak, perempuan itu juga paham mengenai hal hal mistis. Ia hafal bahwa jika anaknya tiba tiba bermain sendirian
namun terlihat seperti sedang mengobrol dan kejar kejaran dengan orang lain, itu tandanya Timur memang sedang diajak main oleh *mereka*. Ia sebenarnya ingin membiarkannya saja, akan tetapi disana penunggu rumah itu sangat tidak tahu waktu.
Mereka sering kali mengganggu bahkan diwaktu malam hari, Mbak Sri menjadi risih karenanya.
Ia sudah mengeluh pada ayahnya agar mau membersihkan rumah, tapi ayahnya menolak dan menyuruhnya untuk menunggu kedatangan sang suami
Mas Hardi hanya berfikir mungkin ayah mertuanya ingin tahu seberapa kuat ilmu yang baru saja ia dapat dari gurunya.
Lurah Dongkol Jawik Taji, nama guru yang telah dikenalnya sejak sd itu. Ilmu yang tak disangka bisa didapat dengan mudah, karena memang berjodoh dengannya
Bukannya ia tak mau merapalkan ajian itu disini, akan tetapi bakal sangat susah untuk menjaga situasi tetap kondusif. Hardi sadar disini hanya sebagai pendatang, jadi sebisa mungkin ia menghindari pergelutan gaib.
"Bapak.. Ibuk.. Liat Timur punya bagus" ucap bocah tiga tahun itu sambil menunjukkan sesuatu yang ia pegang di tangannya
Gila! Bocah itu menenteng organ tubuh lengkap yang masih berlumuran darah
Mbak Sri berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya, ia merasa tak tahan
melihat jantung usus dan apapun nama organ organ itu.
Mas Hardi segera menarik Timur dan melepaskan benda menjijikkan itu dari tangan putrinya
"Entuk seko endi toh nduk awakmu ki?"
(Dapat begituan dari mana sih nak kamu ini) tanya Mas Hardi
"Citu.. "
(Situ.. ) jawabnya
Ia sambil menunjuk sudut ruang tamu.
Tampak seekor kucing dengan kakinya yang pincang disana. Ia melompat keluar melalui jendela.
Memang sudah terlalu jauh makhluk makhluk itu memasuki kehidupan keluarganya, sungguh kurang ajar!.
Mas Hardi menuju ruang dapur sambil menggendong Timur. Di meja makan tampak istrinya tengah terduduk lemas di kursi, kepalanya masih saja terasa pening kemudian ia sandarkan di meja.
"Dek piye? Ijeh lemes ta? Tulung ewangi aku ngadusi Timur"
(Dek gimana? Masih lemas? Tolong
bantu aku mandiin si Timur) tanya Mas Hardi pada istrinya
Sekujur tubuh wanita itu tampak berkeringat namun badannya terasa amat dingin, sepertinya Mbak Sri terkena sawan.
Mas Hardi segera menyentuh kening istrinya itu agar sawan yang menempel hilang, lalu mengambilkan
air minum untuknya.
Mbak Sri segera meminum air itu, selang beberapa menit
"Piye? Wes mendingan?"
(Gimana? Udah mendingan?) tanya si suami yang hanya dibalas anggukan oleh Mbak Sri
"Yowes ayo gek ndang didusi bareng, sementara kudu ditutup sek dek batine anake dewek"
(Yaudah ayo cepat dimandikan, sementara penglihatan batin anak kita harus ditutup) jelas Mas Hardi
"Karep sampean wae penake piye"
(Terserahmu saja enaknya gimana) jawab istrinya yang masih menahan mual, wajahnya tampak sangat pucat
Malam itu juga Mas Hardi melakukan ritual untuk menutup sementara mata batin putrinya.
Selesai dimandikan, Timur di bawanya ke ruang tv, semua lampu dinyalakan lalu Mas Hardi dan Mbak Sri duduk menghadap si Timur.
"Adek merem ya nak, nanti kalo adek sakit nangis aja gapapa"
jelasnya pada anak itu
"Timun mu diapain pak"
(Timur mau diapain pak) tanyanya dengan polos
"Diajak main nak, yang betah merem paling lama nanti dapet hadiah" alasannya pada bocah itu
Timur mulai memejamkan mata, ayahnya mengelus punggunya hingga keatas kepala beberapa kali
sambil membaca doa doa
Tiba tiba saja Timur menangis begitu keras, ia menjerit dan mengeluarkan tangis sejadi jadinya
"Timur nak, bapak ibuk disini loh. Gapapa nangis aja sepuas Timur ya biar lega" ucap Mas Hardi
Mbak Sri terlihat ikut menangis, ia menatap putrinya tidak tega
Meskipun tidak tahu sakit seperti apa yang dirasakan Timur, tapi jiwa seorang ibu pada diri Mbak Sri pastilah tidak kuasa melihat rintihan anaknya itu.
Memang sangatlah susah untuk menutup kelebihan anak yang telah memilikinya sejak lahir, apalagi jika penutupan itu direncanakan
hanya untuk sementara.
Sebenarnya bukan rasa sakit pada tubuh yang dirasakan gadis itu, tetapi rasa kehilangan yang pedih pada lubuk hatinya. Seperti tengah ditinggalkan dalam keadaan gelap gulita, seperti kehilangan pandangan karena mata yang tengah ditutup paksa.
Hingga tangisnya perlahan mulai mereda dan tubuhnya pun mulai melemas. Ia tertidur, tak lama tubuh mungilnya jatuh kebelakang menimpa sang ibu.
Baru saja selesai ritual itu, tiba tiba terdengar suara gaduh dari teras
Suara suara itu terdengar seperti guruh sambaran petir
*Jderrrr gluruk gluruk glurukk*
Terdengar sangat nyaring hingga dalam rumah.
Mas Hardi segera menerawang jauh, kemudian ia berdiri dan segera menuju kamar. Disana ia mengambik sepasang pecahan batu yang ada ditasnya
Ia melangkah keluar, membuka pintu lalu melemparkan dua batu itu begitu saja. Bukannya mereda, suara itu justru semakin riuh
*Gratak klatak klatak*
Terdengar seseorang tengah berlari larian di atap rumah mereka.
"Opo iku mas?" tanya istrinya yang tampak ketakutan
Wanita itu masih terduduk dilantai dengan Timur yang lelap dipangkuannya.
Hardi tak menjawab sepatah katapun. Ia hanya memandangi halaman depan dari dalam rumah.
Mulutnya komat kamit, apa yang ia baca? Ajian Brojomusti.
Ya, ajian yang masih sangat hangat. Baru saja ia dapat
sebelum berangkat kesini.
Sebetulnya ia enggan menggunakan itu, akan tetapi makhluk makhluk ini telah membuatnya lelah, apalagi dengan cara mereka bermain dengan putrinya, sungguh membuat Hardi merasa muak.
Pandangan Hardi~ sekeliling rumah telah berkumpul ratusan
makhluk halus, namun hanya seperlima dari mereka yang cukup kuat untuk mengajak Gono Ulung bertarung, sedangkan sisanya hanya menonton. Entah siapa yang mengundang mereka, yang pasti orang itu sedang mencari gara gara dengannya.
Hardi merasa mungkin Gono Ulung akan kualahan
menghadapi mereka semua, untuk itu ia memberi bantuan. Sepasang batu tadi berisikan dua siluman kera putih yang berbadan sangat besar. Mereka bertiga pastilah cukup untuk menghalau ratusan makhluk itu, namun semakin lama nyatanya semakin banyak jin yang berkumpul disana hingga
membuat Hardi sendiri harus turun tangan.
Setelah merapalkan ajian Brojomusti itu ia hanha berdehem dan semua makhluk tadi terpental jauh, mungkin belasan kilometer.
Tiba tiba turun hujan yang sangat deras, ia pamit untuk keluar pada istrinya, Mbak Sri mau tak mau hanya
mengangguk mengiyakan.
Mas Hardi segera menaiki motornya menuju daerah yang tidak terguyur hujan, sampai sanalah makhluk makhluk itu terlempar.
Disana sudah ada Gono Ulung dan dua kera putih miliknya, mereka tengah membabat ratusan lawannya.
Setelah semuanya selesai, ia
segera pulang dan menyuruh para khodam miliknya tadi untuk kembali.
"Wes ndang balio, wes mari olehe dolanan. Sesok mesti akeh sing ra trimo"
(Udah pulanglah, selesai mainnya. Besok pasti banyak yang gak terima) ujar Hardi kepada khodamnya
Sesampainya dirumah ia melihat bayangan hitam keluar dari atap rumah. Ia segera masuk, kosong. Tiada siapapun dirumah, kemana perginya Mbak Sri dan Timur?
Hardi merasa sangat panik. Ia segera berlari menuju rumah mertuanya, berfikir bahwa mungkin istri dan anaknya berada disana
Hardi tidak memedulikan senggal napasnya yang ngos ngosan.
Baru sampai kakinya diteras rumah ia sudah berteriak dari sana,
"Assalamualaikum. Mak, Sri kaleh Timur... " belum sempat ia menyelesaikan kata katanya
"Nok rumah sakit, cepet susulo pakmu le!" jawab ibu mertuanya yang
juga berlari menuju pintu. Tampak matanya yang memerah berair karena tangis.
Hardi yang mendengarnyapun segera berlari pulang kerumah untuk mengambil motor, kemudian menghampiri bapak bapak yang sedang nongkrong di pos ronda
"Permisi Pak, saya suaminya Sri yang ngontrak di
ujung jalan, boleh tanya jalan kalau hendak ke rumah sakit tidak?"
Bapak bapak itu kemudian menjelaskan arah arahnya kepada Mas Hardi, dan mereka menanyakan perihal kenapa ia buru buru ke rumah sakit. Hardi hanya berterimakasih dan berkata akan menjelaskannya nanti.
Di rumah sakit, ia segera berlari kearah IGD. Tampak anak kecil yang tengah terduduk menangis menghadap seorang wanita, itu Timur dan istrinya.
"Dek, kenopo dek awakmu. Piye tek iso ngene"
(Dek, kamu kenapa dek. Gimana kok bisa kaya gini) tanya Hardi pada istrinya.
"Di..." ucap seorang pria padanya sembari menepuk pundaknya, itu ayah mertuanya. Lelaki tua itu memberinya kode untuk keluar bersamanya.
Di area parkir mereka berdua mengobrol
"Kenopo toh le kok gak ngomong sek mau nek arep metu?"
(Kenapa sih nak kok gak bilang dulu tadi
kalo mau keluar?) tanya si ayah mertua
"Nggih pak kula kecolongan, ngapunten"
(Iya pak saya kecolongan, maaf) ucap Mas Hardi lirih dengan penuh penyesalan
"Untung mari kw nggusak barang semono mau aku kroso rapenak langsung rono. Umpomo keri sitik wae Sri iso bahaya"
(Beruntung setelah kamu ngusir sebegitu banyak demit tadi aku kerasa gaenak langsung pergi kesana. Seumpama telat sedikit aja Sri bisa dalam bahaya) jelas kakek itu dengan wajah tenang, sesekali ia terkekeh untuk mencairkan suasana
"Sakjane wonten nopo toh pak"
(Sebenarnya ada apa toh pak) tanya Hardi yang begitu penasaran, tampak salah satu alisnya meninggi
"Aku sing salah le, biyen ora tak usir malah tak berno. Kok jebul saiki gawe wirang"
(Aku yang salah nak, dulu bukannya tak usir malah tak biarin.
Kok ternyata sekarang bikin repot) ucapnya sambil meraih rokok dalam saku celananya
Ia mengambil sebatang dan menawarkan pada menantunya itu. Tapi Hardi tidak mengambilnya karena nanti ia akan berada didekat Timur. Ia tak mau putrinya mencium bekas asap rokok yang menempel
pada bajunya.
"Koe ngerti ra opo sing paling akih neng kene?"
(Kamu tau gak apa yang ada paling banyak disini?) tanya ayah mertuanya
Hardi hanya menggelengkan kepalanya dan menunggu kakek itu melanjutkan ucapannya
"Parakang" ucapnya berbisik
"Nopo niku pak?"
(Apa itu pak?) tanya Hardi
"Aku yo kurang ngerti. Jere yo barang daden seko manungso sing gagal ngelmu ireng"
(Aku juga kurang tahu. Katanya sih makhluk jadi jadian dari manusia yang gagal menyempurnakan ilmu hitam) ungkapnya
"Trus maksud njenengan sing suene
iki dolanan kalih Timur niku barang meniko?"
(Jadi maksud bapak yang selama ini main sama si Timur makhluk itu?) desak Hardi dengan tatapan penuh penasaran
"Iyo le, pisanane tak kiro trimo demit biasa, tapi kok hawane bedo, pinter banget membo dadi opo wae. Arep tak pisah
seko Timur ning aku wedi nak kecolongan umpomo tak adepi dewekan"
(Iya nak awalnya kukira demit biasa, tapi kok hawanga beda. Dia pinter banget menyamar jadi apapun. Hampir ku pisahkan dari Timur tapi aku takut kecolongan bila menghadapinya sendirian) pungkas kakek itu.
"Asline deweke sinten pak?"
(Aslinya dia siapa pak?)
"Koyone wong sing ndue warung ono lingkungan awak dewek"
(Kayaknya orang yang punya warung di lingkungan kita) ucapnya berbisik
disugati neko neko"
(Lha trus gimana pak? Dia kayanya udah nantangin saya. Belom genap semalam saya disini udah disuguhin aneh aneh) gerutu Hardi yang menegang
"Hm iyo le yo mbesok cobo diatasi"
(Hm iya nak kalo gitu besok coba diatasi)
"Mari gelut karo demit piro le?"
(Habis berantem sama demit berapa kamu nak?)
"Atusan pak mboten gelut, babat!"
(Ratusan pak bukan berantem, habisi!) jawab Hardi tegas
*Hehehehe* tawa si kakek
"Modar aku nek do ra trimo"
(Mati aku kalau pada gak terima sama menantuku) ucap kakek itu sambil tertawa hingga
membuat Hardi yang tegang tadi ikut tertawa bersamanya.
Mereka berdua kembali ke ruangan, Mbak Sri terlihat sedang berbaring sambil bermain dengan Timur. Kepalanya diperban, bibirnya sedikit sobek dan memar.
"Dek... " panggilnya pada sang istri
Senyum mengambang diwajah Mbak Sri ketika menoleh kearah suaminya
"Ssst... Ini IGD jangan berisik" ucapnya berbisik sambil menempelkan telunjuknya pada bibir
Hardi mengangkat tubuh Timur, ia duduk di kursi lalu memangkunya.
"Tulung cerito kabeh dek, ono opo jane mau kok
awakmu iso ngene"
(Tolong ceritakan semuanya dek, apa yang sebenarnya terjadi tadi kok kamu bisa jadi gini) pinta Hardi pada istrinya sambil memeriksa bagian bagian tubuh istrinya yang luka
"Mau koncone Timur moro nomah mas (Tadi temannya Timur datang kerumah mas)
Bocah lanang sing matane picing siji. Deweke arep ngajak dolanan Timur nanging tak penging amergo Timur seh turu, kok malah ujug ujug mlompat nok raiku nganti geblak sirahku natap mejo. Mari iku aku rak ngerti maneh"
(Anak yang matanya picing satu. Dia mau ngajak Timur main tapi
aku larang soalnya si adek masih tidur, kok malah tiba2 dia lompat ke wajahku sampai kepalaku ngehantam meja. Abis itu aku gatau lagi) jelas Mbak Sri sambil menghela nafas panjang.
Hardi hanya diam mencerna kata kata istrinya itu. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.
Siapa anak itu? Apa ialah parakang itu? Apa dia juga yang setiap malam datang mengganggu untuk mengajak Timur main? Yang jelas anak itu pasti datang kerumah dan menyerang istrinya karena tidak terima mata batin Timur telah ditutup. Tunggu, apa ia juga yang mengirim ratusan jin
tadi? Apakah mungkin anak sekecil itu mempunyai ilmu hitam yang cukup kuat?
~
Sehari setelahnya Mbak Sri diperbolehkan pulang oleh dokter. Mereka kembali ke rumah kontrakan itu.
Didalam tampak organ dalam manusia yang kemarin dibawa Timur masih tergeletak dilantai,
bau busuknya menyebar dengan lalat dan semut berebut mengerubutinya. Mbak Sri kembali mual dibuatnya.
Mas Hardi segera mengubur benda itu dibelakang rumah. Lalu ia kembali masuk untuk membersihkan bekas darah di area meja, itu pasti darah istrinya. Ternyata lumayan banyak darah
yang istrinya keluarkan kemarin.
"Timur... " ucap seorang wanita tanpa tangan
"Hai Timur... " sapa seorang jin kepala kerbau
"Timur mari main" ajak seorang pria dengan leher yang hampir putus
Entah berapa sapaan yang Timur terima dari makhluk2 penunggu rumah itu.
Namun percuma, Timur tak lagi melihat maupun mendengar suara mereka.
Mas Hardi hanya menatap putrinya yang melamun didepan tv itu. Anaknya seakan kesepian karena kehilangan banyak teman bermain.
Disana tampak seorang wanita tua seusia ibu mertuanya yang sedang menggandeng anak laki laki dengan mata picing sebelah. Aura itu aura yang dikenalnya, sama seperti makhluk hitam yang dilihatnya sepulang dari perkelahian kemarin.
Senyum sinis terpampang nyata di wajah yang mulai keriput itu
"Siapa kau!" tanya Hardi yang masih memegang gagang pintu
"Aku yakin kau tidak bodoh, sudah menerima hadiahku?" wanita itu malah balik bertanya
Hardi terkejut mendengar ucapan wanita itu, kelopak matanya membuka
lebih kebar hingga melotot.
"Oh jadi kamu makhluk gila yang mencari perkara denganku" ucap Hardi yang terlihat mulai emosi
"Kau juga yang semalam mengundang jin jin itu untuk menantangku bukan? Aku tahu maksudmu perempuan bangsat!" gertak Hardi dengan wajah merah padam
"Jadi apa kau mau berbesanan denganku?" kedua alisnya terangkat menanyakan persetujuan Hardi
"Keparat kau! Cepat pergi jangan sekali kali berani mengganggu keluargaku!" bentak Hardi pada wanita itu
"Kuanggap kau setuju Hahahaha" ucap wanita itu sambil menarik tangan putranya
"Dada Timur.. " anak laki laki itu menatap Timur yang berada di ruang tv
Timur hanya menoleh sejenak, ia tak mengucap sepatah katapun lalu kembali menatap tv di depannya.
Akhirnya anak lelaki itu dan ibunya pulang.
Hari itu juga Hardi membawa Timur dan istrinya ke rumah mertuanya.
~
Di ruang tamu, mertua Mas Hardi tengah menyesap rokok yang ia selipkan diantara jemarinya,
"Munduro ko gaweanmu, balio nok jowo. Sementara Timur karo Sri ben neng kene"
(Mundurlah dari kerjaanmu, pulang ke jawa. Sementara nunggu urusanmu selesai biar Timur dan Sri tidur disini)
ucap ayah mertuanya.
Hardi mengangguk setuju, ia ingin segera pulang ke jawa.
Tiba tiba Timur berjalan kearahnya lalu memeluk tubuh ayahnya
"Timun cedih yah" kata kata dari bibir mungil itu
membuat Hardi ikut bersedih
"Timur kenapa nak?" tanyanya
"Atit yah dicini" ucapnya sambil menunjuk dadanya
"Timun pengen ngis teyus"
(Timur pengen nangis terus) ia kemudian menangis didekapan ayahnya.
Entah apa yang terjadi, Hardipun bingung dengan kondisi ini
Apakah ini efek dari tertutupnya mata batin Timur? Mengapa bisa terjadi? Seharusnya anak itu baik baik saja, tetapi mengapa ia terus mengeluh hatinya sedih?
Kakek Timur pun angkat bicara
"Di Hardi, cucuku ini beda dari bocah lainnya, ya nduk ya"
"Hatinya pasti ngerasa kosong
sekarang karena kamu tutup paksa" timpalnya
Hardi hanya menunduk memandangi putrinya yang masih saja menangis.
Malam itu hanya Hardi seorang yang pulang kerumah. Ia masuk dan menemukan dua orang tengah berada didalam sana, wanita dan anak kecil yang tadi siang mengunjunginya.
"Mau meresmikan hubungan keluarga kita" ucapnya dengan senyum yang menyeramkan
Tiba tiba saja ada satu orang lagi yang berada dibelakangnya, seorang pria yang dulu mengaku sebagai tuan rumah ini.
"Bunuhlah mereka, kumohon. Aku pun geram karena merekalah penyebab
Bayiku mati dan istriku bunuh diri dulu" ucap lelaki tua itu.
"Hei kakek tua kenapa kau menggangguku lagi? Harusnya saat ini aku tengah menyesap ilmu menantuku agar aku kembali muda"
Hardi mulai merasa geram
"Kau salah menilaiku, kau kira aku orang biasa yang bisa dengan
mudah kau kalahkan? Akan kutunjukkan padamu" ucap Hardi yang segera meraih kepala wanita itu lalu membenturkannya ke tembok hingga pecah tak karuan
"Kau juga mau kakek tua?" tawarnya kepada pemilik rumah itu yang segera menghilang.
"Ternyata parakang cuma hantu biasa"
"Kukira karena auranya berbeda ia akan sulit dikalahkan. Cih, tak ada seujung kukupun aku mengeluarkan tenaga"
Dipagi harinya ketia ia hendak berangkat ke kantor untuk mengurus pengunduran dirinya, di depan rumahnya banyak ibu2 yang sedang bergosip mengenai tetangga mereka
yang meninggal tiba tiba dengan tengkorak yang rusak dari dalam. Hardi hanya menyapa dan segera pergi ke tempat tujuannya.
Seminggu berlalu, setelah memesan tiket pesawat, Hardi bersama anak dan istrinya bersiap untuk pulang ke jawa. Ia bergegas pulang demi menghindari
serangan balasan yang mungkin dilayangkan oleh suami wanita parakang itu. Mungkin memang wanita itu adalah seorang yang ilmunya gagal, namun suaminya? Ia adalah dukun hebat yang bisa kapan saja menyerang Hardi jika Hardi masih saja berasa di wilayah kekuasaannya.
Mereka bertigapun pulang dan menjalani kehidupan biasa dijawa.
2019
Mas Hardi yang sekarang dipanggil Mbah Gareng membuka banyak usaha di salah satu daerah Jawa Tengah
Timur sejak kecil bersahabat dengan Damar hingga sekarang, karena rumah Timur berdekatan dengan Eyang Parwoto
Bisa dibayangkan sendiri tingkat kelebihan Timur saat ini? Saya mungkin tidak perlu menjelaskan
*Note
Sorry Qia gakuat lagi ngelanjutin ceritan Timur waktu diluar jawa, serius. Sebenarnya waktu sebelum kepulangan ke jawa sekitar 3 bulanan, tp Qia skip karna gamau berlama lama jelasin tentang hal hal diluar jawa. Udah pokoknya gamau lagi, yang jawa jawa aja 😣
Serius Qia ngerasa berat cuma karena cerita biasa ini gaboong. Banyak banget gangguan yang bikin parno.
Mohon dimaklumi, jika memang kalian berkehendak mungkin thread kali ini bakal Qia hapus
Terimakasih
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pantas saja selama ini Septi dan Juni tidak sadar tengah diikuti olehnya.
“Mau dia apa pak?” tanya Juni
“Kenapa kamu gak tanya sendiri saja langsung?” jawab pria itu
“Saya aja baru tau hari ini kalo ada dia pak, saya yakin dia bakal kabur kalo kita dekati" jelas Juni
“Oh iya pak, semalam ada yang merasuki Merry, tapi saya gatau itu siapa, dia langsung pergi waktu saya coba sadarin Merry" sambung Juni
Pak Adi diam mendengarkan cerita Juni yang panjang lebar, ia mencoba menyambungkan kepingan demi kepingan kemungkinan.
“Keponakanmu jadi aneh bahkan sampai bisa kerasukan? Rumahmu jadi ramai? Dan sekarang ada dia?” tanya Pak Adi kembali sembari melirik makhluk yang masih bersembunyi tadi
Juni membenarkan semuanya, ia pun bingung karena belum terlalu berpengalaman, ibarat kata ia masih balita.
Sebelumnya, sebagai penulis cerita saya secara pribadi memohon maaf apabila ada ketidak nyamanan atau ketidak menarikan dari cerita ini. Mungkin saja cerita tidak sesuai dengan selera pembaca karena tidak sepenuhnya mengangkat kisah yang berhubungan dengan hal spiritual.
Thread kali ini adalah lanjutan dari cerita Rusin. Namun berfokus pada kisah hidup salah satu tokoh. Mohon kebijakan dari para pembaca untuk tidak meniru atau terinspirasi melakukan tindakan tindakan yang tidak terpuji dalam tulisan tulisan dibawah ini.
Jujur penulis tidak serta merta mengalami langsung hal hal yang ditulis saat ini. Cerita didapat dari salah seorang yang mengetahui persis kejadian tersebut, dan memiliki akses kepada orang terdekat pemilik cerita.
Rusin hanya sebuah nama, tak ada makna khusus didalamnya. Rusin merupakan seorang anak ke 12 sekaligus anak pertama yang dilahirkan seorang wanita yang memiliki garis hidup tak seperti orang kebanyakan.
Please Like and RT agar penulis bisa terus berkarya.
//Kisah Lama//
Halo? Lama saya tak menyapa kalian semua dengan karya tertulis.
Dan kali ini saya berkesempatan kembali untuk membagikan kisah lama yang pribadi saya alami tahun silam.
.
.
Tidak perlu dijelaskan lagi kalian pasti sangat tahu tentang latar tempat karena jelas tertera pada judul diatas.
Oke tapi intinya, stori ini gaakan berpusat keseluruhan pada benteng tersebut.
Happy Sunday readers
.
.
Kali ini Qia belom bikin thread horror lagi soalnya masih masa masa refreshing, huhu maapkeun 🙏🏻
Sebagai gantinya Qia mau kasih info penting buat kalian. Dibilang penting tapi gak penting penting amat juga sih. Tapi Qia niat banget share ini, oke lanjut.
Jadi ini soal kalian para istri, bumil, calon ibu, selingkuhan, pacar yang bentar lagi married atau apapun ajalah.
Juga buat mas mas yang suatu saat nanti menikah, bapak bapak, om om, sugar daddy, eeeeh.
Pokoknya kalian semua yang sudah dewasa untuk memikirkan "have a baby".
Sebelum kalian baca lebih lanjut, Qia mau ngingetin nih, terserah kalian mau percaya mau meyakini atau nggak cerita ini. Mau bilang myth or fact pun terserah. Ok?