, 295 tweets, 46 min read
My Authors
Read all threads
BENTENG PENDEM

.
.
.

.
-sebuah utas pendek-

#bacahorror @bacahorror
#ceritaht @ceritaht
#memetwit @InfoMemeTwit
#cemara @Cemara_OFC

Please Like and RT agar penulis bisa terus berkarya.
//Kisah Lama//

Halo? Lama saya tak menyapa kalian semua dengan karya tertulis.
Dan kali ini saya berkesempatan kembali untuk membagikan kisah lama yang pribadi saya alami tahun silam.

.

.
Tidak perlu dijelaskan lagi kalian pasti sangat tahu tentang latar tempat karena jelas tertera pada judul diatas.

Oke tapi intinya, stori ini gaakan berpusat keseluruhan pada benteng tersebut.
Demi kenyamanan, Qia bakal nambahin improv dan beberapa penyesuaian rekonstruksi biar lebih mudah dipahami.
.
.
.
Let the story begin...
Malam itu adalah minggu kedua masa liburan sekolah. Beberapa anak muda duduk mengitari meja yang ada di halaman sebuah cafe.

Mereka semua berkumpul untuk menghabiskan waktu karena hanya mereka yang jarang sekali pergi liburan, tidak seperti anak lainnya.
"Bosen aku, kapan yo iso jalan jalan" keluh Rahmat sambil membuka kulit kacang yang ada di depannya

Kawan kawannya hanya terdiam menengok ke arahnya

"Emang lu ada duit?" tanya Lala sambil tersenyum kecut

Lala adalah satu2nya anak pindahan dari daerah Jawa Barat diantara mereka
"Yo gaono La"
(Ya gaada La) jawab Rahmat malu

Mereka semua tertawa mendengar jawaban jujur Rahmat

"Piye? Melu aku a kesok nok wene Pakdheku?"
(Gimana? Besok ikut aku kerumah Pamanku?) sahutku menawarkan

"Ngendi Qi?"
(Kemana Qi?) tanya Lala padaku
"Ngetan yoh, rodo adoh"
(Ketimur, agak jauh) jawabku segera

"Piye te ono sing melu tara?"
(Gimana ada yang mau ikut ngga?) tawarku kembali pada mereka semua

"Sopo ae ki, aku ayo ayo ae"
(Siapa aja nih, aku iya iya aja) ucap Wanda yang antusias

Anak lainnya menolak ikut dengan
berbagai alasan

"Aku rewang pak e ngamplas cuk"
(Aku bantuin bapak ngamplas nih)

"Aku raisok, makku okeh pesenan panggang"
(Aku gabisa, ibuku dapet banyak pesanan ikan asap)

Ya begitulah kira kira alasan mereka. Hingga hanya terkumpul empat orang yang setuju untuk berangkat.
Malam itu juga kami berempat mendiskusikan rencana perjalanan tersebut. Sepulang dari cafe, mereka masing masing meminta ijin ke orangtuanya untuk melakukan perjalanan esok hari.

~

~
Pagi harinya, ketiga kawanku itupun berkumpul dirumahku. Karena mungkin liburan kami akan memakan waktu beberapa hari, akhirnya banyak sekali barang bawaan yang kami persiapkan.

Berempat, berangkat pada sekitar pukul 10.00 WIB menggunakan dua buah sepeda motor yang tentunya
milik Rahmat dan Wanda.

Rahmat berboncengan dengan Lala, sedangkan Wanda denganku.

Kurang lebih lima jam perjalanan telah kami lalui dengan beberapa kali istirahat di rest area pom bensin. Tibalah kami di tempat tujuan. Rumah Pakdhe tentunya.
Udara panas yang sedari tadi mengiringi laju kendaraan kami kini mulai sedikit teduh karena rindang pohon yang berjejer disepanjang jalan menuju kesana.

"Omae melbu kono, motormu kirne celak warung kene ae yo"
(Rumahnya masuk kesana, motormu taruh deket warung sini aja ya)
Perintahku pada Wanda, ia hanya mengangguk. Mungkin lelah karena seharian ia yang menyetir.

Kami berbelok, memasuki halaman luas sebuah rumah, nampak sebuah warung kecil berdiri di halaman depan.

Wanda menghentikan laju motornya, diikuti oleh Rahmat. Ia memarkirkan motornya
tepat di sebelah warung.

Aku berjalan mendahului mereka, menuju ke pendopo rumah lalu melangkah lebih dalam ke pintu depan

*tok tok tok*

"Assalamualaikum" ucapku agak keras agar seseorang di dalam rumah mendengarnya jelas
"Waalaikumsalam" jawab seorang wanita sambil membukakan pintu

Matanya terkesiap menatapku, senyum sumringah nampak jelas diwajahnya

"Lho Nana, ya Allah nduk kapan olehmu budal kok rak telfon Budhe sek toh sayang"
(Lho Nana, ya Allah nak kapannkamu berangkatnya kok ga telfon
Budhe dulu toh sayang) sambut wanita yang ku panggil Budhe tersebut

Aku memeluknya hangat, ia menengok ke depan. Disana ada Lala, Wanda dan Rahmat yang tersenyum padanya.

"Ayo Mas Mbak silahkan masuk, jangan sungkan sungkan" ajaknya pada mereka bertiga dan berjalan menghampiri
untuk menyalami mereka.

Kami semua duduk di ruangan dalam, teman temanku itupun terlihat menengok kesana kemari mengamati setiap detil rumah ini, aku hanya tersenyum melihatnya.

"Kenopo? Pengen a?" tanyaku

Seketika mereka semua mengalihkan pandangan menatapku, lalu meringis
"Unik ya rumah jati" ucap Lala
"Aku baru kali ini loh ke rumah yang modelannya kaya gini"

"Kayune kandel hek e ra"
(Kayunya tebal ya kan) ucap Rahmat pada Wanda

"Iyo, wah larang iki. Copoti siji piye hahaha"
(Iya, wah mahal ini. Gimana kalo kita congkel satu hahaha) canda Wanda
*Hngggggh*

Tetiba terdengar geraman dari balik dinding kayu tersebut, mereka pun tensentak kaget dan beringsut mundur.

Aku yang melihatnya pun tertawa terbahak bahak hingga hampir tersedak

"Hahaha mulo lek guyon ati ati goblok, jok nglantur, lemes nganggur koe mengko hahaha"
(Makanya kalo bercanda hati hati jangan sembarangan ngomong, lemes nganggur kamu nanti hahaha) ucapku pada mereka berdua yang tampak masih kebingungan.

Hari itu kami bermalam dirumah Pakdhe, kedua anak Pakdhe sedang tidak ada dirumah memang. Jadi suasana disana lumayan sepi.
Kedua orangtua itu memang sangat sayang padaku, merekapun menyambut hangat ketiga teman yang kubawa kesana.

Malam itu kami habiskan dengan berbincang bincang sambil bergurau bersama di pendopo rumah. Pakdhe banyak menceritakan kisah kisah yang ia miliki kepada kawan kawanku.
Cerita yang bahkan sudah kudengar ratusan kali hingga hampir hafal setiap detilnya.

Budhe menyuguhkan banyak sekali makanan dan cemilan hingga kami semua betah berlama lama disana, tiada rasa kantuk yang berani hinggap.

Hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 3 pagi.
Aku membuka suara perihal niatku untuk mengajak ketiga temanku itu pergi ke kabupaten sebelah pada Pakdhe. Ia menanyakan hendak kemana tujuan kami

"Hm ate nok benteng Pakdhe, ketone apik nggo foto"
(Hm mau ke benteng Pakdhe, kayanya bagus buat foto) jawabku antusias
Pada Pakdhe aku memang hampir tidak pernah berbicara menggunakan bahasa formal apalagi krama, karena mereka sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri.

"Yakin po? Gak misan seng adoh wae (gak sekalian yang jauh aja) hahaha" ujar Pakdhe cengengesan

-slowupdate-
Kami berbincang panjang lebar mengenai rencana itu. Pakdhe hanya mengiyakan, ia memberikan pesan pesan yang sekiranya harus kami ingat saat bersikap disana nanti.

Keesokan harinya, kami tidak langsung pergi merealisasikan rencana perjalanan semalam.
Pakdhe meminta kami berempat untuk menginap satu malam lagi karena mengkawatirkan kesehatan kami, tidak baik jika terlalu menghabiskan tenaga hanya demi liburan.

Budhe mengajakku serta Lala berkeliling dusun, dan belanja ke pasar. Sedangkan Wanda dan Rahmat membantu Pakdhe panen
singkong dan pisang di kebun belakang rumah.

Tak terasa seharian kami lalui dengan senang hati karena telah lama tidak merasakan damainya hidup di pedesaan.

~

~

Esoknya,

"Na, meneo nduk (kesini nak)" panggil Pakdhe padaku yang tengah berkemas dikamar
"Gimana Pakdhe?" tanyaku yang berjalan keluar kamar menghampiri tempatnya duduk

"Hm, gowoen"
(Bawalah) ucapnya sambil menyodorkan sebuah benda kecil berwarna hitam legam padaku, ya bisa kutebak benda apakah itu.

"Kangge nopo Pakdhe?"
(Buat apa Pakdhe?) tanyaku yang tak segera
meraihnya

"Hadiah hahaha, wes gede, jajalo gowo mrono"
(Hadiah hehe, kamu udah besar, cobalah bawa kesana) ujarnya sambil terkekeh

Aku hanya mengernyitkan dahi, bingung dengan apa yang Pakdhe maksudkan. Aku tahu betul benda itu memiliki penunggu didalamnya.
Namun nyatanya aku tak pernah benar benar tahu apa kegunaan maupun apa yang kemungkinan bisa diperbuat olehnya.

Aku mengambilnya begitu saja tanpa pikir panjang, lalu bergegas memanggil anak anak untuk sarapan dan segera berangkat.

Kami semua berpamitan dan memulai kisah yang
tak terlupakan ini.

Google Maps, itulah satu satunya penunjuk jalan kami. Aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan tersesat, karena memang diantara mereka akulah yang paling andal membaca gambaran wilayah. Dan tibalah kami di kabupaten tujuan, salah satu kabupaten yang
memangku Gunung Lawu. Gunung yang katanya mempunyai telinga dan bisa mendengar keluh kesah kalian.

Hampir tiga jam perjalanan kami lalui tanpa istirahat, bisa dibayangkan betapa lelahnya kami saat itu.
Menuju pusat kota, dan segera menuju food court di alun alun. Mungkin sekitar dua jam kami habiskan untuk makan siang dan keliling alun alun.

Akupun kembali mengajak mereka untuk bergegas menuju tujuan utama kami, ya, benteng tua yang tidak jauh dari sana.
Menuju kurang lebih 1 Km ke arah timur laut. Begitu memasuki area tersebut, entah mengapa perasaanku mulai tidak nyaman.

Terlihat pintu gerbang kompleks batalyon dengan beberapa petugas yang berjaga.

Setelah memarkirkan kendaraan. Kami mulai melangkahkan kaki
memasuki gerbang utama. Tampak bangunan yang sangat tua dengan tembok temboknya yang sudah mulai terkelupas, memang konon katanya benteng ini mulai tidak terurus setelah tidak lagi menjadi markas tentara yang menempatinya pada tahun 1962.
Bau khas tembok tua, hm sangat khas di indera penciumanku ini, penuh debu, sedikit berlumut dan berpasir.

"Piye? Ate mencar ta gambul wae"
(Gimana? Mau berpencar apa barengan aja) tanyaku pada mereka semua

Lala seketika menggandeng tanganku erat, ia mungkin merasa seram
Aku hanya menepuk pundak Lala seraya menenangkan.

"Yowes lungao Nda, Mat, aku karo Lala tak niseh"
(Yaudah pencar Nda, Mat. Aku sama Lala biar nyisih bentar) ucapku pada mereka berdua

"Lha ngopo to Qi, wes njarne barengan wae cek gak kangelan lek goleki"
(Kenapa sih Qi, dahlah bareng bareng aja biar gak susah nyarinya nanti) keluh Rahmat

"Nyangkemo, wes toh mbok ndang mrono"
(Bacot ah, dah cepetan pergi sana) gerutuku pada Rahmat

Wanda pun segera merangkul bahu Rahmat dan menggeretnya menjauh.
"Piye? Ono opo?"
(Gimana? Ada apa?) cecarku pada Lala setelah memastikan Wanda dan Rahmat agak jauh

"Gua tiba tiba dapet Qi, gimana nih deres banget lagi" jelas Lala padaku

Aku menatapnya kesal

"Lah goblok. Kalo udah tanggalnya ngapain ga pake popok. Dasar" gerutuku padanya
"Maju Qi, gua juga mana tau kalo tiba tiba begini. Lu bawa cadangan ga?" tanyanya gelisah, meskipun saat itu kami berdua menggunakan jeans hitam tapi tetap saja aku paham bahwa bahaya membiarkan seseorang yang tengah nggarap sari sembarangan memasuki tempat angker.
"Udah udah, ayo cari wc umum, pake aja kaos kaki gua sementara" perintahku pada Lala

Kami berdua pun berjalan kearah depan dan menanyakan wc kepada salah seorang petugas.

Sampailah di wc, aku hanya menunggunya didepan wc sambil sesekali mengobrol dengannya
"Cepetan ya jan kelamaan" ucapku

"Mana sih kaos kaki lu, kaga ada. Eh tp ada kain ga kepake nih gua pake ya" ujar Lala dari balik pintu. Memang saat itu tasku dibawanya kedalam kamar mandi

Kain? Kain apaan? Padahal aku kan nyuruh dia pake kaos kaki, mana ada kain disitu
Tapi yaudahlah, tiada kecurigaan sama sekali di benakku saat itu. Akhirnya aku hanya mengiyakan ucapan Lala. Mungkin itu potongan kain yang tidak sengaja terselip ditasku, pikirku.

-lanjutbesok-
Lala keluar dari kamar mandi

"Udah? Ayo gih cepetan gua pen keliling" ajakku pada Lala

Memang selama berada disana perasaanku sudah mulai tidak nyaman, namun semua kuanggap kebetulan karena memang ini adalah bangunan tua yang pastinya memiliki banyak "penduduk"
Aku memang bukan anak indigo, bukan seperti mereka yang bisa dengan jelas melihat keberadaan makhluk lain.

Hanya saja, sangat peka, dan terkadang bisa komunikasi dengan mereka yang cukup kuat untuk mengajakku bicara.

.
Kami berdua berkeliling benteng, sembari mencari keberadaan Wanda dan Rahmat.

Saat langkah kakiku kembali memasuki gerbang utama, entah mengapa terasa seperti ada sesuatu yang menyambut kami.

Semilir angin dengan hawa dingin tetiba melewati tubuh kami, merinding.
"Qi lu ngajak kita kesini niat liburan apa mau petualangan mistis sih bangsat. Kok serem amat" keluh Lala padaku yang berjalan disampingnya

Kebetulan saat itu suasana di benteng memang agak sepi, hanya ada beberapa wisatawan yang sedang berswafoto diarea dalam.
"Dahlah diem, ayo cepetan foto foto trus balik" ucapku padanya yang tampak menahan perasaan ganjil.

Akhirnya kami mengambil beberapa gambar diri disana. Kami pun berjalan ke salah satu area yang cukup teduh untuk menghindari sinar matahari siang itu.
Tetiba beberapa benda mengenai kepalaku dan Lala hingga jilbabku dan rambutnya pun nampak kotor. Reruntuhan, ya runtuhan dari lantai atas. Kami terkejut dan berlari menghindar meskipun kepala ini telah merasakan sakit akibat serpihan semen semen tua itu.
Suara kejut terdengar dari atas. Suara yang familiar, benar saja ternyata itu suara Rahmat yang salah satu kakinya terperosok disana. Kami yang tercekat pun segera berlari mencari anak tangga yang mengarah ke lantai atas itu.
Kurang lebih areanya persis seperti ini, namun maaf Qia sudah agak lupa lokasi tepatnya.

Dan satu kaki Rahmat menggantung disana, ia berusaha menahan badannya agar tidak membuat retakan lebih besar. Dan Wanda memegangi tubuh kawan kami itu dengan sangat kuat.
Kami menemukan tangga menuju atas yang kami cari, seingatku ada di sebelah kanan.

Tangga yang membelok, dengan panjang tiap anak tangga kurang lebih 3m. Bisa membayangkannya kawan?

.

.

Aku dan Lala berjalan pelan menuju Rahmat di sebelah kanan kirinya dan mencoba membantu
Wanda untuk menarik Rahmat.

Berhasil, lega, sangat sangat lega. Untung saja saat itu keadaan disana masih sepi sehingga kami tidak membuat keributan.

"Jancuk mulo ojo pethakilan"
(Makanya jangan petingkah) bentak Wanda yang terlihat masih berusaha mengembalikan ketenangannya
Ia menghujani Rahmat dengan segala kalimat kasarnya. Rahmat mau tak mau hanya diam mematung mendengar ucapan itu. Ia pun nampak sangat syok karena hal tadi.

Lala tampak menangis, entah apa yang ada di benaknya, ia tiba tiba mengeluarkan air matanya begitu saja.
Wanda segera meraih tangan Lala dan mengajaknya untuk turun, sedangkan aku membantu Rahmat berdiri dan membersihkan kotoran kelelawar yang menempel di bajunya.

"Badeg Mat, piye iki lenyek kabeh"
(Bau Mat, gimana nih lembek semua lagi) ucapku sambil menahan mual
Memang di lantai atas banyak sekali tai kelelawar dengan bau tidak sedap berceceran memenuhi lantainya.

"Mbuh Qi, weslah gakpo yok mudun"
(Gatau ah Qi, dahlah gapapa ayo turun) ajaknya padaku

Akhirnya kami berdua ikut turun menyusul Wanda dan Lala.
Ternyata mereka tengah duduk di dasar tangga, nampak Lala tengah memegang botol minuman di tangannya, sesekali ia mengusap pipi dan matanya.

Wanda memang tidak banyak bicara, ia lebih sering berdiam dan melakukan apapun tanpa perlu bicara lebih dulu.
Pria itu duduk terdiam memandang Lala yang masih sesenggukan.

Rahmat dan aku menghampirinya. Aku mengajak untuk kembali berkeliling, agar mencairkan suasana canggung itu.

.

.
Akhirnya kami menuju sisi kiri benteng, disitu terdapat ruangan tergembok. Ruangan yang tidak ditutup oleh semen dan bata seperti ruangan lainnya, melainkan hanya jeruji besi dengan rantai besar dan gembok terkait disana.
Aku mulai merasakan sesuatu mendekati kami, sesuatu yang cukup kuat, entahlah sampai sekarang akupun tak tahu makhluk apa itu. Ia hanya berdiri persis dibelakang kami, sangat sangat terasa jelas olehku.

Kami hanya bisa mengintip ruangan yang terlihat seperti penjara itu.
Apa bau yang biasanya tercium di area seperti itu? Darah? Anyir? Busuk? Atau bau apapun yang identik dengan "mereka"?

Bukan, entah kenapa saat itu bukan bau bau tersebut yang hinggap di penciumanku, justru bau peluh. Keringat seperti memenuhi ruangan itu.
Bau keringat yang sangat menyengat, paham maksudku? Harus.

Aku merasa tidak betah berada disana, mual, jijik dengan bau keringat itu pastinya. Akhirnya aku meminta mereka untuk kembali berkeliling mencari spot foto di area belakang.
Bukannya berjalan ke arah belakang, Lala justru membelokkan langkahnya, semakin jauh ke area kiri benteng. Sampailah kami di tempat yang terlihat cukup mengerikan.

Kira kira seperti ini persisnya, bulu kudukku pun mulai menunjukkan eksistensinya. Merinding...

Pict from google
Lala bersikeras meminta untuk mengambil gambar di area itu. Mau tak mau kami harus menurutinya, saat itu juga aku mulai merasakan keanehan dari gelagat Lala, entah sejak kapan ada aura sesuatu yang menempel padanya.

Dasar aku, bodoh memang karena tidak mampu melihat "mereka"
Aku hanya diam, mencoba untuk tetap berpikir positif dan tidak ikut berfoto bersama mereka.

Akupun mencoba mengajak mereka untuk pindah dari tempat itu dengan tergesa.

Terlihat masam wajah Lala menampakkan rasa kesal, kelihatannya ia ingin berlama lama berada disana.
Kami berjalan menuju dataran tanah yang lebih tinggi diarea belakang benteng. Disana terdapat sekitar 2 atau 3 buah pohon seingatku.

Beristirahat sejenak sambil menikmati makanan ringan yang kami bawa dibawah salah satu pohon.

Tetiba telingaku menangkap suatu suara,
Aku menengok kesana kemari mencoba untuk mencaritahu darimana asal suara itu. Tapi aneh, aku tidak bisa menerka darimanakah sumber bunyi itu.

Rahmat, Wanda dan Lala terlihat mengobrol, aku yakin pasti mereka tidak mendengar suara itu sama sekali.
Sayup sayup suara tawa seorang anak terus menerus terdengar. Terdengar pula seseorang tengah berkidung dengan lembut, juga suara gamelan yang terdengar sangat samar dari kejauhan.

Apa ini? Semua suara itu berasal dari arah yang berbeda dan terasa amat jauh. Aku hanya berusaha
untuk tak lagi menggubrisnya.

Wanda mengajak untuk mengunjungi dua makam yang katanya berada di sekitar benteng ini, namun aku menolaknya. Sudah cukup bagiku menikmati kesan kesan dari mereka.

"Yowes ayo bali"
(Yaudah ayo pulang) ajak Rahmat pada kami
Aku mengangguk, begitupula Wanda yang segera berdiri dan mengulurkan tangannya pada Lala.

"Tangio, moleh"
(Bangunlah, pulang) ucap Wanda pada temanku itu

"Aku ngantuk Nda, istirahat bentar napa sih" keluh Lala yang justru merebahkan badannya di tanah
"Mau pulang jam berapa lu goblok. Kalo kesorean ntar bahaya lewat hutannya malem malem" ucapku padanya

"Yaudah lu turun duluan, jajan gua belom abis. Ntar gua susul, tungguin di parkiran yak" ujar Lala pada kami bertiga

Kami pun mengiyakannya tanpa pikir panjang.
Kami bertiga menuju parkiran dan menunggu Lala sekitar 15 menit di sana.

Wanda dan Rahmat duduk di motor masing masing, sedang aku duduk di bahu jalan sambil mencoba menelfon orang orang dirumah untuk mengabarkan keadaanku.
*Ehmmm*

Terdengar suara orang berdehem disebelahku, aku tahu tiada siapapun disana.

*Fuuuh*

Kali ini tiupan mendarat di tengkukku, tiupan yang cukup keras hingga terasa menembus jilbab yang ku kenakan.

Aku masih diam tanpa menengok, hanya mataku saja yang melirik kearahnya.
Tentu saja kosong, memang mataku tak mampu menangkap sosok mereka.

"Sopo?"
(Siapa) ujarku membuka pembicaraan dengannya dalam diam

Ia hanya diam, tak menjawab. Sejenak kemudian ia menjawabku dengan kalimat yang aneh, entahlah bahasa itu tidak ku mengerti.
Namun terdengar tidak asing, pastinya bukan bahasa jawa yang biasa dipergunakan orang orang saat ini. Namun yang bisa kuingat hanya sepenggal kata "Amowo agni"

Entah apa artinya akupun tak tahu menahu.

Sesaat kemudian Lala muncul, berjalan keluar dari gerbang utama.
Ia mengangguk kepada kami, isyarat bahwa ia mengajak bergegas untuk pulang.

Siang itu langit nampak mulai menghitam, awan gelap menyelimuti seisi kota.

Kami bersiap untuk pulang, mengambil jalur yang sama seperti jalur kami berangkat tadi.
Jalur N***I - B*N, sejenak kepulangan kami tiada hambatan, namun tidak ketika tiba tiba kami dibuat tersesat kualahan oleh "mereka".

"Qi, awakmu kroso aneh tara? Kawit mau kenopo mendunge rak mari mari nganti awak dewe tekan kene"
(Qi kamu ngerasa aneh gak sih? Daritadi kenapa mendungnya gak berhenti ngikutin kita) ucap Wanda tiba tiba ketika kami mulai memasuki daerah W**u J**o

Matanya menatap tajam jalanan, sesekali ia melirik ke spion dan ke langit. Ya, akupun merasa ada yang janggal.
Ada yang janggal dalam perasaanku, aku mengangguk mengiyakan ucapan Wanda.

"Iyo Nda, sek wes sementara batin wae"
(Iya Nda, yaudah sementara kita diam aja) ucapku padanya. Aku semakin erat memegang jaketnya.

Kualihkan pandanganku ke belakang, disana tampak masih ada
Rahmat dan Lala membuntuti tepat di belakang kami.

Tibalah kami di salah satu belokan, belokan ke kiri jika kita berkendara dari N***i.

*tiiiiiiiiiiit*

Suara klakson dari kendaraan berat mengejutkan kami. Ditambah lagi dengan sorot lampu jarak jauhnya yang menyilaukan mata.
Wanda segera membanting stang motornya kearah kiri, kini kami berada di tepi lajur kemudi kiri jalan. Syok, sangat syok hingga bibir kami terasa kelu tak mampu berucap.

Hampir saja kami tertabrak oleh kendaraan besar tadi, jika saja Wanda tidak sigap menanggapi situasi tersebut.
Belum teratur nafas dan detak jantung kami berdua, tiba tiba teringat dengan dimana keberadaan kedua teman kami.

Aku dan Wanda mencoba berusaha sekuat tenaga untuk berdiri, bertelusur pandang kesana kemari mencari Rahmat dan Lala.
Ternyata mereka ada di seberang jalan. Dengan motor tergeletak ditanah, Rahmat duduk memegangi salah satu kakinya yang terlihat berdarah. Sedangkan Lala, ia berdiri disebelah Rahmat dengan tatapan kosong seakan tidak terjadi apa apa.
Tunggu, tadi kami berbelok ke jalan yang tidak selebar ini. Sangat jelas bahwa kami sedang melewati daerah perbatasan dua kabupaten Jawa Timur itu.

Namun kenapa tiba tiba kami berada disini? Dijalan besar ini? Mengapa berada di lajur kanan jalan?
Bahkan hingga hampir mati tertabrak! Tak dapat dipercaya. Aku dan Wanda begitu kebingungan hingga kami berdua hampir menangis. Namun segera kami urungkan dan memilih untuk menghampiri Rahmat serta Lala diseberang sana.
"Mat!" panggilku sembari memegang kakinya yang terbujur itu. Aku segera mengambil air minum dan tisue basah dari tas untuk membersihkan luka dilututnya dengan seadanya.

Ia hanya sesekali mendesis perih.

"Opo maksute ngeneki kabeh?"
(Apa maksudnya ini semua?!)
Gertak Wanda yang nampak menahan amarah.

"Lha yo opo kene ngerti Nda, aku ya trimo ngetutne awakmu, kok ya moro moro mripatku ulap trus tekan kene mau. Aku kaget midak rem ndadak nganti babak bonyok ngene dengkulku"
(Kita juga gatau Nda! Aku ya cuma buntutin kamu dibelakang, kok tiba tiba mataku silau trus dah ada disini. Aku kaget, nginjak rem mendadak sampai jatuh luka kaya gini lututku) gerutu Rahmat sambil beradu tatap dengan Wanda, sedang aku hanya fokus membersihkan lukanya.
Rasa sedihku mulai pecah, di tepi jalanan yang terlihat gelap terbungkus mendung ini, air mataku nyatanya lebih dulu jatuh deras mendahului air hujan yang dibawa oleh iringan awan hitam dilangit kala itu.
Rahmat yang tak tega melihatku segera menekuk kakinya walau harus menahan sakit. Kini ia duduk bersila, tangannya menarik kepalaku yang tertunduk menutupi tangis kearah pundaknya. Didekapan itu aku menangis semakin menjadi

"Iso gak gausah emosi, sing keno apes ki ora gur koe su"
(Bisa gak gausah emosi, yang kena musibah itu bukan cuma kamu doang anjing) ucap Rahmat pada Wanda, baru kali ini Rahmat terlihat amat kesal hingga berani mengumpat Wanda

Ia masih memelukku yang terus saja menangis

"Wes Qi, menengo, kabeh gapopo kok. Ayo muleh, westoh slamet"
(Dahlah Qi, diam ya, gapapa semunya bakal baik baik aja. Ayo pulang, pasti bakal selamat kok) ucapnya menenangkan

Akupun menarik kepalaku dari bahunya, menyeka air mataku di wajah yang sudah tak karuan lagi ini. Kucoba untuk menghentikan tangis.
Akupun membantu Rahmat untuk berdiri, kini akulah yang membawa motor Rahmat, meskipun ia menolak aku tetap memaksa, lukanya pasti akan sakit jika ia memaksa untuk menyetir.

Rahmat dibonceng oleh Wanda, sedang aku membonceng Lala. Ada yang aneh, sejak awal pejalanan pulang,
bahkan ketika terjadi peristiwa seperti tadi, Lala sama sekali tidak bicara.

Aku membelokkan spion kiri menghadap Lala. Nampak remaja perempuan seusiaku duduk tepat dibelakangku. Ia menyadari bahwa aku menatapnya dari kaca spion, kami saling bertatapan dari sana.
"Lu kenapa diem aja daritadi?" tanyaku dengan mengerutkan dahi

Ia tampak menggeleng, hanya menggeleng tanpa mengucap sepatah katapun. Diiringi pula dengan senyum tipisnya dengan bibir yang tertutup rapat.

Kami mengendarai motor ke sembarang arah, karena cuaca mendung dan berada
di jalanan tengah hutan, kami pun tak bisa memastikan mana timur mana barat.

Tiba tiba kami melewati suatu tempat dengan patung besar berdiri tegak disana. Di tepi tepi jalan pun banyak berjejer warung templek.

*MONUMEN S*
Seketika aku tercekat setelah membacanya, mana mungkin kami yang tadinya jelas jelas berada di daerah W**U J**O bisa berada di daerah barat kabupaten itu.

Aku memelankan laju motor yang ku kendarai itu, kulihat jam yang menempel di pergelangan kiriku menunjukkan pukul empat sore
Bisa bahaya jika kami terlalu lama berada di area hutan ini pikirku. Kami terus saja berkendara hingga aku menepi karena lelah tak kuat lagi menyetir.

Maklum, tubuhku tidak tinggi, begitu pula dengan lenganku yang pendek. Mana mungkin bisa berlama lama mengendarai motor itu.
"Pegel toh? Mulo wes tak aku wae (makanya biar aku aja)" ucap Rahmat padaku

Kami sedikit berbincang saat bertukar posisi. Keheranan yang pastinya sama. Mengapa bisa kami berada disini dengan sekejap mata. Namun sementara kami kesampingkan pertanyaan mengenai hal aneh itu.
Kini kami fokus untuk cepat pulang.

Sekarang aku kembali dibonceng oleh Wanda, aku membuka maps walau dengan baterai yang mulai menipis. Kini perjalanan kami akan terasa panjang melewati daerah daerah yang bahkan belum pernah kami lewati sebelumnya untuk kembali ke daerah Pakdhe
Aku mengikuti segala petunjuk arah dari maps, namun lama kelamaan jalan ini terasa semakin aneh, bukannya semakin ke utara, kami justru terbawa ke arah selatan

-Bersambung-
Aneh, mengapa kami justru semakin menuju selatan. Padahal nyatanya aku membaca peta dengan sangat benar, mengikuti setiap alur jalan tanpa terkecuali. Tapi mengapa kami semakin mendekat ke arah sekitar gunung.

Hingga sampailah kami di dekat pasar suatu daerah.
Entahlah aku sudah agak lupa nama daerahnya, yang pasti jalan besar yang mengarah ke beberapa destinasi wisata di kaki gunung, ada beberapa air terjun dan kebun teh disana jika kami mau berkendara lebih jauh, mungkin sekitar 1 jam perjalanan.
Suara adzan maghrib membuyarkan pikiran kami. Aku segera menyuruh Wanda untuk berhenti di masjid terdekat. Akhirnya sampailah kami di sebuah masjid, kami bertiga menumpang mandi lalu menunaikan sholat disana. Lala hanya menunggu diluar pagar.
"Lala kenopo Qi kok ra melu melbu" tanya Wanda padaku

Aku hanya menjawab seadanya sambil mengenakan mukenah

"Biasa, lagi rusoh (sedang kotor)" jawabku

Orang orang yang baru saja masuk masjid mengembangkan senyumnya pada kami

"Monggo Mbak Mas" ucap mereka
"Inggih Pak nderekaken" jawab kami dengan sedikit menunduk hormat

Liburan yang kami rencanakan tidak berjalan sesuai rencana, mau tak mau kami harus bermalam disini sampai esok tiba.

Selesai sholat kami berjalan kaki ke salah satu warung untuk mencari pengisi perut kosong ini.
Disana hanya ada beberapa orang karena memang banyak yang masih berada dimasjid menunggu waktu isha tiba. Aku memesan makanan untuk empat orang, namun sang ibu pemilik warung kebingungan karena menurutnya kami hanya datang bertiga.
"Kok tumbas papat to dek, keleson ya? Hehe"
(Kok beli empat sih dek, kelaperan banget ya? Hehe) tanya ibu pemilik warung

"Lha tiang sekawan eg Buk, nggih enggal enggal"
(Namanya juga berempat Bu, ya buat masing masing) jawab Rahmat

Ibu itu tampak mengerutkan alisnya,
Matanya menelusuri sekeliling lalu kembali menatap kami

"Telu ngono lho kok papat to"
(Tiga gitu masa dibilang empat) ucapnya kembali tersenyum sambil menyiapkan makan untuk kami bertiga

Aku dan anak anak hanya saling bertukar pandang.
Tentu saja lagi lagi kami menyangkal dan mengatakan bahwa kami datang berempat, namun tidak lagi saat kami mencari keberadaan Lala. Satu temanku yang tadi masih ikut berjalan bersama kami menuju warung itu tiba tiba menghilang entah kemana.
"Loh loh Lala ngendi iki Mat?!" sentak Wanda yang pertama kali menyadari bahwa Lala tidak berada disana

Aku dan Rahmat yang tengah asyik mengunyah makananpun termangu sebentar mendengar perkataan Wanda itu, dan baru tersadar setelah ia mengulangi ucapannya

"Lala ilang!"
Kami bertiga panik dan segera berlari menuju masjid. Mencari keberadaan Lala namun nihil. Kembali ke warung, kami dibantu beberapa orang disana untuk mencari Lala, namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
Akhirnya salah seorang bapak bapak meminta kami untuk tetap tenang dan kembali melanjutkan makan, kami bertiga menurut.

Hingga selepas sholat isha banyak lelaki yang datang ke warung tersebut, kami menanyakan apakah mereka melihat keberadaan teman kami Lala.
"Nuwun sewu bapak bapak sedoyo, kala wau nopo wonten ingkang ngertos rencange kula sing setunggal malih mboten nggih?"
(Permisi bapak semuanya, tadi adakah yang tahu teman saya yang satunya lagi nggak ya?) tanya Rahmat, karena memang hanya aku diantara mereka yang tidak
bisa berbahasa krama, makanya aku lebih memilih diam. Biar mereka saja yang bertanya pada warga.

Namun mereka justru ikut bingung. Menurut mereka semua, sedari awal kami hanya datang bertiga, akulah satu satunya perempuan diantara kedua temanku.
"Bukane kawit mau sampean mung bocah telu yo mas"
(Bukannya dari tadi kalian cuma bertiga ya mas?) tanya salah seorang warga

Kami bertiga menggeleng, Wanda menjelaskan bahwa kami datang berempat.

Namun semua orang yakin dengan pasti bahwa kami datang bertiga.
Akhirnya aku menyadari dua kemungkinan. Pertama, entah itu benar benar Lala namun kini ia menghilang dibawa oleh sesuatu. Dan kedua, yang sedari tadi bersama kami bukanlah Lala, namun sesuatu yang menyerupai dirinya.

Aku menepuk Rahmat dan Wanda, isyarat untuk berhenti bicara.
"Permisi pak, bila diizinkan kami bertiga rencananya hendak menumpang tidur di masjid sini untuk satu malam. Soalnya keadaannya nggak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan pulang" ucapku meminta izin pada orang orang dihadapanku
Mereka semua berbaik hati memperbolehkan kami bertiga menginap disana, bahkan ibu pemilik warung menawariku untuk tidur dirumahnya saja, namun aku menolaknya dengan halus karena tidak ingin merepotkan.
Orang orang itu menanyakan asal kami, tujuan dan bagaimana kami bisa sampai disana. Semua kejadian dalam perjalanan kami ceritakan dengan sangat detil, bahkan saat kami yang awalnya berada di timur tiba tiba berada di wilayah barat dan menyadari hampir tertabrak.
Mereka semua nampak terkejut mendengar cerita kami. Namun mereka membenarkan bawasannya para penunggu hutan bagian barat dan utara itu memang terkenal senang menjahili manusia. Tapi tetap saja tak menyangka bahwa bisa bisanya kami disesatkan seperti tadi.
Setelah masjid kosong, hanya ada seorang marbot tidur disana, kami pun bersiap untuk ikut beristirahat.

Kami bertiga sepakat untuk tidak mencari Lala disekitar sini setelah mereka berdua mendengar perkataanku. Lebih baik esok saja kami kembali ke area benteng.
Pagi harinya, setelah berpamitan pada beberapa warga yang ada di masjid, kami kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Aku menelfon Pakdhe, ia mengatakan bahwa aku harus pulang memutar mengambil jalan kearah kota untuk menjemput Lala dan kembali melewati W**U J***O.
Entah apa yang ia maksudkan dengan menjemput Lala. Akankah Lala memang berada disana? Aku pun tak paham, tapi yang pasti kami harus menurutinya.

Sekitar sekitar satu jam kami lalui, akhirnya kami tiba di daerah pusat kabupaten itu. Kami kembali memasuki benteng kemarin.
Pikirku, itulah tempat yang paling mungkin bagi keberadaan Lala.

Seperti biasa, kami melewati pos jaga dan membeli karcis masuk. Disana ada salah satu petugas yang mengingat kami, ia ingat bahwa kemarin kami sudah kesini dan menanyakan kenapa kami kembali berkunjung.
"Lho wingi wes mari teko kene a dek?"
(Lho kemarin bukannya abis dari sini ya dek?) tanya orang itu

"Inggih Pak, dereng rampung motret e"
(Iya Pak, kemarin belum selesai fotonya) dalihku menutupi, sebenarnya kami agak khawatir bilamana nanti dicurigai.
Namun ternyata tidak.

Kami memarkirkan kendaraan lalu segera memasuki kawasan tersebut untuk mencari dimana Lala disembunyikan.

Semua rasa sedih kubendung jadi satu, aku tak mau membuat keadaan ini semakin terasa buruk. Yang terpenting sekarang Lala dapat segera kutemukan.
Kami berpencar mencari ke segala tempat, bahkan hingga area luar benteng. Namun tetap saja kami belum bisa menemukan dimana Lala disembunyikan.

Aku merasakan banyak sekali mata yang sedari tadi menatapku, banyak pula yang mengikuti setiap langkahku mengelilingi rumah mereka ini,
terasa sangat jelas. Persetan, aku tak peduli apapun asal temanku bisa diselamatkan.

Karena tak kunjung membuahkan hasil, akupun menelfon Wandra dan Rahmat, meminta mereka untuk berkumpul di area belakang tempat terakhir kami meninggalkan Lala.

"Piye iki, awak dewe kudu piye"
(Gimana nih, kita harus gimana) ucap Rahmat yang tampak menahan rasa sedihnya

Wanda hanya menggeleng, ia tampak sangat letih dan pasrah, merasa sangat tak berdaya dengan ini semua.

Kakiku terasa lemas, rasa laparku tak lagi ku pedulikan. Nyatanya aku kembali menangisi keadaan
kami yang sial ini.

*a]√:#.m*)!|^α<_{sr%€xz[>%{k¥π}*

Suara perbincangan seseorang terdengar olehku. Aku yang terkejut segera mencari asal suara itu. Wanda dan Rahmat yang terlihat panik melihatku tiba tiba bangkit dan lari tersentak dan ikut mengejarku.

Lala! Itu suara Lala!
Aku sangat mengenalnya meskipun suara itu sangat berisik tak jelas.

Aku berlari ke arahnya sambil menghapus airmataku. Sampai jatuh tersungkur lalu menggelinding karena aku tak semoat memperhatikan jalan yang ku lewati.
Sakit, rasanya sangat sakit. Namun semua itu tak lagi kupedulikan.

"Lala!..."

"Lala lu dimana La!..." teriakku amat keras hingga beberapa pengunjung menatapku aneh.

Wanda dari belakang segera membekap mulutku dengan tangannya dan menarikku bersama Rahmat.
"Ssst diem Qi, pelan pelan lu jangan teriak kaya gitu, jangan sampe jadi pusat perhatian" ucapnya yang entah kenapa tiba tiba menggunakan bahasa yang biasa kami pakai saat bicara dengan Lala

"Aku.. Aku mau.. Lala, Lala Nda, aku kru ngu sua rane Lala"
kataku mengatakan padanya bahwa aku baru saja mendengar suara Lala, sambil sesenggukan hingga kesusahan bicara.

Mereka kemudian mencoba menenangkanku sejenak.

"Ambekano sek Qi, wes ayo goleki maneh nek awakmu wes tenang. Aku moh nggoleki nek ijeh nangis ngene awakmu"
(Napaslah dulu Qi, nanti kita caru lagi kalo kamu udah tenang. Aku gamau nyari kalo kamu masih nangis gini) perintah Wanda tegas padaku

Rahmat memberikanku botol minum, kutenggak habis isinya hingga hanya tersisa setengah

"Lala gakpopo, sing yakin"
(Yakinlah kalo Lala gapapa) ucapnya sambil membersihkan jaket yang ku kenakan, nampaknya kotor oleh tanah sehabis terjatuh tadi

Setelah aku benar benar tenang, aku menyuruh mereka untuk diam.

"Menengo sek yo, aku tunggoni. Tak nggoleki Lala"
(Diam dulu ya, jagain aku. Aku mau nyari Lala) ucapku lirih pada kedua temanku itu

"Ape lapo si Qi?"
(Mau ngapain sih Qi?) tanya Wanda

Aku tidak menjawab pertanyaan itu dan segera duduk, menyandarkan tubuhku pada tembok lalu memejamkan mata.
Aku berusaha mendengar segala suara mereka kembali dan mencari suara Lala yang samar bercampur satu dengan suara mereka.

Lama aku mencarinya hingga sesuatu dengan aura mengintimidasi sangat besar menghampiriku. Ia mendekat perlahan kearahku...

-berlanjut-
Mataku masih terpejam, seluruh tubuhku terasa merinding menahan ketakutan.

Sosok itu kini berada sangat dekat denganku, aku mulai merasakan sesuatu memegang lembut bahuku dan membelai wajahku.

Tentunya aku tak dapat melihat apa apa, aku hanya bisa merasakannya.
Gemetar ketakutanku semakin memuncak saat ia tiba tiba mencengkeram kuat pundakku.

Pundakku diremasnya dengan tangan yang terasa keriput itu, tangan yang terasa jelas sembulan tulang tulangnya.

Lalu seketika muncul denging yang sangat menyakitkan di telingaku.
*Ngiiiiiiing*

Terasa ngilu, bahkan saat ini aku masih bisa membayangkan rasa ngilu itu.

Aku menahan diri sekuat tenaga agar tidak menjerit. Tubuhku terasa sangat lemah dan akupun memilih untuk membuka mata.

Perlahan terlihat jelas Wanda dan Rahmat yang memegangi kedua tanganku
Kata mereka wajahku terlihat sangat sangat pucat, dan kurasa baju yang ku kenakan hingga basah oleh keringat yang mengucur deras bahkan dari kedua telapak tanganku.

"Koe ki lapo si?!"
(Kamu tuh ngapain sih?!) tanya Wanda padaku

Aku tidak menjawabnya dan masih saja termenung,
mencoba untuk mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.

Pikiranku masih belum stabil karena denging yang baru saja ku dengar itu, kepalaku seperti dipenuhi olehnya yang terus saja terngiang, sesak.

Aku mulai sadar, kini telingaku sama sekali tak mendengar apapun dari dimensi mereka
Suara Lala, suara bising mereka, sama sekali tak dapat kudengar kembali.

Ku mencoba untuk bangkit, badan yang lemas ini kupaksa untuk berdiri hingga sempoyongan dan hampir saja jatuh tersungkur.

"Nderoko sek tala! Lek iseh lemes yo ojo dipekso"
(Diamlah dulu! Kalo masih lemas ya jangan dipaksa) perintah Rahmat padaku yang sama sekali tak ku hiraukan.

"Ayo" ucapku

"Ngendi si Qi?"
(Kemana sih Qi?) tanya Rahmat

"Lala... Ayo.. " ucapku lirih

Wanda terlihat menggeleng gelengkan kepalanya. Mungkin ia heran melihat keras
kepalaku ini.

Aku dibantu berjalan oleh Rahmat. Sedang Wanda membawa semua barang barang kami.

Entah muncul nalar darimana, aku yakin Lala berada di area kiri benteng tersebut. Masih ingat bukan dengan area tempat Lala memaksa untuk mengambil gambar?
"Ayo mrono! Ayo goleki! Lala didelikno ngok kene"
(Ayo kesana! Ayo cari! Lala disembunyikan disini) ucapku pada mereka berdua

"Koe ki lho jare sopo"
(Kamu tuh dikasih tau siapa) tanya Wanda yang terlihat ragu

Aku menolehkan kepalaku ke arahnya, kutatap tajam matanya sinis.
Wanda hanya diam, merasa tak enak padaku dan segera menunduk

Di area itu kami mencari Lala ke semua sudut hingga belasan kali, namun nihil. Lala tak kunjung ditemukan.

"Endi si Qi, gaono Lala nok kene"
(Mana sih Qi, gaada Lala disini) keluh Rahmat yang mulai merasa hilang harap
"Goblok! Masamu matamu kui iso ngingeti bongso sing ndelikke Lala? Lek aku wae raiso opomaneh awakmu"
(Bodoh! Kamu pikir matamu itu bisa melihat mereka yang menyembunyikan Lala? Kalo aku aja gabisa apalagi kamu!) bentakku pada Rahmat

Entahlah, saat itu aku mulai terpancing emosi
"Koe karo iki ncen raono gunane"
(Kalian berdua tuh emang gak berguna) ucapku

Mungkin saat itu selain karena merasa kecewa mereka meragukanku, kelelahan juga ikut andil di dalamnya hingga aku tak lagi dapat menguasai kata kataku. Spontan semua emosi ku luapkan begitu saja.
Wajah Rahmat memerah, ia nampak menahan amarahnya karena hinaanku itu. Kami berdua sama sama terbawa oleh suasana tegang.

Kepalanya kini menunduk, menarik nafas berat lalu menatapku kembali

"Yowes golekono dewe sak puasmu su"
(Yaudah carilah sendiri sepuasmu njing) umpatnya
Ia melangkah menjauh dariku dengan penuh kecewa, meninggalkan aku dan Wanda.

"Lego Qi?"
(Lega Qi?) tanya Wanda dengan ekspresi datar padaku. Aku hanya terdiam menatapnya yang menggeleng lalu terlihat menurunkan ranselku, mengikuti jejak Rahmat meninggalkanku sendirian disana.
Tak tahu apa yang harus aku lakukan kini, entah perasaan seperti apa yang harusnya aku rasakan. Sedih, menyesal, ataukah senang karena tak perlu menghiraukan mereka berdua lagi.

Aku bersimpuh ditanah, kebingungan dan rasa hampir patah semangat menyelimutiku.
"Laaaa... Lala koe ngendi si"
(Laaaa... Lala kamu dimana sih) gumamku dalam hati

Aku sudah lelah mencari kesana kemari namun tiada satupun petunjuk.

Ransel milikku yang tadi ditinggalkan oleh Wanda kini kuraih. Aku berniat untuk mengambil minuman dari dalam sana.
Tak sengaja aku menemukan benda pemberian Pakdhe beberapa hari lalu.

Benda kecil seukuran lipatan jari telunjuk dan ibu jari, berwarna hitam pekat dan mengkilap. Ya, galeh kayu Gono Ulung.

Pakdhe sering menceritakan tentang pusaka pusakanya, termasuk yang satu ini.
Aku menggenggamnya, masih kuingat dengan jelas cerita tentang sosok di dalamnya, mungkin ia bisa membantu. Pikirku...

Kini aku memposisikan diri duduk bersila, kuselipkan benda itu ke sela gelungan rambut dalam jilbabku.

Tiada cara lain, mungkin memang aku selalu menghindari
hal hal seperti ini. Namun kali ini terpaksa harus ku lakukan hal yang bertentangan dengan keyakinan hatiku itu.

Kupejamkan mataku, segera aku memanggil namanya, entah berapa kali namun tak kunjung menerima jawaban. Tetiba aku teringat dengan cerita para sepuh dahulu...
Mereka sering melilitkan rambutnya ke suatu pusaka dan membakarnya, entahlah aku kurang paham pula mengenai guna hal itu. Namun kucoba, tiada salahnya untuk mencoba apapun.

Kuambil kembali benda itu dan kucabut beberapa helai rambutku, segera kulilitkan melingkarinya.
Kubakar, tercium bau langu dan gosong dari benda itu

Tak lama, langit tiba tiba menghitam, sinar matahari terhalang oleh awan gelap dan tak mampu menembusnya. Kupikir wajar karena memang saat itu sudah mulai memasuki musim penghujan

Hawa dingin mulai terasa, membuatku merinding
*Ehmmm*

Suara dehem terdengar didekatku

"Wes teko"
(Sudah datang) gumamku dalam batin

"Hahahaha" entah mengapa ia tertawa

Meski bisa berkomunikasi dengan mereka yang kuat, namun aku tak punya bakat untuk melihat makhluk makluk tersebut, begitu pula untuk melihatnya.
Kini aku sadar setelah mendengar suaranya, ternyata ia makhluk yang sama. Makhluk yang dulu mengatakan sesuatu padaku sebelum kami melakukan perjalanan pulang dari benteng ini.

Ternyata ialah penunggu Gono Ulung.
"Ewangi aku, golekno koncoku"
(Bantu aku, cari temanku) perintahku padanya

"Ambune bocah Pahing"
(Baunya bocah Pahing) ucapnya kembali, nampaknya ia sama sekali tak mengimperhatikan kata kataku tadi

"Golekno koncoku saiki!"
(Cepat carikan temanku sekarang!) perintahku tegas
"Aku roh matamu dibungkep, gelem tak uculi?"
(Aku tahu matamu ditutup oleh sesuatu, mau kulepas?) tanya Gono padaku hingga membuatku kesal karena sejak tadi ia mengacuhkan kata kataku.

Tiba tiba mataku menangkap bayangan buram... Perlahan namun pasti bayangan itu semakin jelas
Mataku... Mataku bisa melihat sosoknya!

Akupun tak paham, mengapa tiba tiba aku bisa melihat makhluk itu. Ia nampak berwujud seorang pria dengan tubuh yang gagah dan sangat tinggi, dadanya bidang dengan otot ototnya yang membentuk lekukan. Rambut panjangnya digelung rapih keatas
Ia tersenyum miring padaku, setelah kuperhatikan seksama ternyata memang bibirnya agak miring kearah kiri ketika tersenyum. Penampilannya normal layaknya orang biasa, entahlah apakah memang itu wujud aslinya atau ada lagi wujud yang ia sembunyikan.

"Kenopo meneng?"
(Kenapa diam?) tanyanya mengernyit

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak nampak satupun makhluk halus lain disekitar kami. Aneh, jika memang mata batinku telah dibuka olehnya, seharusnya aku dapat melihat semua jin jin itu, tapi mengapa kali ini tidak?
Ataukan sebenarnya ialah yang menampakkan wujudnya padaku?

"Ngetno maneh"
(Lihatlah lagi) ucapya tiba tiba mengagetkanku

Aku menelusur lebih jauh sedangkan dia tetap diam ditempat. Ternyata benar, mata batinku dibuka olehnya. Aku dapat melihat begitu mengerikan wujud makhluk
makhluk penunggu benteng itu. Aku yang belum merasa siap dan kuat berlari kearah Gono Ulung dengan ketakutan.

"Kenopo podo gak gelem mrene?"
(Kenapa pada gak mau kesini?) tanyaku padanya

Ia tak menjawabku namun hanya menengok kearah luar tempat kami berdiri,
disana banyak makhluk yang mengintip namun sama sekali tidak mau mendekat.

Ternyata mereka takut padanya, pikirku.

"Utusku age golekne Lala!"
(Perintahku cepat cari Lala!) tegasku padanya

"Njur opo sing tak oleh?"
(Lalu apa yang kudapat?) sahutnya
Aku tercekat mendegar jawabannya. Memang, benar kata orang orang, makhluk sepertinya adalah penawar licik. Ada harga yang harus dibayar dari setiap perintah yang dijalankan, kecuali kepada tuannya sendiri.

"Opo njalukmu?" (Apa permintaanmu?) tanyaku dengan tatapan tajam,
kali itu aku merasa sangat kesal dan tak ingin berurusan kembali dengan makhluk sepertinya.

Ia lagi lagi tak menjawabku, justru tersenyum kecut dan segera melesat ke suatu arah. Aku sampai tak kuasa mengikutinya walaupun dengan berlari.
Tibalah kami di satu ruangan dengan atap terbuka, temboknya telah rapuh dan ditumbuhi oleh akar entah tumbuhan apa.

Disana ia nampak mencekik leher sesosok tubuh wanita dari belakang. Ia mengangkat tubuh besar wanita itu dengan entengnya.

Seperti inilah kiranya...
Badannya kusam kotor menjijikkan, orang jawa daerahku menyebutnya lengut lengut dengan rambut yang riyab riyab (semrawut) aku sama sekali tak melihat wajahnya karena murni benar benar hanya melihat bagian belakang tubuh itu. Dihadapan wanita itu tampak Lala yang tengah duduk
meringkuk ketakutan sembari menangis.

"Lala!" teriakku padanya

Kini ia mengalihkan matanya kearahku dan segera merangkak kesusahan melewati seonggok daging besar yang menggantung hingga menyentuh tanah.

Aku menarik tubuhnya dan segera mendekap badannya itu.
Wajahnya kotor, dan masih terus saja sesenggukan.

Segera kubacakan adzan di telinganya agar ia merasa tenang dan benar benar tersadar. Kugendong tubuh itu keluar dari sana, memang mudah bagiku untuk menggendongnya karena badan Lala memang kurus tidak sepertiku yang gemuk.
Mataku melihat ada banyak sekali makhluk mendekati kami, mereka mengelilingi kami seperti sedang menonton pertunjukan. Meskipun merasa takut, aku berusaha untuk tidak mempedulikannya.

"La.. Ngombe La ngombe" ucapku dengan nada bergetar karena ngos ngosan
Aku menyodorkan air minum kedepan bibirnya, air yang kuambil dari dalam ranselku.

Ia bisa minum, namun tampak masih sangat syok.

"Ya Allah La... " ucapku menyeka poninya yang acak acakan dan segera memeluk kepala itu di dadaku.
Rasa sedih dan bahagiaku karena dapat menemukannya bercampur jadi satu, kini akulah yang menangis tersedu sedu. Sedang Lala masih tetap terdiam seperti pikirannya mengawang.

"Awakmu gakpopo toh La? Sepurane La sepurane aku sing salah"
(Kamu gapapa kan La? Maaf La maaf semuanya salahku) ucapku yang masih saja menangis

Aku menyeka air mataku dan mengambil tisue basah di tasku tadi. Kubersihkan wajahnya itu, wajah yang masih termenung dengan tatapan kosong.
Tangan kiriku meraih handphone disaku kanan dalam jaketku. Segera aku menghubungi Wanda,

"Lala wes ketemu Nda!... Cepet mreneo"
(Lala udah ketemu Nda!... Cepetan kesini) perintahku pada Wanda dan segera mematikan telfonnya.
Tak lama kemudian Wanda dan Rahmat datang dengan berlari kearah kami.

"Lala" ucap mereka yang segera berlutut dihadapan kami yang tengah duduk. Mata mereka terlihat berkaca kaca, kelihatannya sama denganku, mereka pun merasa terharu karena Lala telah ditemukan,
namun dalam keadaan yang sama juga merasa sedih dan iba melihat Lala yang nampak kotor itu.

"Ayo gek ndang gage lungo seko kene"
(Ayo cepetan pergi dari sini) pintaku pada mereka

Wanda segera menggendong tubuh Lala, aku mengikutinya dibelakang.
Kuangkat ranselku dan berjalan melewati ratusan pasang mata yang menatap kami.

Dadaku terasa sesak karena degup jantung yang tak bisa ku kontrol ini. Rasa takutku mendadak menguasai diri. Kepalaku pusing, perutku bahkan terasa mual karena mentalku belum siap sepenuhnya untuk
melihat wujud mereka.

Ku kuatkan langkahku meski sedikit sempoyongan tak kuat menahan rasa pening ini. Tiba tiba Rahmat menangkap badanku, ia mbantuku berjalan meskipun masih saja diam seribu bahasa.

Setibanya di pintu masuk pertama, barulah ia membuka mulutnya
"Sepurane Qi"
(Maaf Qi) hanya sepenggal itu saja dan kubalas dengan anggukan berat

Sesampainya di parkiran kulihat Gono Ulung telah menunggu kami disana, jadi sama sekali tiada makhluk yang menampakkan wujudnya padaku karena kehadirannya. Lega...
"Mat... Telfonen Pakdhe Mat. Omongo lek Lala wes ketemu"
(Mat.. Telfon Pakdhe. Bilang kalo Lala udah ketemu) perintahku

Ia menurut dan segera menelfon Pakdhe

Setelahnya, ia mengatakan bahwa Pakdhe akan menyusul kemari untuk menjemput Lala
"Ayo cepet, aku arep ngresiki Lala"
(Ayo cepat, aku mau bersihin badan Lala) ucapku

Akhirnya kami segera melaju pergi meninggalkan tempat itu. Aku berbonceng tiga dengan Wanda, Lala berada ditengah tengah kami.

Sampailah kami di salah satu pom bensin terdekat.
Aku segera mengajak Lala ke wc umum dan memandikannya. Ya, memandikan kawanku itu dengan tanganku sendiri.

Telah kuanggap ia seperti saudariku, aku merasa sangat tersayat melihatnya dengan kondisi seperti itu.

-berlanjut-
Ada yang aneh ketika aku membuka seluruh pakaiannya.

Kutemukan selembar kain lusuh berwarna cokelat terbalut darah haid miliknya.

Kain apa itu? Apakah kain yang kemarin ia maksudkan? Namun aku sama sekali tidak merasa memiliki kain seperti itu, tidak beres!
Aku memandikan Lala dengan kaki yang terus menginjak kain itu, tanpa lepas.

Selesai dimandikan, kini kondisi Lala sudah mulai stabil. Ia bisa kuajak berbicara meskipun hanya menjawab dengan singkat. Bahkan, ia bisa mengenakan baju gantinya sendiri.
Selesai berpakaian, aku memintanya keluar dari kamar mandi dan menyusul Wanda.

Aku masih didalam sana, membersihkan kain yang kutemukan itu. Aku menyemprotnya dengan air dari selang hingga bersih lalu membungkusnya dengan plastik. Aku menyimpannya di saku jaketku.
Setelah keluar, aku menyusul mereka bertiga lalu mengajak Lala bicara, perlahan ku tanyai ia agar mau bercerita tanpa harus membuatnya tertekan.

"La.. Maaf ya, kamu gapapa kan sekarang? Maafin kita bertiga ya" ucapku sembari menggenggam tangangannya

Ia menatapku, diam.
"Ayo mangan sek"
(Ayo makan dulu) ucap Rahmat yang datang membawakan sebungkus nasi untuk Lala

Aku menyuapi Lala, untunglah ia mau makan.

Kembali kutanyai ia tentang kejadian yang menimpanya hingga bisa terjebak seperti tadi.

Akhirnya ia mau membuka mulut.
"Gue takut Qi, mereka bawa gue kesana. Tadi dia gak keliatan serem kaya gitu" jawabnya menahan tangis

"Yaudah yaudah jangan cerita dulu kalo gitu aku gajadi tanya. Yang penting lu makan dulu" ucapku padanya iba

Setelah menyuapinya, aku menyisir rambut panjang Lala itu
Kubiarkan terurai agar cepat kering karena memang tadi aku mengeramasinya. Kini ia terlihat bersih dan lebih segar

"Mat, Pakdhe telfonen maneh kandani lek awak dewe nok kene"
(Mat, Pakdhe telfon lagi gih, bilangin kalo kita ada disini) pintaku pada Rahmat. Ia segera melakukannya
Setelah menunggu beberapa waktu, mobil SUV putih datang mendekat kearah kami duduk. Ya, Pakdhe datang bersama Pakdhe Adi.

Seturun dari mobil, Pakdhe tampak menatapku aneh. Namun segera menampakkan senyum diwajah tuanya itu.

"Piye nduk?"
(Gimana nak?) tanya ia sambil menatapku
Aku melirik Gono Ulung yang berada di balik tubuhnya. Aku hanya cemberut menatap Pakdhe, ia pun segera mendekat padaku dan menekan dahi serta pelipisku dengan tangan kirinya.

Setelahnya, mata batinku kembali tertutup. Kini aku tak dapat lagi melihat mereka, lega rasanya
"Pakdhe... " panggilku sekaligus memberinya isyarat agar menyingkir sebentar bersamaku

Pakdhe Adi pun mengikuti kami

"Ono opo nduk?"
(Ada apa nak?) tanyanya padaku

Aku mengambil bungkusan plastik di saku jaketku tadi, kuserahkan itu padanya

Ia tampak mengamati dengan seksama
"Opo iku kang?"
(Apaan itu bang?) tanya Pakdhe Adi pada Pakdhe Har

"Wes tak bedek. Gombale anakan wewe Di"
(Udah aku tebak. Kain popok anak wewe Di) jelas Pakdhe Har yang membuatku dan Pakdhe Adi terkejut

Bagaimana bisa benda seperti itu dikenakan oleh Lala?
Benda yang kupikir hanya mitos untuk menakut nakuti anak kecil belaka kini terpampang nyata dihadapanku. Aku masih tak menyangka bahwa benar benar ada benda seperti itu di dunia ini.

"Lala kok iso oleh ngeneki seko endi?"
(Lala kok bisa dapat ginian tuh darimana?) tanya Pakdhe
"Nana nggih mboten ngertos toh Dhe, wingi iku deweke muni lek moro moro prei. Trus tak kon nok wc nggo wenku. Kok malah ngerti ngerti bocahe nganggo iki"

(Nana ya gatau toh Dhe, kemaren itu dia bilang kalo mendadak dapet. Trus aku suruh ke wc pakai punyaku. Kok malah pakai ini)
jelasku pada Pakdhe.

"Gadisku cilik wes gede cah"
(Gadis kecilku udah besar ya) ucap Pakdhe sambil tertawa terkekeh menatapku

"Oposi Pakdhe goro2 sampean iso doso aku"
(Apaan sih Pakdhe, gara2 kamu bisa dosa aku) gerutuku padanya. Aku memang masih kesal karena harus berurusan
dengan Gono Ulung, apalagi memerintahnya.

"Doso ta gak iku sing ngerti sing kuoso, awak dewe isone mung nglakoni sing terbaik"
(Dosa atau enggaknya itu yang tahu yang Kuasa, kita cuma bisa melakukan yang terbaik) ucapnya menenangkanku
"Hebat anakku wadon wes rak wedi ngingeti setan"
(Hebat anak perempuanku udah ga takut liat hantu) ejeknya kembali padaku yang kini ikut tertawa bersamanya

Lucu memang, aku yang awalnya hanya bisa mendengar suara mereka tiba tiba dapat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Untunglah tidak sampai sehari mata ini telah kembali ditutup. Jika tidak, mungkin bisa kurus kering badanku karena pikiranku kacau.

Kami bertiga kembali menghampiri Lala dan kedua kawanku berada.

"Piye nduk? Mantuk saiki yok"
(Gimana nak? Pulang sekarang yuk) ajak Pakdhe Har
pada Lala yang duduk dilantai mushola pom bensin itu

Ia hanya mengangguk dan beranjak berdiri mengikuti Pakdhe memasuki mobil

"Na, melu balik karo Pakdhe ayo"
(Na, ayo ikut pulang sama Pakdhe) ajak Pakdhe padaku untuk pulang bersamanya saja menggunakan mobil
Aku menolaknya karena takut sesuatu terjadi lagi kepada kedua kawanku jika aku meninggalkannya pulang sendiri

"Gak Dhe, tak karo Rahmat Wanda wae"
(Gak Dhe, biar aku sama Rahmat Wanda aja) jelasku padanya

Entah mengapa ia justu senang mendengar jawabanku, senyumnya mengembang.
Tidak biasanya ia bersikap seperti ini. Nampaknya kali ini ia lebih senang membiarkanku kesusahan sendirian.

"Yowes Pakdhe mantuk yo, sing ngati ati nduk le. Wes ndang podo aduso sek ben ra ngantuk lek mlaku muleh"
(Yaudah Pakdhe pulang dulu ya, hati hati nak. Mandilah dulu biar
gak pada ngantuk waktu perjalanan pulang) pesan Pakdhe Adi pada kami bertiga

Kami mengiyakannya, kemudian mobil itu segera melaju menjauh

Kami masing masing bergiliran untuk mandi dan menjaga barang. Setelahnya kami mencari makan karena sedari pagi perut ini belum terisi apapun
Selesai bebersih diri dan makan, kami sepakat untuk pulang.

"Awak dewe lewat W**U J**O maneh a Qi?"
(Kita lewat sana lagi Qi?) tanya Rahmat padaku yang sedang menali kembali sepatuku di depan warung makan tempat kami rehat itu

"Iyo a ndi maneh, mau esok bukane dikon Pakdhe"
(Iyalah mau lewat mana lagi, tadi pagi bukannya udah disuruh Pakdhe lewat sana) jelasku pada Rahmat

Ia hanya menatapku diam, seakan ada sesuatu yang ia tahan untuk ungkapkan

"Westalah tenang, gapopo inshaAllah gaono kedaden koyo wingi maneh"
(Dahlah tenang, gapapa inshaAllah
gaakan ada kejadian kaya kemarin lagi) ucapku menenangkan sambil menyenggol bahunya

Kini ia tersenyum membalas senyumanku

"Wes gaono sing keri?"
(Dah gaada yang ketinggalan?) tanya Wanda tiba tiba

"Gaonok, yok budalkan"
(Gaada, yok berangkat) sahutku sambil meraih ransel
Akhirnya kami memulai perjalanan, cahaya langit mulai tampak keemasan, menandakan sudah mulai memasuki waktu sore hari.

Kami mengambil kecepatan rata rata, tidak cepat tidak pula lambat. Bertiga menikmati perjalanan itu sebelum kami benar benar kembali pulang ke daerah asal
Kami melewati hutan berkilo kilometer untuk sampai ke jawa tengah. Perjalanan itu tiada berarti hingga kantuk mulai menguasai kepalaku.

Kebetulan jalanan saat itu kelewat sepi, bahkan hanya ada beberapa truk yang tampak melewati kami, tiada pengendara motor sama sekali, tumben.
"Nda tak merem diluk yo, nek keselen tak slendeni yo tangeni"
(Nda aku merem bentar ya, kalo kerasa capek bangunin) ucapku pada Wanda yang menyetir

"Iyowes turuo sek"
(Yaudah tidurlah dulu) jawabnya singkat

Aku memang punya kebiasaan buruk yaitu tertidur tak peduli tempat.
Bahkan diatas motorpun aku bisa tidur pulas, ya memang bahaya namun apa mau dikata, ini kebiasaanku sejak kecil yang mungkin tak dapat ku rubah.

Ku tali ransel yang ada dipunggungku pada ransel Wanda agar jika aku hampir terjatuh setidaknya masih ada pengait yang mencegahku
benar benar jatuh.

Mataku mulai terpejam. Ku sandarkan kepalaku di punggung Wanda, entah berapa lama aku tertidur, mungkin hampir satu jam perjalanan hingga suatu rasa panas dari dalam jaket membangunkanku.

Apaan nih kok panas, batinku sambil mencoba mengembalikan kesadaran.
Mataku yang masih terasa berat ku paksa untuk terjaga. Aku merogoh rogoh bagian jaketku yang terasa panas menyengat itu.

Kuraih sebuah benda yang dari tadi memang kusimpan disana, ya, tidak lain tidak bukan si Gono Ulung pastinya.

Rasa panas itu berasal darisana.
Benda kecil itu seperti baru saja dipanaskan diatas bara api.

"Nopo iki"
(Kenapa nih) ucapku mengagetkan Wanda

"Kenopo Qi?" tanya Wanda

Belum sempat aku menjawabnya, tetiba terasa sesuatu melewati tubuhku dengan cepat secepat kilat hingga membuatku tersentak kesusahan bernafas
Kepalaku pusing tak karuan dan tulang belakangku terasa sangat nyeri hingga tak sadarkan diri, gelap, bayangan mataku kabur dan menggelap.

Saat bangun, aku tengah berada di dasar tanah yang dalam jauh dari area jalan raya. Medannya menanjak seperti jurang,
dengan banyak pohon jati berjejer disekelilingku.

"Nghhh, nengdi iki"
(Dimana ini) tanyaku pada mereka sambil mengaduh sakit

"Qi.. " ucap Wanda yang segera memelukku erat

Aku bingung dengan apa yang terjadi dan mengapa kami bisa berada disini
"Kenopo se, iki ono opo jane"
(Kenapa sih, ini ada apa sebenernya) tanyaku kebingungan

Wajah Rahmat pun nampak memerah dengan matanya yang berair. Ia mengelapnya dan ikut memelukku.

"Ya Allah Qi, aku wes wedi kudu ngomong piye nang wongtuamu lek sampek awakmu kenopo nopo"
(Ya Allah Qi aku dah takut harus ngomong gimana ke orangtuamu kalo sampe kamu kenapa napa) ucapnya sambil menangis

"Ayo wes surup ayo cepet bali"
(Ayo udah sore banget ayo cepet balik) gesa Rahmat kembali

Mereka berdua pun bangkit lalu membantuku berdiri dan membersihkan
dedaunan kotor yang menempel di bajuku, kemudian membantuku berjalan kembali keatas jalan raya.

"Aaarh, lho lho sikilku kok loro"
(Loh kakiku lok sakit) ucapku kaget merasakan kakiku yang sangat perih dan linu

Ku periksa kakiku ini, benar saja, ternyata lututku berdarah
dengan celana jeans yang ku kenakan sobek tak karuan di bagian lutut. Kulihat lukanya nampak cukup dalam. Begitu pula dengan pergelangan kakiku, sangatlah sakit karena terkilir.

"Lho lho kok ngene sikilku"
(Lho lho kok gini kakiku) ucapku heran yang saat itu juga mulai menangis
Mereka hanya diam dan tetap membantuku berjalan, sesampainya diatas tanpa banyak istirahat kami segera melaju pulang ke tempat Pakdhe. Ya, bahkan lukaku ini belum sempat diobati saat itu juga.

Sepanjang jalan Wanda hanya diam membisu. Sesampainya dihalaman rumah Pakdhe,
Wanda segera turun dan menggendongku di punggungnya.

"Assalamualaikum" ucapnya yang disusul oleh Rahmat dari belakang kami

"Waalaikumssalam" sahut Budhe yang sedang mencuci gelas dibelakang warungnya

"Astaghfirullah Na, nopo awakmu ki nduk (kamu ini kenapa nak) ya Allah gusti"
ia nampak sangat terkejut melihat kondisiku saat itu

Aku yang mendengarnya pun tetiba menangis kembali, jangan ditanya lagi, aku memang sangat cengeng kala itu.

Wanda segera melangkah masuk ke rumah dan merebahkanku di kasur lantai ruang tengah rumah Pakdhe,
nampak Lala berjalan keluar dari dalam kamar. Ia menghampiriku dengan langkah pelan,

"Qi.. Astaga" ia nampak tak kalah terkejutnya dengan Budhe

Dan ya Budhe segera membantuku berganti pakaian, membersihkan lukaku dan menelfon salah satu keponakan temannya
yang berprofesi sebagai perawat untuk datang memeriksa kakiku yang terkilir itu.

Setelah mendapat penanganan, kami semua masih berkumpul diruang sana, kini bersama dengan Pakdhe juga.

"Iki mau piye ceritane kabeh kok iso koyo ngene, sedeh nduk le atine wong tuo
nyawang awakmu kabeh pengen seneng seneng liburan kok malah koyo ngene"

(ini tadi gimana ceritanya kok kalian semua bisa kaya gini, sedih nak hati kami selaku orangtua lihat kalian pengen liburan senang senang kok malah seperti ini jadinya)
keluh Budhe yang tampak merasa sangat iba melihat kami

Disitulah semuanya mulai membuka suara tentang apa yang kami alami dari sudut masing masing

-berlanjut-
Kami berempat saling bertukar pandang sebelum akhirnya Lala membuka suara.

"Maaf Budhe kalo kita semua malah nambahin beban pikiran Pakdhe Budhe" ucapnya memohon maaf dan merasa tidak enak

Budhe hanya menghela nafas panjang

"Gapapa nduk, yaudah sini cerita" jawabnya pada Lala
Pakdhe terlihat menyisih di tepi pendopo sambil bersandar di salah satu tiangnya. Ia membungkus badan dengan sarung, cuaca saat itu memang mendung dan kelewat sejuk. Mungkin ia sedang menunggu turunnya hujan, pikirku

*Mulai kini cerita akan saya lanjutkan dari sudut pandang Lala
Malam itu terasa dingin, aku, ketiga kawanku beserta Pakdhe dan istrinya sedang duduk mengobrol di area pendopo rumahnya.

Meski merasa canggung, aku meminta maaf kepada dua orangtua yang berbaik hati terhadap kami itu karena telah membuat mereka sempat khawatir.
Aku pun menjelaskan segala sesuatu yang kualami pada mereka, karena pastinya mereka semua yang duduk disana merasa penasaran dengan apa yang terjadi padaku dua hari kebelakang ini.

"Jadi gini Budhe.. " ujarku mulai menjelaskan runtutan cerita
"Saya sama sekali gatau kalo saya udah hilang lebih dari sehari. Dari kemarin saya pikir saya masih ada di hari yang sama kaya waktu ditinggalin Qia dan anak anak" ujarku menceritakannya perlahan

"Bagi Lala tuh semuanya kerasa baru beberapa jam Dhe" jelasku
Mereka semua tampak memdengarkan ceritaku dengan seksama

"Lala ngerasa ngantuk banget waktu duduk di bawah pohon tempat kita istirahat kemaren, eh dua hari lalu maksudnya. Dan baru sebentar Lala ketiduran, ada orang yang bangunin Lala. Dia bilang jangan tidur disitu...
Mending istirahat di tempat dia aja katanya. Saya udah nolak Dhe, tapi dia kesannya maksa. Karena saya takut yaudah saya terpaksa ikutin. Lala sama sekali gak ngerasa aneh karena memang dimata Lala kita lagi jalan kearah satu desa, bener bener desa yang normal kaya desa lainnya"
Mereka sama sekali tak beranjak dari posisinya dan masih serius mendengar hal ini.

"Kita lewatin jalan setapak, rumpun bambu dan disapa anggukan banyak warga kaya normalnya keramahan orang dusun ini Dhe" pungkasku

Mari masuk lebih dalam ke cerita, kembali le dua hari lalu.
Aku Lala, mengikuti seorang perempuan paruh baya masuk ke dalam rumahnya. Rumah kecil yang masih beralaskan tanah dengan dinding kayu tipis serta gentingnya yang tampak menghitam tua oleh kerak.

"Lungguho"
(Duduklah) ia menyuruhku duduk di tempat tidur kecil tanpa kasur
yang ada di ruang tamunya. Rumah ini sangat kumuh pikirku.

Dia berjalan ke belakang dan membawakan beberapa makanan untukku, ada singkong jagung dan kacang tanah rebus ia letakkan disebelahku. Ia duduk dan mengajakku mengobrol panjang lebar menggunakan bahasa jawa pastinya.
Aku paham dengan alur pembicaraan itu, namun karena kemampuan bahasa jawaku terbatas, aku sama sekali tak menanggapinya dengan kalimat apapun, hanya Nggih (Ya) dan Mboten (Tidak) yang bisa kuucapkan.

Sembari melahap makanan yang ia suguhkan, tiba tiba ia memuji rambutku.
"Rambutmu apik nduk, tak jungkasi yo"
(Rambutmu bagus nak, aku sisirin ya) pintanya padaku

Aku hanya mengiyakan tanpa berpikir negatif. Ia segera mengambil sisir kayu yang terselip dipinggangnya dan menyisir rambutku dengan sangay halus.

Kemudian datanglah seorang anak
yang mungkin berusia kisaran enam atau tujuh tahun berlari memasuki rumah. Ia diam menatapku dan segera tersenyum aneh. Senyum lebar yang ramah namun terasa aneh. Entah kenapa hatiku terasa ngeri saat itu juga.

Perempuan itu mengulurkan tangannya pada bocah tersebut
dan segera disambut oleh peluknya.

"Mari dolan kondi"
(Abis main darimana) tanyanya

"Eee ngono, koncomu akeh a"
(Oh gitu, temenmu banyak ya) ucapnya kembali

"Ojo dolan mrono, ngko lek koe dikon nyingkreh"
(Jangan main kesana, nanti kalo kamu diusir) lagi lagi hanya
wanita itu yang bicara sendirian. Apakah anak itu bisu? Ataukah memang ibunya sedang bicara sendirian, aku merasa tidak nyaman.

Ia nampak bicara panjang lebar dengan sang anak mengenai sungai dekat sana, entahlah akupun kurang paham.
Hingga akupun meluap dan ia menyuruhku untuk tidur saja. Aku menurutinya dan segera merebahkan badan, tak perlu waktu lama akupun tertidur pulas.

Selang sesaat ada yang aneh, aku merasakan hembusan nafas tepat di depan wajahku yang memaksa mataku untuk terbuka.
Terkejut bukan main pastinya, aku tersentak dan hampir berteriak mendapati ibu dan anak itu sedang menatapku yang tengah tertidur pulas tepat di hadapanku. Mereka melotot memperhatikanku yang tidur itu dengan seksama.

Aku takut, sangat sangat takut.
Hingga akupun duduk dan beringsut mundur menjauhi wajah mereka. Akupun pamit untuk berkeliling sebentar, itulah alasan yang kubuat agar bisa segera kabur dari sana.

"Kula anu, arep... niku, em.. jalan, eh maksudnya mlaku muter desa"
(Saya mau itu, em jalan keliling desa)
Ucapku kesusahan dengan harus lebih dulu memikirkan bahasa jawanya. Tak menunggu jawaban, aku langsung berlari keluar rumah begitu saja.

Aku berjalan tak tentu arah, pada intinya jalan menjauhi rumah tersebut. Saat itu aku sama sekali buta arah mata angin,
karena cuaca cukup mendung untuk tahu dimana matahari berada.

Sampailah aku di suatu tanah lapang, disana ada banyak orang orang yang terlihat sangat mengenaskan dihajar dipukuli habis habisan oleh orang berkulit putih.
Banyak diantara mereka yang berdarah darah dengan tubuh kotornya karena kepalanya dihantam oleh gagang senjata api.

Aku sangat ketakutan, nafasku tak bisa kuatur, degup jantungku memburu tak menentu. Kuputuskan untuk berlari, sembunyi di balik salah satu tembok sambil
tetap mengintip mereka dari kejauhan. Tiba tiba suara langkah datang dari arah belakangku, beberapa orang tampak berdiri disana. Orang orang pribumi yang tampak pucat, seluruh badannya kotor hitam hitam dan dipenuhi luka. Aku masih ingat jelas ada satu diantara mereka yang
di kepalanya terdapat lubang luka tembak, sungguh menakutkan.

Mereka semua menatapku sambil terengah engah dan sebagian tampak menangis.

Aku berteriak ketakutan, apa semua ini, mengapa aku disini, mengapa aku melihat mereka.

Akankah arwah arwah itu ingin menunjukkan padaku
betapa mengenaskan keadaan mereka diperlakukan tak selayaknya manusia pada jaman itu.

Aku masih saja menjerit hingga lemas lalu hampir pingsan, wanita itu menghampiriku kembali. Ia segera menarik lenganku dan membawaku menjauh, ia sama sekali tak menoleh padaku yang memberontak
Mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya itu.

Dibawanya aku kembali ke gubuk tuanya tadi. Disana aku menangis tersedu sedu hingga entah berapa lama. Ia seakan tak mempedulikan tangisanku, justru mendekat padaku, duduk disampingku dan mengelus elus rambut panjangku.
Sungguh menyeramkan, aku sangat takut padanya yang tiada henti menyisiri rambutku seperti sedang merawat boneka.

Tiba tiba muncul sesosok pria bertubuh hitam legam dihadapanku. Dengan sigap tangannya meraih leher wanita itu, mencekiknya kuat kuat dan mengangkat tubuhnya.
Aku membalikkan badan, kulihat sosok menyeramkan tengah berada di genggaman pria itu.

Gila! Mana mungkin perempuan yang kulihat tadi berubah menjadi sosok mengerikan dengan payudaranya yang menggantung panjang serta rambutnya yang semrawut menjijikkan.
Aku begitu terpaku menatap apa yang ditangkap oleh mataku itu, tak habis pikir, sama sekali tak habis pikir.

"Lala!" terikan seseorang menyebut namaku

Aku menoleh keasal suara itu, Qiana! Qia ada disini! Aku harus berusaha keluar dari tempat ini.
Sekuat tenaga aku merangkak dengan badanku yang mulai lemas ini, perasaanku campur aduk jadi satu, sedih, syok, dan masih kesulitan menerima hal diluar nalar yang kualami itu.

Aku sudah mulai mendekat kearahnya, Qia segera menarikku dan membantuku menjauh dari dua makhluk itu.
Ia segera memelukku erat yang masih sesenggukan itu. Dia menggendongku keluar dari sana, kini semua nampak jelas dimataku, bahwa aku sedang berada didalam benteng ini. Qia terus menerus menangis dan meminta maaf padaku,
namun aku yang masih dalam kondisi tidak stabil itu tidak mampu memproses apapun dalam otakku.

** Akhir cerita Lala

.

.

.

Kembali ke sudut pandang Qia
"Jadi gitu, maaf aku bikin repot kalian" ujar Lala pada kami berempat

Pakdhe kini mendekat kearah kami, ia menanyakan beberapa hal pada Lala

"Lha awakmu kok bisa dapet kain kemarin iku darimana to nduk?" tanya Pakdhe penasaran, tangan kirinya masih memegangi segelas kopi
yang sesekali ia tiup lalu ia sesap

"Kain? Maksud Pakdhe?" tanya Lala bingung

"Kain yang kamu buat alas serap La" sahutku

Lala tampak tercekat mendengar ucapanku

"Dari atas tasmu lah Qi, kemaren waktu aku bawa tas kamu ke kamar mandi, diatasnya ada kain itu" jelas Lala
Anjinglah, masa iya kain macam itu bisa nyangkut di tasku. Apa iya waktu itu aku lewatin jemuran wewe trus popok anaknya gak sengaja kecantol ditasku. Pikirku kemana mana.

"Lah awakmu ngerti gak apa yang kamu makan dirumahnya waktu itu?" tanya Pakdhe lagi pada Lala
Lala hanya menggeleng tak tahu, ia masih berpikir bahwa itu benar benar makanan sewajarnya

"Yaweslah mending gausah tak ceritakne, anggep wae iku pancen panganan biasa"
(Yaudahlah mending gausah saya ceritakan, anggep aja itu memang makanan biasa) tutup Pakdhe
"Trus Pakdhe, wingi sinten sing membo dadi Lala ngetutake awak dewe nganti rak ngerti lek Lala jane ilang"
(Trus Pakdhe, kemarin siapa yang menyerupai Lala, ngikutin kita sampe kita ga sadar kalo Lala sebenernya ilang) tanyaku penasaran, sekalian agar semuanya lebih jelas.
Pakdhe tersenyum,

"Iku sing melu Lala, gowone seko kulon kono. Deweke oraiso nulungi Lala amergo rak mungkin kuat ngadepi isine benteng kui. Dadi amung ngetutne awakmu kabeh, mastekne koe kabeh gak lungo adoh ninggalke Lala"
(Dia yang jaga Lala, dari barat sana. Dia gabisa nolong Lala karena gamungkin kuat ngadepin penunggu benteng itu. Jadi dia cuma ngikutin kalian bertiga, mastiin kalian ga pergi jauh ninggalin Lala) jelas Pakdhe pada kami yang hanya manggut manggut
"Jane awakmu wes diajak omong bola bali lho, tapi awakmu wae sing ketepak rak iso komunikasi"
(Sebenernya dia udah berulang kali ngajak kamu bicara loh, tapi kebetulan kamunya aja yang lagi gabisa diajak komunikasi) timpalnya kembali

Aku hanya kebingungan,
karena tumben sekali ada yang tak bisa mengajakku komunikasi.

"Ndekne kalah sepuh karo sing njogo awakmu nduk, nyai pengen awakmu moleh gak kangelan ngurusi urusane kancamu. Mulo awakmu dialangi cik rak diajak omong barang kui"
(Dia kalah tua sama yang jagain kamu nduk, nyai mau kamu pulang dan gak kesusahan ngurusin masalah temanmu itu. Makanya kamu dihalangin biar gabisa diajak komunikasi siapapun) jelasnya kembali

Aku hanya diam mencerna perkataan Pakdhe, memang entah sudah berapa kali aku mendengar
ucapan orang orang sepuh disekitarku yang mengatakan bahwa ada sesosok perempuan menjagaku. Namun nyatanya aku tak pernah sekalipun melihat wujudnya.

"Lha trus kenopo kok aku nganti disasatno tekan alas siseh kono Dhe lek ancene ndekne jogo aku"
(Trus kenapa kok aku sampai disesatkan di bagian hutan lain Dhe kalo memang dia jagain aku) tanyaku semakin penasaran

"Guduk ndekne sing nyasatno, sing nyekel alas iku pancen pengen mbedo awakmu"
(Bukan dia yang nyesatin, penunggu hutan itu memang lagi pengen ngerjain kamu)
jawab Pakdhe dengan santainya

"Jan asu e"
(Anjinglah emang) umpatku kesal sambil tertawa. Kini aku merangkul Budhe, aku bersandar dipelukannya. Budhe pun menanyakan bagaimana aku bisa mendapat luka di kakiku itu. Aku menjawab bahwa aku sama sekali tidak mengetahui apapun
dan terbangun tiba tiba dalam keadaan terluka seperti itu.

"Anu Budhe, kala wangsul wau Qia kesurupan" ucap Rahmat memulai topik ini

-berlanjut-
(Anu Budhe, tadi waktu perjalanan pulang Qia sempat kesurupan)

"Oooooh" Budhe nampak sama sekali tak terkejut mendengar hal itu

Teman temanku pun menjadi bingung dengan ekspresi kedua orangtua itu yang nampak biasa saja

"Hahaha wes ra gumun maneh lek cah iki kesurupan"
(Hahaha udah gak kaget lagi kalo denger anak ini kesurupan) ucap Budhe yang masih membiarkanku terbenam dipelukannya

"Piye ceritakne le"
(Gimana, coba ceritain nak) pinta Pakdhe pada Rahmat dan Wanda

"Kulo nggih mboten ngertos Pakdhe, moro moro njenggelak trus mlumpat motor"
(Saya juga gatau Dhe, tiba tiba bangun seperti terkejut terus lompat dari motor) jelas Wanda

"Lha kulo nggih ogel toh Dhe, ajrih lek ngantos deweke kenopo nopo"
(Lah saya juga gemetaran toh Dhe, takut kalo sampe dia kenapa napa) ujarnya kembali
"Nggih Dhe, kula nggih kaget kok Qia obah rakaruan ngantos mumbul mumbul trus mlompat kesetanen ngoten"
(Iya Dhe, saya juga kaget kok Qia gerak gak karuan sampe lompat lompat kesetanan gitu) timpal Rahmat

Pakdhe hanya tertawa cekikikan mendengarnya
"Trus piye maneh?"
(Trus gimana lagi?) tanyaku kesal melihat Pakdhe yang justru tertawa

"Yo awakmu mlompat mengisor jurang toh Qi. Aku karo Wanda nganti kualahen ngetutno. Ate tak tutake medun ki yo kok mengko angel munggahe. Ate tak tinggal kok mesti disalahno wong akeh"
(Ya kamu lompat kedasar jurang toh Qi. Aku sama Wanda sampe kualahan ngikutin. Mau aku ikutin turun kok nanti susah naiknya. Mau aku tinggalin aja kok nanti aku disalahin banyak orang) keluh Rahmat yang merasa amat kesal padaku

Aku merasa bersalah padanya...
"Polahmu lho wes koyo kirek ucol. Kudu tak bandhem wae rasane"
(Tingkahmu loh udah kaya anjing liar. Pengen aku pukul aja rasanya) sahut Wanda sambil tertawa mengejekku

Mereka berdua menjelaskan panjang lebar apa yang terjadi sewaktu aku kesurupan kemarin.
Dan tentunya luka dalam yang ku peroleh di lutut ini serta terkilirnya kakiku akibat dari kejadian tersebut.

Pakdhe pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tadi dari penerawangannya, menurutnya ada dua makhluk kembar penghuni alas tersebut yang mencoba merasukiku.
Makhluk besar dengan taring yang panjangnya hingga ke pusar. Tubuhnya gemuk, dua duanya adalah pria. Mereka ingin menggangguku namun segera disangkal balik oleh nyai dan Gono Ulung. Jadi bisa bayangkan tubuh lemah ini menjadi ajang rebutan empat makhluk itu.
Nyai dan Gono berupaya merasuki untuk mengamankan tubuhku, sedang dua makhluk lainnya mencoba merasuki untuk membawaku kabur

Kadang akupun tak menyangka hal itu bisa terjadi padaku, karena memang tak bisa diterima oleh akal sehatku sebagai manusia yang selalu menggunakan logika.
Oke mungkin sampai sinilah akhir cerita perjalanan kami berempat. Maaf jika mungkin banyak kesalahan kata ataupun penulisan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung atau menjatuhkan pihak siapapun.

.

.

.
Tambahan :

FYI Gono Ulung adalah pusaka berisi Khodam dari Gunung Lawu yang dikalahkan dan dikurung oleh seorang Warok kedalam galeh kayu. Pastinya kalian tidak asing dengan seseorang yang disebut Warok bukan?

Dan ya setelah serangkaian kejadian yang terjadi pada kami tersebut
Gono Ulung diserahkan oleh Pakdhe padaku, namun kini ia telah hilang entah kemana. Benda itu berkelana mencari pemilik baru karena Qia gapernah gunain dia buat apapun, cuma disimpen aja dilemari.

Dan mengenai Nyai, entahlah sampai sekarangpun aku tak pernah melihat sosoknya.
Mungkin ia hanya menjagaku dari jauh, mungkin saja. Dan hanya mendekat bila dirasa ada yang mengancam keselamatanku.

Qi gak tahu namanya dan gak mau ngasih dia nama, jadi Qia sebut aja dia Nyai.

Oh ya, kalau ada pertanyaan mengenai cerita silahkan komen atau DM.
Tapi perlu diingat, Qia gamau ditanyain mengenai latar tempat maupun identitas teman teman Qia tersebut. Semata untuk menjaga ranah pribadi kami berempat.

*Salam buat readers dari Lala

#bacahorror @bacahorror
#ceritaht @ceritaht
#memetwit @InfoMemeTwit
#CEMARA @Cemara_OFC
--BENTENG PENDEM--

THE END

.

.

.

.

Qiana

See you soon
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Its Qiana

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!