.
.
.
.
-sebuah utas pendek-
#bacahorror @bacahorror
#ceritaht @ceritaht
#memetwit @InfoMemeTwit
#cemara @Cemara_OFC
Please Like and RT agar penulis bisa terus berkarya.
Halo? Lama saya tak menyapa kalian semua dengan karya tertulis.
Dan kali ini saya berkesempatan kembali untuk membagikan kisah lama yang pribadi saya alami tahun silam.
.
.
Oke tapi intinya, stori ini gaakan berpusat keseluruhan pada benteng tersebut.
.
.
.
Let the story begin...
Mereka semua berkumpul untuk menghabiskan waktu karena hanya mereka yang jarang sekali pergi liburan, tidak seperti anak lainnya.
Kawan kawannya hanya terdiam menengok ke arahnya
"Emang lu ada duit?" tanya Lala sambil tersenyum kecut
Lala adalah satu2nya anak pindahan dari daerah Jawa Barat diantara mereka
(Ya gaada La) jawab Rahmat malu
Mereka semua tertawa mendengar jawaban jujur Rahmat
"Piye? Melu aku a kesok nok wene Pakdheku?"
(Gimana? Besok ikut aku kerumah Pamanku?) sahutku menawarkan
"Ngendi Qi?"
(Kemana Qi?) tanya Lala padaku
(Ketimur, agak jauh) jawabku segera
"Piye te ono sing melu tara?"
(Gimana ada yang mau ikut ngga?) tawarku kembali pada mereka semua
"Sopo ae ki, aku ayo ayo ae"
(Siapa aja nih, aku iya iya aja) ucap Wanda yang antusias
Anak lainnya menolak ikut dengan
"Aku rewang pak e ngamplas cuk"
(Aku bantuin bapak ngamplas nih)
"Aku raisok, makku okeh pesenan panggang"
(Aku gabisa, ibuku dapet banyak pesanan ikan asap)
Ya begitulah kira kira alasan mereka. Hingga hanya terkumpul empat orang yang setuju untuk berangkat.
~
~
Berempat, berangkat pada sekitar pukul 10.00 WIB menggunakan dua buah sepeda motor yang tentunya
Rahmat berboncengan dengan Lala, sedangkan Wanda denganku.
Kurang lebih lima jam perjalanan telah kami lalui dengan beberapa kali istirahat di rest area pom bensin. Tibalah kami di tempat tujuan. Rumah Pakdhe tentunya.
"Omae melbu kono, motormu kirne celak warung kene ae yo"
(Rumahnya masuk kesana, motormu taruh deket warung sini aja ya)
Kami berbelok, memasuki halaman luas sebuah rumah, nampak sebuah warung kecil berdiri di halaman depan.
Wanda menghentikan laju motornya, diikuti oleh Rahmat. Ia memarkirkan motornya
Aku berjalan mendahului mereka, menuju ke pendopo rumah lalu melangkah lebih dalam ke pintu depan
*tok tok tok*
"Assalamualaikum" ucapku agak keras agar seseorang di dalam rumah mendengarnya jelas
Matanya terkesiap menatapku, senyum sumringah nampak jelas diwajahnya
"Lho Nana, ya Allah nduk kapan olehmu budal kok rak telfon Budhe sek toh sayang"
(Lho Nana, ya Allah nak kapannkamu berangkatnya kok ga telfon
Aku memeluknya hangat, ia menengok ke depan. Disana ada Lala, Wanda dan Rahmat yang tersenyum padanya.
"Ayo Mas Mbak silahkan masuk, jangan sungkan sungkan" ajaknya pada mereka bertiga dan berjalan menghampiri
Kami semua duduk di ruangan dalam, teman temanku itupun terlihat menengok kesana kemari mengamati setiap detil rumah ini, aku hanya tersenyum melihatnya.
"Kenopo? Pengen a?" tanyaku
Seketika mereka semua mengalihkan pandangan menatapku, lalu meringis
"Aku baru kali ini loh ke rumah yang modelannya kaya gini"
"Kayune kandel hek e ra"
(Kayunya tebal ya kan) ucap Rahmat pada Wanda
"Iyo, wah larang iki. Copoti siji piye hahaha"
(Iya, wah mahal ini. Gimana kalo kita congkel satu hahaha) canda Wanda
Tetiba terdengar geraman dari balik dinding kayu tersebut, mereka pun tensentak kaget dan beringsut mundur.
Aku yang melihatnya pun tertawa terbahak bahak hingga hampir tersedak
"Hahaha mulo lek guyon ati ati goblok, jok nglantur, lemes nganggur koe mengko hahaha"
Hari itu kami bermalam dirumah Pakdhe, kedua anak Pakdhe sedang tidak ada dirumah memang. Jadi suasana disana lumayan sepi.
Malam itu kami habiskan dengan berbincang bincang sambil bergurau bersama di pendopo rumah. Pakdhe banyak menceritakan kisah kisah yang ia miliki kepada kawan kawanku.
Budhe menyuguhkan banyak sekali makanan dan cemilan hingga kami semua betah berlama lama disana, tiada rasa kantuk yang berani hinggap.
Hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 3 pagi.
"Hm ate nok benteng Pakdhe, ketone apik nggo foto"
(Hm mau ke benteng Pakdhe, kayanya bagus buat foto) jawabku antusias
"Yakin po? Gak misan seng adoh wae (gak sekalian yang jauh aja) hahaha" ujar Pakdhe cengengesan
-slowupdate-
Keesokan harinya, kami tidak langsung pergi merealisasikan rencana perjalanan semalam.
Budhe mengajakku serta Lala berkeliling dusun, dan belanja ke pasar. Sedangkan Wanda dan Rahmat membantu Pakdhe panen
Tak terasa seharian kami lalui dengan senang hati karena telah lama tidak merasakan damainya hidup di pedesaan.
~
~
Esoknya,
"Na, meneo nduk (kesini nak)" panggil Pakdhe padaku yang tengah berkemas dikamar
"Hm, gowoen"
(Bawalah) ucapnya sambil menyodorkan sebuah benda kecil berwarna hitam legam padaku, ya bisa kutebak benda apakah itu.
"Kangge nopo Pakdhe?"
(Buat apa Pakdhe?) tanyaku yang tak segera
"Hadiah hahaha, wes gede, jajalo gowo mrono"
(Hadiah hehe, kamu udah besar, cobalah bawa kesana) ujarnya sambil terkekeh
Aku hanya mengernyitkan dahi, bingung dengan apa yang Pakdhe maksudkan. Aku tahu betul benda itu memiliki penunggu didalamnya.
Aku mengambilnya begitu saja tanpa pikir panjang, lalu bergegas memanggil anak anak untuk sarapan dan segera berangkat.
Kami semua berpamitan dan memulai kisah yang
Google Maps, itulah satu satunya penunjuk jalan kami. Aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan tersesat, karena memang diantara mereka akulah yang paling andal membaca gambaran wilayah. Dan tibalah kami di kabupaten tujuan, salah satu kabupaten yang
Hampir tiga jam perjalanan kami lalui tanpa istirahat, bisa dibayangkan betapa lelahnya kami saat itu.
Akupun kembali mengajak mereka untuk bergegas menuju tujuan utama kami, ya, benteng tua yang tidak jauh dari sana.
Terlihat pintu gerbang kompleks batalyon dengan beberapa petugas yang berjaga.
Setelah memarkirkan kendaraan. Kami mulai melangkahkan kaki
"Piye? Ate mencar ta gambul wae"
(Gimana? Mau berpencar apa barengan aja) tanyaku pada mereka semua
Lala seketika menggandeng tanganku erat, ia mungkin merasa seram
"Yowes lungao Nda, Mat, aku karo Lala tak niseh"
(Yaudah pencar Nda, Mat. Aku sama Lala biar nyisih bentar) ucapku pada mereka berdua
"Lha ngopo to Qi, wes njarne barengan wae cek gak kangelan lek goleki"
"Nyangkemo, wes toh mbok ndang mrono"
(Bacot ah, dah cepetan pergi sana) gerutuku pada Rahmat
Wanda pun segera merangkul bahu Rahmat dan menggeretnya menjauh.
(Gimana? Ada apa?) cecarku pada Lala setelah memastikan Wanda dan Rahmat agak jauh
"Gua tiba tiba dapet Qi, gimana nih deres banget lagi" jelas Lala padaku
Aku menatapnya kesal
"Lah goblok. Kalo udah tanggalnya ngapain ga pake popok. Dasar" gerutuku padanya
Kami berdua pun berjalan kearah depan dan menanyakan wc kepada salah seorang petugas.
Sampailah di wc, aku hanya menunggunya didepan wc sambil sesekali mengobrol dengannya
"Mana sih kaos kaki lu, kaga ada. Eh tp ada kain ga kepake nih gua pake ya" ujar Lala dari balik pintu. Memang saat itu tasku dibawanya kedalam kamar mandi
Kain? Kain apaan? Padahal aku kan nyuruh dia pake kaos kaki, mana ada kain disitu
-lanjutbesok-
"Udah? Ayo gih cepetan gua pen keliling" ajakku pada Lala
Memang selama berada disana perasaanku sudah mulai tidak nyaman, namun semua kuanggap kebetulan karena memang ini adalah bangunan tua yang pastinya memiliki banyak "penduduk"
Hanya saja, sangat peka, dan terkadang bisa komunikasi dengan mereka yang cukup kuat untuk mengajakku bicara.
.
Saat langkah kakiku kembali memasuki gerbang utama, entah mengapa terasa seperti ada sesuatu yang menyambut kami.
Semilir angin dengan hawa dingin tetiba melewati tubuh kami, merinding.
Kebetulan saat itu suasana di benteng memang agak sepi, hanya ada beberapa wisatawan yang sedang berswafoto diarea dalam.
Akhirnya kami mengambil beberapa gambar diri disana. Kami pun berjalan ke salah satu area yang cukup teduh untuk menghindari sinar matahari siang itu.
Tangga yang membelok, dengan panjang tiap anak tangga kurang lebih 3m. Bisa membayangkannya kawan?
.
.
Aku dan Lala berjalan pelan menuju Rahmat di sebelah kanan kirinya dan mencoba membantu
Berhasil, lega, sangat sangat lega. Untung saja saat itu keadaan disana masih sepi sehingga kami tidak membuat keributan.
"Jancuk mulo ojo pethakilan"
(Makanya jangan petingkah) bentak Wanda yang terlihat masih berusaha mengembalikan ketenangannya
Lala tampak menangis, entah apa yang ada di benaknya, ia tiba tiba mengeluarkan air matanya begitu saja.
"Badeg Mat, piye iki lenyek kabeh"
(Bau Mat, gimana nih lembek semua lagi) ucapku sambil menahan mual
"Mbuh Qi, weslah gakpo yok mudun"
(Gatau ah Qi, dahlah gapapa ayo turun) ajaknya padaku
Akhirnya kami berdua ikut turun menyusul Wanda dan Lala.
Wanda memang tidak banyak bicara, ia lebih sering berdiam dan melakukan apapun tanpa perlu bicara lebih dulu.
Rahmat dan aku menghampirinya. Aku mengajak untuk kembali berkeliling, agar mencairkan suasana canggung itu.
.
.
Kami hanya bisa mengintip ruangan yang terlihat seperti penjara itu.
Bukan, entah kenapa saat itu bukan bau bau tersebut yang hinggap di penciumanku, justru bau peluh. Keringat seperti memenuhi ruangan itu.
Aku merasa tidak betah berada disana, mual, jijik dengan bau keringat itu pastinya. Akhirnya aku meminta mereka untuk kembali berkeliling mencari spot foto di area belakang.
Dasar aku, bodoh memang karena tidak mampu melihat "mereka"
Akupun mencoba mengajak mereka untuk pindah dari tempat itu dengan tergesa.
Terlihat masam wajah Lala menampakkan rasa kesal, kelihatannya ia ingin berlama lama berada disana.
Beristirahat sejenak sambil menikmati makanan ringan yang kami bawa dibawah salah satu pohon.
Tetiba telingaku menangkap suatu suara,
Rahmat, Wanda dan Lala terlihat mengobrol, aku yakin pasti mereka tidak mendengar suara itu sama sekali.
Apa ini? Semua suara itu berasal dari arah yang berbeda dan terasa amat jauh. Aku hanya berusaha
Wanda mengajak untuk mengunjungi dua makam yang katanya berada di sekitar benteng ini, namun aku menolaknya. Sudah cukup bagiku menikmati kesan kesan dari mereka.
"Yowes ayo bali"
(Yaudah ayo pulang) ajak Rahmat pada kami
"Tangio, moleh"
(Bangunlah, pulang) ucap Wanda pada temanku itu
"Aku ngantuk Nda, istirahat bentar napa sih" keluh Lala yang justru merebahkan badannya di tanah
"Yaudah lu turun duluan, jajan gua belom abis. Ntar gua susul, tungguin di parkiran yak" ujar Lala pada kami bertiga
Kami pun mengiyakannya tanpa pikir panjang.
Wanda dan Rahmat duduk di motor masing masing, sedang aku duduk di bahu jalan sambil mencoba menelfon orang orang dirumah untuk mengabarkan keadaanku.
Terdengar suara orang berdehem disebelahku, aku tahu tiada siapapun disana.
*Fuuuh*
Kali ini tiupan mendarat di tengkukku, tiupan yang cukup keras hingga terasa menembus jilbab yang ku kenakan.
Aku masih diam tanpa menengok, hanya mataku saja yang melirik kearahnya.
"Sopo?"
(Siapa) ujarku membuka pembicaraan dengannya dalam diam
Ia hanya diam, tak menjawab. Sejenak kemudian ia menjawabku dengan kalimat yang aneh, entahlah bahasa itu tidak ku mengerti.
Entah apa artinya akupun tak tahu menahu.
Sesaat kemudian Lala muncul, berjalan keluar dari gerbang utama.
Siang itu langit nampak mulai menghitam, awan gelap menyelimuti seisi kota.
Kami bersiap untuk pulang, mengambil jalur yang sama seperti jalur kami berangkat tadi.
"Qi, awakmu kroso aneh tara? Kawit mau kenopo mendunge rak mari mari nganti awak dewe tekan kene"
Matanya menatap tajam jalanan, sesekali ia melirik ke spion dan ke langit. Ya, akupun merasa ada yang janggal.
"Iyo Nda, sek wes sementara batin wae"
(Iya Nda, yaudah sementara kita diam aja) ucapku padanya. Aku semakin erat memegang jaketnya.
Kualihkan pandanganku ke belakang, disana tampak masih ada
Tibalah kami di salah satu belokan, belokan ke kiri jika kita berkendara dari N***i.
*tiiiiiiiiiiit*
Suara klakson dari kendaraan berat mengejutkan kami. Ditambah lagi dengan sorot lampu jarak jauhnya yang menyilaukan mata.
Hampir saja kami tertabrak oleh kendaraan besar tadi, jika saja Wanda tidak sigap menanggapi situasi tersebut.
Aku dan Wanda mencoba berusaha sekuat tenaga untuk berdiri, bertelusur pandang kesana kemari mencari Rahmat dan Lala.
Namun kenapa tiba tiba kami berada disini? Dijalan besar ini? Mengapa berada di lajur kanan jalan?
Ia hanya sesekali mendesis perih.
"Opo maksute ngeneki kabeh?"
(Apa maksudnya ini semua?!)
"Lha yo opo kene ngerti Nda, aku ya trimo ngetutne awakmu, kok ya moro moro mripatku ulap trus tekan kene mau. Aku kaget midak rem ndadak nganti babak bonyok ngene dengkulku"
"Iso gak gausah emosi, sing keno apes ki ora gur koe su"
Ia masih memelukku yang terus saja menangis
"Wes Qi, menengo, kabeh gapopo kok. Ayo muleh, westoh slamet"
Akupun menarik kepalaku dari bahunya, menyeka air mataku di wajah yang sudah tak karuan lagi ini. Kucoba untuk menghentikan tangis.
Rahmat dibonceng oleh Wanda, sedang aku membonceng Lala. Ada yang aneh, sejak awal pejalanan pulang,
Aku membelokkan spion kiri menghadap Lala. Nampak remaja perempuan seusiaku duduk tepat dibelakangku. Ia menyadari bahwa aku menatapnya dari kaca spion, kami saling bertatapan dari sana.
Ia tampak menggeleng, hanya menggeleng tanpa mengucap sepatah katapun. Diiringi pula dengan senyum tipisnya dengan bibir yang tertutup rapat.
Kami mengendarai motor ke sembarang arah, karena cuaca mendung dan berada
Tiba tiba kami melewati suatu tempat dengan patung besar berdiri tegak disana. Di tepi tepi jalan pun banyak berjejer warung templek.
*MONUMEN S*
Aku memelankan laju motor yang ku kendarai itu, kulihat jam yang menempel di pergelangan kiriku menunjukkan pukul empat sore
Maklum, tubuhku tidak tinggi, begitu pula dengan lenganku yang pendek. Mana mungkin bisa berlama lama mengendarai motor itu.
Kami sedikit berbincang saat bertukar posisi. Keheranan yang pastinya sama. Mengapa bisa kami berada disini dengan sekejap mata. Namun sementara kami kesampingkan pertanyaan mengenai hal aneh itu.
Sekarang aku kembali dibonceng oleh Wanda, aku membuka maps walau dengan baterai yang mulai menipis. Kini perjalanan kami akan terasa panjang melewati daerah daerah yang bahkan belum pernah kami lewati sebelumnya untuk kembali ke daerah Pakdhe
-Bersambung-
Hingga sampailah kami di dekat pasar suatu daerah.
Aku hanya menjawab seadanya sambil mengenakan mukenah
"Biasa, lagi rusoh (sedang kotor)" jawabku
Orang orang yang baru saja masuk masjid mengembangkan senyumnya pada kami
"Monggo Mbak Mas" ucap mereka
Liburan yang kami rencanakan tidak berjalan sesuai rencana, mau tak mau kami harus bermalam disini sampai esok tiba.
Selesai sholat kami berjalan kaki ke salah satu warung untuk mencari pengisi perut kosong ini.
(Kok beli empat sih dek, kelaperan banget ya? Hehe) tanya ibu pemilik warung
"Lha tiang sekawan eg Buk, nggih enggal enggal"
(Namanya juga berempat Bu, ya buat masing masing) jawab Rahmat
Ibu itu tampak mengerutkan alisnya,
"Telu ngono lho kok papat to"
(Tiga gitu masa dibilang empat) ucapnya kembali tersenyum sambil menyiapkan makan untuk kami bertiga
Aku dan anak anak hanya saling bertukar pandang.
Aku dan Rahmat yang tengah asyik mengunyah makananpun termangu sebentar mendengar perkataan Wanda itu, dan baru tersadar setelah ia mengulangi ucapannya
"Lala ilang!"
Hingga selepas sholat isha banyak lelaki yang datang ke warung tersebut, kami menanyakan apakah mereka melihat keberadaan teman kami Lala.
(Permisi bapak semuanya, tadi adakah yang tahu teman saya yang satunya lagi nggak ya?) tanya Rahmat, karena memang hanya aku diantara mereka yang tidak
Namun mereka justru ikut bingung. Menurut mereka semua, sedari awal kami hanya datang bertiga, akulah satu satunya perempuan diantara kedua temanku.
(Bukannya dari tadi kalian cuma bertiga ya mas?) tanya salah seorang warga
Kami bertiga menggeleng, Wanda menjelaskan bahwa kami datang berempat.
Namun semua orang yakin dengan pasti bahwa kami datang bertiga.
Aku menepuk Rahmat dan Wanda, isyarat untuk berhenti bicara.
Kami bertiga sepakat untuk tidak mencari Lala disekitar sini setelah mereka berdua mendengar perkataanku. Lebih baik esok saja kami kembali ke area benteng.
Aku menelfon Pakdhe, ia mengatakan bahwa aku harus pulang memutar mengambil jalan kearah kota untuk menjemput Lala dan kembali melewati W**U J***O.
Sekitar sekitar satu jam kami lalui, akhirnya kami tiba di daerah pusat kabupaten itu. Kami kembali memasuki benteng kemarin.
Seperti biasa, kami melewati pos jaga dan membeli karcis masuk. Disana ada salah satu petugas yang mengingat kami, ia ingat bahwa kemarin kami sudah kesini dan menanyakan kenapa kami kembali berkunjung.
(Lho kemarin bukannya abis dari sini ya dek?) tanya orang itu
"Inggih Pak, dereng rampung motret e"
(Iya Pak, kemarin belum selesai fotonya) dalihku menutupi, sebenarnya kami agak khawatir bilamana nanti dicurigai.
Kami memarkirkan kendaraan lalu segera memasuki kawasan tersebut untuk mencari dimana Lala disembunyikan.
Semua rasa sedih kubendung jadi satu, aku tak mau membuat keadaan ini semakin terasa buruk. Yang terpenting sekarang Lala dapat segera kutemukan.
Aku merasakan banyak sekali mata yang sedari tadi menatapku, banyak pula yang mengikuti setiap langkahku mengelilingi rumah mereka ini,
Karena tak kunjung membuahkan hasil, akupun menelfon Wandra dan Rahmat, meminta mereka untuk berkumpul di area belakang tempat terakhir kami meninggalkan Lala.
"Piye iki, awak dewe kudu piye"
Wanda hanya menggeleng, ia tampak sangat letih dan pasrah, merasa sangat tak berdaya dengan ini semua.
Kakiku terasa lemas, rasa laparku tak lagi ku pedulikan. Nyatanya aku kembali menangisi keadaan
*a]√:#.m*)!|^α<_{sr%€xz[>%{k¥π}*
Suara perbincangan seseorang terdengar olehku. Aku yang terkejut segera mencari asal suara itu. Wanda dan Rahmat yang terlihat panik melihatku tiba tiba bangkit dan lari tersentak dan ikut mengejarku.
Lala! Itu suara Lala!
Aku berlari ke arahnya sambil menghapus airmataku. Sampai jatuh tersungkur lalu menggelinding karena aku tak semoat memperhatikan jalan yang ku lewati.
"Lala!..."
"Lala lu dimana La!..." teriakku amat keras hingga beberapa pengunjung menatapku aneh.
Wanda dari belakang segera membekap mulutku dengan tangannya dan menarikku bersama Rahmat.
"Aku.. Aku mau.. Lala, Lala Nda, aku kru ngu sua rane Lala"
Mereka kemudian mencoba menenangkanku sejenak.
"Ambekano sek Qi, wes ayo goleki maneh nek awakmu wes tenang. Aku moh nggoleki nek ijeh nangis ngene awakmu"
Rahmat memberikanku botol minum, kutenggak habis isinya hingga hanya tersisa setengah
"Lala gakpopo, sing yakin"
Setelah aku benar benar tenang, aku menyuruh mereka untuk diam.
"Menengo sek yo, aku tunggoni. Tak nggoleki Lala"
"Ape lapo si Qi?"
(Mau ngapain sih Qi?) tanya Wanda
Aku tidak menjawab pertanyaan itu dan segera duduk, menyandarkan tubuhku pada tembok lalu memejamkan mata.
Lama aku mencarinya hingga sesuatu dengan aura mengintimidasi sangat besar menghampiriku. Ia mendekat perlahan kearahku...
-berlanjut-
Sosok itu kini berada sangat dekat denganku, aku mulai merasakan sesuatu memegang lembut bahuku dan membelai wajahku.
Tentunya aku tak dapat melihat apa apa, aku hanya bisa merasakannya.
Pundakku diremasnya dengan tangan yang terasa keriput itu, tangan yang terasa jelas sembulan tulang tulangnya.
Lalu seketika muncul denging yang sangat menyakitkan di telingaku.
Terasa ngilu, bahkan saat ini aku masih bisa membayangkan rasa ngilu itu.
Aku menahan diri sekuat tenaga agar tidak menjerit. Tubuhku terasa sangat lemah dan akupun memilih untuk membuka mata.
Perlahan terlihat jelas Wanda dan Rahmat yang memegangi kedua tanganku
"Koe ki lapo si?!"
(Kamu tuh ngapain sih?!) tanya Wanda padaku
Aku tidak menjawabnya dan masih saja termenung,
Pikiranku masih belum stabil karena denging yang baru saja ku dengar itu, kepalaku seperti dipenuhi olehnya yang terus saja terngiang, sesak.
Aku mulai sadar, kini telingaku sama sekali tak mendengar apapun dari dimensi mereka
Ku mencoba untuk bangkit, badan yang lemas ini kupaksa untuk berdiri hingga sempoyongan dan hampir saja jatuh tersungkur.
"Nderoko sek tala! Lek iseh lemes yo ojo dipekso"
"Ayo" ucapku
"Ngendi si Qi?"
(Kemana sih Qi?) tanya Rahmat
"Lala... Ayo.. " ucapku lirih
Wanda terlihat menggeleng gelengkan kepalanya. Mungkin ia heran melihat keras
Aku dibantu berjalan oleh Rahmat. Sedang Wanda membawa semua barang barang kami.
Entah muncul nalar darimana, aku yakin Lala berada di area kiri benteng tersebut. Masih ingat bukan dengan area tempat Lala memaksa untuk mengambil gambar?
(Ayo kesana! Ayo cari! Lala disembunyikan disini) ucapku pada mereka berdua
"Koe ki lho jare sopo"
(Kamu tuh dikasih tau siapa) tanya Wanda yang terlihat ragu
Aku menolehkan kepalaku ke arahnya, kutatap tajam matanya sinis.
Di area itu kami mencari Lala ke semua sudut hingga belasan kali, namun nihil. Lala tak kunjung ditemukan.
"Endi si Qi, gaono Lala nok kene"
(Mana sih Qi, gaada Lala disini) keluh Rahmat yang mulai merasa hilang harap
(Bodoh! Kamu pikir matamu itu bisa melihat mereka yang menyembunyikan Lala? Kalo aku aja gabisa apalagi kamu!) bentakku pada Rahmat
Entahlah, saat itu aku mulai terpancing emosi
(Kalian berdua tuh emang gak berguna) ucapku
Mungkin saat itu selain karena merasa kecewa mereka meragukanku, kelelahan juga ikut andil di dalamnya hingga aku tak lagi dapat menguasai kata kataku. Spontan semua emosi ku luapkan begitu saja.
Kepalanya kini menunduk, menarik nafas berat lalu menatapku kembali
"Yowes golekono dewe sak puasmu su"
(Yaudah carilah sendiri sepuasmu njing) umpatnya
"Lego Qi?"
(Lega Qi?) tanya Wanda dengan ekspresi datar padaku. Aku hanya terdiam menatapnya yang menggeleng lalu terlihat menurunkan ranselku, mengikuti jejak Rahmat meninggalkanku sendirian disana.
Aku bersimpuh ditanah, kebingungan dan rasa hampir patah semangat menyelimutiku.
(Laaaa... Lala kamu dimana sih) gumamku dalam hati
Aku sudah lelah mencari kesana kemari namun tiada satupun petunjuk.
Ransel milikku yang tadi ditinggalkan oleh Wanda kini kuraih. Aku berniat untuk mengambil minuman dari dalam sana.
Benda kecil seukuran lipatan jari telunjuk dan ibu jari, berwarna hitam pekat dan mengkilap. Ya, galeh kayu Gono Ulung.
Pakdhe sering menceritakan tentang pusaka pusakanya, termasuk yang satu ini.
Kini aku memposisikan diri duduk bersila, kuselipkan benda itu ke sela gelungan rambut dalam jilbabku.
Tiada cara lain, mungkin memang aku selalu menghindari
Kupejamkan mataku, segera aku memanggil namanya, entah berapa kali namun tak kunjung menerima jawaban. Tetiba aku teringat dengan cerita para sepuh dahulu...
Kuambil kembali benda itu dan kucabut beberapa helai rambutku, segera kulilitkan melingkarinya.
Tak lama, langit tiba tiba menghitam, sinar matahari terhalang oleh awan gelap dan tak mampu menembusnya. Kupikir wajar karena memang saat itu sudah mulai memasuki musim penghujan
Hawa dingin mulai terasa, membuatku merinding
Suara dehem terdengar didekatku
"Wes teko"
(Sudah datang) gumamku dalam batin
"Hahahaha" entah mengapa ia tertawa
Meski bisa berkomunikasi dengan mereka yang kuat, namun aku tak punya bakat untuk melihat makhluk makluk tersebut, begitu pula untuk melihatnya.
Ternyata ialah penunggu Gono Ulung.
(Bantu aku, cari temanku) perintahku padanya
"Ambune bocah Pahing"
(Baunya bocah Pahing) ucapnya kembali, nampaknya ia sama sekali tak mengimperhatikan kata kataku tadi
"Golekno koncoku saiki!"
(Cepat carikan temanku sekarang!) perintahku tegas
(Aku tahu matamu ditutup oleh sesuatu, mau kulepas?) tanya Gono padaku hingga membuatku kesal karena sejak tadi ia mengacuhkan kata kataku.
Tiba tiba mataku menangkap bayangan buram... Perlahan namun pasti bayangan itu semakin jelas
Akupun tak paham, mengapa tiba tiba aku bisa melihat makhluk itu. Ia nampak berwujud seorang pria dengan tubuh yang gagah dan sangat tinggi, dadanya bidang dengan otot ototnya yang membentuk lekukan. Rambut panjangnya digelung rapih keatas
"Kenopo meneng?"
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak nampak satupun makhluk halus lain disekitar kami. Aneh, jika memang mata batinku telah dibuka olehnya, seharusnya aku dapat melihat semua jin jin itu, tapi mengapa kali ini tidak?
"Ngetno maneh"
(Lihatlah lagi) ucapya tiba tiba mengagetkanku
Aku menelusur lebih jauh sedangkan dia tetap diam ditempat. Ternyata benar, mata batinku dibuka olehnya. Aku dapat melihat begitu mengerikan wujud makhluk
"Kenopo podo gak gelem mrene?"
(Kenapa pada gak mau kesini?) tanyaku padanya
Ia tak menjawabku namun hanya menengok kearah luar tempat kami berdiri,
Ternyata mereka takut padanya, pikirku.
"Utusku age golekne Lala!"
(Perintahku cepat cari Lala!) tegasku padanya
"Njur opo sing tak oleh?"
(Lalu apa yang kudapat?) sahutnya
"Opo njalukmu?" (Apa permintaanmu?) tanyaku dengan tatapan tajam,
Ia lagi lagi tak menjawabku, justru tersenyum kecut dan segera melesat ke suatu arah. Aku sampai tak kuasa mengikutinya walaupun dengan berlari.
Disana ia nampak mencekik leher sesosok tubuh wanita dari belakang. Ia mengangkat tubuh besar wanita itu dengan entengnya.
Seperti inilah kiranya...
"Lala!" teriakku padanya
Kini ia mengalihkan matanya kearahku dan segera merangkak kesusahan melewati seonggok daging besar yang menggantung hingga menyentuh tanah.
Aku menarik tubuhnya dan segera mendekap badannya itu.
Segera kubacakan adzan di telinganya agar ia merasa tenang dan benar benar tersadar. Kugendong tubuh itu keluar dari sana, memang mudah bagiku untuk menggendongnya karena badan Lala memang kurus tidak sepertiku yang gemuk.
"La.. Ngombe La ngombe" ucapku dengan nada bergetar karena ngos ngosan
Ia bisa minum, namun tampak masih sangat syok.
"Ya Allah La... " ucapku menyeka poninya yang acak acakan dan segera memeluk kepala itu di dadaku.
"Awakmu gakpopo toh La? Sepurane La sepurane aku sing salah"
Aku menyeka air mataku dan mengambil tisue basah di tasku tadi. Kubersihkan wajahnya itu, wajah yang masih termenung dengan tatapan kosong.
"Lala wes ketemu Nda!... Cepet mreneo"
(Lala udah ketemu Nda!... Cepetan kesini) perintahku pada Wanda dan segera mematikan telfonnya.
"Lala" ucap mereka yang segera berlutut dihadapan kami yang tengah duduk. Mata mereka terlihat berkaca kaca, kelihatannya sama denganku, mereka pun merasa terharu karena Lala telah ditemukan,
"Ayo gek ndang gage lungo seko kene"
(Ayo cepetan pergi dari sini) pintaku pada mereka
Wanda segera menggendong tubuh Lala, aku mengikutinya dibelakang.
Dadaku terasa sesak karena degup jantung yang tak bisa ku kontrol ini. Rasa takutku mendadak menguasai diri. Kepalaku pusing, perutku bahkan terasa mual karena mentalku belum siap sepenuhnya untuk
Ku kuatkan langkahku meski sedikit sempoyongan tak kuat menahan rasa pening ini. Tiba tiba Rahmat menangkap badanku, ia mbantuku berjalan meskipun masih saja diam seribu bahasa.
Setibanya di pintu masuk pertama, barulah ia membuka mulutnya
(Maaf Qi) hanya sepenggal itu saja dan kubalas dengan anggukan berat
Sesampainya di parkiran kulihat Gono Ulung telah menunggu kami disana, jadi sama sekali tiada makhluk yang menampakkan wujudnya padaku karena kehadirannya. Lega...
(Mat.. Telfon Pakdhe. Bilang kalo Lala udah ketemu) perintahku
Ia menurut dan segera menelfon Pakdhe
Setelahnya, ia mengatakan bahwa Pakdhe akan menyusul kemari untuk menjemput Lala
(Ayo cepat, aku mau bersihin badan Lala) ucapku
Akhirnya kami segera melaju pergi meninggalkan tempat itu. Aku berbonceng tiga dengan Wanda, Lala berada ditengah tengah kami.
Sampailah kami di salah satu pom bensin terdekat.
Telah kuanggap ia seperti saudariku, aku merasa sangat tersayat melihatnya dengan kondisi seperti itu.
-berlanjut-
Kutemukan selembar kain lusuh berwarna cokelat terbalut darah haid miliknya.
Kain apa itu? Apakah kain yang kemarin ia maksudkan? Namun aku sama sekali tidak merasa memiliki kain seperti itu, tidak beres!
Selesai dimandikan, kini kondisi Lala sudah mulai stabil. Ia bisa kuajak berbicara meskipun hanya menjawab dengan singkat. Bahkan, ia bisa mengenakan baju gantinya sendiri.
Aku masih didalam sana, membersihkan kain yang kutemukan itu. Aku menyemprotnya dengan air dari selang hingga bersih lalu membungkusnya dengan plastik. Aku menyimpannya di saku jaketku.
"La.. Maaf ya, kamu gapapa kan sekarang? Maafin kita bertiga ya" ucapku sembari menggenggam tangangannya
Ia menatapku, diam.
(Ayo makan dulu) ucap Rahmat yang datang membawakan sebungkus nasi untuk Lala
Aku menyuapi Lala, untunglah ia mau makan.
Kembali kutanyai ia tentang kejadian yang menimpanya hingga bisa terjebak seperti tadi.
Akhirnya ia mau membuka mulut.
"Yaudah yaudah jangan cerita dulu kalo gitu aku gajadi tanya. Yang penting lu makan dulu" ucapku padanya iba
Setelah menyuapinya, aku menyisir rambut panjang Lala itu
"Mat, Pakdhe telfonen maneh kandani lek awak dewe nok kene"
(Mat, Pakdhe telfon lagi gih, bilangin kalo kita ada disini) pintaku pada Rahmat. Ia segera melakukannya
Seturun dari mobil, Pakdhe tampak menatapku aneh. Namun segera menampakkan senyum diwajah tuanya itu.
"Piye nduk?"
(Gimana nak?) tanya ia sambil menatapku
Setelahnya, mata batinku kembali tertutup. Kini aku tak dapat lagi melihat mereka, lega rasanya
Pakdhe Adi pun mengikuti kami
"Ono opo nduk?"
(Ada apa nak?) tanyanya padaku
Aku mengambil bungkusan plastik di saku jaketku tadi, kuserahkan itu padanya
Ia tampak mengamati dengan seksama
(Apaan itu bang?) tanya Pakdhe Adi pada Pakdhe Har
"Wes tak bedek. Gombale anakan wewe Di"
(Udah aku tebak. Kain popok anak wewe Di) jelas Pakdhe Har yang membuatku dan Pakdhe Adi terkejut
Bagaimana bisa benda seperti itu dikenakan oleh Lala?
"Lala kok iso oleh ngeneki seko endi?"
(Lala kok bisa dapat ginian tuh darimana?) tanya Pakdhe
(Nana ya gatau toh Dhe, kemaren itu dia bilang kalo mendadak dapet. Trus aku suruh ke wc pakai punyaku. Kok malah pakai ini)
"Gadisku cilik wes gede cah"
(Gadis kecilku udah besar ya) ucap Pakdhe sambil tertawa terkekeh menatapku
"Oposi Pakdhe goro2 sampean iso doso aku"
(Apaan sih Pakdhe, gara2 kamu bisa dosa aku) gerutuku padanya. Aku memang masih kesal karena harus berurusan
"Doso ta gak iku sing ngerti sing kuoso, awak dewe isone mung nglakoni sing terbaik"
(Dosa atau enggaknya itu yang tahu yang Kuasa, kita cuma bisa melakukan yang terbaik) ucapnya menenangkanku
(Hebat anak perempuanku udah ga takut liat hantu) ejeknya kembali padaku yang kini ikut tertawa bersamanya
Lucu memang, aku yang awalnya hanya bisa mendengar suara mereka tiba tiba dapat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Kami bertiga kembali menghampiri Lala dan kedua kawanku berada.
"Piye nduk? Mantuk saiki yok"
(Gimana nak? Pulang sekarang yuk) ajak Pakdhe Har
Ia hanya mengangguk dan beranjak berdiri mengikuti Pakdhe memasuki mobil
"Na, melu balik karo Pakdhe ayo"
(Na, ayo ikut pulang sama Pakdhe) ajak Pakdhe padaku untuk pulang bersamanya saja menggunakan mobil
"Gak Dhe, tak karo Rahmat Wanda wae"
(Gak Dhe, biar aku sama Rahmat Wanda aja) jelasku padanya
Entah mengapa ia justu senang mendengar jawabanku, senyumnya mengembang.
"Yowes Pakdhe mantuk yo, sing ngati ati nduk le. Wes ndang podo aduso sek ben ra ngantuk lek mlaku muleh"
(Yaudah Pakdhe pulang dulu ya, hati hati nak. Mandilah dulu biar
Kami mengiyakannya, kemudian mobil itu segera melaju menjauh
Kami masing masing bergiliran untuk mandi dan menjaga barang. Setelahnya kami mencari makan karena sedari pagi perut ini belum terisi apapun
"Awak dewe lewat W**U J**O maneh a Qi?"
(Kita lewat sana lagi Qi?) tanya Rahmat padaku yang sedang menali kembali sepatuku di depan warung makan tempat kami rehat itu
"Iyo a ndi maneh, mau esok bukane dikon Pakdhe"
Ia hanya menatapku diam, seakan ada sesuatu yang ia tahan untuk ungkapkan
"Westalah tenang, gapopo inshaAllah gaono kedaden koyo wingi maneh"
(Dahlah tenang, gapapa inshaAllah
Kini ia tersenyum membalas senyumanku
"Wes gaono sing keri?"
(Dah gaada yang ketinggalan?) tanya Wanda tiba tiba
"Gaonok, yok budalkan"
(Gaada, yok berangkat) sahutku sambil meraih ransel
Kami mengambil kecepatan rata rata, tidak cepat tidak pula lambat. Bertiga menikmati perjalanan itu sebelum kami benar benar kembali pulang ke daerah asal
Kebetulan jalanan saat itu kelewat sepi, bahkan hanya ada beberapa truk yang tampak melewati kami, tiada pengendara motor sama sekali, tumben.
(Nda aku merem bentar ya, kalo kerasa capek bangunin) ucapku pada Wanda yang menyetir
"Iyowes turuo sek"
(Yaudah tidurlah dulu) jawabnya singkat
Aku memang punya kebiasaan buruk yaitu tertidur tak peduli tempat.
Ku tali ransel yang ada dipunggungku pada ransel Wanda agar jika aku hampir terjatuh setidaknya masih ada pengait yang mencegahku
Mataku mulai terpejam. Ku sandarkan kepalaku di punggung Wanda, entah berapa lama aku tertidur, mungkin hampir satu jam perjalanan hingga suatu rasa panas dari dalam jaket membangunkanku.
Apaan nih kok panas, batinku sambil mencoba mengembalikan kesadaran.
Kuraih sebuah benda yang dari tadi memang kusimpan disana, ya, tidak lain tidak bukan si Gono Ulung pastinya.
Rasa panas itu berasal darisana.
"Nopo iki"
(Kenapa nih) ucapku mengagetkan Wanda
"Kenopo Qi?" tanya Wanda
Belum sempat aku menjawabnya, tetiba terasa sesuatu melewati tubuhku dengan cepat secepat kilat hingga membuatku tersentak kesusahan bernafas
Saat bangun, aku tengah berada di dasar tanah yang dalam jauh dari area jalan raya. Medannya menanjak seperti jurang,
"Nghhh, nengdi iki"
(Dimana ini) tanyaku pada mereka sambil mengaduh sakit
"Qi.. " ucap Wanda yang segera memelukku erat
Aku bingung dengan apa yang terjadi dan mengapa kami bisa berada disini
(Kenapa sih, ini ada apa sebenernya) tanyaku kebingungan
Wajah Rahmat pun nampak memerah dengan matanya yang berair. Ia mengelapnya dan ikut memelukku.
"Ya Allah Qi, aku wes wedi kudu ngomong piye nang wongtuamu lek sampek awakmu kenopo nopo"
"Ayo wes surup ayo cepet bali"
(Ayo udah sore banget ayo cepet balik) gesa Rahmat kembali
Mereka berdua pun bangkit lalu membantuku berdiri dan membersihkan
"Aaarh, lho lho sikilku kok loro"
(Loh kakiku lok sakit) ucapku kaget merasakan kakiku yang sangat perih dan linu
Ku periksa kakiku ini, benar saja, ternyata lututku berdarah
"Lho lho kok ngene sikilku"
(Lho lho kok gini kakiku) ucapku heran yang saat itu juga mulai menangis
Sepanjang jalan Wanda hanya diam membisu. Sesampainya dihalaman rumah Pakdhe,
"Assalamualaikum" ucapnya yang disusul oleh Rahmat dari belakang kami
"Waalaikumssalam" sahut Budhe yang sedang mencuci gelas dibelakang warungnya
"Astaghfirullah Na, nopo awakmu ki nduk (kamu ini kenapa nak) ya Allah gusti"
Aku yang mendengarnya pun tetiba menangis kembali, jangan ditanya lagi, aku memang sangat cengeng kala itu.
Wanda segera melangkah masuk ke rumah dan merebahkanku di kasur lantai ruang tengah rumah Pakdhe,
"Qi.. Astaga" ia nampak tak kalah terkejutnya dengan Budhe
Dan ya Budhe segera membantuku berganti pakaian, membersihkan lukaku dan menelfon salah satu keponakan temannya
Setelah mendapat penanganan, kami semua masih berkumpul diruang sana, kini bersama dengan Pakdhe juga.
"Iki mau piye ceritane kabeh kok iso koyo ngene, sedeh nduk le atine wong tuo
(ini tadi gimana ceritanya kok kalian semua bisa kaya gini, sedih nak hati kami selaku orangtua lihat kalian pengen liburan senang senang kok malah seperti ini jadinya)
Disitulah semuanya mulai membuka suara tentang apa yang kami alami dari sudut masing masing
-berlanjut-
"Maaf Budhe kalo kita semua malah nambahin beban pikiran Pakdhe Budhe" ucapnya memohon maaf dan merasa tidak enak
Budhe hanya menghela nafas panjang
"Gapapa nduk, yaudah sini cerita" jawabnya pada Lala
*Mulai kini cerita akan saya lanjutkan dari sudut pandang Lala
Meski merasa canggung, aku meminta maaf kepada dua orangtua yang berbaik hati terhadap kami itu karena telah membuat mereka sempat khawatir.
"Jadi gini Budhe.. " ujarku mulai menjelaskan runtutan cerita
"Bagi Lala tuh semuanya kerasa baru beberapa jam Dhe" jelasku
"Lala ngerasa ngantuk banget waktu duduk di bawah pohon tempat kita istirahat kemaren, eh dua hari lalu maksudnya. Dan baru sebentar Lala ketiduran, ada orang yang bangunin Lala. Dia bilang jangan tidur disitu...
"Kita lewatin jalan setapak, rumpun bambu dan disapa anggukan banyak warga kaya normalnya keramahan orang dusun ini Dhe" pungkasku
Mari masuk lebih dalam ke cerita, kembali le dua hari lalu.
"Lungguho"
(Duduklah) ia menyuruhku duduk di tempat tidur kecil tanpa kasur
Dia berjalan ke belakang dan membawakan beberapa makanan untukku, ada singkong jagung dan kacang tanah rebus ia letakkan disebelahku. Ia duduk dan mengajakku mengobrol panjang lebar menggunakan bahasa jawa pastinya.
Sembari melahap makanan yang ia suguhkan, tiba tiba ia memuji rambutku.
(Rambutmu bagus nak, aku sisirin ya) pintanya padaku
Aku hanya mengiyakan tanpa berpikir negatif. Ia segera mengambil sisir kayu yang terselip dipinggangnya dan menyisir rambutku dengan sangay halus.
Kemudian datanglah seorang anak
Perempuan itu mengulurkan tangannya pada bocah tersebut
"Mari dolan kondi"
(Abis main darimana) tanyanya
"Eee ngono, koncomu akeh a"
(Oh gitu, temenmu banyak ya) ucapnya kembali
"Ojo dolan mrono, ngko lek koe dikon nyingkreh"
(Jangan main kesana, nanti kalo kamu diusir) lagi lagi hanya
Ia nampak bicara panjang lebar dengan sang anak mengenai sungai dekat sana, entahlah akupun kurang paham.
Selang sesaat ada yang aneh, aku merasakan hembusan nafas tepat di depan wajahku yang memaksa mataku untuk terbuka.
Aku takut, sangat sangat takut.
"Kula anu, arep... niku, em.. jalan, eh maksudnya mlaku muter desa"
(Saya mau itu, em jalan keliling desa)
Aku berjalan tak tentu arah, pada intinya jalan menjauhi rumah tersebut. Saat itu aku sama sekali buta arah mata angin,
Sampailah aku di suatu tanah lapang, disana ada banyak orang orang yang terlihat sangat mengenaskan dihajar dipukuli habis habisan oleh orang berkulit putih.
Aku sangat ketakutan, nafasku tak bisa kuatur, degup jantungku memburu tak menentu. Kuputuskan untuk berlari, sembunyi di balik salah satu tembok sambil
Mereka semua menatapku sambil terengah engah dan sebagian tampak menangis.
Aku berteriak ketakutan, apa semua ini, mengapa aku disini, mengapa aku melihat mereka.
Akankah arwah arwah itu ingin menunjukkan padaku
Aku masih saja menjerit hingga lemas lalu hampir pingsan, wanita itu menghampiriku kembali. Ia segera menarik lenganku dan membawaku menjauh, ia sama sekali tak menoleh padaku yang memberontak
Dibawanya aku kembali ke gubuk tuanya tadi. Disana aku menangis tersedu sedu hingga entah berapa lama. Ia seakan tak mempedulikan tangisanku, justru mendekat padaku, duduk disampingku dan mengelus elus rambut panjangku.
Tiba tiba muncul sesosok pria bertubuh hitam legam dihadapanku. Dengan sigap tangannya meraih leher wanita itu, mencekiknya kuat kuat dan mengangkat tubuhnya.
Gila! Mana mungkin perempuan yang kulihat tadi berubah menjadi sosok mengerikan dengan payudaranya yang menggantung panjang serta rambutnya yang semrawut menjijikkan.
"Lala!" terikan seseorang menyebut namaku
Aku menoleh keasal suara itu, Qiana! Qia ada disini! Aku harus berusaha keluar dari tempat ini.
Aku sudah mulai mendekat kearahnya, Qia segera menarikku dan membantuku menjauh dari dua makhluk itu.
** Akhir cerita Lala
.
.
.
Kembali ke sudut pandang Qia
Pakdhe kini mendekat kearah kami, ia menanyakan beberapa hal pada Lala
"Lha awakmu kok bisa dapet kain kemarin iku darimana to nduk?" tanya Pakdhe penasaran, tangan kirinya masih memegangi segelas kopi
"Kain? Maksud Pakdhe?" tanya Lala bingung
"Kain yang kamu buat alas serap La" sahutku
Lala tampak tercekat mendengar ucapanku
"Dari atas tasmu lah Qi, kemaren waktu aku bawa tas kamu ke kamar mandi, diatasnya ada kain itu" jelas Lala
"Lah awakmu ngerti gak apa yang kamu makan dirumahnya waktu itu?" tanya Pakdhe lagi pada Lala
"Yaweslah mending gausah tak ceritakne, anggep wae iku pancen panganan biasa"
(Yaudahlah mending gausah saya ceritakan, anggep aja itu memang makanan biasa) tutup Pakdhe
(Trus Pakdhe, kemarin siapa yang menyerupai Lala, ngikutin kita sampe kita ga sadar kalo Lala sebenernya ilang) tanyaku penasaran, sekalian agar semuanya lebih jelas.
"Iku sing melu Lala, gowone seko kulon kono. Deweke oraiso nulungi Lala amergo rak mungkin kuat ngadepi isine benteng kui. Dadi amung ngetutne awakmu kabeh, mastekne koe kabeh gak lungo adoh ninggalke Lala"
(Sebenernya dia udah berulang kali ngajak kamu bicara loh, tapi kebetulan kamunya aja yang lagi gabisa diajak komunikasi) timpalnya kembali
Aku hanya kebingungan,
"Ndekne kalah sepuh karo sing njogo awakmu nduk, nyai pengen awakmu moleh gak kangelan ngurusi urusane kancamu. Mulo awakmu dialangi cik rak diajak omong barang kui"
Aku hanya diam mencerna perkataan Pakdhe, memang entah sudah berapa kali aku mendengar
"Lha trus kenopo kok aku nganti disasatno tekan alas siseh kono Dhe lek ancene ndekne jogo aku"
"Guduk ndekne sing nyasatno, sing nyekel alas iku pancen pengen mbedo awakmu"
(Bukan dia yang nyesatin, penunggu hutan itu memang lagi pengen ngerjain kamu)
"Jan asu e"
(Anjinglah emang) umpatku kesal sambil tertawa. Kini aku merangkul Budhe, aku bersandar dipelukannya. Budhe pun menanyakan bagaimana aku bisa mendapat luka di kakiku itu. Aku menjawab bahwa aku sama sekali tidak mengetahui apapun
"Anu Budhe, kala wangsul wau Qia kesurupan" ucap Rahmat memulai topik ini
-berlanjut-
"Oooooh" Budhe nampak sama sekali tak terkejut mendengar hal itu
Teman temanku pun menjadi bingung dengan ekspresi kedua orangtua itu yang nampak biasa saja
"Hahaha wes ra gumun maneh lek cah iki kesurupan"
"Piye ceritakne le"
(Gimana, coba ceritain nak) pinta Pakdhe pada Rahmat dan Wanda
"Kulo nggih mboten ngertos Pakdhe, moro moro njenggelak trus mlumpat motor"
"Lha kulo nggih ogel toh Dhe, ajrih lek ngantos deweke kenopo nopo"
(Lah saya juga gemetaran toh Dhe, takut kalo sampe dia kenapa napa) ujarnya kembali
(Iya Dhe, saya juga kaget kok Qia gerak gak karuan sampe lompat lompat kesetanan gitu) timpal Rahmat
Pakdhe hanya tertawa cekikikan mendengarnya
(Trus gimana lagi?) tanyaku kesal melihat Pakdhe yang justru tertawa
"Yo awakmu mlompat mengisor jurang toh Qi. Aku karo Wanda nganti kualahen ngetutno. Ate tak tutake medun ki yo kok mengko angel munggahe. Ate tak tinggal kok mesti disalahno wong akeh"
Aku merasa bersalah padanya...
(Tingkahmu loh udah kaya anjing liar. Pengen aku pukul aja rasanya) sahut Wanda sambil tertawa mengejekku
Mereka berdua menjelaskan panjang lebar apa yang terjadi sewaktu aku kesurupan kemarin.
Pakdhe pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tadi dari penerawangannya, menurutnya ada dua makhluk kembar penghuni alas tersebut yang mencoba merasukiku.
Kadang akupun tak menyangka hal itu bisa terjadi padaku, karena memang tak bisa diterima oleh akal sehatku sebagai manusia yang selalu menggunakan logika.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung atau menjatuhkan pihak siapapun.
.
.
.
FYI Gono Ulung adalah pusaka berisi Khodam dari Gunung Lawu yang dikalahkan dan dikurung oleh seorang Warok kedalam galeh kayu. Pastinya kalian tidak asing dengan seseorang yang disebut Warok bukan?
Dan ya setelah serangkaian kejadian yang terjadi pada kami tersebut
Dan mengenai Nyai, entahlah sampai sekarangpun aku tak pernah melihat sosoknya.
Qi gak tahu namanya dan gak mau ngasih dia nama, jadi Qia sebut aja dia Nyai.
Oh ya, kalau ada pertanyaan mengenai cerita silahkan komen atau DM.
*Salam buat readers dari Lala
#bacahorror @bacahorror
#ceritaht @ceritaht
#memetwit @InfoMemeTwit
#CEMARA @Cemara_OFC
THE END
.
.
.
.
Qiana
See you soon