, 44 tweets, 6 min read
My Authors
Read all threads
Sejarah Anti Cina

Asal mula masalah anti Cina dan Cina sebagai “asing”, seperti banyak hal di Indonesia modern, berakar pada zaman kolonial. Hindia Belanda membagi masyarakat ke dalam tiga golongan rasial: Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain) dan pribumi.
Sampai kira-kira tahun 1910, setiap golongan ras ditetapkan tinggal di masing-masing kampung sehingga ada kampung Cina, Arab, Bugis, Melayu dan lain-lain.
Pembatasan terhadap mobilitas badaniah itu, bagi golongan Timur Asing seperti Cina dipertegas dengan keharusan memiliki pas jalan bagi perjalanan dari satu kampung Cina ke yang lain.
Sistem pembatasan bergerak itu dikenal sebagai
passenstelsel dan wijkenstelsel (sistem pas jalan dan perkampungan) mengingatkan kita kepada sistem apartheid yang kemudian dikenal di Afrika Selatan dan kini pun sudah ambruk juga.
Banyak dugaan dan mitos yang mengatakan bahwa golongan penduduk Cina selalu diprioritaskan oleh pemerintah kolonial. Namun, menurut ilmuwan seperti Victor Purcell dan Lea Williams, justru penguasa kolonial Belanda memiliki sentimen anti Cina yang sangat besar.
Sentimen anti Cina ini memuncak pada zaman Politik
Etis (1900), ketika Belanda merasa perlu melindungi penduduk pribumi terhadap “kelicinan” Cina.
Sebab sepanjang sejarah, orang Cina menempati kedudukan sebagai pedagang perantara Eropa dengan pribumi dan mendominasi perdagangan di jalan-jalan utama tiap kota di Jawa. Kedudukan ekonomi ini sampai sekarang tetap bertahan atau dipertahankan.
Politik kolonial anti Cina ini menyebabkan timbulnya gerakan emansipasi atau gerakan Cina-Jawa. Mereka menuntut persamaan hak dengan orang Eropa. Gerakan ini adalah yang pertama dari segolongan penduduk di masyarakat Hindia Belanda yang bergerak menghadapinya.
Gerakan ini berhasil menghapuskan semua
pembatasan terhadap mobilitas fisik orang Cina (keharusan tinggal di kampung Cina dan pas jalan bagi orang Cina).
Kita harus ingat bahwa gerakan Cina-Jawa bergerak demi
golongan Cina itu sendiri. Ini dapat dimengerti mengingat
politik apartheid pemerintah kolonial sehingga tiap golongan rasial penduduk hanya bergerak demi golongannya sendiri.
Ini menjadi khas zaman pergerakan pada masa Hindia Belanda. Ketika pergerakan “nasional” timbul (1908), gerakan-gerakan itu tetap saja bergerak hanya demi tiap-tiap golongan penduduk.
Misalnya, Jawa demi Jawa (Boedi Oetomo/Jong Java), Sumatra demi Sumatra (Jong Sumatra), Ambon demi Ambon (Jong Ambon). Perubahan baru datang pada tahun 1920-an.
Pada tahun-tahun itu, konsepsi Indonesia sebagai konsep politik lahir, dan puncaknya terjadi di tahun 1928:
Lahirnya Sumpah Pemuda. Perkecualian dari kecenderungan ini adalah konsep “Indisch” atau “Hindia” dari Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) pada tahun 1909.
Konsepsi kebangsaan yang dilahirkan pada tahun 1920-an
biarpun tidak secara eksplisit mengatakan demikian, sekali lagi sedikit banyak bersifat ekslusif pribumi.
Partai-partai gerakan nasionalis pada waktu itu, di luar partai-partai kiri, tidak menerima anggota dari golongan penduduk lain, kecuali pribumi.
Pada tahun 1930-an, ada perkembangan baru: berdirinya Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini memihak kepada gerakan Indonesia merdeka dan menyokong petisi-petisi bernada demikian di Volksraad.
Akan tetapi, PTI pun menggolongkan para nasionalis
Cina-Indonesia ini dalam satu wadah tersendiri. Hanya Partai Indonesia (Partindo), partainya Amir Syarifuddin pada tahun 1930- an, yang menerima anggota nonpribumi, termasuk Cina
Akan tetapi, Partai Indonesia Raya (Parindra) tetap menolaknya. Zaman yang disebut pergerakan nasional juga dilatarbelakangi persaingan ekonomi borjuasi tiap golongan.
Penghapusan restriksi badaniah terhadap Timur Asing juga berarti modal Cina dapat keluar dari Kampung Cina dan menyaingi borjuasi Jawa. Timbul reaksi: munculnya Sarekat Dagang Islamiyah yang kemudian menjelma menjadi Sarekat Islam.
Konflik rasial pertama yang mencolok antara Jawa dan Cina terjadi pada tahun 1918 di Kudus. Pangkal soalnya adalah prosesi agama Cina di sekitar klenteng.
Pada bulan Maret 1942, ketika Jepang mendarat di pantai
utara Jawa dan dalam waktu singkat Belanda menyerah, di banyak kota sepanjang pantai utara Jawa terjadi kekerasan terhadap orang Cina, dari perampokan toko sampai rumah.
Kekosongan kekuasaan dapat menimbulkan sikap mengeruk dalam kesempitan. Namun, lebih penting lagi adalah kekosongan kekuasaan dan kebingungan dapat menimbulkan agresi sebagai pertahanan diri, asersi diri
sendiri atau penemuan (pencarian) identitas.
Istilah-istilah populer seperti “mencari jati diri”, mawas diri dan lain-lain mengungkapkan keadaan jiwa tersebut.
Sejak Maret 1942, dapat dikatakan bahwa Indonesia dalam keadaan labil, bahkan terjadi kekacauan di segala bidang sampai kira-kira tahun 1974 (oil boom).
Tiga puluh tahun kekacauan (1942-1974) tentu tidak dapat terhapus begitu saja. Hal itu juga ditandai oleh kekerasan (violence) sebagai suatu alat yang sah untuk menyelesaikan masalah politik, sosial dan ekonomi serta
yang bersifat “eliminasi” (penghancuran total).
Sejarah kekerasan pascakolonial ini khususnya terletak di Jawa yang dalam zaman kolonial terkenal sebagai “bangsa yang paling “zachtmoedig”, (halus, cinta damai) yang masih menjadi “ideologi” resmi kita. Ketidakstabilan rupanya dapat menjadikan orang-orang agresif.
Pada zaman revolusi, pembenaran terhadap kekerasan dan
“aksi sepihak” dikarenakan timbulnya banyak kekerasan.
Namun, kecuali di Tangerang (1945/1946) dan beberapa insiden kecil lain, kebanyakan kekerasan pada zaman revolusi fisik (1945–1950) lebih terarah kepada golongan-golongan sosial seperti pangreh-praja (Peristiwa Tiga Daerah),
anti Swapraja (antikedudukan Kasunanan
dan Mangkunegaran), peristiwa Madiun, dan lain-lain. Dengan singkat, pada zaman revolusi anti feodalisme mendominasi masalah antirasial.
Pada dekade 1950-an, masalah Cina di Indonesia merupakan kelanjutan dari sejarah sebelumnya. Pertama-tama ada masalah kewarganegaraan yang bertele-tele, juga soal pribumisasi.
Menurut perjanjian Konferensi Meja Bundar, orang Cina bersama nonpribumi yang lain menjadi warga negara secara pasif. Namun kemudian, WNI keturunan Cina mendapatkan pencarian statusnya kembali.
Kewarganegaraan Indonesia menjadi pilihan aktif karena perjanjian Chou-Sunarjo di Konferensi Bandung (1955) yang menyelesaikan masalah dwikewarganegaraan.
Anehnya, selesainya masalah dwikewarganegaraan juga
mengakhiri politik “Benteng”. Politik Benteng bermaksud
memunculkan borjuasi Indonesia dengan memberi lisensi (valuta asing) kepada importir baerang-barang hanya pada orang Indonesia (pribumi).
Dengan selesainya masalah dwikewarganegaraan,
maka WNI keturunan Cina dianggap orang Indonesia dan berhak memperoleh lisensi. Artinya mereka bisa menjadi importiran berpolitik.
Pada tahun 1959, ada larangan bagi orang Cina asing berada di daerah pedesaan. Larangan itu membedakan antara WNI dan asing, namun sering kedua golongan itu tersangkut.
Dalam tahun 1963, kota-kota di Jawa Barat, khususnya Bandung, yang sejak itu sering tegang tentang masalah rasial, dilanda aksi anti Cina dengan korban toko-toko Cina. Pada pembantaian massal tahun 1965-1966, yang menjadi korban khususnya orang Indonesia yang komunis.
Banhkan kalau ada korban Cina, itu sebagai komunis
atau simpatisan komunis. Hal ini berlainan dengan kisah di luar negeri yang mengatakan pembantaian itu perang saudara yang ditujukan kepada penduduk Cina.
Awal mula dari pandangan di luar itu mungkin bertolak dari kenyataan bahwa Indonesia melakukan kebijakan antibudaya Cina pada zaman awal Orde Baru. Misalnya, huruf-huruf Cina dilarang, penggantian istilah Tionghoa ke Cina, larangan perayaan Imlek dan lain-lain.
Yang agak menonjol sekali: tidak ada menteri nonpribumi dalam kabinet-kabinet Orde Baru. Sebaliknya, itu hampir selalu terdapat dalam kabinet Presiden Soekarno setelah tahun 1950.
Sejak tahun 1942, sejarah Indonesia penuh kekerasan
dan kekerasan seakan-akan masih dianggap alat sah untuk menyelesaikan konflik-konflik apa pun.
Namun, meski ancaman demikian tetap ada, tidak semua kekerasan sepanjang sejarah pascakolonial bersifat anti Cina atau konflik antar agama.
Masalah kekerasan itu hanya bisa selesai bila masyarakat Indonesia, baik pemerintah maupun rakyatnya, mengakui bahwa sejarah tersebut penuh kekerasan dan bertobat.
Akan tetapi, kadang kala justru kelihatan bahwa konflik rasial dan agama tersebut dikipasi dan dibiarkan.
Biarpun demikian tidak ada yang lebih mendestabilisasi wibawa pemerintah dan mengundang keguncangan masyarakat daripada kekerasan di masyarakat. Masa depan Indonesia mungkin akan tergantung dari hubungan mayoritas-minoritas serta pemecahannya.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Komunitas Bambu

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!