Asal mula masalah anti Cina dan Cina sebagai “asing”, seperti banyak hal di Indonesia modern, berakar pada zaman kolonial. Hindia Belanda membagi masyarakat ke dalam tiga golongan rasial: Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain) dan pribumi.
passenstelsel dan wijkenstelsel (sistem pas jalan dan perkampungan) mengingatkan kita kepada sistem apartheid yang kemudian dikenal di Afrika Selatan dan kini pun sudah ambruk juga.
Etis (1900), ketika Belanda merasa perlu melindungi penduduk pribumi terhadap “kelicinan” Cina.
pembatasan terhadap mobilitas fisik orang Cina (keharusan tinggal di kampung Cina dan pas jalan bagi orang Cina).
golongan Cina itu sendiri. Ini dapat dimengerti mengingat
politik apartheid pemerintah kolonial sehingga tiap golongan rasial penduduk hanya bergerak demi golongannya sendiri.
Pada tahun-tahun itu, konsepsi Indonesia sebagai konsep politik lahir, dan puncaknya terjadi di tahun 1928:
biarpun tidak secara eksplisit mengatakan demikian, sekali lagi sedikit banyak bersifat ekslusif pribumi.
Cina-Indonesia ini dalam satu wadah tersendiri. Hanya Partai Indonesia (Partindo), partainya Amir Syarifuddin pada tahun 1930- an, yang menerima anggota nonpribumi, termasuk Cina
utara Jawa dan dalam waktu singkat Belanda menyerah, di banyak kota sepanjang pantai utara Jawa terjadi kekerasan terhadap orang Cina, dari perampokan toko sampai rumah.
sendiri atau penemuan (pencarian) identitas.
Sejak Maret 1942, dapat dikatakan bahwa Indonesia dalam keadaan labil, bahkan terjadi kekacauan di segala bidang sampai kira-kira tahun 1974 (oil boom).
yang bersifat “eliminasi” (penghancuran total).
“aksi sepihak” dikarenakan timbulnya banyak kekerasan.
dan Mangkunegaran), peristiwa Madiun, dan lain-lain. Dengan singkat, pada zaman revolusi anti feodalisme mendominasi masalah antirasial.
mengakhiri politik “Benteng”. Politik Benteng bermaksud
memunculkan borjuasi Indonesia dengan memberi lisensi (valuta asing) kepada importir baerang-barang hanya pada orang Indonesia (pribumi).
maka WNI keturunan Cina dianggap orang Indonesia dan berhak memperoleh lisensi. Artinya mereka bisa menjadi importiran berpolitik.
atau simpatisan komunis. Hal ini berlainan dengan kisah di luar negeri yang mengatakan pembantaian itu perang saudara yang ditujukan kepada penduduk Cina.
dan kekerasan seakan-akan masih dianggap alat sah untuk menyelesaikan konflik-konflik apa pun.