"Kampung Gaib part 1"

Thread

Jangan melanggar pantangan apapun saat berkunjung di suatu tempat jika tidak mau celaka.

Kisah sekelompok pendaki yang ingin menikmati liburan namun rasa penasaran membuat mereka mengalami kejadian mengerikan. Image
Hayy, selamat siang dan selamat bertemu kembali denganku. Sesuai request kalian dan berbagai DM. Aku akan sajikan cerita horor untuk menemani siangmu. Selamat menikmati.
Perkuliahan semester 2 telah usai dan untuk mengisi libur panjangnya,
Diki, Rido, Laras dan Meli, berencana mengadakan acara camp ke puncak gunung Lawu. Memang sudah jauh hari mereka berencana untuk pergi kesana karena penasaran dengan warung Mbok Yem yang berada di atas gunung.
Diki pacarnya Laras dan Rido pacarnya Meli. Dua pasangan kekasih itu sama sama suka touring ketempat yang masih asri untuk sekedar melepas penat, suka tantangan dan suka dengan suasana baru. Yaahh, itulah mereka.
Terlihat mereka berempat lagi sibuk memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi mobil. Sesaat setelah beres packing semua barang, akhirnya mobil melaju kencang membawa keempat muda mudi itu menuju ke tempat yang mereka idam-idamkan sejak dulu.
Mereka start dari semarang dan 5 jam perjalanan mereka tiba di suatu Desa di kaki Gunung, mobil pun berhenti. Mereka rencananya mau bertemu Kepala Desa untuk menitipkan mobilnya, karena mobil gak mungkin bisa dibawa naik gunung dan jalan mobilnya pun cuman sampe Desa itu.
Sesaat mereka pada diam sambil melihat lihat suasana Desa yang tertata rapih. Rumah kayu yang saling berhadapan dengan dinding anyaman kulit bambu yang unik. Jalan kampung yang terjal berliku naik turun.
Di belakang kampung terlihat hamparan sawah nan luas menyusun ke bawah di tebing berbukit, menambah kesejukan panorama alam. Sesekali terdengar suara hewan dan binatang peliharaan saling bersahutan.

Hiruk pikuk kota terganti ketenangan. Ahh begitu menyenangkan bukan suasananya?
Selagi mereka merasakan suasana desa, terlihat ada seorang petani lewat.

"Maaf pak, saya mau nanya. Kalau rumah pa Kades dimana ya?" Diki bertanya.

"Oh, tuh den yang pagarnya warna biru. Memangnya aden mau ngapain?" petani itu menjawab dan balik bertanya.
"Ini mang, kami mau menitipkan mobil kami di sini, dan kami mau naik ke puncak gunung, mau kemping', jawab Diki.

"Oh gitu. Oh ya den, hati2 ya kalau ke sana, ada hutan yang dipagar dekat dengan puncak, kalau bisa jangan ngecamp disitu yaa. Agak jauhan dikit" ujar petani itu.
"Memang kenapa pak? Apa puncak gunung ini angker ya mang?", Meli yang sedari tadi hanya mendengarkan pun bertanya.

"Gak juga neng. Ya, hanya hutan itu aja neng. Hutannya gak luas, cuman sengaja dipagar sama bapa kuncen penjaga gunung sini, dan ada larangan masuk ke situ. (Cont)
Saya juga gak tau jelas apa sebabnya neng. Tapi yang pasti, semua warga di sini harus bilang ke setiap orang asing yang mendaki atau berkemping, supaya mematuhi larangannya', tutur petani itu.

Kami semuapun penasaran dan saling tatap satu sama lain dengar penjelasan petani itu.
"Oh gitu ya pak, kata Meli.

"Ya neng. Kalau gitu, saya permisi dulu", kata petani itu dan langsung meninggalkan mereka berempat.

"Iya mang. Terima kasih ya, sudah mengingatkan", Diki menganggukan kepala sambil mengerutkan alisnya.
"Gimana nih Dik? Apa kita naik aja atau pulang lagi ke Semarang? Masa Iya kita pulang lagi? Lagian tuh si bapak nakut nakutin kita aja, bikin ngga mood nglanjutin pendakian!", Rido menggerutu heran dan sedikit pesimis.
"Ya, kita jadi dong! Gak ada salahnya kita nurutin apa kata si bapak. Kan Si Bapak hanya bilang jangan memasuki hutan yang dipagar. Udahlah, jangan pada parno kalian, mending sekarang kita temui dulu pak Kades. Kita nitipin mobil sambil kita bahas kata si bapak tadi", kata Diki.
"Ya sudah kalau begitu. Gimana baiknya aja”, Rido, Meli dan Laras pun pada menganggukan kepala dan mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah kepala desa yang tak jauh dari tempat mereka bertemu petani tadi.

********
Setelah sampai di rumah pak Kades dengan rumah joglo dan halaman yang luas, mereka pun mencoba mengetuk pintu. Ternyata pak Kades sendiri yang buka pintu.

"Maaf, apa benar ini rumah pak Kades?" dengan nada sopan Diki bertanya.
"Iya saya sendiri. Ayo silakan masuk! Kita bicara di dalam saja', dengan ramah pak Kades mempersilahkan mereka masuk.

"Ada apaya? Dan kalian darimana?", tanya pak Kades dengan nada lemah lembut, sopan dan berwibawa.
"Kami dari Semarang pak. Datang ke sini mau kemping ke puncak gunung Lawu. Kalau gak keberatan, kami mau nitipin mobil kami di sini untuk beberapa hari, apakah diperbolehkan pak?", kata Diki.
"Oh tidak bisa! Tidak bisa di dalam rumah maksudnya, hehe. Silahkan saja, pekarangan rumah saya luas kok. Kayaknya untuk empat mobil juga masuk', seraya becanda pak Kades mengizinkan.

"Hehee . Iya, terima kasih pak. Kami cuman bawa satu mobil kok pak', jawab Diki dengan senyum.
"Emangnya kalian cuman berempat? Apa yakin kalian gak takut kemping hanya empat orang?", tanya pak Kades.

"Gak pak. Kami sudah terbiasa kemping berempat kok pak kemanapun entah ke pantai ataupun ke gunung', jawab Diki.
"Oh, gitu. Oh ya satu lagi, di sana nanti kalau sudah sampai puncak kalian jangan mencoba masuk hutan yang dipagar. Entah apa alasannya, yang pasti itu demi keselamatan kalian. Kalau mau kemping lebih baik agak jauh dari hutan itu”, tutur pak Kades.
"Iya pak. Kami sudah tau dari bapak tani yang lewat tadi", jawab Diki.

"Oh gitu. Ya sudah, selamat mendaki aja. Semoga kalian selamat sampai tujuan dan kembali lagi", kata pak Kades.

Akhirnya mereka pun berpamitan berangkat menuju puncak gunung.
Langkah demi langkah terayun naik turun bukit2 kecil, mendaki tangga alam dan bebatuan terjal & curam. Sesekali mereka menghela napas berhenti sejenak & melanjutkan kembali.

Berbagai pemandangan menakjubkan terpampang depan mata. Suatu maha karya Tuhan yang sangat luar biasa.
Tak lupa foto2 epic singgah di galeri ponsel mereka masing2. Pos-pos pendakian dilalui tak terasa perjalanan sudah memakan waktu hampir 8 jam dan waktu menunjukan pukul 15.30 dan spot warung Mbok Yem sudah tinggal beberapa langkah lagi.

*Warung Mbok yem Gn Lawu. Pict google Image
Mereka berempat pun beristirahat sejenak sembari menikmati kopi yang bisa dibeli di warung mbok yem itu.

Sesekali ngobrol dengan pendaki lain berbagi cerita tentang pengalaman pendakian yang telah di khatamkan. Begitu menyenangkan dan menghangatkan bukan?
Tak terasa sudah satu jam berlalu begitu saja terlena dengan moment2 menenangkan raga mereka berempat pun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju puncak.

"Kenapa tidak menginap disini saja?" Kata salah satu mendaki.

"Nggak mas, di puncak saja" kata diki.
Akhirnya mereka berpamitan dengan para pendaki yang sedang meristirahat di warung mbok yem dan segera melanjutkan perjalanannya.

Hanya bermodal senter, nyal, kehati hatian dan tekat yang kuat mereka berempat sampai ke puncak dengan waktu setengah jam.
"Sepertinya tempat ini cocok buat kita mendirikan tenda. Hanya tempat inilah yang dekat dengan air”, kata Laras sambil melihat aliran air yang mengalir dari bebatuan.

Tak jauh dari tempat itu memang terlihat hutan yang dikelilingi pagar.
"Dik, mungkin hutan itu yang pak Kades maksud!", Rido bicara sambil matanya melihat ke arah hutan itu.

"Iya Do, padahal hutannya gak ada yang aneh ya? Masih sama ko sama hutan yang lain", jawab Diki.
"Bener Dik. Mungkin warga Desa aja yang penakut. Ya, mungkin di hutan itu ada ular atau hewan buas kali, makanya dipagar", kata Rido.

"Hus! Lu sok tau! Diam lu! Di sini lu jangan asal bicara, jangan asal ngide lahh!" kata Diki mengingatkan.
"Iya iya. Tapi Dik, apa gak terlalu dekat dengan hutan itu jika kita mendirikan tenda di sini?', tanya Rido.

"Gak apa-apa kayaknya. Soalnya kita masih berada di luar pagar hutan itu. Lagian jarak kita kan masih jauh ke hutan sanah', Diki meyakinkan Rido.
"Woy! Kok pada ngobrol? Cepet dong bikin tenda, hari udah mulai sore nih!", Laras dan Meli teriak teriak.

"Iya iya..", sambil berpaling dari hutan yang sedari tadi dilihatnya, Diki dan Rido bergegas ke arah Meli dan Laras.
Karena memang sinar mentari sudah mulai mengingkari bumi, akhirnya mereka pun berbenah membuat tenda. Setelah selesai kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar.

Meli dan Laras membuka perbekalan makanan dari tas dan menatanya di tenda agar mudah diambil saat dibutuhkan.
Begitu menjelang malam, api unggun pun dinyalakan. Mereka berpasangan duduk di depan kobaran api. Diki yang memainkan gitar kecil yang dibawanya dari semarang, terus bernyanyi memecahkan keheningan malam.
Tawa canda, seru seruan, ejekan dan banyolan terlontar dari keempat insan yang sedang bersuka cita itu. Sesekali rayuan gombal khas anak2 muda terlontar dari masing masing bibir.

Sesaat sudut mata Diki menoleh ke arah hutan yang tadi dipagar dan sesuatu terlihat olehnya.
"Kok? Itu... Itu kan?" telunjuk jari Diki menunjuk ke arah hutan itu, tanpa berkata jelas apa maksudnya.

Rido, Laras dan Meli pun melihat apa yang Diki tunjuk dan terbelalak dengan apa yang mereka lihat.
Sungguh mereka sangat kaget luar biasa. Di hutan yang berada di dalam pagar itu terlihat banyak rumah, seperti suatu perkampungan kecil yang sangat asri dan bangunan bangunan kuno berhias ornamen ornamen kejawen.
Nyala listrik menerangi setiap rumah seperti benar-benar ada penghuninya.

Tiba tiba Rido bicara,"Itu memang perkampungan! Mungkin tadi sore kita hanya melihat pohon pohon besar tanpa melihat ke bawahnya. Sekarang terlihat, ya karena adanya lampu listrik yang nyala. Bener ga?"
"Iya sih. Tapi kita harus ingat sama ucapan pak Kades dan petani tadi!", Jawab diki.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirin! Lagian tuh kampung emang seharusnya dipagar. Kalau gak dipagar, nanti ada kecoa masuk", Meli nimbrung, omongannya gak jelas penuh candaan.
"Meli, serius dong! Kita mungkin lagi berhadapan sama gaib tau'!", Laras yang pendiam sedikit membentak Meli.

"Lagian kalian yang dibahas itu itu mulu! Kita ke sini kan mau seneng seneng, bukan mau uji nyali, mungkin itu kampungnya mbok yem tadi", Meli cemberut manja.
"Oya Mel, anter aku yuk! Aku gerah nih pengen mandi. Aku gak bakalan bisa tidur kalau belum mandi", Laras mengalihkan pembicaraan.

"Ya udah yuk! Aku juga mau mandi ah', Meli dan Laras pun beranjak menuju aliran air yang lumayan deras, kemudian mereka mandi.
Diki dan Rido masih tertegun. Sesekali mata mereka melihat ke arah kampung itu.

"Dik, Iu berani gak mendekati kampung itu? Kita lihat di balik pagar aja untuk cari tau. Tuh kampung beneran atau hanya hutan? kata Rido.

"Saraf lu! Gak ah,!", Diki memalingkan wajahnya.
"Kenapa lu takut? Ayoo lahhh!!!! Lagian kita kan gak masuk pagar, kita kesini kan mau mencari hal yang baru. Jarang jarang loh ada kesempatan buat kita untuk tau kenapa dilarang keras masuk ke situ", bujuk Rido bersemangat.
"Gak ah! Lagian lu jangan bermain main dengan hal yang kayak gini Do!", kata Diki. "Bukannya gw takut, tapi gw hanya ingin mematuhi peraturan yang berlaku, kits tuh disini hanya tamu Do", sambungnya.
"Alaaah, bilang aja lu takut? Gw penasaran Dik. Kalau Iu takut, biar gw pergi sendiri aja ah. Gw yakin bahwa tuh memang benar rumah penduduk di sini. Gak ada angker-angkernya tau! Lu nya aja yang terlalu mendramatisir keadaan", kata Rido semakin bersemangat dan keras kepala.
"Lu jangan terlalu kepo Do! Nih bukan Jakarta tau! Nih hutan, ingat Iu.!!, kata Diki.

"Justru di Jakarta gak ada yang kayak gini Dik, makanya gw pengen cari tau", sahut Rido.

"Cape ya ngomong sama elu, ga ada habisnya. Terserah lu ah mau gimana juga", Diki pun kesal.
"Widih malah naik darah, biasa aja dong! Lagian gw cuman becanda. Gw juga sama takut kale", kata Rido.

"Terserah lu ah. Ya udah, gw mau mandi dulu, nyusul cewek gw', Diki pun beranjak pergi.

"Tunggu! Gw ikut!", Rido pun ikut berdiri dan lari mengejar Diki.
Setelah mereka semua pada mandi, kemudian mereka kembali berkumpul di hadapan api unggun yang masih menyala.

"Kita masak dulu yu, buat makan malam!" kata Meli sambil melihat Laras.

"Ayo!" Laras menganggukan kepala dan bergegas masuk ketenda untuk mengambil perlengkapan masak.
Akhirnya mereka pun masak makanan yang mereka bawa. Membakar ayam kampung, bakar ikan, sambal saus pedas serta makanan lainnya yang mereka bawa. Memang mereka sangat totalitas saat melakukan perjalanan kemanapun.

Setelah pada mateng dan siap santap, mereka pun makan bersama.
"Kok sudah makan malah ngantuk ya?" Rido menguap.

"Tidur ah..”, Rido beranjak menuju tenda meninggalkan ketiga temannya.

"Huh dasar SMK lu! Sudah Makan Kabur, beresin dong ini semua!", Diki menggrutu sambil matanya melihat Rido yang berjalan tanpa komentar.
"Ya udah Mel, kalau lu ngantuk, tidur aja sama Laras! Kalau ada apa2 teriak aja ya! Aku di tenda sebelah sama Rido", kata Diki kepada Meli.

"Iya Mel, yuk tidur ah! Cape banget nih badan!" Laras mengajak Meli yang lagi asik mainin kayu yang terbakar.

"Yuk..", Meli pun berdiri.
"Oya Dik, Iu tidur juga dong! Gak takut lu sendirian di luar? , Laras menatap Diki.

"Iya bentar lagi, belum ngantuk', jawab Diki.

"Ya udah, aku tidur duluan ya! Met malem honey! See you... Jangan malem malem tidurnya ya!" Kata laras kepada Diki.
Laras dan Meli pun beranjak menuju tendanya, meninggalkan Diki yang masih mainin asap rokok yang mengepul dibibirnya.

Sesekali mata Diki melihat ke arah kampung itu. Dalam pikirannya, dia benar2 yakin kalau tadi sore dia melihat sangat jelas sekali bahwa kampung itu hutan.
Selagi dia duduk, tiba2 tengkuknya ada yang meniup. Serentak Diki memegang tengkuknya dan menoleh ke belakang. Tapi tak ada siapa siapa.

Pandangannya kembali tertuju ke kampung itu. Keningnya sedikit mengerut saat dia samar samar melihat anak anak yang lagi pada bermain.
Terlihat dari kejauhan anak-anak itu seperti bermain kelereng, ada yang sedang bermain egrang, dan yang lain sedang bercengkrama satu sama lain.

"Kok bisa ya main kelereng jam segini? Ini kan hampir jam 10 malam. Aneh! Kenapa orang tuanya membiarkannya ya”, gumam Diki heran.
Perlahan Diki berdiri dan tak melepas pandangannya. Entah ada tarikan apa sehingga dia seakan terhipnotis ingin melihat lebih dekat.

Langkah demi langkah terayun pelan, sedikit demi sedikit mendekati pagar yang mengelilingi kampung itu dan jingga sampailah Diki di balik pagar.
Pandangannya pun terus memperhatikan anak-anak itu. Tiba tiba terlihat di salah satu rumah, seorang wanita lagi asik menyisik kutu di kepala teman wanita yang satunya lagi, layaknya ibu ibu kampung yang lagi ngerumpi di siang hari sambil duduk di depan rumah.
"ASTAGA..!!! Kok bisa ya?", Diki merasa heran, kenapa tengah malam di kampung ini kayak waktu di siang hari?

Kemudian dia dikagetkan dengan penglihatannya lagi. Dia melihat seorang kakek tua sedang mengeluarkan kambing dari kandang & menggiringnya seakan mau pergi menggembala.
Dan tepat di hadapannya juga terlihat seorang ibu ibu sedang menyapu di halaman rumahnya dengan sapu lidi.

Sesaat ibu itu berhenti menyapu. Dia terdiam, rupanya si ibu itu merasakan kehadiran seseorang yang memperhatikannya.
Serentak ibu ibu itu menoleh ke arah Diki.

Diki merasa kaget luar biasa. Muka ibu itu pucat pasi, matanya melotot tajam dan dengan senyum yang menyeringai. Diki pun mundur beberapa langkah menjauhi pagar, kemudian membalikkan badan dan lari ke arah tenda.
Begitu masuk ke dalam tenda, dia tak melihat Rido. Napasnya masih terengah naik turun.

“Loh, kok Rido kemana?, Do, Do, lu kemana Do???" gumam Diki dengan panik.

Kemudian Diki keluar dan masuk ke tenda Laras dan Meli.
"Mel, Ras! Rido gak ada! Kemana ya?', tanya Diki.

"Em... Aku ngantuk ah!", jawab Meli sambil matanya tetap terpejam.

"Mel, serius! Rido gak ada! Ras, bangun sayang! Ada yang gak beres! Rido menghilang, kita harus cari Rido", kata Diki menegaskan.
"Emangnya Rido kemana? Meli dan Laras pun terbangun.

Mereka bertiga pun keluar untuk mencari Rido. Mereka lalu berteriak teriak memanggil nama Rido.

"Sayang, kamu kemana sih? Kok gak bilang bilang?", Meli pun nangis-nangis.
"Aku curiga Rido pergi ke kampung itu! Yaaa, Rido masuk ke hutan itu feelingku", sambil melihat Meli dan Laras Diki berbicara.

"Kenapa kamu yakin? Kan kita udah dilarang untuk masuk ke hutan itu", Meli bertanya dengan menangis.
"Entah, Aku cuman curiga saja. Masalahnya, aku juga yang tak ingin tau, seakan ada yang hipnotis dan menarikku untuk menuju ke sana. Apalagi Rido. Saat tadi kalian mandi, dia mengajakku melihat ke balik pagar kampung itu. Dia penasaran banget, tapi aku menolaknya", tutur Diki.
"Kok dia nekat sih Dik? Kan sudah tau ada larangan masuk ke sana! Masih mau tau aja! Kepo amat sih bebeb!", Meli nangis lagi.

"Ya udah, yuk kita lihat ke sana saja! Mumpung belum lama. Kita jangan membuang waktu!", ajak Diki.
Akhirnya mereka bertiga berjalan setengah lari ke arah pagar kampung itu. Sesampainya di sana, mata Meli, Laras & Diki terbelalak.

Memang benar Rido lagi berjalan menuju pintu pagar itu. Namun anehnya, mata Rido terpejam & kepalanya sedikit miring, seakan masih tertidur lelap.
"Ridooo... Berhenti! Jangan masuk! Lu sadar Do..!!!", teriak Diki.

Namun sayang sekali, Diki tak mampu menahan Rido yang membuka pagar itu dan masuk.

"Beb jangan..!!! Berbahaya tau..!!”, Meli teriak, napasnya terengah kecapean karena lari mengejar Rido.
Namun mereka bertiga terhenti di depan pintu pagar, karena Rido terlanjur masuk.

"Dik, gimana nih? Aku gak mau terjadi apa-apa sama Rido", Meli bertanya cemas.

"Tenang Mel! Siapa tau Rido keluar lagi. Kita tunggu di sini saja!", jawab Diki menenangkan.
Sudah 1 jam berlalu, namun Rido tak kunjung keluar.

"Aku gak mungkin diam kayak gini Dik! Aku takut jika terjadi apa2 sama Rido. Aku akan melakukan apa pun buat dia. Sudah satu jam lewat Rido gak balik. Kalau begini, mau gak mau aku harus masuk menyusulnya!" Kata meli.
"Mel, lu harus tenang!" Diki berdiri dan menghalangi Meli yang hampir saja lari masuk pintu pagar.

"Lu cemas? Sama! Kita juga cemas. Walau bagaimana pun, Rido teman baikku juga. Kamu harus tenang! Kita akan cari pertolongan ke warga Desa" kata Diki untuk menenangkan Meli.
"Kapan Dik? Lama tau! Dari sini ke Desa kan jauh?', tanya Meli.

"Iya Mel. Tapi kalau Iu masuk juga, belum tentu Iu bisa menolong Rido! Ingat Mel, yang kita hadapi adalah hal gaib! Hanya orang yang bikin pagar ini yang tau harus bagaimana. Percayalah sama aku!" Diki menegaskan.
Serentak Meli mendorong Diki hingga Diki terjatuh.

"Gak, aku harus masuk! Apa pun yang terjadi, aku gak perduli! Kalau lu mau cari pertolongan, pergi aja! Itu juga kalau lu perduli sama aku dan Rido", Meli kemudian lari dan masuk ke pintu pagar yang masih terbuka.
"Meliii..!!!", Laras teriak.

"Lu jangan nekat Mel..!!!, Laras nangis sambil tangannya membangunkan Diki yang terjatuh.

"Kenapa jadi kaya gini Dik? Aku takut mereka kenapa napa'", Laras berkata dengan cemas.
"Kamu harus tenang Ras! Sebaiknya kita segera pergi cari pertolongan warga desa. Kita akan temui Kuncen yang membuat pagar ini." Tegas Diki.

"Ini kita udah di puncak Dik! Lu gak inget kita jalan dari pagi hingga sore tuh berapa jam?, INGET KITA UDAH DI PUNCAK!" Bentak laras.
"Ayo Ras, kita pergi, ngga ada waktu lagi, nanti di Mbok Yem kita bisa minta bantuan" tangan Diki pun memegang erat tangan Laras, kemudian mereka lari terburu2 kembali ke tenda untuk membawa senter & mereka pun langsung turun gunung.

*******

Part 1 end, part 2 nanti malam.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Hakuna Matata

Hakuna Matata Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @penjahatklausa

19 Jun
Selamat malam dan berjumpa lagi denganku malam ini. Aku suguhkan cerita horror untuk menemani kalian dimalam minggu ini. Mungkin beberapa dari kalian pernah mendengar bahkan mengalami kisah ini dalam sebuah perjalanan. Selamat membaca.
WARUNG GAIB TEPI JALAN

Aku adalah mahasiswa disalah satu perguruan tinggi yang ada Jawa Tengah. Tiap hari kalo dari kampus selalu pulang larut malam. Bukan ada mata kuliah tambahan, melainkan nongkrong nongkrong gak jelas untuk refreshing dengan teman teman.
Read 42 tweets
18 Jun
Haiii,,, aku kembali dengan cerita hororku. Mumpung lagi libur semoga bacaan ini bisa menghibur.
Alangkah lebih baik jika membaca sambil diimajikan kejadiannya yaaaa.. jangan baca sendirian, "mereka" sedang menemanimu saat membaca.

Langsung saja pada inti ceritanya.
"Wah wah wah, asik banget ngobrolnya! Ngga pada kerja yaa! Lanjut sana".
Kataku saat itu kepada para pekerja ketika dipercaya menjadi mandor proyek pembangunan perumahan di kota Semarang. Awalnya aku bekerja sebagai staf kantor di perusahaan itu. Yapss, perusahaan kontraktor.
Read 34 tweets
12 Mar
Ada Sesuatu Dirumahku

Thread

Hello aku akan bercerita kembali ya!! Ini adalah thread pengembangan cerita. Semoga kalian terhibur.

@IDN_Horor @bacahorror @ceritaht
#hororthread #bacahoror #bacahorror #ceritahoror Image
Kali ini aku menjadi Ridwan. aku baru pindah dari Ibukota karena orang tuaku dipindah tugaskan Dinas di kota ini. Aku baru 1 bulan tinggal di kota ini. Btw, rumahku cukup besar dan banyak yang bilang bekas peninggalan Belanda.
Rumah ini sengaja dibeli oleh ayahku sebagai kado ulang tahun pernikahannya dan sekalian perayaan atas naik jabatan beliau.
Ada beberapa bagian rumah yang perlu diperbaiki karena lapuk termakan usia.
Read 31 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(