Sebelum cerita dimulai saya ingetin nih, ada baiknya kalian membaca doa terlebih dahulu. Karena hanya dengan membaca saja dan tak sengaja mengucap namanya, maka mereka akan hadir di samping kalian.
Surah Al Mu'minun Ayat 97-98
Robbi a’uuzu bika min hamazaatisy-syayaathiin wa a’uuzu bika robbi ay yahdhuruun
“Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan dan aku berlindung pula kepada-Mu ya Tuhanku, agar mereka tidak mendekati aku.”
Silahkan bagikan cerita ini kepada teman kalian. Jangan lupa Follow, RT, dan Like. Dengan begitu, kalian sudah mendukung saya untuk terus menyuguhkan cerita-cerita horor real story lainnya.
Untuk kepentingan pembuatan konten atas cerita di akun saya ini, baik untuk konten YouTube atau lainnya silahkan DM atau WA saya (081322030047/082121362921)
Hatur Thankyou....
Salam Rahayu
Silahkan cari posisi rebahan yang paling enjoy... Jangan lupa siapkan cemilan, dan jangan baca cerita ini sendirian..... inget!!! jangan sendirian.....
PERJANJIAN
Keesokan harinya, Darmo, Slamet, Mbah Purwo dan kedua muridnya kembali ke gunung, tempat dimana Darmo akan melakukan pertapaan. Sebelum petang, kelima orang tersebut sudah tiba disana.
Azan maghrib berkumandang.
Darmo dan Slamet meminta izin kepada Mbah Purwo untuk salat terlebih dahulu. Mbah Purwo mengiyakan. Sementara ia dan kedua muridnya masuk dulu ke lokasi melewati gerbang utama.
Selepas salat, Slamet pun meyakinkan sekali lagi atas niat Darmo mencari pesugihan itu.
“Mo, yakinkan hati dulu. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari,” kata Slamet.
“Aku sudah mantap met, jika jalan ini salah di mata Allah, aku akan berdoa agar diampuni kesalahanku. Yang aku pikirkan sekarang adalah nasib Asih, Dewi dan si jabang bayi. Supaya mereka bisa
hidup Bahagia selepas ini. Itu saja,” ucap Darmo.
Mereka berdua akhirnya menyusul Mbah Purwo. Mbah Purwo sendiri sudah menunggu di jalan setapak dimana itu merupakan trek meunuju ke arah puncak.
Mereka berlima akhirnya melanjutkan perjalanan sebelum kumandang azan Isya terdengar. Memang saat itu, lokasi gunung tengah ramai-ramainya pengunjung. Namun, untuk petilasan yang akan digunakan Darmo bertapa, sudah disterilkan.
Juru kunci sudah menutup akses pengunjung ke petilasan itu. Mungkin itu adalah permintaan dari Mbah Purwo.
Tiba di petilasan, Mbah Purwo mengeluarkan sejumlah barang yang akan digunakan untuk ritual.
Termasuk sesajen yang sudah disiapkan sebelumnya. Digelarlah sebuah tikar yang mirip dengan tikar yang kerap digunakan untuk memakamkan jenazah. Pun demikian dengan dupa, kemenyan, minyak candu, aneka kembang, dan keris pusaka milik Mbah Purwo diletakkan diatas tikar itu.
Mbah Purwo kemudian duduk kemudian memejamkan mata sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya mengeluarkan sejumlah mantra. Tak lama kemudian angin ribut datang. Pohon-pohon besar di sekeliling mereka berdecit seperti akan tumbang.
Namun, angin ribut itu langsung berhenti setelah Mbah Purwo menyudahi ritual dan memanggil Darmo untuk duduk disampingnya. Mbah Purwo mendekati telinga Darmo dan membisikkan isyarat sesuatu. Kepala Darmo mengangguk, memberi isyarat apa yang Mbah Purwo katakan kepadanya.
“Saya tinggal, nanti saya kesini lagi sebelum subuh,” kata Mbah Purwo.
“Iya mbah, doakan saya agar mendapat restu,” ucap Darmo disusul anggukkan kepala Mbah Purwo.
Mereka berempat lantas turun meninggalkan Darmo sendirian di petilasan itu. Tiba di pelataran bawah, Mbah Purwo mengajak untuk beristirahat menunggu selesainya pertapaan Darmo, tepatnya di satu bangunan yang cukup besar di lokasi gunung itu.
Slamet yang penasaran kemudian melemparkan beberapa pertanyaan kepada Mbah Purwo.
“Mohon maaf mbah, saya mau tanya. Apa Darmo tidak apa-apa ditinggal sendiri? Takutnya kenapa-kenapa atau mendapat gangguan,” ucap Slamet.
“Kamu tidak perlu khawatir, penunggu petilasan sudah mengizinkan,” kata Mbah Purwo.
Cukup lama akhirnya mereka menunggu Darmo bertapa. Kedua murid Mbah Purwo memutuskan untuk tidur terlebih dulu. Sementara Slamet dan Mbah Purwo tetap terjaga.
Sekitar pukul setengah satu malam, angin ribut itu kembali datang. Mbah Purwo kemudian berdiri dan berjalan menjauhi bangunan. Slamet mengikuti langkah Mbah Purwo.
“Saya akan menunggu,” ucap Mbah Purwo sambil matanya mengarah ke arah petilasan yang tengah digunakan Darmo bertapa di gunung itu.
Tak lama kemudian, muncul sebuah kilatan cahaya berwarna kemerahan dari langit dan seperti menuju untuk mendarat ke arah petilasan itu. Slamet pun terkaget.
“Apa itu mbah?,” kata Slamet.
“Sudah waktunya dia bertemu,” kata Mbah Purwo tanpa menjelaskan secara rinci maksud perkatannya.
Slamet pun hanya terdiam. Di dalam hati, ia hanya berharap tidak terjadi apapun kepada sahabat karibnya itu.
Masalahnya, jika terjadi sesuatu kepada Darmo, maka Slametlah orang pertama yang akan menyesal karena sudah menyarankan Darmo untuk menemui Mbah Purwo.
Pukul tiga menjelang subuh, Mbah Purwo mengajak Slamet dan kedua muridnya untuk menemui Darmo. Di perjalanan menjemput Darmo, Slamet merasakan aura berbeda dengan saat pertama kali mengantarkan Darmo ke petilasan beberapa jam lalu.
Suara-suara aneh terdengar di telinganya. Suara cekikkan, auman, dan banyak lagi. Suara yang Slamet dengar dan tak pernah hilang dalam ingatannya adalah suara gaib yang mengisyaratkan bahwa Darmo kelak akan menjadi salah satu penghuni di gunung itu.
“Kancamu ora iso mulih…. Kancamu ora iso mulih. (temanmu tidak bisa pulang).”
Suara itu terus terngiang di pikiran Slamet hingga sampai mereka berempat tiba di petilasan. Melihat Darmo masih tetap duduk bersila, membuat hati Slamet tenang.
Apa yang ia dengar di perjalanan tadi, ternyata tidak terbukti. Awalnya Slamet mengira jika Darmo akan menumbalkan nyawanya sendiri dan mati saat menjalani ritual pertapaan di gunung itu.
Mbah Purwo lantas mendekati Darmo yang duduk bersila membelakangi mereka. Beberapa menit ia berdiri di belakang Darmo sebelum membangunkan Darmo dari pertapaannya.
Diambilah lipatan kain mori putih yang sudah disediakan sebelumnya diatas tikar. Mbah Purwo lantas membungkus sesuatu yang ada di depan Darmo. Mata Slamet terhalangi dengan tubuh Darmo yang masih diam duduk bersila. Sehingga, tak jelas apa yang telah dibungkus oleh Mbah Purwo.
Darmo seperti terkena serangan asma saat dibangunkan. Napasnya tersendat-sendat. Tubuhnya tergeletak dengan posisi kaki masih tetap bersila. Slamet secara refleks menghampiri Darmo dan meluruskan kakinya.
Sementara Sudir dan Wahyu -murid Mbah Purwo, mengangkat tubuh Darmo untuk kembali didudukkan.
“Minum… Haus… Aku haus Met,” lirih Darmo.
Tak banyak lama, Slamet kemudian mengambil air teh yang sudah dibungkus menggunakan plastik di tas kecilnya.
Memang, air teh itu sudah ia siapkan sebelumnya untuk Darmo. Diminumkannya air teh itu. Napas Darmo masih tersendat-sendat. Baju Darmo basah kuyup karena keringatnya.
Setelah sedikit sadar, Darmo diminta untuk duduk di sebuah akar pohon sebelah kanan petilasan. Sementara Mbah Purwo dan kedua muridnya membereskan peralatan yang digunakan Darmo untuk bertapa.
Setelah semua selesai, Mbah Purwo langsung mengajak untuk turun. Karena kondisi Darmo yang masih belum stabil, Slamet dan Sudir akhirnya menuntun Darmo. Tiba di bawah, Mbah Purwo kemudian menemui juru kunci untuk berpamitan pulang.
Di perjalanan pulang, tepat di dalam mobil, Darmo tiba-tiba hilang kesadaran. Tubuhnya lemas terkulai. Karena saking paniknya, akhirnya Darmo dilarikan ke salah satu rumah sakit terdekat.
Tiba di UGD, ia langsung di sejumlah perawat diperiksa oleh dokter jaga. Sementara Slamet mengisi beberapa formulir untuk pendaftaran pasien. Setelah beres memeriksa, dokter mengatakan jika kondisi Darmo baik-baik saja. Ia hanya dehidrasi dan terlalu kelelahan.
Beberapa jam kemudian setelah diberi makan dan infusan, dokter sudah memperbolehkan Darmo pulang tanpa harus rawat inap. Sementara Slamet kebingungan karena tidak memiliki uang untuk membayar rumah sakit.
Akhirnya Slamet menemui Mbah Purwo yang menunggu di salah satu kantin rumah sakit untuk mencoba meminjam uang.
“Mbah, saya tuh tidak memegang uang sama sekali. Darmo juga kayaknya tidak pegang uang. Mbah ada uang tidak, saya pinjam dulu untuk bayar rumah sakit, nanti diganti,” kata Slamet.
Mbah Purwo tiba-tiba tertawa ngakak. Ia menyodorkan tas milik Darmo.
Slamet diminta untuk membawa tas itu kepada Darmo.
“Nanti suruh Darmo buka tas itu,” pinta Mbah Purwo.
Slamet lantas mengambil tas itu dan kemudian kembali menemui Darmo yang masih terbaring di UGD.
“Mo, ini tas kamu. Kamu disuruh buka tas ini sama Mbah Purwo,” ucap Slamet.
Darmo pun akhirnya duduk dari posisi tidurnya. Diletakkan tas itu di atas kakinya. Dengan perlahan ia membuka resleting tasnya, karena tangan kanannya masih sedikit linu bekas infusan.
Saat tas terbuka, mata Darmo terbelalak. Ia seperti tak percaya apa yang telah ia lihat waktu itu.
“Met, lihat ini. Ini uang siapa?,” kata Darmo dengan raut muka kaget sambil memperlihatkan isi di dalam tas kepada Slamet.
Slamet yang melihat itu juga cukup kaget. Dilihatnya banyaknya uang pecahan 50 ribuan bergambar WR Soepratman dengan posisi acak-acakan di dalam tas. Ia mengacak-ngacak uang tersebut dan hampir saja menyentuh kain mori berisi sesuatu yang ada di bagian bawah tas itu.
“Sudah Mo, ini kayaknya uang kamu hasil ritual tadi. Ambil secukupnya saja, biar aku bayarkan untuk pengobatan kamu,” kata Slamet.
Darmo kemudian mengambil beberapa lembar uang tersebut dan memberikan kepada Slamet. Slamet kemudian membayarkan uang pengobatan ke kasir. Setelah itu, Damo pun dipapah Slamet keluar dari ruang UGD.
Ia diminta menunggu di depan pintu UGD, sementara Slamet menyusul Mbah Purwo, Sudir dan Wahyu di kantin untuk mengabarkan jika Darmo sudah menunggu untuk pulang.
Kelima orang itu akhirnya pulang ke rumah Mbah Purwo. Di rumah, Mbah Purwo terus menerus memuji tekad dan keberanian Darmo untuk melakukan ritual ini.
Mbah Sri pun akhirnya menyiapkan makanan beserta lauk pauknya. Mereka dipersilahkan untuk mengambil makanan di meja makan.
“Apa? Ayam bakakak lagi?,” kata Slamet dalam hati. Ia takut rasa ayam bakakak seperti yang sebelumnya dan harus memakan bersama kawanan jin.
“Tenang, kalau sekarang beda. Rasanya pasti enak,” kata Mbah Sri seperti menjawab pertanyaan Slamet dalam hati.
Mereka kemudian memulai makan. Benar saja, ternyata ayam bakakak itu rasanya enak. Tak ada rasa amis sedikitpun. Bumbunya pun meneresap utuh ke dalam daging. Slamet dan Darmo cukup lahap.
Setelah makan mereka akhirnya kembali ke ruang tengah. Mengobrol sesuatu hal yang tidak berbobot. Hanya untuk hiburan semata hingga sore hari. Mbah Sri tiba-tiba meminta Darmo untuk mandi. Mbah Purwo meminta Darmo mengikuti Mbah Sri.
“Sudah sana ikut simbah. Sudah disiapin airnya sama simbah di kamar mandi,” kata Mbah Purwo.
Ternyata Darmo diminta untuk mandi kembang. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan pengaruh gaib ratusan makhluk penunggu gunung itu saat dia melakukan pertapaan tadi.
Malam itu, Darmo diminta kembali masuk kamar praktiknya Mbah Purwo. Sementara Slamet menunggu di ruang tengah bersama kedua murid Mbah Purwo. Tak lama, terdengar suara seseorang menggema dari dalam kamar itu.
Slamet nampak kaget. Pasalnya, suara yang ia dengar bukanlah suara Mbah Purwo maupun Darmo.
Slamet beranjak dari kursi dan mencoba untuk mendekati pintu kamar. Wahyu dan Sudir menegurnya agar tidak menguping pembicaraan dari dalam kamar.
Namun, sebelum menjauh dari pintu, suara dari dalam kamar itu memanggil Slamet.
“Mlebuo… (masuklah),” suara itu menyuruh Slamet masuk ke dalam kamar.
Slamet sontak nampak ketakutan.
Bukannya menanggapi suara itu, namun dia justru semakin menjauh dari daun pintu kamar dan kemudian kembali duduk ke kursi di ruang tengah. Mbah Purwo akhirnya membuka pintu kamar, ia meminta Slamet untuk masuk ke dalam.
Dengan langkah gontai karena merasa ketakutan, Slamet akhirnya terpaksa menuruti permintaan Mbah Purwo. Baru kaki kanan dan setengah badannya masuk ke dalam kamar, Slamet tiba-tiba tersentak.
Dilihatlah sosok makhluk cukup besar dengan rambut panjang acak-acakan, mata berwarna merah, bertaring, dan memiliki kuku hitam yang panjang. Makhluk itu hanya mengenakan balutan kain lusuh untuk menutupi daerah kemaluannya. Makhluk itu berdiri tepat di depan Darmo.
Slamet yang ketakutan akhirnya menutup mata dan menunduk. Tangannya kemudian dipegang Mbah Purwo untuk dituntun lebih dalam masuk ke kamar. Mbah Purwo menyarankan Slamet duduk bersila di belakang Darmo.
Terjadilah perbincangan antara Darmo dan makhluk itu. Slamet hanya bisa mendengarkan.
“Sira wis nangekake aku saka laku tapaku. Aku jaluk sira kudu isa nyempurnaake awakku iki (Kamu sudah membangunkan aku dari persemedianku. Aku minta kamu harus bisa menyempurnakan tubuhku),” pinta makhluk itu kepada Darmo.
“Sembah ki. kawula nyuwun pangapunten. kawula badhe nglampahi panyuwun panjenengan. (Sembah ki. Saya minta maaf. Saya akan melaksanakan permintaan kamu),” ucap Darmo
“Cawiske sesajen karo getih manusia saben dina Sabtu Kliwon.Yen sira saguh, opo wae sing sira penginke, tak sembadani. (Sediakan sesajen dan darah manusia setiap hari Sabtu Kliwon. Kalau kamu sanggup, apa yang kamu inginkan, akan saya turuti),” makhluk itu tertawa menyeramkan.
Tak lama, makhluk itu meninggalkan kamar. Mbah Purwo memberikan penjelasan kepada Darmo untuk menyiapkan satu kamar khusus di rumahnya untuk dijadikan sebagai ruangan pemberian sesajen.
Kamar itu juga tak boleh dimasuki oleh siapapun, baik istri maupun anak Darmo. Ia juga diminta membuat sebuah kotak penyimpanan dari kayu gaharu asli. Tak lupa Mbah Purwo juga meminta agar Darmo membeli minyak Mani Gajah untuk keperluan sesajen agar dagangannya kembali ramai.
“Tapi rumah saya kecil mbah. Di rumah sudah tidak ada kamar lagi yang kosong,” kata Darmo.
“Pindahlah rumah, jika tidak kamu mengontak dulu rumah yang lebih besar dari sebelumnya. Uang kan sudah tersedia di dalam tas,” kata Mbah Purwo disertai anggukkan kepala Darmo.
Hari itu selesailah ritual pesugihan yang dilakukan Darmo. Mereka akhirnya kemudian keluar dari dalam kamar. Darmo pamitan kepada Mbah Purwo untuk masuk ke dalam kamar. Slamet kemudian ikut menyusul Darmo.
Di dalam kamar, Slamet menanyakan kepada Darmo mengenai sosok makhluk yang ia lihat di dalam kamar praktik Mbah Purwo.
“Siapa itu tadi, Mo”
“Dia yang akan membantuku, Met. Dia jenglot bernama Ki… (nama disembunyikan)”
“Astaga Mo, kamu gila Mo. Dia saja minta darah manusia, berarti ada tumbal Mo”
“Tenang saja Met, kebetulan aku punya teman di PMI. Nanti setiap Sabtu Kliwon, aku akan minta sekantong darah dari dia”
“Yakin tidak ada tumbal-tumbalan? Jangan sampai kau tumbalkan Asih atau Dewi. Itu saja permintaanku”
Keesokan harinya, Darmo dan Slamet akhirnya berpamitan untuk kembali ke rumah. Mbah Purwo berpesan, jika Darmo sukses, jangan lupa untuk kembali ke Cilacap dan menyisihkan hartanya kepada warga kurang mampu di sekitar gunung tempat pertapaan Darmo. Darmo pun menyetujuinya.
Tiba di rumah, Darmo disambut pelukan Asih. Sementara Slamet langsung berpamitan untuk pulang ke rumah menemui istrinya. Dewi sendiri saat itu tengah jatuh sakit. Sehingga Asih bilang kepada Darmo jika hari itu tak berjualan sate. Karena tak ada yang membantunya di kios.
Darmo pun tak mempermasalahkannya. Dewi kemudian keluar dari kamar lalu menghampiri ayahnya yang sedang duduk mengobrol bersama ibunya di ruang tengah. Ia langsung menggeletakkan kepalanya di paha ayahnya.
“Besok kita cari rumah bu. Kita pindah dari sini, ya nduk,” kata Darmo sambil menatap ayahnya penuh harapan.
“Hah? Uang dari mana pak? Uang yang kemarin bapak berikan ke ibu mana cukup?,” kata Asih.
“Bukalah bu,” Darmo menyodorkan tas hitam kepada Asih.
Asih kemudian membuka tas itu dan terlihat cukup syok. Matanya berkaca-kaca menahan rasa bahagia becampur tak percaya bisa melihat uang segitu banyaknya selama hidupnya.
“Dari mana ini pak? Ya Allah… banyak sekali,” kata Asih.
Dewi pun akhirnya duduk. Merebut tas yang tengah dipegang ibunya untuk ikut melihat isi di dalam tas tersebut.
“Sudah… nanti bapak ceritakan. Sekarang ayo kita antar Dewi ke dokter dan periksa kandunganmu bu. Mumpung ada uang,” pinta Darmo.
***
Di dalam perjalanan pulang, Slamet terus memikirkan Darmo. Ia masih tak percaya Darmo melakukan hal konyol itu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Darmo sudah menyetujui perjanjiannya dengan setan itu.
Yang bisa ia lakukan, ia hanya akan terus mengingatkan Darmo untuk tidak tak pernah telat menyediakan sesajen di hari Sabtu Kliwon. Ia khawatir, jika Darmo lupa, maka aka nada malapetaka yang mengancam keluarga Darmo.
***
Nantikan part selanjutnya, dimana hal yang tak diinginkan Darmo akhirnya terjadi juga.
Jangan lupa RT, Follow, dan Like.
Oiya, setelah ini, saya bakal upload cerita horor real story "Arwah Marti" ...
:)
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Socrates pernah mengungkapkan kalimat "Kenalilah dirimu sendiri", ketikda dia sedang di bawah lagit Delphi.
Sementara Plato, menganut paham filsafat manusia dengan aliran dualisme yang menyatakan bahwa manusai terdiri dari unsur jiwa dan raga.
Jiwa dan raga ini, dia ibaratkan sebagai kapal dan juru kemudinya (nahkoda). Raganya kapal, jiwanya adalah nahkoda. Kedudukan jiwa tentu saja lebih tinggi dari raga. Karena jiwa adalah sesuatu yang bersifat kekal dan berasal dari duni ide.
Sementara Aristoteles melanjutkan tentang filsafat manusia dengan istilah Hylemorfisme. Diamana dia menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu terdiri dari materi, (hule) dan bentuk (eidos,morfe)
Cerita ini adalah kisah nyata kiriman dari salah satu orang yang mengirimkan via FB. Saya menyamarkan namanya atas permintaan pemilik cerita. Sebab, dia adalah sahabat anak almarhumah, sekaligus anak dari warga yang ikut memasukkan jenazah almarhumah ke liang lahat.
Nama tokoh di cerita ini juga ikut disamarkan. Hal ini bertujuan untuk menghormati keluarga Almarhumah dan juga anaknya yang saat ini masih.
Bagi kalian yang suka dengan Thread" Horor, lebih baik sebelum membacanya berdoa terlebih dahulu. Karena apa? Karena 'mereka' akan ikut hadir di samping kalian.
Naskah ceritanya sedang kita buat. Konon, cerita merupakan kisah nyata suami istri penjual sate yang menjalani pesugihan dengan media Jenglot. Meski sempat berjaya, namun pada akhirnya sang suami tewas oleh Jenglotnya sendiri.
Rencananya, cerita ini bakal gue up di Malam Jumat.
Selamat Menunggu :)