“ Ibu… itu kenapa ada rame-rame di depan rumah Kepala Desa” Tanyaku pada Ibu saat melewati rumah pak Kepala Desa sepulang dari pasar “
“ Ibu kurang tau Narti , katanya ada warga desa yang hilang udah beberapa hari…” Jawab Ibu padaku.
Kami berjalan melewati rumah Kepala Desa tanpa mencari tahu, padahal aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi.
Sesampainya di rumah , terlihat Bapak juga baru sampai dari menjual hasil kebun di kota sebelah.
“ Bapak udah sampe? Capek ya… mau Narti bikinin minum apa?” Tawarku pada Bapak.
“ Iya.. bikinin kopi hitam aja , ini ada oleh-oleh buat kamu” Jawab Bapak sambil memberikan sebuah kantong kresek dari tanganya.
Aku segera masuk ke dalam rumah dan membuat kopi hitam untuk Bapak.
Dari dapur terdengar suara perbincangan antara Bapak dan Ibu..
“Buk bener Pak Supri hilang? “ Tanya Bapak kepada Ibu yang sedang membereskan belanjaanya.
“Cerita dari warga begitu pak.. Bapak kan temenya, beneran ga tau pak dia kemana?” jawab Ibu dengan berbalik bertanya.
“Terakhir ketemu Bapak sekitar tiga hari yang lalu… habis itu Bapak udah ga denger kabarnya lagi “ Cerita Bapak.
Aku mengantarkan segelas kopi hitam kepada Bapak dan ikut dalam perbincangan mereka.
Hari mulai malam , hari ini aku berjanji untuk mengantarkan baju jahitan Ibu ke rumah temanya di ujung desa.
Tak seperti biasa , jalanan di sekitar desa sudah sepi , padahal adzan magrib baru saja berlalu . Hembusan angin dingin yang cukup besar meniup belakang leherku.
Rasa menggigil yang tidak biasa kurasakan di seluruh tubuh.
Pantas saja warga mengurung diri di rumah, mungkin karena anginya sedang besar.
Aku meneruskan perjalananku hingga sampai ke rumah salah satu pelanggan Ibuku. Rumahnya terlihat sepi..
Namun aku tetap berjalan melewati halaman rumahnya dan mulai mengetuk pintu rumahnya namun tidak ada yang mereson.
Dari jendela terlihat ada aktivitas di dalam rumah , namun mengapa mereka tidak membukakan pintu?
Aku mengetuk lagi lebih keras , namun kali ini dengan teriakan
“ Permisi .. Ibu , Narti mau nganter jahitan”
Kali ini tak menunggu lama, teman Ibuku itu membukakan pintu.
“ Ya ampun Narti… kenapa ga besok aja? “ Sambutnya dengan muka yang terlihat agak pucat.
“ iya ga papa bu, besok kan Narti sibuk bantuin Bapak lagi” Jawabku.
“ Aduh… jangan keluar malam-malam dulu ya dek Narti.. Tadi pak kades ngomong, semalem ada warga yang melihat keranda terbang di sekitar desa” Ceritanya kepadaku.
Mataku mengerut sedikit tidak percaya dengan yang kudengar.
“ Keranda terbang bu? Serem banget .. Kok ga ada yang ngasi tau?” Ucapku yang mulai sadar penyebab sepinya desa malam ini.
“ Tadi di rumah pak kades pada cerita , makanya Ibu ga berani buka pintu tadi..
mungkin kalau nanti memang terbukti ada pak kades baru ngumumin ke warga” Lanjutnya.
“ ya udah bu, Narti pamit dulu.. sebelum tambah malam” Pamitku pada Ibu itu.
“ Ya sudah hati-hati …”
Cerita dari teman Ibu itu cukup membuatku merinding, hembusan angin dingin yang kurasakan tadi semakin membuatku tak nyaman.
Aku berjalan dengan sedikit lebih cepat menuju rumah, namun sebelum mencapai persimpangan samar-samar terlihat bayangan hitam bergerak dari arah jalan itu.
Seharusnya bayangan manusia tidak akan sebesar itu.
Selangkah demi selangkah aku tetap mendekat ke persimpangan, karena memang itu jalan tercepat menuju ke rumahku. Bayangan itu terlihat bergoyang-goyang seperti gerakan pohon besar yang tertiup angin.
Aku mencoba mengintip dan mencari tahu sumber dari bayangan itu , namun yang kutemukan sungguh mengerikan.
Jalanku pulang dihadang oleh sesosok makhluk besar dengan rambut panjang yang acak-acakan ,
wajahnya yang menyerupai nenek-nenek berumur ratusan tahun dengan payudara yang menggelambir.
Kakiku lemas, tubuhku terjatuh… seluruh tubuhku merinding melihat makhluk itu.
i.. itu Wewe Gombel , aku tau ciri-ciri makhluk itu.
Melihat sebuah pergerakan ,
makhluk itu menoleh dan mulai menyadari keberadaanku. Perlahan setan itu melangkah dan berjalan ke arahku.
Air mata dan keringat mengetes di seluruh tubuhku, namun aku harus segera meninggalkan tempat ini.
Aku memaksakan kakiku untuk berdiri dan berlari secepat mungkin ke rumah warga terdekat.
“Tolong! Tolong!!” Teriaku sambil mengetuk pintu. Namun tak ada yang membukakan.
Kucoba mengetuk sekali lagi sekeras mungkin , dan hasilnya sama saja.
Bayangan makhluk itu semakin mendekat , aku memutuskan untuk berlari memutar kearah rumahku.
Sepanjang jalan angin berhembus kencang , namun aku berlari dan terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Sesampainya di rumah aku membuka pintu dengan tergesa-gesa hingga terduduk dilantai dengan wajah pucatku. Ibu yang melihatku langsung menghampiriku.
“ Ya ampun Narti.. kamu kenapa? “ Tanya Ibu sambil melap keringat yang bercucuran di wajahku.
“I.. itu bu… Narti ngeliat, wewe gombel” aku menjawab Ibu dengan wajah yang terengah-engah.
Ibu membuka pintu dan mengecek kondisi di luar.
“ ga ada apa-apa Narti.. yang bener kamu?” Tanya Ibu dengan tidak percaya.
Aku tak menjawab , hanya mencoba mengatur nafasku untuk kembali pulih.
“ Ya udah , Ibu ambilin minum ya… habis itu mandi lagi sana, biar ga ada yang nempel” Perintah Ibu padaku.
Aku meminum secangkir teh hangat , dan segera mandi sesuai perintah Ibu.
Di kamar , aku teringat sebuah kantong kresek hitam yang berisi oleh-oleh dari Bapak. Aku segera membukanya.
Sebuah selendang cantik berwarna hijau dengan serat yang halus kukeluarkan dari kantong kresek yang sama sekali tidak cocok untuk menjadi tempatnya.
Aku keluar kamar bermaksud berterima kasih ke Bapak dan menunjukanya kepada Ibu.
“ Bapak… Bagus banget selendangnya , terima kasih ya pak..” Ucapku pada Bapak.
“Wah iya bagus , Bapak dapet dari mana?” tanya Ibu pada Bapak yang sedang menyeruput kopi buatan Ibu.
“ Beli sama temen Bapak pas ketemu di luar kota kemarin” Jawab Bapak.
Aku mencoba selendang itu, namun entah mengapa ada rasa yang tidak dapat kujelaskan saat mengenakan selendang ini.
Hari semakin malam ,setelah kejadian tadi aku cukup lelah dan mencoba untuk tidur lebih cepat.
Dan tanpa sadar selendang pemberian Bapak masih tergenggam di tanganku.
..
..
Ular… tidak hanya satu, tapi sekumpulan ular terlihat mendekatiku. Entah mereka datang dari mana.. satu persatu ular-ular itu menghampiriku dan melilit tubuhku ,
aku mencoba berteriak namun sepertinya tidak ada yang mendengar.
“ Tolong… Tolong!!”
Namun seekor ular mulai menegakan tubuhnya dan bersiap menyerangku.
…
“ Narti !!! Bangun Narti!!! “ suara Ibu terdengar dan membangunkanku dari mimpu buruk tadi.
Aku tak berbicara sama sekali dan hanya memeluk Ibu.
“ Narti mimpi buruk? Mau Ibu temenin?” Ucap Ibu padaku.
Aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Ibu.
“ Ya udah, ambil minum dulu sana .. biar ga balik lagi mimpinya “ Perintah Ibu padaku.
Ibu melepaskan pelukanya dan membiarkanku berjalan ke dapur, namun perlahan terdengar suara ketukan di pintu rumah.
Karena suaranya pelan aku tidak menghiraukan dan tetap berjalan kearah dapur , lagipula ini tengah malam.. siap juga yang ingin bertamu di jam segini , pikirku.
Sekali lagi terdengar suara ketukan , namun kali ini terdengar lebih keras seperti seorang yang sedang marah.
Bapak dan Ibu yang merasa kaget terbangun dan berjalan keluar untuk membukakan pintu,
Keanehan ini membuatku teringat akan cerita teman Ibu tadi mengenai keranda terbang.
“ Bapak ! Ibu ! jangan di buka! “ Teriaku sambil berlari menghampiri mereka, namun terlambat Bapak sudah membuka pintu itu.
Hembusan angin dingin memasuki ruangan , aku menghampiri mereka dan mencoba melihat keluar. Namun tidak ada apapun di sana.
Bapak bersiap menutup pintu dan kembali ke kamar, namun mendadak lampu rumah berkedip tak beraturan…
sesosok makhluk besar terlihat berdiri di belakang kami.
Setan wanita berwajah tua dengan borok hampir di seluruh kulitnya dan payudara yang menggelambir, persis dengan yang kutemui tadi terlihat di hadapan kami.
Wajah Bapak dan Ibu terlihat pucat.. makhluk itu mendekat menghampiri kami. Aku melemparkan semua benda yang bias kuraih ke makhluk itu , namun setan itu tidak bergeming.
Tak lama setelahnya setan itu menghampiriku, saat ini dihadapan wajahku haya terdapat wajah mengerikan tanpa bola mata di matanya. Bapak mencoba menolongku dengan menariku menjauh .
Namun setan itu berganti menerjang Bapak dan menyeret tubuh Bapak.
Angin berhembus kencang membuka lebar pintu rumah, kali ini terlihat sebuah keranda mayat melayang di depan rumah bersama seorang makhluk berkerudung hitam.
Wewe gombel itu menarik Bapak dan berusaha memasukanya ke dalam keranda,
Bapak mencoba melawan dan kami mencoba menariknya, namun semua percuma.
Setelah berhasil membawa Bapak makhluk itu mencoba meninggalkan rumah kami, mencoba melawan rasa takut, aku keluar dan mencoba mengejar mereka . Namun yang ku lihat saat ini di luar jauh lebih mengerikan.
Lusinan Pocong dengan wajah yang tidak berbentuk berkumpul di sekitar rumahku , hampir di seluruh kain kafan pocong itu terlihat ular-ular seperti yang muncul di mimpiku tadi.
Aku menahan langkahku , menghampiri Ibu dan menutup pintu menghindari serangan pocong-pocong itu.
Entah apa yang akan terjadi pada Bapak….
Di pagi harinya aku menceritakan kejadian semalam pada pak Kepala Desa dan warga. Warga sudah cukup resah dengan kejadian sebelumnya. akhirnya kami sepakat memanggil orang pintar untuk menemukan orang-orang yang hilang .
Sore ini pak kades datan ke rumahku dengan seorang kakek paruh baya, dengan membawa sesajen dan kemenyan, kakek itu mengelilingi rumah mencoba memeriksa dan menerawng kejadian semalam.
“ Selendang hijau itu… darimana kalian mendapatkan benda itu?” Tanya orang pintar itu.
“i.. ini , Bapak yang beli dari temanya” Jawabku.
Orang itu memperhatikan selendang itu dan membawanya.
“ Ada sesuatu yang tidak wajar dari selendang ini , malam ini kumpulkan pemuda desa di tempat ini… kita hadapi langsung makhluk itu” perintah kakek itu.
Warga mengikuti perintah kakek tua itu… Ibu menyediakan tikar dan makanan ringan untuk warga yang menjaga.
Menjelang tengah malam, tak ada tanda-tanda makhluk itu akan muncul.
“ Pak.. maaf, kalau banyak orang bukanya mereka ga akan datang? “ Tanya seorang pemuda desa.
“ kita bukan menunggu mereka, saya yang akan memanggil mereka “ Jawabnya.
Semenjak tadi , kakek itu sudah ber semedi dengan sesajen dan kemenyan dihadapanya. Kali ini ia membacakan suatu mantra yang membuat kami menrinding mendengarnya.
“ Mereka sudah disini.. “ ucap kakek itu sambil berdiri.
Warga yang di dekatnya melihat sekeliling dan tidak menemukan apapun, namun kakek tua itu melibaskan obor di halaman rumah dan mulai terlihat..
Lusinan pocong dengan wajah tak berbentuk telah berkumpul mengelilingi rumah , para pemuda yang sebelumnya tenang kini terlihat gentar.
Dari balik kumpulan pocong itu muncul sebuah keranda yang melayang diiringi oleh makhluk berkerudung hitam dan wewe gombel .
kali ini suara berisik terdengar dari makhluk-makhluk itu.
Sebelum makhluk itu mendekat ke warga , orang pintar itu menghampiri keranda terbang itu
“ Jika ini yang kalian cari , bawalah dan kembalikan kepada sang ratu… setelahnya kembalikan mereka yang kalian bawa”
Ucap kakek itu.
Kali ini makhluk berkerudung hitam yang mendekat , makhluk itu mengambil selendang pemberian Bapak.
Melihatnya , kami sedikit tenang.. berharap setelah ini orang-orang yang hilang bisa kembali.
Namun ternyata kami salah , setelah menerima selendang itu…
setan berkerudung hitam itu menyerang kakek tua itu dengan sebuah gigitan yang melukai wajah si kakek.
Sebuah mantra dibacakan , setan itu terbakar dengan api merah.. namun tetap tak bergeming..
Merasa mendapat perlawanan , tangan besar setan itu menarik tangan kakek itu hingga terputus dan memaksa memasukanya kedalam keranda.
Warga yang panik tidak dapat membantu dengan adanya puluhan pocong dihadapanya.
Sebaliknya kami semua berhamburan masuk kerumah meninggalkan dukun itu dan menutup pintu secepatnya.
Suara ramai terdengar menjauh seolah rombongan setan itu sudah pergi.
Warga yang putus asa hanya bisa menunggu sampai pagi dan membubarkan diri.
Setelah kejadian semalam ,keadaan desa semakin mencekam.. setelah adzan maghrib tidak ada warga yang berani keluar rumah.
Setiap malam warga menutup pintu rumah dan tidak akan membuka bila ada ketukan di tengah malam.
Pernah ada warga yang membuka pintu karna merasa ada tamu yang butuh bantuan , namun berakhir tragis . Orang itu meninggal dengan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya.
Suatu ketika , seorang ustad kenalan seorang warga sedang mampir ke desa.
Ustad muda itu merasakan ada hal yang aneh di desa ini.
Dengan sedikit paksaan , warga menceritakan dengan jujur saat memanggil orang pintar untuk mengusi setan yang meneror desa ini.
Akhirnya ia memanggil teman-teman pesantrenya dan mengadakan pengajian tiap malam.
Awalnya warga takut untuk mengikuti , namun melihat semua warga yang ikut pengajian ternyata aman dari serangan makhluk itu akhirnya seluruh warga ikut bergabung.
Di hari ketiga , Bapak ditemukan muncul dari pepohonan di pinggir desa dengan kondisi linglung dan tidak ingat dengan dirinya. Pak ustad berpesan agar kami rajin membacakan ayat-ayat suci untuk Bapak untuk menghilangkan pengaruh setan-setan itu dari Bapak.
Hingga sekarang warga lain dan orang pintar yang hilang tidak pernah ditemukan. Namun suasana desa tidak lagi mencekam , warga sudah berani beraktifitas seperti biasa.
“Jangan pernah benegoisiasi dengan Roh Jahat , Kuatkan iman kalian.. Manusia adalah makhluk yang paling mulia… tak sepatutnya kita merendahkan diri dihadapan makhluk-makhluk itu”
Pesan dari Pak Ustad menyadarkan kesalahan kami dengan mengundang “dukun” yang akhirnya semakin berakibat buruk pada desa kami.
Saat berniat meninggalkan desa, sang ustad memerintahkan warga untuk meneruskan pengajian di desa agar tidak ada niat-niat jahat dari setan-setan tersebut untuk menyerang desa kami lagi.
(Selesai)
Catatan :
Pasti banyak yang membaca cerita Lampor yang berbeda dari cerita saya , tapi memang cerita lampor di setiap daerah bisa berbeda-beda.
Cukup diambil positifnya saja , semoga tetap dapat menghibur & mohon maaf bila ada salah kata.
Cerita ini akan menjawab salah satu "kode" di ending #gendingalasmayit
“ Mas… Rame-rame arep ning endi to? “ (mas.. rame-rame pada mau kemana to?) Tanyaku pada segerombolan pemuda desa yang berjalan menuju keluar desa.
“ Kuwi lho… enek Ludruk , kabeh arep nonton” (itu lho , ada ludruk .. semua pada mau nonton) Jawab salah seorang pemuda .
Semua kenangan indah tentang Laksmi teringat dengan jelas di pikiranku ketika melihat senyumnya lagi.
Perlahan Laksmi berjalan di depanku , air dari sendang banyu ireng mulai menutupi hingga ke pinggangku. Namun sampai di tengah sendang, aku melepaskan tangan Laksmi.
Sebuah Gong tua dengan akar pohon beringin yang membatu berada di hadapanku. Sebelum Laksmi sempat menoleh aku membacakan ajian penguat raga dan memukul sekeras-kerasnya ke arah batu itu hingga hancur berkeping-keping.
Suara alunan gamelan yang mendayu-dayu terdengar dengan sangat indah , tetesan air yang jatuh ke sendang membuat suara itu menjadi terlalu nyaman untuk didengar. Namun sayangnya suara ini berasal dari demit-demit di alas mayit.
Indahnya suara gamelan itu memancing seluruh penghuni alas mayit untuk berkumpul di tempat ini, mulai dari pocong, makhluk raksasa bertubuh besar, hingga mayat-mayat dengan tubuh yang tak berbentuk menyaksikan kami dari seluruh penjuru hutan, seolah menyaksikan suatu pertunjukan.
Hari ini sebenarnya bukan hari yang kutunggu-tunggu , Karna… mulai hari ini aku akan pindah sekolah dari ibu kota ke sebuah sekolah di daerah pegunungan lengkap dengan asrama tempat aku akan tinggal nanti.
Sepanjang perjalanan aku hanya menikmati pemandangan sambil memikirkan bagaimana kehidupanku di sana saat berpisah pada kedua orang tuaku. Tinggal di asrama sama sekali tidak pernah kubayangkan , apalagi aku sering mendengar mengenai kenakalan anak-anak asrama.
Disclaimer : Nama desa dan tokoh bukan nama sebenarnya
Kejadian ini terjadi di suatu desa perbatasan jawa tengah dan jawa timur , tepatnya di era 80an ketika pembangunan belum menyeluruh hingga ke kepelosok pelosok desa.
Sebuah desa , sebut saja namanya desa Jatialas merupakan sebuah desa yang dikenal dengan hasil kerajinan tangan yang menjadi komoditas desa.
Perkenalkan , aku Rani .. salah satu warga desa Jatialas yang hidup sangat berkecukupan di desa ini.
“Nggak… Jasad itu harus kita kuburkan di suatu tempat,gua ga mau masuk penjara” Ucap rifki pada teman-temanya yang sedang panik.
“Gua gak setuju , kita harus bawa ke rumah sakit.. siapa tau dia masih bisa diselamatin” Kali ini aku memberi pendapat, namun ditolak mentah mentah oleh kedua rekanku.
“Gila! Lu sendiri udah ngecek kan? Nafasnya udah ga ada…