Cerita ini akan menjawab salah satu "kode" di ending #gendingalasmayit
“ Mas… Rame-rame arep ning endi to? “ (mas.. rame-rame pada mau kemana to?) Tanyaku pada segerombolan pemuda desa yang berjalan menuju keluar desa.
“ Kuwi lho… enek Ludruk , kabeh arep nonton” (itu lho , ada ludruk .. semua pada mau nonton) Jawab salah seorang pemuda .
“ Aku melu..” (Aku ikut) Ucapku sambil melompat dari pos dan mengenakan sandal jepit .
“ Heh… Cah cilik ojo melu-melu , acarane nganti wengi” (heh.. anak kecil ga usah ikut-ikut acaranya sampe malam) Larang pemuda-pemuda desa itu.
“ Moh.. pokoke melu” (gak mau.. Pokoknya ikut) aku mengenakan sarung di punggungku dan berlari tanpa menghiraukan larangan mereka.
Ludruk adalah kesenian tradisional asal tempatku di jawa timur yang menampilkan drama ringan dengan sentuhan musik gamelan dan tarian tradisional.
Kampungku terletak di pedalaman di atas gunung di Jawa timur, saat ini masih belum banyak warga yang memiliki radio apalagi televisi, jadi saat ada acara seperti ini warga desa akan berbondong-bondong pergi menonton.
Sebuah panggung sederhana telah terlihat di pinggir hutan , ternyata bapak dan ibu juga sudah ada di sana turut menonton duduk lesehan dengan sandal sebagai alas duduk.
“ Bapak! ibu !, kesini ga ngajak-ngajak” Protesku.
“ Heh.. Cah cilik ga usah iku-ikut , acarane sampe malem.. sana pulang” perintah bapak.
“ Sebentar aja , aku kan belum pernah nonton ludruk “ Ucapku yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Bapak.
Sebuah penampilan menawan ditampilkan oleh kelompok tersebut , dibuka dengan tari-tarian yang diiringi musik gamelan dan dilanjutkan dengan drama ringan yang membahas hal-hal ringan sampai yang berat.
“ Sing Nanggep Ludruk iki sopo to pak?” (Yang manggil Ludruk ini siapa to pak?) Tanyaku pada bapak yang masih serius menonton acara tersebut.
“Ora enek sing nanggep , Katane ludruk keliling , mbuh mengko nyawer opo piye” (ga ada yang manggil,
katanya ludruk keliling.. ga tau, nanti nyawer apa gimana) Jawab bapak.
Memang terlihat sebuah gerobak besar yang dihias cantik tarparkir di belakang panggung, mungkin itu digunakan untuk membawa peralatan-peralatan mereka.
Warga desa menonton dengan serius , sesekali mereka tertawa degan candaan yang dibuat oleh pemain –pemain di panggung. Beberapa kali akupun dibuat tertawa terpingkal-pingkal . Namun aku melihat satu hal yang menarik perhatianku ,
Seorang tokoh yang selalu mengenakan topeng berwarna hitam…
Menjelang tengah malam acarapun selesai, kami bubar ke rumah masing-masing. Hampir semua warga membicarakan tentang acara tadi selama perjalanan pulang.
Di tengah perjalanan kami mendengar suara lonceng kicrik berbunyi, rupanya itu suara dari gerobak para pemain ludruk yang meninggalkan lokasi, bersimpangan dengan arah kami kembali ke desa.
Kelompok ludruk itu mampir ke desa kami setiap malam jumat, anehnya ternyata mereka tidak pernah meminta bayaran sedikitpun dari warga.
…
Ini hari kamis , nanti malam kelompok ludruk itu akan mampir ke kampung kami lagi.
Siangnya aku membantu bapak mengurus kuda peliharaan bapak . Sayangnya ternyata setelahnya aku terlalu lelah dan ketiduran.
Lewat tengah malam aku terbangun, dan ternyata Bapak dan Ibu masih belum pulang. Sudah pasti mereka menonton lagi tanpa mengajakku. Aku kesal ,
segera aku mengenakan sandal dan sarungku dan berlari keluar.
Ada yang aneh…
Seluruh desa terlihat sepi tanpa ada lampu – lampu yang menyala di rumah warga.
Angin berhembus meniupkan sebuah selebaran yang berisikan pemberitahuan mengenai acara ludruk itu tertiup kearahku
---------
Hadirilah , Lakon teristimewa oleh Ludruk Topeng Ireng yang pasti bisa membuat malam jumat anda semakin spektakuler
Kali ini dengan judul lakon “Desa Tumbal “ , Ajak seluruh warga ! jangan sampai ada yang tertinggal!
--------
Aku meremas kertas itu dan merasa kesal , Acara sebagus ini bapak dan ibu tidak membangunkanku? Nanti sampai sana akan kumarahi bapak.. pikirku dalam hati.
Selangkah-demi selangkan aku meninggalkan desa dan menuju perbatasan hutan , tapi aku tak melihat ada panggung disana. Mataku menoleh ke sekitar , dan ternyata terdengar suara musik samar-samar dari dalam hutan.
Rupanya panggungnya pindah ke dalam hutan . aku menyusul kesana.. suara alunan musik terdengar semakin jelas.. namun beda dari biasanya, suaranya mengalun lambat dan terasa menyeramkan.
Dari jauh sudah terlihat panggung seperti biasa , tapi cahayanya jauh lebiih redup.
Aku merasakan perasaan yang tidak biasa, namun aku tetap mencoba mendekat..
Apa yang kulihat sama sekali tidak dapat kupercaya..
Seorang pemain pria dengan topeng hitam , menari dengan kain di pinggang dan bertelanjang dada di atas panggung.
Ditanganya tergenggam sebuah kepala salah satu warga desa…
Aku menoleh ke arah penonton , terlihat sebagian warga duduk dengan kepala yang sudah tidak berada di tubuhnya lagi.. sisanya seolah kehilangan kesadaran terpaku pada tarian si pemain bertopeng hitam itu…
Kakiku lemas , aku jatuh terduduk tanpa mampu untuk berdiri lagi..
Dari balik panggung muncul seorang pemain membawa parang menghampiri pemuda desa yang masih kehilangan kesadaran, pemain itu menjambak rambutnya dan menebaskan parang ke lehernya hingga terpisah dari badanya..
Darah segar bermuncratan kemana-mana, namun tidak ada satupun warga desa yang bereaksi atas kejadian itu.
Bapak? Ibu? Aku memaksakan kakiku untuk berdiri mencari keberadaan mereka.
Dari jauh terlihat bapak dan ibu duduk di barisan tengah, Mereka masih hidup!
Aku ingin segera berlari menghampirinya namun terhenti saat melihat salah seorang pemain yang membawa parang mendekati kedua orang tuaku.
Tanpa berlama-lama pemain itu menarik rambut bapak dan bersiap menebaskan parangnya..
Hampir saja aku berlari kearahnya namun lupanya lengan si pemain dihentikan oleh seseorang,
Itu adalah penari dengan topeng hitam yang turun dari panggung..
Aku berharap bapak dan ibu bisa selamat dari keadaan ini. tapi ternyata aku salah…
Orang itu mengambil parang dari pemain lainya dan membuka topengya.
Sangat mengerikan.. itu bukan wajah seorang manusia
Saat topengnya terbuka , terlihat empat buat bola mata terpasang diwajahnya yang tidak dilapisi kulit , bahkan hidung dan bibirpun tidak terlihat di wajahnya.
Tanpa menunggu lama makhluk itu menebas kepala bapak hingga terputus , aku tidak mampu menahan perasaan sedih dan takutku namun aku juga tidak berani menghampirinya.
Aku terjatuh dan terduduk disebuah ranting yang menimbulkan suara yang akhirnya membuat mereka sadar akan kehadiranku.
Para pemain itu menoleh dan menemukan keberadaanku , makhluk mengerikan yang membunuh bapak mengenakan topengnya kembali dan bersiap menghampiriku.
Rasa takut semakin menjalar , namun aku mencoba mengumpulkan keberanian dan berlari menjauh dari tempat itu.
“ Lari… aku harus lari” pikirku dalam hati , tapi kemana? Tak ada satu orangpun di desa.
Aku meninggalkan hutan, suara langkah kaki seseorang terdengar semakin dekat ke arahku, namun aku tetap berlari ke arah desa.
seperti saat kutinggalkan , tidak ada satu warga desapun disini.. aku mencoba menyembunyikan diriku dari Makhluk itu.
Langkah demi langkah terdengar memasuki desa yang gelap dan tidak ada seorangpun disana.
Satu demi satu pintu dibuka dengan kasar dan memang sudah tidak ada orang di sana , aku bersembunyi di belakang rumah salah seorang warga. Tapi aku tidak yakin dia tidak bisa menemukanku.
Saat makhluk itu semakin dekat , aku teringat kuda peliharaan bapak.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati aku menyelinap ke kandang kuda milik bapak , menaikinya dan menerjang ke arah luar desa.
Seharusnya makhluk itu tidak bisa mengikutik dengan kecepatan kuda , pikirku cukup tenang.
Aku mengambil jalur turun ke arah terminal, walaupun tengah malam setidaknya disana pasti ada orang.
Jalur turun ke terminal masih harus melalui jalan yang kelilingi oleh hutan , hanya pohon-pohon tinggi yang terlihat disekitarku.
Dengan kecepatan kuda milik bapak sedikit lagi aku bisa mencapai terminal , aku memacu kuda bapak dengan secepat mungkin.
Cahaya lampu terminal sudah mulai terlihat , namun belum sampai kesana aku terhenti…
Makhuk itu melesat keluar dari pepohonan dan menghadangku…
Bagaimana ia bisa menyusulku? Sudah pasti itu bukan kecepatan manusia… dan benar,
makhluk itu melayang menghampriku yang ada di atas kuda dan bersiap mengayunkan parangnya.
Merasakan bahaya , kuda bapak mencoba melawan dengan mengangkat kaki depanya dan menjatuhkanku…
Aku mencoba berdiri dan terus berlari ke arah terminal..
“ Tolong!... Tolong! “ teriakku sambil berlari.
Aku tak lagi menoleh ke belakang , entah yang mana yang terjadi dulu… aku sampai di terminal atau makhluk itu membunuhku terlebih dahulu. Namun kakiku sudah lelah untuk berlari , nafasku juga hampir habis..
sampai akhirnya aku terjatuh..
Entah khayalan atau bukan , seorang pria berdiri di hadapanku.
Ia menangkap dan segera memeluku..
“ Heh… Kamu kenapa? Ada apa to? “ Ucap bapak itu.
“Aku di kejar demit pak… Tolong pak.. “ Ucapku dengan suara yang sudah lemas.
Di tengah gelapnya malam makhluk itu muncul dari kejauhan menghampiri kami berdua.
Walaupun aku sudah menemukan seseorang , tapi apa kami bisa selamat.. pikirku.
Bapak itu berdiri membelakangiku , ia mengambil sesuatu dari tasnya… sebuah korek api dengan ukiran kuno .
Berkali kali doa dan ayat suci dibacakan oleh bapak itu , Makhluk itu merasa terganggu dan menutup kupingnya.
Namun bukanya menjauh , Makhluk itu menahan rasa sakitnya dan menerjang ke arah kami. sebelum sempat mendekat , bapak itu membuka tutup korek api itu dan menyalakanya.
Cahaya api menerangi sekitar kami , tapi yang kulihat semakin mengerikan… makhluk penghuni hutan samar-samar terlihat dan memandang kami dari semua sisi yang disinari cahaya itu.
Tapi ternyata tak seperti perkiraanku ,
setan itu tidak dapat mendekat ke arah kami yang di kelilingi cahaya dari api di korek itu.
Bapak itu terus membaca doa dan ayat suci yang menyiksa makhluk mengerikan di hadapan kami.
Tak tahan dengan siksaanya , makhluk itu pergi dan melarikan diri.
Setelah merasa aman bapak itu menggendongku dan menaikanku di vespa tuanya , ia mengajaku ke pos polisi di terminal untuk menjelaskan apa yang terjadi.
“ ini di minum dulu… habis itu ceritain ada apa” Segelas teh hangat diberikan oleh salah seorang petugas kepadaku .
Walah hanya sedikit, teh hangat ini memberikanku sedikit tenaga untuk menceritakan apa yang terjadi di desaku mengenai kelompok ludruk yang membantai warga desa dan salah seorang pemainya yang merupakan demit berwajah mengerikan yang mengejarku hingga ke sini.
Awalnya mereka tidak percaya , namun cerita bapak yang menolongku mengusir setan itu merubah pandangan mereka.
Waktu mendekati pagi hari , polisi setempat sudah mengumpulkan beberapa orang dan mengantarku ke lokasi kejadian di desaku.
Aku hanya berharap ibuku masih bisa selamat dari kejadian semalam .
Para polisi dan bapak yang menolongku sampai duluan di lokasi . Terlihat ekspresi tidak percaya terlihat di wajah mereka.
Aku berlari memastikan apa yang terjadi di sana, namun seorang polisi dan bapak itu menahanku.
“ Udah.. ga usah ke sana. Ikhlaskan aja ya dek..” Ucap bapak itu.
“ Nggak… Aku harus kesana!” Teriaku sambil meninggalkan mereka.
Terlihat yang tersisa disana hanya jasad-jasad warga desa yang kukenal dan sama sekali tidak ditemukan kepala di badan mereka. Panggung ludruk yang berdiri semalam sudah tidak ada di tempat dan tanpa jejak sedikitpun.
Satu demi satu jasad warga kuperhatikan sampai aku terhenti di tubuh sepasang manusia dengan pakaian yang ku kenal.
Itu jasad Bapak dan Ibu….
“ Bapaaaak!!! Ibuuu!!!” Tangisanku memecah keheningan pagi di hutan itu.
Entah… aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan setelah ini .
Melihatku menangis tanpa henti , Bapak yang menolongku menghampiriku dan segera memeluku.
“ Sudah… yang tabah ya , kita kuburkan mereka dengan layak…” Ucapnya.
Aku hanya terisak dan mengangguk.
“ Bapak belum tau nama kamu… “ Lanjutnya
“Cahyo pak… nama saya cahyo…” Ucapku sambil terisak.
“ Ya sudah.. abis ini cahyo tinggal sama bapak aja ya, ikut ke kampung bapak di jawa tengah…”
Aku tidak punya pilihan lain , saat ini tidak ada lagi orang yang bisa merawatku setelah seluruh warga desa tewas.
“ I.. iya pak, kalau makhluk itu ngejar saya lagi gimana?” Tanyaku sambil tersisak.
“ Ga usak khawatir, mulai sekarang kamu panggil saya Pak Lek.. anggep aja Pak lekmu sendiri, nanti di sana saya ajarin ilmu batin supaya kamu bisa menolong orang lain yang bernasib sama” Jelasnya
Tidak butuh waktu lama, berita mengenai desaku terdengar hingga ke desa lain, mereka berbondong-bondong datang untuk membantu menguburkan warga sekaligus mencari tahu apa yang terjadi.
Mengenai keberadaanku yang selamat ,
pak polisi sepakat untuk merahasiakanya dari warga desa lain demi keselamatanku.
Setelahnya.. paklek mengajaku tinggal di kampungnya , mengajarkanku hidup mandiri dan mengenalkan ilmu-ilmu batin yang bisa menjadi peganganku saat menghadapi bahaya.
Nanti ketika saatnya tiba aku bertemu dengan kelompok ludruk topeng ireng , aku akan siap menghadapi mereka semua.
…
…
Suara lonceng kicrik berbunyi perlahan sesuai dengan langkah kaki anggotanya , sebuah gerobak besar berisi perlengkapan dan ornamen pertunjukan dibawa dari satu desa –desa ke kota untuk menampilkan sebuah pertunjukan….
Bersiaplah bila suatu saat mereka mampir ke tempatmu…
Catatan :
Sewaktu kecil cerita ludruk topeng ireng ini sering digunakan oleh saudara2 di kampung bapak untuk menakut-nakuti saya saat pulang main terlalu malam...
Kejadian ini pernah terjadi di sebuah desa namun sampai sekarang keberadaan kelompok ludruk ini masih belum ditemukan..
entah mereka itu manusia atau demit itu semua masih menjadi sebuah misteri.
semoga menghibur dan mohon maaf apabila salah kata
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“ Ibu… itu kenapa ada rame-rame di depan rumah Kepala Desa” Tanyaku pada Ibu saat melewati rumah pak Kepala Desa sepulang dari pasar “
“ Ibu kurang tau Narti , katanya ada warga desa yang hilang udah beberapa hari…” Jawab Ibu padaku.
Kami berjalan melewati rumah Kepala Desa tanpa mencari tahu, padahal aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi.
Sesampainya di rumah , terlihat Bapak juga baru sampai dari menjual hasil kebun di kota sebelah.
Semua kenangan indah tentang Laksmi teringat dengan jelas di pikiranku ketika melihat senyumnya lagi.
Perlahan Laksmi berjalan di depanku , air dari sendang banyu ireng mulai menutupi hingga ke pinggangku. Namun sampai di tengah sendang, aku melepaskan tangan Laksmi.
Sebuah Gong tua dengan akar pohon beringin yang membatu berada di hadapanku. Sebelum Laksmi sempat menoleh aku membacakan ajian penguat raga dan memukul sekeras-kerasnya ke arah batu itu hingga hancur berkeping-keping.
Suara alunan gamelan yang mendayu-dayu terdengar dengan sangat indah , tetesan air yang jatuh ke sendang membuat suara itu menjadi terlalu nyaman untuk didengar. Namun sayangnya suara ini berasal dari demit-demit di alas mayit.
Indahnya suara gamelan itu memancing seluruh penghuni alas mayit untuk berkumpul di tempat ini, mulai dari pocong, makhluk raksasa bertubuh besar, hingga mayat-mayat dengan tubuh yang tak berbentuk menyaksikan kami dari seluruh penjuru hutan, seolah menyaksikan suatu pertunjukan.
Hari ini sebenarnya bukan hari yang kutunggu-tunggu , Karna… mulai hari ini aku akan pindah sekolah dari ibu kota ke sebuah sekolah di daerah pegunungan lengkap dengan asrama tempat aku akan tinggal nanti.
Sepanjang perjalanan aku hanya menikmati pemandangan sambil memikirkan bagaimana kehidupanku di sana saat berpisah pada kedua orang tuaku. Tinggal di asrama sama sekali tidak pernah kubayangkan , apalagi aku sering mendengar mengenai kenakalan anak-anak asrama.
Disclaimer : Nama desa dan tokoh bukan nama sebenarnya
Kejadian ini terjadi di suatu desa perbatasan jawa tengah dan jawa timur , tepatnya di era 80an ketika pembangunan belum menyeluruh hingga ke kepelosok pelosok desa.
Sebuah desa , sebut saja namanya desa Jatialas merupakan sebuah desa yang dikenal dengan hasil kerajinan tangan yang menjadi komoditas desa.
Perkenalkan , aku Rani .. salah satu warga desa Jatialas yang hidup sangat berkecukupan di desa ini.
“Nggak… Jasad itu harus kita kuburkan di suatu tempat,gua ga mau masuk penjara” Ucap rifki pada teman-temanya yang sedang panik.
“Gua gak setuju , kita harus bawa ke rumah sakit.. siapa tau dia masih bisa diselamatin” Kali ini aku memberi pendapat, namun ditolak mentah mentah oleh kedua rekanku.
“Gila! Lu sendiri udah ngecek kan? Nafasnya udah ga ada…