DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 6 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
Selamat malam teman-teman, kembali lagi saya hadir untuk melanjutkan cerita sesuai dengan judul diatas, dengan kondisi cuaca yang seperti ini, semoga kita selalu diberikan kesehatan, amin. Sekarang adalah Bagian 6 yang berati tinggal 1 bagian lagi cerita ini akan tamat.
Teruntuk teman-teman yang belum baca bagian sebelumnya bisa ikutin info seperti pic dibawah ini agar mempermudah mencari cerita kali ini dan kumpulan cerita lainya yang sudah saya bagikan. Mohon maaf cover tertukar dengan bagian 5 kemarin hehe 🙏😁 Image
Cerita ini di KaryaKarsa sudah Tamat sampai bagian 7 dan sudah ada dua Bagian cerita baru yang bisa teman-teman baca terlebih dahulu juga bisa memberikan dukungan kepada saya, klik langsung link dibawah.

karyakarsa.com/qwertyping
Klik link dibawah untuk membaca Bagian 7 (Tamat), karena spesial chapternya masih dalam proses, semoga waktu dan keadaan bisa membantu dengan cepat menyelsaikan cerita ini.

karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Cerita terbaru sudah masuk Bagian 2 yaitu, PENJAGA KEBUN TEBU yang menjadi cerita pembuka diawal tahun, untuk teman-teman yang ingin baca terlebih dahulu Bagian I dan memberikan dukungan bisa langsung klik link di bawah.
karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Dan ini Bagian II “Sebelum tubuh ini utuh, sebelum penasaran ini selesai, dan sebelum dendam ini tuntas, ini adalah tempatku.” Teman-teman bisa baca terlebih dahulu dengan memberikan dukungan, bisa langsung klik link di bawah.

karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Catatan saja, untuk mengingatkan : Cerita ini berdasarkan kisah nyata, memiliki Narasumber yang bisa dipertanggungjawabkan, segala kesamaan Nama, Latar dan Tempat sudah disamarkan sesuai kesepakatan dengan Narasumber.
Dan tidak ada maksud apapun dalam cerita ini, selain untuk berbagi.

Oke tanpa berlama-lama lagi, izinkan saya membagikan ceritanya dan selamat membaca.

***
“Maaf Bu Haji, saya tidak paham, jawab dengan jujur, tentang dedemit buaya itu…” Ucapku perlahan.
Baru saja ucapan dari mulutku keluar dan kedua bibir atas dan bawahku menempel hanya beberapa detik kemudian pintu di gedor dari dalam kamar Yanti sangat kencang sekali
bahkan aku yakin itu memerlukan tenaga orang normal dengan tenaga yang sangat besar.
“Tidak apa-apa biarkan saja dulu” Ucapku, yang sedari masuk tadi sosok-sosok mahluk yang ada di rumah ini sudah mengelilingi dimana aku, Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah berdiri sekarang.
Bu Haji Dyah tidak langsung menjawab, hanya mengepal kedua tangannya seperti memendam sebuah kekesalan. Kemudian menatap ke arah Pak Zaidan, dan Pak Zaidan hanya menganggukan kepalanya saja beberapa kali.
“Nek Sumiyanti Ndi… hanya itu yang Ibu tahu, sisanya sama sekali tidak-
- paham dengan kejadian dua tahun kebelakang ini” Ucap Bu Haji Dyah perlahan, di susul dengan suara yang sama dari arah pintu suara geraman seperti binatang dari arah kamar dimana Yanti berada.
“Aku sudah mendengar dari Pak Zaidan juga, bahwa kedatangan aku kesini bahkan-
- Pak Haji dan Nek Sumiyanti tidak mengetahuinya sama sekali, tapi, bakalan tahu, apa siap dengan segala resikonya Bu?” Ucapku, dari tadi sudah mengeluarkan keringat yang sangat banyak dari belakang punggung.
“Tidak ada cara lain Ndi, Ibu pengen Yanti sembuh, normal seperti anak-
- perempuan lain pada umumnya” Ucap Bu Haji Dyah sambil kembali meneteskan air matanya.
Aku tidak menjawab lagi, hanya meminta Pak Zaidan mengantarkan aku ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan beruntungnya tidak terlalu jauh dari kamar dimana Yanti berada,
sementara Bu Haji Dyah hanya duduk saja di salah satu kursi yang sudah sedari tadi tersedia di dekat kamar Yanti.
“Ndi, tolong ini benar-benar saya minta tolong” Ucap Pak Zaidan memohon.
“Pak niat saya hanya menjenguk Yanti yang sedang sakit tidak lebih dari pada itu, -
-jika pencipta mengizinkan saya, insyallah Pak” Ucapku, sambil masuk ke dalam kamar mandi, dengan perasaan yang sangat tidak tenang.
Bahkan Pak Zaidan tidak melangkahkan kakinya lagi hanya berdiri di belakangku yang terlihat dari cermin kamar mandi yang bahkan baru pertama kali
aku melihatnya sangat besar dan mewah.
Selesai membasuh kaki dan membaca doa wudhu, yang sedari masuk ke dalam rumah H. Agah cukup membuatku bahkan merasa tidak tenang dan ketakutan, sekarang aku dibuat kaget untuk yang pertama kali berada di dalam rumah ini.
“Kenapa Ang ada disini” Ucapku dalam hati, ketika melihat Ang sedang berdiri di belakang Pak Zaidan.
Ang hanya mengangguk berkali-kali, sambil mengeluarkan senyum, bahkan beberapa detik aku perhatikan wujudnya sama dengan apa yang aku lihat di dalam mimpiku ketika berjumpa dengan
Kakek dan guruku juga.
“Tenang…” Ucap Ang tanpa mengeluarkan suara hanya gerakan mulut saja yang Ang pergakan.
“Ndi, baik-baik saja…” Ucap Pak Zaidan menegurku, karena mungkin terlihat melamun.
“Iyah Pak…” Ucapku, sambil bergegas dengan cepat menutup sedikit pintu
dan berganti celana dengan sarung dan juga yang sudah aku bawa.
“Pinjam sejadah Pak, sekalian ikut magriban didalam kamar Yanti saja aku solatnya” Ucapku sambil keluar dari kamar mandi.
“Baik Ndi, pasti ada…” Jawab Pak Zaidan seperti masih kaget dengan ucapanku barusan.
Bu Haji Dyah langsung berjalan mendekat ketika sudah melihatku dengan Pak Zaidan mendekat ke arah kamar Yanti, setelah Pak Zaidan membicarakan keinginaku untuk sholat di kamar Yanti, sama halnya dengan Pak Zaidan, Bu Haji Dyah langsung memasang wajah seolah tidak percaya.
“Apa tidak di mushola saja Ndi…” Ucap Bu Haji sangat khawatir.
“Tidak apa-apa Bu, sekalian mengejuk Yanti saja” Ucapku.
Ang bahkan hanya tersenyum saja berdiri di tempat yang sama, bahkan keberadaan Ang juga tidak di ketahui oleh Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah.
“Harusnya nanti aku tau siapa Ang ini sebenarnya” Ucapku perlahan dalam hati.
Tidak lama Bu Haji Dyah kembali berjalan sambil membawa sajadah dan langsung memberikannya kepadaku.
“Buka saja Pak” Ucapku, ketika melihat Bu Haji Dyah memberikan kunci kamar kepada Pak Zaidan.
Dengan perlahan suara pintu terdengar, dan berbarengan dengan itu juga suara kaki menginjak lantai terdengar sangat keras sekali.
“Sudah aman…” Ucapku, yang sedari tadi terus mengucapkan doa-doa didalam hatiku.
Ketika pintu kamar terbuka, terlihatlah seorang gadis
yang sedang tertidur terlentang dengan uraian rambut yang panjang dan hitam dengan perawakan yang tidak jauh berbeda seperti Bu Haji Dyah, ibunya.
“Kalau Yanti sedang tertidur, siapa barusan” Ucap Bu Haji Dyah merasa aneh.
Aku, Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah hanya terdiam berdiri
di dekat pintu yang baru beberapa langkah saja masuk ke dalam kamar Yanti.
“Pak… Bu… tidak apa-apa tunggu saja di luar… mau di tutup pintu silahkan, mau di buka juga tidak apa-apa” Ucapku perlahan, sambil menghamparakan sejadah ke arah kiblat.
“Buka Dan… takut terjadi-
- apa-apa” Ucap Bu Haji masih dengan ketakutanya dan aku sangat mewajarkan hal itu.
“Baik Bu Haji” Jawab Pak Zaidan sambil keluar kamar dan di ikuti oleh langkah Bu Haji Dyah.
“Benar-benar sama dalam mimpi wajah dan perawakan Yanti” Ucapku perlahan, dan langsung mengucapkan niat
solat magrib.
Bahkan selama aku melaksanakan sholat sudah beberapa kali sosok-sosok yang menunggu Yanti mencoba mengganggu konsentrasiku, namun karena ini bukan yang pertama kalinya, aku abaikan saja, walaupun ketika tahiyat akhir sholatku, tiba-tiba pintu tertutup dengan suara
yang sangat kencang sekali.
“Tidak apa-apa Pak Zaidan, jangan di buka saja” Ucapku dengan suara keras agar terdengar oleh Pak Zaidan.
Sedari tadi posisi kiblat solatku membelakangi Yanti, apalagi ruangan ini sama sekali kosong hanya berisikan kasur dan beberapa air saja
yang mungkin disediakan untuk Yanti ketika merasa kehausan.
“Yanti…” Ucapku perlan, karena melihat Yanti yang tiba-tiba duduk bersila dengan rambut panjang hitamnya sudah menutupi semua wajahnya, disusul dengan aroma bau amis yang sebelumnya sudah pernah aku cium.
“Bau yang sama ketika pangkas banyak darah” Ucapku pelan.
Bahkan Yanti tidak mau sama sekali aku ajak berbicara sama sekali, diam dan diam bahkan sudah tiga kali aku menyapa dengan cara biasa malah Yanti semakin diam.
“Sudah dibawa ini…” Ucapku perlahan.
“Ndi…”
“astagfirullah… Ang…” Ucapku, sambil mencium tanganya dan masih sama penampilanya ketika berjumpa dengan Ang di gerobak, hutan ketika pulang ataupun dalam mimpi.
“Raganya sudah dipersekutukan… tidak bisa… Sumiyanti sudah menyiapkan semuanya Ndi… Aang sudah tau sejak dulu… -
- Aang yang urus kebun disini, tau sebelum semuanya seperti ini…” Ucap Aang perlahan.
“Lalu, kenapa harus aku Aang yang kesini” Tanyaku perlahan, sambil melihat ke arah Aang.
“Keturunan Ndi… darah… hanya itu yang bisa, lihat…” Ucap Aang sambil menunjuk ke arah Yanti.
Baru saja aku ingin menanyakan hal lain kepada Aang apalagi dengan maksud ucapan Aang barusan, aku sudah dibuat kaget, sekarang di dekat Yanti sudah berkumpul semua makhluk yang mengelilinginya dengan wajah dan badan yang sangat menjijikan, bahkan dari semua yang aku lihat,
buaya putih yang berukuran betis dewasa sudah diam diatas pangkuan Yanti sekarang, anehnya semuanya hanya melihat ke arahku tanpa bereaksi apapun, sama halnya dengan Yanti.
“Aang…” Ucapku kaget karena sosok Aang sudah tidak terlihat lagi olehku dalam posisi bersila.
“Jangan sekarang, bukan waktunya” Ucap suara yang tidak asing masuk ke dalam telingaku dengan jelas dan begitu membuatku sangat tenang, dan itu suara guruku.
Aku hanya mengangguk saja, kemudian mengambil satu botol air yang sudah ada di kamar Yanti dan membacakan doa.
Raganya Yanti masih saja terbaring seperti posisi semula hanya saja apa yang aku lihat Yanti masih duduk dengan posisi yang sama.
“Kalau sudah waktunya, ingat nanti juga sembuh Yanti, kamu anak yang tidak tahu apapun, tidak salah orang tuamu atau nenek kamu, semua sudah takdir,-
- bismillah…” Ucapku, sambil membasuhkan sedikit air ke wajah Yanti.
Badan Yanti seketika bergerak sekali dan kemudian diam kembali, sementara Yanti yang sedang duduk bersila dengan posisi yang sama bahkan hanya kepalanya saja yang melirik ke arahku.
Sambil memegang botol yang berisi air yang sebelumnya sudah aku beri doa dan terus meminta perlindungan dan pertolongan pencipta, aku merapikan kembali sajadah dan bangkit dari sila, dan terus melihat ke arah Yanti, perasaan masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang
masih diam dalam pikiranku.
“Bruk….”
“gebruk…”
“gebruk…”
Tiba-tiba dengan sangat kencang sekali, tangan Yanti yang awalnya hanya lurus dan berada diantara samping badanya menepuk tembok sangat keras sekali sebanyak tiga kali, dengan suara sekeras itu kalau bukan menggunakan
alat berat dan mustahil untuk manusia apalagi seukuran tenaga wanita melakukan hal itu.
“Ndi… Andi…” Ucap Pak Zaidan berteriak di luar kamar.
Kemudian tangan Yanti kembali pada posisi semula dengan perlahan.
“Kekuatan hanya milik gusti Allah, tidak akan membuatku berhenti…”
Ucapku sambil melihat ke arah kumpulan mahluk-mahluk yang sedang berada didekat Yanti, dan hanya berdiam saja sama seperti ketika aku melihatnya.
“Iyah Pak…” Ucapku, sambil membukakan pintu dengan perlahan.
“Baik-baik saja kan Ndi?” Tanya Bu Haji Dyah yang sudah
keluar air matanya.
“Sudah tidak apa-apa Bu” Ucapku dengan tenang.
Bahkan Pak Zaidan seperti tidak percaya melihat kondisiku saat ini dan mungkin dibuat heran untuk kesekian kalinya.
“Ndi suara tembok tadi sangat kencang sekali, dan saya yakin si Dadang di luar juga -
-pasti mendengarnya” Ucap Pak Zaidan.
“Tidak sudah Pak, ini baik-baik saja, usapkan saja pada badan Yanti dan ganti bajunya sebelum Pak Haji dan Nek Sumiyanti kembali” Ucapku perlahan, sambil memberikan botol berisikan air pada Bu Haji Dyah.
“Apa Yanti sudah sembuh Ndi?” Tanya
Bu Haji Dyah, dan aku sangat mewajarkan di posisi seorang Ibu pertanyaan itu langsung terlontar dari mulut kekhawatiran seorang Ibu.
“Belum untuk saat ini, insyaallah jika izin gusti allah dan segala kemudahan diberikan, insyaallah secepatnya sembuh, bantu dengan doa dan-
- sedekah Bu Haji yah untuk Yanti” Ucapku.
“Posisinya bahkan tidak berubah sama sekali Ndi” Ucap Pak Zaidan yang melihat kondisi Yanti.
“Sejak kapan tidur seperti itu Bu Haji” Tanyaku.
“Sore setelah Bapak dan Neneknya pergi, apa benar Ndi kata orang-orang sebelumnya-
- buaya putih itu ada benarnya?” Jawab Bu Haji Dyah perlahan dengan penuh kecemasan.
“Yang terpenting sekarang kesembuhan Yanti, sudah Bu Haji jangan banyak pikiran yah” Jawabku, sambil membantu Pak Zaidan menutup pintu kamar Yanti.
Bahkan Bu Haji Dyah dan Pak Zaidan bercerita
baru pertama kali ada orang pintar yang berusaha mengobati Yanti tanpa syarat-syarat tertentu dan dengan proses yang sangat lama, ingin sekali aku menceritakan dari awalnya, namun bukan waktunya dan tidak akan aku ceritakan untuk saat ini kepada Bu Haji Dyah dan Pak Zaidan
karena ingin tetap menjaga kepercayaan bukan kepadaku melainkan kepada sang pencipta.
“Aku pamit Pak… maaf tidak bisa langsung sembuh, ada hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dan semoga Bapak bisa menjelaskannya kepada Bu Haji” Ucapku perlahan.
“Kapan datang kesini-
- lagi Ndi, lalu gimana dengan Yanti selanjutnya” Sahut Bu Haji Dyah masih sangat cemas.
“Sama-sama berdoa saja Bu Haji…” Ucapku perlahan, sambil berjalan menuju luar dengan tidak lupa membawa plastik berisikan salin.
“Ndi apa tidak sekalian Isyaan dulu disini” Sahut Pak Zaidan.
“Mau sekalian ke rumah H. Mudin Pak, sore sudah pesan anak buahnya, pengen di jenguk sedang sakit” Ucapku.
Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah yang mendengarkan ucapanku langsung saling menatap seperti tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutku saat ini.
Ketika sampai di luar rumah, terlihat Kang Dadang sangat kaget ketika melihat kondisiku, bahkan rokok yang sedang dihisapnya dengan cara tidak tenang langsung dimatikan ke atas asbak kaca yang sudah tersedia diatas meja.
“Ndi baik-baik sajakan? Suara apa barusan sampai-
- ke depan juga kedenger?” Ucap Kang Dadang.
“Alhamdulillah kang… kang, boleh antarkan ke rumah H. Mudin, dan tunggu sebentar disana” Ucapku.
“Antarkan Dang, tunggu dan pastika sampai pulang Andi aman” Ucap Pak Zaidan dengan sangat serius.
Bu Haji Dyah hanya mematung sambil
sesekali mengelap air matanya yang dari tadi terus berjatuhan dan membasahi pipinya, walaupun aku berada pada perasaan sangat tidak tega sekali, namun apa daya kondisi dan segala masalah yang bukan mudah sedang aku rasakan, apalagi ini sangat berkaitan satu dengan sama lainya.
Langsung saja aku mencium tangan Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah sambil pamit, Bu Haji Dyah langsung mengeluarkan amplop coklat yang cukup tebal dari saku baju yang digunakannya.
“Ini Ndi ambil… Ibu makasih banyak, ada sedikit ketenangan yang tidak tahu kenapa ketika Andi-
- menjenguk Yanti barusan” Ucap Bu Haji Dyah.
Sementara pandanganku masih ke dalam rumah ketika berpamitan dengan Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah.
“Aang…” Ucapku dalam hati.
Aang hanya mengangguk saja, sambil tersenyum dengan khas seorang laki-laki paruh baya.
“Harusnya ada kaitanya siapa Aang ini dan kenapa bisa kenal dekat dengan kakek” Ucapku dalam hati.
“Ada apa lagi Ndi?” Sahut Bu Haji mebuyarkan tatapanku kepada Aang.
“Tidak Bu, kenal dengan nama Aang?” ingin sekali aku bertanya demikian pada Bu Haji Dyah, namun setelah aku rasa
dan aku pertimbangan dan belum waktunya saja.
“Tidak Bu, hanya melihat megahnya saja rumah ini” Ucapku.
Sementara Pak Zaidan dan Kang Dadang yang mungkin sama melihat tingkah anehku saat ini, hanya menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan barusan.
“Yasudah Ndi,-
- takutnya keburu Isya silahkan kalau mau pamit sekarang, ini terima” Ucap Pak Zaidan, sambil kedua kalinya setelah Bu Haji Dyah menyodorkan amplop kepadaku.
“Kasih saja kepada anak yatim yang membutuhkan Bu, niatkan untuk keselamatan kita semua yah, aku terima” Ucapku,
sambil menerima amplop yang Pak Zaidan sodorkan.
“Dan aku kembalikan juga titipkan kembali dengan niat seperti barusan” Ucapku sambil tersenyum.
“Ayo Yanti teriaklah kalau bisa bersama mahluk-mahluk itu” Ucapku dalam hati menahan kesal, karena mahluk-mahluk seolah merekalah
yang paling kuat dan kuasa.
“Baik Ndi, terimakasih Ibu akan usahakan besok secepatnya melalui Pak Zaidan yah” Ucap Bu Haji Dyah, masih tidak percaya dengan segala sikapku saat ini.
Segera aku dan Kang Dadang berjalan ke arah mobil Pak Zaidan yang sebelumnya digunakan untuk
menjemput aku ke rumah ini.
“Ndi, bagaimana apa bisa?” Tanya Kang Dadang, sambil menyalakan klakson pada dua pengajaga yang membuka gerbang secukupnya untuk mobil melewat.
“Insallah Kang, atas izinnya tidak ada yang tidak mungkin” Jawabku sambil melihat ke arah spion kiri mobil
dimana Pak Zaidan dan Bu Haji Dyah masih saja berdiri mengiringi keluarnya mobil saat ini.
“Tidak percaya harus secepat ini, apa memang tujuanku sebenarnya datang ke pelabuhan ini bukan sekedar berdagang?” Ucapku dalam hati.
Sementara Kang Dadang tidak keluar sepatah kata lagi
dari mulutnya setelah mendengarkan jawabanku, yang terkesan tidak bisa menjadi pertanyaan lagi, memang bukankah kuasanya pencipta tidak perlu ditanyakan, melainkan hanya perlu di minta kepadanya.
Tidak lama dengan laju mobil yang sama kencangnya, aku sudah tiba di rumah H. Mudin
, terlihat dari reaksi beberapa orang yang sedang membuka gerbang utama menuju lahan usaha Pak H. Mudin.
“Haji ada?” Teriak Kang Dadang.
“Ada kang di dalam masuk saja langsung, Ibu sedang keluar, masuk saja sudah pesan barusan” Jawab salah satu pekerja H. Mudin.
“Ayo Ndi…” Ucap Kang Dadang sambil turun dari mobil.
Dan langsung aku mengikuti langkah Kang Dadang.
“Apa lagi ini, siapa yang tega menaburkan tanah ini disini” Ucapku, ketika pertama menginjakan kaki ke keramik rumah H. Mudin.
Ketika pintu terbuka, terlihat H. Mudin sedang
tertidur lelap di ruangan tengah rumahnya yang sudah tersedia kasur.
“Tidur Ndi…” Ucap Kang Dadang.
“Sudah, besok akang bilang dan antarkan saja air dariku, juga titipkan pesan pada H. Mudin, bisa?” Jawabku perlahan.
“Bisa nanti akang bawa ke gerobak saja yah” Jawab Kang Dadang
dengan perlahan.
Baru saja pandanganku menatap ke arah pintu keluar sudah duduk seorang laki-laki tua dengan rambut yang sangat panjang menatap tajam ke arahku, sambil memutar-mutarkan lengan kanan terus menerus, bahkan wajahnya sudah terdapat goresan luka yang bekas sayatan
benda tajam, ditandai dengan masih terlihat darah merah menempel di bagian mukanya.
“Ndi… kenapa…” Tanya Kang Dadang.
“Tidak Kang sudah ayo” Ucapku sambil berjalan mendekat ke arah laki-laki tua itu.
“Jangan paksa aku habisi kalian sekarang…” Ucap laki-laki tua dengan suara
yang sangat serak dan pelan tanpa melihat ke arahku.
Aku hanya mengangguk saja sambil melewati kakek tua itu dan tidak berani lagi menatap ke arahnya dengan dekat, apalagi air liur dalam mulutnya perlahan keluar.
“Aku kira kenapa, susah memang jika masa lalu belum selesai” Ucapku
dalam hati, ketika sudah melewati sosok kakek tua itu.
“Benar…” Jawab Kakek tua itu, sambil mengangguk berkali-kali.
“Ndi sekarang kemana, masjid bentar lagi adzan isya” Tanya Kang Dadang yang sudah berada didalam mobil bersama aku.
“Masjid saja Kang, nanti akang suruh Ajo-
- jemput saya” Ucapku.
Aku masih saja menatap ke arah kakek tua yang masih berdiri mematung di tempat yang sama. Ketika perlahan mobil mundur, kakek tua itu hanya duduk saja di kursi yang bahkan beberapa hari kebelakang aku pernah duduk.
“H. Mudin itu siapa kang sebelumnya?”
Tanyaku.
“Kenapa Ndi bertanya soal itu? Ada yang aneh?” Tanya Kang Dadang sambil menatap ke arahku.
“Penasaran saja…” Jawabku.
“Tidak beda jauh dengan Pak Zaidan, namun setelah usaha diberikan oleh Bapaknya H. Agah jadi tidak begitu lagi Ndi, yah dekat juga dengan-
- Nek Sumiyanti Ndi” Jawab Kang Dadang.
“Pantas saja…” Ucapku.
“Pantas gimana Ndi” Tanya Kang Dadang.
“Tidak Kang takutnya malah kelewatan dan sangkaanku salah, malah menjadi dosa, sudah besok bawa saja air dan minumkan pada H. Mudin, jangan terima apapun kalau H. Mudin kasih-
- apapun yah” Ucapku.
Karena mungkin Kang Dadang sudah mulai paham dengan aku yang seperti ini dari cerita Pak Zaidan, hingga tidak ada lagi timbul pertanyaan kepadaku, dan hanya membalas dengan anggukan kepalanya saja.
Sampai di depan masjid benar saja perkiraan Kang Dadang,
adzan isya langsung berkumandang sangat hikmat aku dengar, apalagi sebelumnya beberapa jam kebelakang segala kejadian datang dan masih belum selesai aku bereskan, menjadi obat penenang yang aku rasakan sekarang.
“Kang saya pamit” Ucapku, sambil mencium tangan Kang Dadang.
“Itu jangan lupa salinnya Ndi” Jawab Kang Dadang perlahan, sambil menunjuk ke arah plastik hitam yang berisikan salin.
Setelah aku turun dan berpesan kedua kalinya kepada Kang Dadang agar datang ke gerobak untuk Ajo menjemputku, aku langsung melihat mobil yang digunakan
Kang Dadang perlahan mundur, dan melaju ke arah pasar.
“harusnya semua ini sudah cukup segala petunjuk dan segala pertanyaan yang selama ini aku ingin ketahui, permudahlah ya allah” Ucapku, sambil berjalan ke arah tempat wudhu.
Selama melaksanakan ibadah hanya ketenagan yang
sedari tadi aku inginkan segera aku rasakan kembali, dengan menyimpan sementara urusan dunia untuk menghadap kepada sang pencipta.
Selesai ibadah solat, aku kembali mengganti pakaian dan berjalan menuju kamar mandi, namun yang membuat aku kaget, Ajo sudah terlihat menunggu
di halaman parkir masjid, dengan membawa dua keranjang yang sudah tersimpan di atas Si Joni bersama dengan wadah adonan.
“Tumben Jo, jangan bilang ada apa-apa, atau dagangan memang benar-benar habis” Ucapku sambil masuk ke dalam kamar mandi masih melihat ke arah Ajo yang sedang
menghisap rokok dengan sangat tidak tenang sekali.
Tidak lama, setelah mengganti pakaian dan membawa kembali plastik, aku sudah menggunakan sandal yang sebelumnya aku gunakan dan berjalan ke arah Ajo. Ajo seketika turun dari Si Joni dan mematikan rokoknya dengan cara diinjak.
“Jangan bilang Jo, ada yang tidak baik” Ucapku dalam hati yang sudah mulai tidak tenang.
“Ndi… kita pulang sekarang, gawat!” Ucap Ajo sambil memarkirkan Si Joni.
“Ada apa Jo… gimana dagangan habis” Tanyaku.
“Rugi juga tidak peduli, udah ada dari Pak Zaidan ini,-
- yang terpenting keluargamu, Raka sudah tidak sadar dari magrib…” Ucap Ajo perlahan.
“Jo maksudnya!?” Tanyaku dengan kaget.
“Baca!” Ucap Ajo sambil membentaku dan menyeret badanku untuk segera menaiki Si Joni, lalu memberikan handphone yang baru dikeluarkan dari saku celananya.
“Ajo, tolong bilang sama Andi, segera pulang Raka sudah tidak sadar setelah berteriak keras tiga kali, sekarang kondisinya hanya tertidur, Ibu dan Bapak sudah ada di rumah” Isi pesan singkat Imas yang masuk ke dalam kotak masuk.
“Jo dengar! Naik sekarang, kalau di jalan ada-
- apapun juga jangan bilang, biarkan!” Ucapku tegas sambil menatap ke arah Ajo dengan tajam yang masih berdiri.
“Iyah Ndi, maaf barusan aku sudah sangat khawatir dan tidak tau apa yang harus aku lakukan, kamu bohongkan bukan ke rumah Pak Zaidan” Ucap Ajo
sambil naik ke atas Si Joni.
Tanpa menjawab segera aku nyalakan mesin Si Joni berkali-kali namun tetap saja tidak menyala, bahkan aku injak bagian kick starter motor berkali-kali dengan sekuat tenaga.
“Selalu begini…” Ucapku.
“Sini pelan-pelan saja, tenangkan dirimu Ndi…”
Ucap Ajo, sambil menginjak kick starter dengan pelan.
“Ingat pelan-pelan, semua menunggu kita tiba di rumah” Ucap Ajo dengan pelan di dekat telingaku, ketika mesin Si Joni kembali menyala.
“Maaf aku sudah berbohong Jo, iyah aku paham” Ucapku, yang langsung menarik gas Si Joni
dengan perlahan.
“Ndi, Andi, lagian aku sudah yakin urusan yang datang padamu kapan sih tidak kamu selesaikan, tapi Ndi jika urusanya sama keluarga apa memang tidak ada pilihan” Ucap Ajo.
“Bukan saatnya mempermasalahkan hal itu” Jawabku, yang sedang mengendarai Si Joni
dengan sedikit kencang.
Tidak lama bahkan gerobak sudah aku lewati, tidak jarang beberapa tetangga berdagang ku melihat ke arahku dan Ajo dengan tatapan heran, karena baru kali mungkin aku pulang lebih cepat, bahkan dengan mengendarai Si Joni sedikit kencang.
Bahkan aku tidak menyangka, tenda yang berada di lapangan yang didalam mimpiku adalah pemakaman, sekarang sudah terlihat lebih megah dan mewah apalagi tidak sedikit orang yang membantu menyiapkan untuk acara besok.
“Gila, udah kaya mau acara apa yah Ndi besok” Ucap Ajo.
Aku tidak menjawabnya sama sekali, karena yang ada didalam pikiranku sekarang adalah Raka, anaku dan semua keluargaku, bahkan tidak terbayang bagaimana Imas, Ibu dan Bapak sekarang yang sedang menungguku datang dengan cepat, sementara aku masih berada di area pelabuhan.
Harusnya sudah aku sadari dari kemarin, bahwa keluargaku sendiri yang selalu menjadi sasaran dengan apa yang aku lakukan di pasar pelabuhan ini. Namun rasa penasaran yang semakin berlebih atas tindakan apa yang akan aku lakukan selanjutnya dan rasa kecemasan kini beradu dengan
kencang di dalam pikiranku sendiri.
Suara knalpot Si Joni yang kalau keadaanya melaju dengan kencang memang akan mengeluarkan berisik yang mungkin beberapa orang merasa terganggu adalah kesalahanku yang terus menerus aku meminta maaf dalam diriku sambil tidak henti-hentinya
berdoa karena sudah terbayang dengan keadaan rumah.
“Ndi jangan terlalu kencang dengan mesin tua seperti Si Joni ini walaupun bandel kalau di kebut begini terus takutnya malah mogok, nanti malah makin lama sampai rumahnya” Ucap Ajo, sambil menepuk pundakku.
“Ada benarnya juga Jo”
Ucapku, setelah melewati pemukiman warga dan memasuki jalanan menanjak.
Perjalanan pulang seharusnya lebih cepat seperti biasanya, jika dibandingkan dengan perjalanan pergi, namun karena pikiranku sudah terbagi-bagi, apalagi kejadian di rumah H. Agah saja yang sedari tadi
selalu terpikirkan perlahan berganti oleh pikiranku tentang bagaimana keadaan Raka saat ini.
“Mudah-mudahan Ajo malam ini berani, dan jangan bilang dulu lihat apapun” Ucapku, ketika melahap belokan tajam dengan Si Joni dengan tidak terlalu kencang.
Karena beberapa makhluk yang
sebelumnya aku lihat di kamar Yanti masih saja ada beberapa yang sengaja menampakan wujudnya kepadaku, hanya berdiri saja di sebelah jalan dan tersorot jelas oleh lampu Si Joni.
Ajo hanya memegang erat bagian pinggang aku, yang sudah cukup menjadi pertanda bahwa Ajo barusan juga
melihat hal yang sama seorang perempuan dengan lumuran darah yang tidak sedikit dari wajahnya yang sudah sangat hancur.
“Tumben mobil ikan tidak ada yang lewat yah Jo” Ucapku, mencoba menenangkan Ajo.
“Sudah Ndi gas saja sekarang, cepet” Ucap Ajo dengan suara yang gemetar
dan tangan yang semakin erat memegang pinggang kanan dan kiri badanku.
Bahkan setelah ucapanya terakhir itu, Ajo tidak berkata apapun lagi, sepanjang jalan aku melewati jalanan beton ini, gelapnya hutan di sebelah kanan sudah cukup menggambarkan bahwa hari ini benar-benar
di luar dugaanku sama sekali, apalagi tanpa aku sadari pasti ada maksud dari semua hal ini.
“Alhamdulillah Ndi” Ucap Ajo ketika sudah keluar dari jalanan beton dan melihat beberapa lampu yang menyala kuning sebagai penerang rumah warga-warga.
“Aman kan Jo, lihat apa sudah-
- ada sinyal? Kabarin Imas tidak lama lagi sampai” Ucapku.
“Aman Ndi tenang, siap…” Ucap Ajo, sambil mengeluarkan handphone dan langsung mengetik pesan kepada Imas.
Bahkan dengan tidak adanya gangguan selama perjalanan diatas jalanan beton menuju pasar pelabuhan saja,
sudah cukup membuatku merasa lega, namun tetap saja perasaan dan pikiranku sudah terbagi dan sedari tadi juga lantunan doa terus aku ucapkan dalam hati.
“Ndi…” Ucap Ajo.
“Kenapa Jo?” Tanyaku.
“Apa semua ini gara-gara berurusan dengan keluarga H. Agah?” Tanya Ajo.
“Harusnya iyah Jo, tapi tenang saja… mau gimana lagi bahkan aku tidak tahu tujuanku mungkin ada yang lainya Jo, ketika datang ke pasar pelabuhan itu…” Jawabku, sambil semakin kencang menarik gas Si Joni.
“Yang aku tahu, Kang Dadang bilang kamu memang ke rumah H. Agah untuk -
-menjenguk Yanti, tapi Ndi kalau keluarga kamu sendiri yang jadi masalah apa tidak bisa berhenti saja, kalau bahaya?” Ucap Ajo.
Lagi-lagi aku tidak menjawab ucapan Ajo karena jika aku jelaskan juga bukan waktu yang tepat, pikiran Ajo mungkin ada benarnya, tapi selama ini yang
sudah aku alami juga berurusan dengan pasar pelabuhan tidak ada yang bisa disalahkan sama sekali.
Jalanan hutan perhutani perlahan sudah aku lewati selama kurang lebih 20 menit lamanya, walau tetap saja aku merasa sangat lama sekali berada diatas jalananan saat ini.
“Ndi kata imas, cepat Raka sudah semakin aneh, malah minta yang aneh-aneh” Ucap Ajo, yang barusan terlihat dari spion melihat handphonenya.
“Balas, tidak lama lagi dan bilang jangan turuti apapun biarkan saja” Ucapku, yang semakin kencang dua kali lipat menarik gas Si Joni,
sudah tidak aku pikirkan lagi keadaan kanan dan kiri yang membawa adonan.
“Iyah Ndi, sudah gas saja, urusan si Joni besok aku yang urus” Ucap Ajo sambil menepuk pundakku, setelah terasa memasukan kembali handphone nya ke dalam saku celana.
Saat-saat seperti inilah yang membuatku
kadang tidak siap dengan segala amanah yang diberikan, namun ketika ingat kembali dengan apa yang sudah aku lewati dan barusan melihat kondisi Yanti sudah cukup pilihanku benar, walaupun semua perasaan dan pikiran tetap saja beradu saling menyalahkan atas keadaan saat ini.
Sekarang perbatasan kecamatan sudah aku lewati dan sudah satu jalur menuju pasar kecamatan aku sendiri, yang artinya tidak akan lama lagi aku akan sampai ke rumah. Malah yang hadir dalam pandangan lurusku melihat jalan adalah bagaimana wajah kakeku Ki Dalang Didi dan Guruku
saja yang menjadi tenaga lebih, agar aku tetap hati-hati.
“Permudah Ya Allah… lindungi…” Ucapku dalam hati.
Bahkan ketika melewati pangkas aku hanya melirik dan memastikan Daud baik-baik saja.
“Daud ada Ndi barusan aku lihat” Ucap Ajo.
Aku hanya mengangguk saja dan berharap
segera cepat sampai rumah, dan perasaan aku semakin tidak tenang.
Tidak lama dengan kecepatan yang semakin kencang, aku sudah berada didepan rumah, dan terlihat dari dalam rumah Bapak sudah berdiri dan langsung berjalan keluar rumah, ketika mendengar suara Si Joni yang
cukup berisik.
“Jo beresin yah maaf” Ucapku langsung turun dengan cepat dari atas Si Joni.
“Sudah aman, urus saja dulu Raka” Jawab Ajo.
“Pak…” Ucapku, sambil bersalaman dengan Bapak.
Terlihat dari raut wajah Bapak sangat cemas dan kebingungan.
“Dari tadi sore sebelum bapak dan-
- Ibu kesini Raka sudah tidur tidak seperti biasanya Ndi, namun ketika bangun malah teriak kencang ketika selesai Bapak sholat magrib, dan ini simpan kertas ini petunjuk jalan menuju petilasan Ki Dalang Didi di pelabuhan sana, semoga tidak ada yang berubah jalanya” Ucap Bapak
sambil memberikan satu lembar kertas bergaris yang terlihat disobek dari bagian tengah buku.
Segera aku melihat jalanan dan arah yang bapak tulis menggunakan pensil, walaupun aku belum terlalu paham dengan arahnya, segera aku lipat dan masukan ke dalam celana jeans yang
aku gunakan sekarang.
“Kenapa Bapak menuliskan ini pak?” Tanyaku perlahan, sambil masuk ke dalam rumah.
“Panjang ceritanya, sudah lihat dulu Raka di kamar kasian dari tadi Ibu kamu sama Imas sangat cemas sekali Ndi” Ucap Bapak.
Ketika melihat jam yang menempel di dinding bahkan
sudah jam 20:15 malam ini.
“Cepat juga barusan di jalan” Ucapku, sambil melangkah ke dalam menuju kamar Raka dan Bapak langsung terlihat membantu Ajo.
“Ndi, gimana ini Raka yah ibu sudah bingung, masa bangun hanya sekedar teriak” Ucap Ibu didalam kamar, terlihat juga imas
di sebelah Raka yang sedang duduk diatas kasur.
Nenek tua yang sebelumnya sudah beberapa kali aku lihat di dalam mimpi dan di rumah Ibu sekarang sedang duduk diatas kepala raka masih sama dengan perempuan yang di gedong nya, sedang mengusap-usap rambut raka,
sambil melihat ke arahku dan tersenyum sangat menakutkan, apalagi senyumnya terlihat sangat menyenangkan.
“Ini selanjutnya…” Ucapnya nenek tua, tanpa bersuara hanya menggerakan mulutnya saja berkali-kali, sambil tersenyum terus menerus.
“hmm…” Ucapku, sambil menarik nafas
dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.
“Bu, Imas boleh keluar dulu” Ucapku perlahan. Sambil terus mengangguk.
Segera Imas bergeser dari tempat duduknya dan turun dari atas kasur, sementara Ibu langsung berjalan keluar dengan penuh rasa khawatir yang tergambar jelas dari
raut wajahnya begitu juga Imas.
“Kenapa ini Ndi, jangan bilang ada kaitanya dengan masalah di pasar pelabuhan” Ucap Imas dekat di depan wajahku.
Sementara pandanganku tetap saja melihat ke arah Raka dan nenek tua itu yang terus mengusap-usap rambut raka, perempuan yang nenek tua
itu gendong sama sekali seperti pertama aku lihat tidak bergerak, dan hanya menempel saja pada pundak nenek tua, dengan wajah yang tertutup oleh rambut panjangnya.
“Sudah yang terpenting Raka sembuh dulu” Ucapku, kemudian duduk disebelah raka, di ujung ranjang.
“Dulu Dalang sialan itu pernah berpesan, bakalan ada turunan yang meneruskan dengan cara lain, ketika aku melihatmu pertama kali, bau darahnya sama…” Ucap Nenek tua perlahan, dengan sangat pelan.
Aku tidak menjawab dan terus menerus membacakan doa didalam hati, sambil memejamkan
mataku dengan perlahan.
“Selama mengganggu anak ini yang aku gendong, anakmu selanjutnya…” Ucap nenek tua, dengan suara yang sama pelanya, bahkan wajahnya aku merasakan mendekat kepadaku.
Tangan kananku semakin bergetar hebat, dan terus menerus meminta perlindungan pencipta
karena mau bagaimanapun hanya padanya aku memohon juga meminta.
Tiba-tiba terdengar suara Si Robin yang sangat kencang, dan ini adalah suara yang paling kencang aku dengar bahkan cukup membuatku kaget.
“Hahaha… sialan, sudah, sudah… sudah! Aku pergi sudah… jangan ganggu lagi-
- kenyamananku yang sudah puluhan tahun…” Ucap Nenek tua dengan suara yang sedikit keras.
“Siapa anak itu?” Ucapku perlahan dalam hati.
“Yang akan menjadi penerusku…” Jawab Nenek tua.
Ketika aku buka mata dengan perlahan, sosoknya sudah tidak ada dan hanya bau amis darah yang
sekarang aku cium, menyengat masuk ke dalam hidung.
“Sumiyanti…” Ucapku perlahan.
“Mah bawakan air minum, dalam gelas saja sedikit” Ucapku dan melihat ke arah Imas, malah aku kaget ternyata Bapak dan Ajo juga Ibu sedang berdiri di luar kamar dengan wajah yang sama penuh
kecemasan.
Segera Imas memberikan air putih didalam gelas kepadaku dan aku langsung membasuhkanya sedikit ke arah wajah Raka.
“Nak, ini minum, buka mulutnya, maafkan bapak yah” Ucapku.
Seketika Raka membuka mulutnya, berbarengan dengan tenggorokanya mulai bergerak matanya juga
perlahan terbuka.
“Alhamdulillah nak…” Ucapku ketika melihat Raka kembali terbangun.
Segera aku bangun dan menyuruh Imas mengganti baju Raka dan menyuruhnya membasuh semua badan Raka, aku dengan cepat mengabaikan Ajo, Bapak dan Ibu berjalan ke arah dapur, sambil mengambil sekop
kayu yang biasa aku gunakan untuk menggali tanah.
“Bin, robin, terimakasih selalu benar-benar tugasmu ini” Ucapku sambil membuka pintu dapur.
Terlihat di dekat robin, salah satu sosok menjadi biawak kecil seukuran lengan anak kecil sudah terlihat mati. Dan karena itulah aku
sudah siap dengan langsung menggali tanah di ujung dekat kandang Si Robin dan menguburnya.
“Dari kemarin ini Bin, yang suka mengganggu di rumah ini…” Ucapku perlahan, yang tidak lama dengan menggunakan sekop membawa biawak dan memasukan ke dalam lubang yang sudah aku gali
tidak terlalu dalam.
Beruntungnya tidak ada yang melihatku, kecuali aku dan robin saja saat ini.
“Bin sudah, mulai sekarang makan lagi dengan lahap yah…” Ucapku, sambil mendekatkan kembali makanan ke arah Si Robin yang mungkin dari sore tidak di makan.
Segera kembali aku masuk
ke dalam dapur, setelah mengunci kembali pintu dapur.
“Harus segera selesai, kalau tidak keluarga selalu jadi sasaran” Ucapku sambil menuangkan air putih ke dalam gelas, dan meminumnya.
Terlihat Imas dan Ibu masih berada di kamar, membasuh badan Raka yang aku lihat dari jauh
semuanya sudah baik-baik saja.
Aku langsung berjalan mendekat kepada Imas dan Ibu dan ingin tahu bagaimana awal kejadianya.
“Awalnya gimana Mah bisa begitu” Tanyaku sambil berdiri didekat pintu kamar.
“Jam lima sore tadi setelah Ustad Ijal seperti biasa mengambil jatah yang-
- kamu titipkan Ndi, sebelum ibu datang, ada perempuan mengais anak kecil terus-terusan bolak balik melihat ke arah rumah ini, ketika aku kasih makan raka duduk di kursi depan rumah…” Ucap Imas.
Ibu yang mungkin baru mendengarkan penjelasan Imas langsung melihat ke arah Imas.
“lalu” Ucapku.
“Lalu, perempuan itu menatap bukan ke arahku, melainkan ke arah Raka dengan tajam, bahkan dengan waktu yang lama, aku sudah beberapa kali menegurnya, dan kebetulan sekali tidak ada orang lagi yang melewat depan rumah sore tadi. Tapi, sama sekali perempuan-
- itu tidak menjawab, beberapa detik aku mengambil air minum ke ruangan tengah, perempuan itu sudah tidak ada.” Ucap Imas, curiga.
“Ibu datang sudah tidak ada Mas, malah ibu kaget kok didepan bau amis darah gitu” Sahut Ibu.
“Iyah sosok yang sama…” Ucapku perlahan dalam hati.
“Aku beres magriban gantian sama Ibu dan Bapak pulang dari masjid tiba-tiba Raka teriak…” Ucap Imas.
Segera aku mengambil parfum ruangan dan menyemprotkannya berkali-kali didalam kamar.
“Tidak akan menyengat baunya ini sedikit” Ucapku.
Berharap bau yang sebelumnya sudah aku cium
tidak tercium oleh Imas dan Ibu.
“Ibu buatkan kopi buat kamu Ndi” Ucap Ibu sambil keluar dari kamar.
“Sekalian Bapak sama Ajo” Ucapku, sambil berjalan ke ruangan depan.
“Mana Ajo pak?” Ucapku, yang tidak melihat keberadaan Ajo, sementara Si Joni masih terparkir di halaman depan.
“Jalan kaki ke depan beli rokok katanya Ndi” Jawab Bapak.
Aku menghempaskan badan ke arah sofa dengan perlahan, dengan segala yang sudah terjadi hari ini benar-benar diluar nalarku sebagai manusia biasa.
“Ndi, sudah selesaikan saja urusan kamu disana, bapak yakin kalau begini-
- ada urusan yang belum selesai, sesekali datangin petilasan kakek kamu itu” Ucap Bapak perlahan.
“Iyah Pak, tadi sebelum pulang sudah melihat dan menjenguk anaknya H. Agah, tanpa sepengetahuan H. Agah, susah Pak menjelaskannya… tapi saran bapak ada benarnya” Jawabku jauh pelan
dari suara Bapak.
“Bapak jadi yakin beberapa hari kebelakang memikirkan Ki Dalang Didi, soal dedemit buaya putih itu mungkin ada benarnya” Ucap Bapak.
Langsung saja ingatanku tertuju pada keadaan Yanti dan segala keterkaitannya dengan semua masalah yang sedang aku alami sekarang.
“Iyah Pak, andai Bapak tahu cerita dulu bagaimana saktinya perempuan yang tempo hari Bapak ceritakan, mungkin bisa menjadi pentunjuk lainya untuk Andi” Jawabku.
“Tidak ada yang benar-benar tahu Ndi tentang cerita itu, namun beberapa teman Bapak yang sudah duluan meninggal-
- pernah menjadi saksi bahwa benar adanya… Ki Dalang Didi bisa jadi dulu juga mempunyai cerita dengan perempuan itu… tapi dulu, Ki Dalang Didi memilih berhenti pentas disana setelah cerita dedemit buaya putih itu tidak ada dengan sendirinya” Ucap Bapak menjelaskan.
“Pak… dulu apa yang memiliki kesaktian harus diturunkan benar adanya?” Tanyaku yang tiba-tiba keluar begitu saja dari mulutku.
“Tidak semuanya, buktinya Ki Dalang Didi tidak sama sekali menurunkan ilmu dalang dan yang lainya, bapak masih ingat pesanya… takutnya tidak bisa-
- menggunakannya” Ucap Bapak menjelaskan.
“Lalu apa maksud dari Sumiyanti ini…” Ucapku dalam hati.
“Selesaikan Ndi, kasihan jika keluarga kita yang terus menerus seperti ini…” Ucap Bapak sambil menepuk pahaku perlahan.
Aku hanya mengangguk saja perlahan, dan tidak lama Ajo datang kembali dan beruntungnya obrolan dengan Bapak sudah berakhir dan tidak didengar oleh Ajo sama sekali.
Langsung saja Ajo memberikan rokok kepadaku dan Bapak, setelah itu tidak lama Ibu mengantarkan kopi untuk aku,
Bapak dan Ajo. Dan ikut duduk.
“Ndi… kalau urusan kamu di pelabuhan berimbas sama keluarga mending sudahi saja jangan ikut campur, apa kamu tega dengan keadaan anakmu seperti tadi” Ucap Ibu perlahan.
“Bapak istirahat duluan Ndi disana” Ucap Bapak langsung berdiri dan berjalan
menuju ruangan tengah rumah.
“Iyah Bu, maaf semua Andi juga tidak tahu akan menjadi seperti ini.” Ucapku perlahan.
“Yasudah istirahat saja, pesan ibu hanya itu, besok Ajo bikin adonan gimana?” Tanya Ibu.
“Terserah Ibu saja, gimana baiknya Ajo ikut, itu juga sisa Bu”
Jawab Ajo perlahan.
Sementara Ibu dan Ajo berbicara soal bagaimana untuk besok dengan sangat serius. Aku hanya bisa memperhatikan, malah pikiranku saat ini, memikirkan semua perkataan Ajo di jalan, Bapak barusan dan juga perkataan ibu, namun jika tidak diselesaikan semuanya
sudah terlambat bisa jadi juga ini semua sudah berada dalam rencana bagaimana caranya pencipta bekerja.
Setelah obrolan Ajo dan Ibu mencapai sebuah kesepakatan bahwa besok adonan yang tersisa tetap akan dibuatkan saja, dan setelah jadi akan dibagikan pada tetangga. Kemudian Ibu
juga pamit untuk istirahat dan berjalan menuju kamar untuk tidur bersama Imas dan Raka.
“Ndi ini amplop yang sama sekali belum dibuka…” Ucap Ajo perlahan.
“Buka Jo, dan ambil samakan dengan keuntungan biasa kita dengan jumlah adonan, sisanya besok kembalikan ke Kang Dadang…”
Ucapku sambil membakar rokok.
Langsung saja Ajo membuka amplop dan ketika aku melihat isinya tidak begitu kaget, karena ketika dari awal memegang amplop yang sangat tebal pasti isinya bisa tiga kali lipat dari pada penghasilan aku dan Ajo seperti biasanya.
“Sisanya masih banyak Ndi…” Ucap Ajo.
“Sudah masukan lagi Jo, cukupkan?” Tanyaku.
“Cukup Ndi alhamdulillah, pengen sih tanya soal yang aku lihat di jalanan hutan kemarin Ndi, tapi yang terpenting aman… aku urungkan pertanyaan itu Ndi…” Ucap Ajo tiba-tiba terlihat sangat cemas.
“Mandi, solat, sampai rumah insyaallah aman Jo” Ucapku, sambil menepuk pundak Ajo berkali-kali.
Mungkin itu pengalaman kesekian kalinya Ajo bersamaku dan tetap saja Ajo masih sama dengan apa yang pernah aku tahu dari dulu.
Setelah memisahkan uang untuk belanja besok dan membagi
hasil hari ini, Ajo langsung pamit dengan membawa Si Joni.
“Sekalian besok aku cek dulu ke bengkel Ndi yah” Ucap Ajo sambil berpamitan.
“Iyah kalau ada apa-apa nanti aku ganti” Jawabku, sambil melihat Ajo keluar dari halaman depan rumah.
Dengan seluruh badan yang masih terasa
sangat gerah, karena keringat di beberapa bagian badanku belum kering semua, aku mengambil kopi dan rokok ke dalam, lalu duduk di kursi depan rumah.
“Disini sore tadi Imas duduk…” Ucapku, sambil mengingat apa yang sudah Imas ceritakan barusan.
Perlahan rokok yang sedari tadi aku hisap mulai memendek, dan kopi didalam gelas mulai berkurang, masih saja aku mengingat kejadian beberapa hari kebelakang.
“Sama polanya, ketika aku berada di rumah H. Agah, pasti selalu ada kejadian kepada keluargaku sendiri…” Ucapku,
sambil mengeluarkan kertas yang sebelumnya bapak berikan.
Aku perhatikan betul petunjuk yang bapak gambar, berserta lengkap dengan denah seadanya khas tulisan orang tua. Sambil rokok yang selanjutnya aku kembali bakar. Bahkan, malam ini angin berhembus sangat kencang sekali,
membuat rasa gerah di badan perlahan pergi begitu saja.
“Ini berati arah pelabuhan dan ini lapangan, ini pasar…” Ucapku, sambil memperhatikan kertas.
“Ndi… aku kira kamu kemana, masuk anginya kencang nanti malah sakit” Ucap Imas tiba-tiba sudah berdiri didekat pintu.
“Raka gimana Mah?” Jawabku, sambil melihat ke arah Imas.
“Sudah tidur lelap… ini mah simpan hasil hari ini… maafkan yah mah” Ucapku sambil menyimpan kertas terlebih dahulu di atas gelas kopi dan mengeluarkan uang di dalam saku.
“Sudahlah Ndi bukanya kita dari dulu juga sudah -
-terbiasa dengan hal seperti ini, aku siapkan baju salin yah, nanti masuk jangan terlalu malam” Ucap Imas, sambil menerima uang yang aku berikan kemudian masuk kembali ke dalam kamar.
Langsung saja aku kembali melihat isi kertas, dan kembali berusaha memahami coretan petunjuk
arah yang bapak gambar.
“Iyah ini jalan ke rumah H. Agah… aku harus turun ke pelabuhan lalu satu arah menyusuri danau… semoga tidak terlalu jauh dari gambar yang bapak buat” Ucapku perlahan, namun tidak tahu kenapa perasaan yang aneh yang tidak bisa aku jelaskan datang begitu
saja, malah sedikit mengganggu keyakinanku pada petunjuk yang bapak berikan.
“Besok harus benar-benar nyusun rencana, apalagi besok ada acara besar di pasar…” Ucapku.
Seketika kembali teringat pada ucapan Aang, lelaki tua itu, soal bakalan ada kerasukan di lapangan,
apalagi dalam mimpiku lapangan itu pemakaman yang sangat luas dan itu juga yang menjadi pertanyaanku, yang sampai saat ini bahkan belum mempunyai jawaban asal muasalnya.
“Benar… sudah yakin, aku harus kesana…” Ucapku, sambil berdiri dan membawa gelas kopi juga rokok masuk
ke dalam rumah.
Setelah selesai Mandi dan berganti pakaian yang sudah Imas sediakan, aku melihat ke arah jam dinding, bahkan tidak terasa waktu terus berputar dengan sangat cepat, segera aku melaksanakan shalat sunnah dan membacakan doa-doa meminta terus menerus kepada yang
maha kuasa atas segala masalah yang sedang aku alami, ketika sedang duduk bersila dan berdzikir setelah sholat, aku merasakan ketenangan di ruangan mushola kecil di rumahku ini.
“Selsaikan Ndi… petunjukmu sudah ada… walaupun rintanganya keluargamu sendiri…”
Seketika mata yang sedari tadi memejam terbuka dengan sendirinya ketika mendengar suara yang sudah tidak asing lagi masuk ke dalam telingaku, ingin sekali aku mencari dari mana asal suara itu, namun aku hanya bisa mengangguk saja berkali-kali, dan kembali melanjutkan dzikirku.
“Lelah sekali…” Ucapku, sambil memiringkan badan di mushola ketika selesai.
Menyingkirkan beberapa kejadian yang sudah aku lalui setelah merasakan jauh ketenangan yang sekarang aku rasakan perlahan mata sudah menagih keharusnya untuk segera terpejam malam ini.
“Ini bantalnya pakai” Ucap Imas, sambil mengusap kepalaku.
“Sudah istirahat mah” Ucapku, sambil mengambil bantal yang imas berikan.

***

“Pindah sana bangun, tidurnya ke kamar sudah subuh”
“Bu…” Ucapku langsung bangun, karena melihat Ibu sudah mengunakan mukena untuk-
- melaksanakan sholat subuh.
Segera aku mandi pagi ini dan langsung melaksanakan solat, sementara Ibu dan Imas sibuk menyiapkan sarapan untuk aku dan bapak, dan tidak seperti pagi biasanya, Raka pagi ini benar-benar tidak mau lepas dari pangkuanku sama sekali, padahal sebenarnya
dengan bapak yaitu kakeknya sangat dekat sekali.
“Tumben yah Ndi… sama bapak tidak mau dipangku” Ucap Bapak sambil sedikit memaksa memangku cucunya.
Benar saja Raka langsung menangis, dan ketika kembali berada dalam pangkuanku tangisan langsung reda.
“Jangan sampai…” Ucapku
dalam hati.
Bahkan Si Rahmat tukang ojek pagi ini ketika baru saja jam 6 pagi sudah duluan menjemput Bapak yang akan bersiap-siap pergi ke sawah karena masih banyak yang harus di urusnya.
“Hati-hati yah Ndi” Ucap Bapak sambil menepuk pundakku, ketika aku bersalaman mencium
tangan Bapak, sambil tetap memangku Raka.
Aku hanya mengangguk saja dan memberikan wajah yang baik-baik kepada bapak agar menjawab rasa khawatir yang terlukis jelas dari wajah bapak.
Tidak lama Si Rahmat kembali lagi untuk menjemput Ibu, Imas dan yang terakhir aku untuk menuju
rumah Ibu, karena si Joni dari malam dibawa oleh Ajo.
Bahkan ketika Raka akan bareng dengan Imas, Raka dengan erat tidak mau lepas dari pangkuanku sama sekali.
“Tumben yah Ndi…” Ucap Imas mulai cemas.
“Sudah tidak apa-apa lagi rindu saja ini sama bapaknya Mah… -
-Si Robin aman mah?” Jawabku.
“Sudah aku beri makan Ndi…” Ucap Imas sambil naik ke motor si Rahmat.
Karena jarak yang tidak terlalu jauh, bahkan Si Rahmat tidak lama sudah kembali terlihat, dan setelah semuanya aku pastikan aman keadaan rumah, aku langsung menaiki motor
Si Rahmat. Selama perjalanan aku hanya bertegur sapa saja dengan Si Rahmat dan bertanya soal bagaimana dagang di pasar pelabuhan yang ternyata beberapa orang di sekitar kampungku sudah mengetahuinya.
Sampai di halaman rumah Ibu dan membayar semua ongkos ojek Si Rahmat sangat
senang sekali, apalagi aku lebihkan karena mengganggu jadwal dia untuk mangkal di pasar pagi ini.
“Nak kenapa, tumben…” Ucapku sambil berbisik ke telinga Raka.
Raka hanya menggelengkan kepalanya yang sedari tadi menempel terus menerus di bagian dada aku.
“Harusnya masih baik-baik saja” Ucapku sambil berjalan ke halaman belakang rumah Ibu.
Selama aku duduk di teras belakang, Raka sama sekali tidak mau lepas, sampai kedatangan Ajo yang ditandai dengan terdengarnya suara Si Joni datang, terlihat Ajo membawa beberapa bahan
untuk dagang hari ini.
“Tumben Raka nempel banget Ndi, jadi engga bisa merokok yah” Ucap Ajo sambil bercanda.
Aku hanya menggelengkan kepala saja kepada Ajo, pertanda aku juga tidak mengerti ada apa dengan Raka hari ini
Bahkan sudah jam 8 lebih aku hanya memangku Raka saja,
sementara Imas, Ibu dan Ajo membuatkan Adonan sisa untuk dijadikan martabak dan dibagikan kepada tetangga, sampai martabak selesai beberapa jam kemudian, sampai juga martabak Ajo selesai bagikan, tetap saja Raka sudah beberapa kali Imas rayu tidak mau lepas dari pangkuanku.
“Ada yang aneh, ini caranya begini ternyata…” Ucapku dalam hati, yang dari tadi terus berdoa dan meminta pentunjuk, apalagi hari ini aku berniat menyelesaikan semua masalah di pasar pelabuhan.
“Kalau begini kamu tidak bisa ke pangkas Ndi?” Ucap Imas.
“Tidak apa-apa lagian selesai Adonan, kayaknya kita berangkat lebih awal saja Jo, apalagi ada acara besar di pelabuhan sana” Jawabku.
“Benar Ndi lebih bagus begitu” Ucap Ajo.
Seketika Raka menjerit dengan suara yang sangat kencang, dan memukul bagian kepalaku dengan sangat kuat
bahkan bukan tenaga seukuran anak kecil pada umumnya.
“Dari tadi aku nunggu hal ini” Ucapku perlahan dalam hati.
Imas langsung mengambil Raka dari pangkuanku, malah suara Raka jauh lebih keras ketika dibawa masuk kedalam rumah oleh Imas, hal ini juga membuat Ibu dan Ajo benar-
benar dibuat kaget.
Segera aku mengambil air minum, ketika Ajo dan Ibu melihat keadaan Raka, yang terus menerus menjerit. Aku basuhkan langsung ke bagian wajah Raka dengan perlahan, dan jeritan mereda bahkan hanya tatapan lemas saja yang sekarang aku lihat dari Raka.
“Ndi apa belum selesai yang kemarin” Ucap Imas.
Sementara Ibu terus mengusap-usap rambut Raka, sambil memberika susu yang sebelumnya sudah Ibu buatkan.
Aku tidak menjawab dan langsung berjalan ke teras belakang diikuti oleh Imas, sementara Ajo dan Ibu di dalam bersama Raka.
“Harusnya sudah Mah…” Ucapku, sambil menyalakan rokok.
“Apa ini ada kaitanya dengan keluarga H. Agah di pelabuhan Ndi, sudah gila kamu membiarkan keluargamu seperti ini, itu anak kita… sudah cukup jangan ganggu lagi keluarga mereka!” Ucap Imas dengan nada yang keras.
Aku hanya kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Imas saat ini, apalagi aku yakin itu adalah suara nurani seorang ibu atas kecemasan yang sedang Imas rasakan.
“Maaf mah, tidak bisa, disana juga sudah ada Ibu yang sama menunggu, menyimpan harapan besar agar anaknya sembuh…-
- semuanya sudah terlanjur…” Ucapku perlahan.
Apalagi ingatanku kembali pada petunjuk yang bapak berikan, dan kertas yang sudah aku simpan kembali ke dalam saku celana yang saat ini aku gunakan.
“Tapi Ndi… ini anak kita” Ucap Imas.
“Sama Mah, kalau ini tidak selesai… -
-semuanya akan sama tidak ada pilihan…” Jawabku perlahan.
“Apa ini karena dedemit buaya putih itu, jawab!” Ucap Imas, kembali membentak.
Aku hanya bisa menganggukan kepala saja, apalagi semuanya belum memiliki waktu yang tepat untuk aku jelaskan kepada Imas secara rinci sebab
dan akibatnya.
“Aku minta kamu jangan pergi hari ini Ndi, paham...” Ucap Imas sambil air matanya mulai turun.
“Tidak bisa Mah… semua sudah aku mulai dan harus selesai” Jawabku perlahan.

***
Pertemuan pertama dengan Yanti adalah puncak segala yang menjadi pertanyaan memiliki jawaban utuh untuk seorang Andi, walaupun masih banyak jawaban yang belum Andi dapatkan saat ini. Namun petunjuk dari Bapaknya sudah cukup membuat Andi harus melakukan langkah apa selanjutnya.
Walau sekarang cobaan kembali datang dari sang istri Andi sendiri melalui segala hal aneh yang datang kepada Raka, apakah semuanya akan selesai sebagaimana harusnya? Atau kedepannya masih ada perjalanan yang akan mengganggu Andi, menyelesaikan masalahnya untuk kesembuhan seorang
Yanti yang berkaitan erat antara Nek Sumiyanti dan dedemit buaya putih?
Masih ada satu bagian lagi, yaitu bagian 7 yang akan menjadi akhir cerita ini dan akan berakhir seperti apa juga perjalanan di pasar pelabuhan,
“Misteri dan teka-teki bukan untuk dipecahkan, melainkan untuk diselesaikan bagaimanapun caranya, karena sudah dimulai.”

Baca Bagian 7 (Tamat)
karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Cerita terbaru sudah masuk Bagian 2 yaitu, PENJAGA KEBUN TEBU yang menjadi cerita pembuka diawal tahun, untuk teman-teman yang ingin baca terlebih dahulu Bagian I dan memberikan dukungan bisa langsung klik link di bawah.
karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Dan ini Bagian II “Sebelum tubuh ini utuh, sebelum penasaran ini selesai, dan sebelum dendam ini tuntas, ini adalah tempatku.” Teman-teman bisa baca terlebih dahulu dengan memberikan dukungan, bisa langsung klik link di bawah.
karyakarsa.com/qwertyping/pen…
Percayalah kita tidak pernah benar-benar sendiri ketika membaca cerita ini, kita selalu berdampingan! Selamat membaca dan selamat berjumpa kembali dengan Andi. Mohon bijaksana dalam menyikapi kisah nyata ini.
Saya ucapkan terimakasih telah membaca cerita ini, dukungan yang kalian berikan sangat berarti sekali untuk saya.

“Typing to give you a horror thread! You give me support!”

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with horror(t)hread!

horror(t)hread! Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

12 Jan
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 7 Tamat -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @diosetta
7.0 - Hai selamat malam, tidak terasa perjumpaan kita sudah sampai Bagian 7 yang artinya cerita berakhir dibagian ini, namun karena ceritanya cukup panjang, akan saya bagi menjadi dua bagian 7.0 dan 7.1 yang akan berlanjut besok, tidak langsung selsai malam ini.
Teruntuk teman-teman yang belum baca bagian sebelumnya bisa ikutin info seperti pic dibawah ini agar mempermudah mencari cerita kali ini dan kumpulan cerita lainya yang sudah saya bagikan.
Read 331 tweets
30 Dec 21
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 5 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image Image
Hai selamat malam, kembali lagi di hari kamis malam, seperti biasanya saya akan melanjutkan sebuah cerita sesuai dengan judul diatas. Iyah bagian 5! Yang berarti sisa dua bagian cerita ini, yang akan terus berlanjut! Link bagian 1 sampai 4 ada dibawah.
Sehingga teman-teman yang belum baca, bisa baca terlebih dahulu bagian sebelumnya, tinggal klik saja linknya.
Bagian 1 – 2 Des 2021 (klik dibawah untuk membaca)

Read 191 tweets
23 Dec 21
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 4 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
Hai selamat sore menjelang malam, karena ini adalah kamis malam seperti rutinitas kita biasanya, maka cerita akan segera berlanjut sesuai judul diatas. Lebih awal kembali, seperti minggu kemarin. Cuaca sedang sering hujan, semoga teman-teman tetap dalam keadaan sehat. Amin.
Seperti biasanya di bawah akan saya masukan beberapa Link, untuk teman-teman yang belum baca bagian satu sampai 3 bisa klik langsung, agar tidak bingung dengan lanjutan cerita kali ini.
Bagian 1 – 2 Des 2021 (klik dibawah untuk membaca)

Read 165 tweets
16 Dec 21
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 3 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

----------

@ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
Hai, kembali saya akan melanjutkan cerita sesuai dengan judul di atas, iyah kita berjumpa dengan waktu yang sedikit maju dari biasanya, karena malam ini ada jadwal space, semoga selesai sesuai waktu yang sudah diprediksi.
Semoga teman-teman dalam keadaan sehat selalu dibalik cuaca akhir tahun ini, tetap jaga kesehatan dan tetap saling melindungi. Terimakasih untuk yang sudah mengikuti cerita sampai bagian 3, yang belum baca cerita sebelumnya saya masukan link dibawah tinggal klik.
Read 189 tweets
2 Dec 21
DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 1 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
Hai selamat malam, iyah berjumpa lagi di kamis malam yang artinya ada cerita horror yang kembali akan saya coba bagikan sesuai dengan judul diatas. Semoga teman-teman dalam keadaan sehat, amin. Pernah baca sebelumnya tentang Andi? Cerita yang pernah saya bagikan sebelumnya?
Karena cerita kali ini masih berkaitan dengan Bersembunyi Dalam Terang, untuk yang belum baca bisa ikuti informasi di Bawah dan cari judul Bersembunyi Dalam Terang 1 & 2, yang sudah di upload 22 Oktober 2020 dan 7 Januari 2021. Image
Read 240 tweets
18 Nov 21
MELATI

-Bagian 7.0-

HORROR(T)HREAD
Based On True Story!

“Kecantikan yang selalu disebut dengan anugerah, bisa saja menjadi sebuah musibah”

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @diosetta

#bacahoror #ceritahoror #ceritahorror Image
Hai selamat malam, kembali lagi saya akan melanjutkan cerita Melati. Sepertinya kalian sudah tidak sabar cerita ini berakhir, tenang semua ada waktunya termasuk berjumpa dalam sebuah cerita, dan akhirnya malam ini bisa berlanjut ke Bagian 7.0!
Bagian 7 ini saya bagi dua bagian, karena ceritanya terlalu panjang dan jika diselsaikan malam ini juga memakan waktu yang cukup lama, semoga teman-teman mengerti, dan berbeda dengan malam biasanya saya membagikan link cerita Bagian sebelumnya.
Read 268 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(