DEDEMIT BUAYA PUTIH

Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang
- Bagian 1 -

HORROR(T)HREAD
Based on true story

“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @diosetta Image
Hai selamat malam, iyah berjumpa lagi di kamis malam yang artinya ada cerita horror yang kembali akan saya coba bagikan sesuai dengan judul diatas. Semoga teman-teman dalam keadaan sehat, amin. Pernah baca sebelumnya tentang Andi? Cerita yang pernah saya bagikan sebelumnya?
Karena cerita kali ini masih berkaitan dengan Bersembunyi Dalam Terang, untuk yang belum baca bisa ikuti informasi di Bawah dan cari judul Bersembunyi Dalam Terang 1 & 2, yang sudah di upload 22 Oktober 2020 dan 7 Januari 2021. Image
Yang artinya, di tahun 2021 ini yang sudah mendekati akhir tahun, cerita tentang Andi menjadi pembuka dan penutup tahun 2021, sederhana sekali, ambil hikmah dan makna saja dalam sebuah cerita, tidak selalu tentang rasa penasaran harus dicari kebenaranya.
Seperti biasa, untuk teman-teman yang ingin memberikan dukungan/ TIP kepada saya bisa langsung klik link, tersedia juga E-Book yang bisa kalian download, karena cerita sudah sampai bagian 4 dan akan terus berlanjut. 👇

karyakarsa.com/qwertyping
Cerita ini akan sama panjangnya dengan Melati yang minggu kemarin baru saja selesai, jadi untuk teman-teman yang penasaran dan ingin baca duluan bisa klik link diatas barusan, oke.
Cerita akan saya saya mulai dari Bagian 1, tanpa berlama-lama lagi izinkah saya membagikan ceritanya, selamat membaca.

***
“Alam kita yang paling sempurna, apapun yang kita inginkan pasti bisa terwujud, sekalipun itu nyawa"

Pertengahan Tahun 2009-an

Jika setiap hidup adalah sebuah perjalanan, mungkin perjalanan hidupku lain, aku harus berjalan di antara terang dan gelapnya sisi lain dari alam ini,
namun jika hal ini adalah kelebihan dari tuhan yang menciptakannya, aku hanya berusaha dan belajar menerima bahkan terlebih mensyukuri, dan begitu juga jika ini adalah sebaliknya, menjadi sebuah kekurangan untukku, aku tidak bisa berkehendak atas apa yang tuhan berikan,
karena kepadanya dan untuknya yang akan menjadi rumah abadi ketika aku berpulang.

Pertengahan tahun ini setelah satu tahun lebih sejak kelahiran anak pertamaku Raka, keadaan sulit sedang benar-benar datang menghampiriku, pangkas rambut yang menjadi andalan untuk mencari rezeki
belum berkembang pesat, karena baru buka sekitar 8 bulan yang lalu, apalagi di pasar kabupaten tempat pangkasku berada sudah banyak sekali pangkas-pangkas rambut yang lain bahkan sudah bertahun-tahun lamanya memulai.
“Ndi kalau malam ini sepi, kasian kamu besok dari pagi saja,-
-biar aku tidak usah ke pangkas dulu lumayan kan kalau dari pagi” Ucap Daud rekan kerjaku.

ketika akan pamit pulang sore ini, dan seperti hari-hari biasanya sebelum adzan magrib berkumandang, aku pasti sudah sampai di pangkas.
“Jangan begitulah Ud, kaya kamu yang mengatur rezeki saja, tidak apa-apa besok kamu tetep pagi masuk ah, maklum Ud pangkas masih alakadarnya begini jugakan” Jawabku sambil mengunci leher motor kesayanganku si joni.

“Iyah emang benar… ya sudah ini setoran hari ini alhamdulillah-
-tadi siang banyak anak sekolah yang datang katanya pada kena razia di sekolahnya dan ramai pada kesini” Ucap Daud sambil memberikan sejumlah uang.

Memang jika dari pagi sampai sore hari Daud yang memangkas ditempat ini sementara Daud memberikan persenan yang telah aku dan Daud
sepakati sebelumnya, bukan untuk apa-apa tapi untuk aku simpan nantinya akhir tahun membayar kontrakan pangkas.

Masih saja aku bisa tersenyum, apalagi barusan Imas istriku, akhir-akhir ini sebelum berangkat sambil memberikan jaket yang sering aku pinjam selalu memberikan doa
dan selalu yakin bahwa semua kesulitan ini akan ada jalan keluarnya.

Tidak lama adzan magrib berkumandang, dan sudah terlihat Yayan sedang membereskan warung kopinya, yang kebetulan berdempetan dengan pangkas rambut.
“Yan biasa, titip…” Ucapku perlahan.

“Siap bos… Hitam apa teh hangat?” Jawab Yayan.

“jangan dulu Yan, belum dapet pelanggan” Ucapku sambil tersenyum.

“Ya kali bos hutangku saja tiga bulan ini belum dibayar ke bos masa urusan kopi aja harus mikir bayar sih” Jawab Yayan.
“Tetap saja begitu lain kali aku tidak akan bantu kalau begitu caranya, hutang ya hutang, kamu itu juga usaha ya kali urusan kopi di gratisin” Jawabku sambil menirukan gaya Yayan berbicara.

Yayan hanya tertawa saja, sementara aku langsung menuju mushola dimana mushola ini
terletak di belakang pangkas rambutku. Selesai melaksanakan Ibadah aku selalu berdoa untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang selama ini aku perbuat, orang tuaku dan juga istri dan anak-anakku, karena soal meminta Allah bakal memberikan terlebih dahulu apa yang
kita butuhkan, aku selalu ingat pesan dari almarhum guruku.

“Bos sudah ada yang nunggu dari tadi” Ucap Yayan ketika melihat aku berjalan kembali menuju pangkas.

“Alhamdulillah, boleh Yan buatkan kopi hitam dan satu bungkus kreteknya, sampoerna aja Yan” Jawabku, memesan rokok.
Yayan hanya mengangguk dan langsung membuatkan kopi untuk aku.

“astagfirullah…” Ucapku dalam hati sangat kaget.

“Maaf pak menunggu, lama yah…” Ucapku, sambil menyiapkan kursi pangkas.

“Oh enggak santai kang… sambil istirahat ini biasa habis mengontrol anak-anak yang kirim-
-ikan katanya di perbatasan akhir-akhir ini banyak razia” Jawab laki-laki dengan perawakan yang besar dan tinggi dengan rambut yang panjang di ikat.

“Oh begitu Pak, perbatasan sanakan yang mau ke kota?” Tanyaku, sambil memasangkan kain
Sementara dalam hatiku masih saja membacakan ayat-ayat dalam hati untuk menenangkan diri dengan apa yang masih aku lihat duduk di belakangku, yang sedari tadi bersebelahan dengan laki-laki ini, bahkan yang membuat aku kaget perempuan ini bersender manja.

“Iyah disitu biasalah-
-Kang kalau mobil ikan surat-suratnya kadang jarang lengkap, ini merapikan godeg, kumis sama jenggotnya aja Kang…” Ucap laki-laki yang belum sama sekali aku kenal namanya.

karena sekarang fokusku terbagi dua dan sesekali aku terus melihat sosok perempuan yang sedang duduk,
dengan wajah tertunduk.

“Siap Pak beres… Berarti bapak dari pelabuhan sana yah waduk yang banyak kolam-kolam apung?” Tanyaku.

“Nah iya benar Kang, kalau kesana bilang aja Pak Zaidan pasti pada kenal di daerah sana apalagi di pasar dan di pas pelabuhan-
-tempat mobil angkut ikan-ikan” Ucap laki-laki yang baru aku ketahui bernama Pak Zaidan.

“Wah iyah Pak, nanti kesana saya sambil ngadem pinggir waduk enak kali yah Pak?” Jawabku sambil terus merapikan godeg dengan mesin cukur.

“Saya hanya dibawa dan tidak akan mengganggu-
-ampun… hentikan bacaan kamu itu panas…” Sahut perempuan berambut panjang, dengan suara serak, yang sekarang sudah terlihat wajahnya sangat pucat, dengan pakain putih kotornya.

Bahkan sama sekali tidak aku tanggapi dan terus saja dalam hatiku mencoba untuk menenangkan diri
dan tidak henti-hentinya dalam hati membacakan ayat-ayat.

“Enak disana Kang, coba deh disana buka pangkas begini atau jualan apa di pasarnya, sekarangkan pelabuhan jalan nya lewat pasar Kang bagus juga jalannya, ya walaupun agak jauh dari sini” Jawab Pak Zaidan perlahan.
Dan seperti biasa setiap orang yang duduk di kursi pangkas apalagi mendengar suara mesin cukur pasti matanya akan mengantuk seperti mitos yang sudah berkembang puluhan tahun.

“Wah boleh tuh Pak, memangnya masih banyak lapak di pasarnya pak?” Tanyaku.
Heranya perempuan yang sekarang kembali tertunduk setelah berbicara namun aku abaikan malah menangis sejadi-jadinya dengan sangat kencang, bahkan aku paham Pak Zaidan ini ingin beraksi atas perempuan yang mungkin sedang dia dengarkan sekarang,
namun seperti perang perasaan dengan aku Pak Zaidan sama sekali tidak bereaksi apapun.

“Lapak gampang Kang bisa saya carikan, orang anak-anak yang pegang pasar sama pelabuhan saya yang kendalikan, bisa dibilang yang atur saya kang” Jawab Pak Zaidan sambil meluruskan badanya
karena semuanya sudah selesai.

“Bos kopi keburu dingin nih dari tadi” Sahut Yayan.

Setelah Pak Zaidan berdiri didekat aku dan mengeluarkan uang, perempuan itu langsung berdiri dengan tangisan yang sama.

“Ini kang… kembaliannya ambil saja” Ucap Pak Zaidan.

“Aduh Pak-
-ini masih gede kembaliannya, mendingan tunggu sebentar Pak, mau ditukarkan dulu uangnya” Ucapku.

“Sudah tidak apa-apa, kalau mau jadi jualan disana, saya tunggu main saja dulu ke pelabuhan, oiyah ini air apa kang? Perasaan barusan tidak ada?” Tanya Pak Zaidan.

“Oh ini,-
-biasanya yang kerja pangkas disini sebelum saya ganti jarang beres-beres pak, maaf yah Pak tempatnya juga masih acak-acakan begini” Ucapku perlahan.

Pak Zaidan hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya, namun aku paham arti semua itu, Pak Zaidan berusaha menguji aku
dengan cara bertanya pura-pura tidak tahu air apa yang Pak Zaidan lihat, padahal aku dan Pak Zaidan tau, itu air mata tangisan sosok perempuan yang sekarang bahkan sudah bersandar kembali ke pundak Pak Zaidan.

Bahkan, ketika aku melihatnya masuk ke dalam mobil mewah yang
terparkir di seberang jalan ternyata milik Pak Zaidan, perempuan itu masih menempel di pundak Pak Zaidan.

Setelah menyalakan klakson Pak Zaidan pergi sambil tersenyum ke arahku, yang lagi-lagi itu merupakan sebuah pertanda yang bahkan aku tidak paham sama sekali.
Langsung saja aku duduk di kursi kopi yang biasa Yayan sediakan.

“Barusan kayanya orang kaya yah bos, mobilnya mewah” Ucap Yayan sambil duduk didekatku.

“Yang punya pelabuhan di waduk sana Yan, wajarlah bisnisnya juga ikan” Jawabku, sambil membakar rokok yang sudah Yayan
sediakan.

“Oh pantesan orang paling ngaruh kali yah di daerah sana… eh tapi tadi kelihatannya nggak nyukur rambut bos, tapi keliatanya capek banget” Ucap Yayan dengan heran.

“Masa nggak nyukur rambut sih Yan, nyukurlah makanya lama” Jawabku.

“Engga juga ah, rambutnya masih-
-panjang” Ucap Yayan.

“Lah engga liat godeg, janggut, sama kumisnya” Jawabku sambil tersenyum.

Yayan langsung ketawa, padahal itu adalah caraku mengalihkan pembicaraan agar Yayan tidak membahas soal keadaanku yang terlihat capek.
Padahal capek aku karena menolak untuk berinteraksi lebih dengan sosok perempuan yang barusan bersama Pak Zaidan.

“Yan panggil anak itu Yan… buru panggil…” Sahutku sambil menepuk pundak Yayan.

Segera Yayan memanggil anak kecil yang sedang meminta-minta di seberang jalan sana
dengan sedikit berteriak dan aku yakin teriakan Yayan cukup membuat beberapa pengendara yang melintas juga cukup kaget.

“Ini, bagi dua sama anak itu kamu gocap anak itu gocap gak perlu tanya uang apa, kopi sama rokok nanti beda lagi” Ucapku perlahan.
Setelah anak kecil yang aku taksir sekitar 10 sampai 13 tahun itu mendekat, segera Yayan memberikan uang yang sebelumnya sudah di bagi dua sama Yayan.

“Dek, pake makan yah…” Ucapku.

Anak itu hanya mengangguk, sambil mengucapkan terimakasih kemudian pergi begitu saja.
“Lah barusan bilang buat bayar kopi saja tidak ada, ini malah kasih ke sayah si bos…” Ucap Yayan terheran-heran.

“Sudah rezeki kamu dan anak itu Yan” Ucapku perlahan.

Padahal aku sudah niatkan, bahwa uang pemberian dari Pak Zaidan itu sengaja aku berikan dengan niat
untuk keselamatan dan kesadaran Pak Zaidan, dan kelancaran usahaku malam ini.

Setelah adzan isya berkumandang dan langsung menunaikan ibadah benar saja, bahkan sudah ada tiga orang yang mengantri untuk giliran aku rapikan masing-masing rambutnya.

Tidak jarang dari kegiatan
kerja aku yang seperti ini dan melalui obrolan dengan memberikan pelayanan berupa sebuah kenyamanan aku bisa belajar banyak dari cerita orang-orang yang menyerahkan rambutnya kepadaku. Dan tidak jarang juga beberapa yang aku lihat dari sisi lain kehidupan ini selalu datang
menghampiriku, namun aku kembali selalu percaya bahwa ini adalah sebuah amanah yang harus aku jaga sehingga tidak berubah menjadi sebuah musibah.

Bahkan sudah hampir jam 11 malam ini aku putuskan untuk menutup pangkas, karena mulai sepi dan aku rasa sudah cukup bahkan lebih
untuk membawa rezeki dan diberikan kepada Imas yang pasti sudah menunggu di rumah.

Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal sedang mendekat mengendarai sepeda motornya bahkan sepeda motornya yang orang itu gunakan juga aku hafal betul.
“Jo… bejo…” Teriakku sambil berdiri dan melambaikan tangan.
Benar saja ternyata Bejo, yang biasa aku panggil akrab dengan sebutan Ajo itu mendekat padaku.

“Anjir… Pak Ustad ini, sudah gulung tikar Ndi jadi guru mengaji di kampung” Ucap Ajo sambil turun dari motornya.
“Hahaha… lama itu Jo, pulang?” Tanyaku sambil bersalaman dengan Ajo.

Karena sudah hampir satu tahun lamanya aku tidak berjumpa dengan Ajo, yang aku tau Ajo sebelumnya bekerja di ibu kota ikut dengan kakak perempuanya.

“Walah Ndi, aku di pecat! Dituduh nyuri barang padahal-
-tidak terbukti tapi tetap saja kakak aku tidak bisa bantu” Jawab Ajo sambil duduk disebelahku dan langsung memesan kopi pada Yayan.

“lah lah.. kok bisa Jo?” Tanyaku perlahan.

“Panjang Ndi ceritanya, barusan aku habis cek lokasi dari waduk sana Ndi lagi niat mau usaha saja,-
-dan enak juga di sana walaupun yah jauh dari sini sih” Jawab Ajo sambil mengeluarkan rokok dari sakunya dan langsung membakar rokok tersebut.

Tiba-tiba aku langsung teringat pada nama Pak Zaidan, apalagi yang Ajo ucapkan bisa dibilang sama dengan informasi
yang Pak Zaidan ucapkan juga.

“Ini sebuah kebetulan Jo…” Ucapku, sambil menepuk pundak Ajo.

Segera aku menceritakan kepada Ajo tentang Pak Zaidan dengan lengkap dan bagaimana Pak Zaidan menyuruhku untuk berjualan disana bahkan tidak lupa aku katakan kepada Ajo bahwa Pak Zaidan
memiliki power yang besar di daerah itu.

Bahkan Ajo sangat antusias sekali dengan ceritaku sampai-sampai dia mengajakku segera untuk datang langsung besok ke pelabuhan atau ke daerah pasar disana.

“Tapi Ndi, nggak ada yang aneh-aneh nyakan? Males sih sebenernya nanya ini ah”
Ucap Ajo.

“Enggalah Jo…” Jawabku sambil tersenyum.

“Enggak, dulu saja pas Bapak sakit begitu jawabnya ujung-ujungnya disuruh gali keramik di dalam kamar Bapak keluar tali pocong” Ucap Ajo semakin tidak yakin dengan jawaban yang aku berikan kepadanya.

Padahal kejadian sudah
hampir 2 tahun kebelakang dan Ajo masih saja mengingatnya, mungkin itu pengalaman Ajo berurusan dengan alam lain yang kadang tidak pernah masuk di akal sehat manusia pada umumnya.

“Dulu kan demi kesembuhan Bapak kamu yang jawara itu Jo” Jawabku sambil kembali tersenyum.
“Begini saja Ndi malam ini aku coba cari saran sama istriku jualan apa disana yang kira-kira bakalan ramai yah, nanti besok atau lusa aku berkunjung kesini lagi” Ucap Ajo.

Segera aku setuju saja dengan saran Ajo apalagi aku tau bukan waktu yang sebentar bagaimana Ajo kalau
berurusan dengan usaha semangatnya selalu mendebu-debu.
Malam ini setelah pamit terlebih dahulu kepada Yayan dan membayar kopi, rokok dan semua yang aku makan dari warungnya segera aku menutup pangkas.

“Jo padahal tali pocong itu juga masih ada di lemari sana” Ucapku perlahan,
sambil melihat lemari didalam pangkas yang dijadikan wadah barang-barang yang sudah tidak digunakan.

Akhirnya malam ini aku dan Ajo berpamitan juga, bahkan saran dari Ajo benar-benar aku pikirkan dan akan aku bicarakan juga dengan Imas, biasanya Imas selalu mempunyai
pemikiran-pemikiran yang kadang tidak sama sekali aku pikirkan.

Sampai di rumah sekitar 20 menit, karena biasanya di perjalanan pulang aku sedikit lebih santai dan menikmati sepinya malam, sekalian memperhatikan keadaan kampung yang aku lewati bersama si Joni motor tuaku.
“Itung-itung meronda Jon santai aja” Ucapku perlahan sambil menepuk batok kepala si Joni.

Sampai di rumah yang sederhana bahkan beberapa bagian rumah saja masih harus dibangun aku melihat lampu ruangan depan masih menyala.

“Kebiasaan pasti nunggu Imas” Ucapku sambil membuka
gerbang.

Benar saja ketika melihatku masuk, bayangan badan imas berdiri dan segera membukakan pintu rumah.

“Padahal tidur saja nanti juga dibangunin Mah…” Ucapku perlahan setelah mengucapkan salam.

“Ah biasanya jugakan jam segini kalau rame pasti udah pulang Ndi” Jawab Imas
sambil memberikan air minum.

“Barusan si Ajo ada ke pangkas, malah ngajakin dagang di waduk sanakan ada pelabuhan ikan nah sekarang jalanya sudah dialihkan melewati pasar Mah… dan sebelumnya juga Pak Zaidan orang yang di cukur malah menyuruhku membuka jualan disana, tapi tetap-
-aku harus ada izin dari Mamah…” Ucapku menjelaskan.

“Oh iyah iyah dulu sih kata Ibu juga memang rame pelabuhan itu, memang wajar kolam apung adanya disana semuakan… nah kalau pasar ke lewati mobil-mobil yang mau ke pelabuhan, ya yakin ramelah Ndi yang jualan disanakan”
Jawab Imas.

“Coba besok ke rumah Ibu yuk, kayanya Ibu tau soal daerah sana” Ucapku perlahan.

“Aku tahu tujuan kamu ke Ibu pasti tanya hal-hal lainyakan” Jawab Imas sambil memeluk badanku.

“Yakan tau sendiri punya suami kaya begini Mah…” Ucapku sambil sedikit berdiri dan
memberikan hasil memangkas rambut ini pada Imas.

“Alhamdulillah Ndi bisa sedikit buat disimpan untuk nabung lagi” Jawab Imas, sambil tersenyum kemudian berdiri.

“Ayo istirahat nanti pagi ke rumah Ibu kamu” Ucap Imas.

“Robin sudah dikasih makan Mah? Kalau belum aku kebelakang-
-dulu” Jawabku.

“Sudah makanya dia tidak berisik Bapaknya pulang” Ucap Imas sambil berjalan menuju kamar.

Benar juga apa yang Imas ucapkan, biasanya ayam pelung kesayanganku tau suara motor si Joni kalau lapar pasti berisik.
Dalam badan yang terbaring disebelah Raka anak
pertamaku masih saja aku memikirkan tawaran Pak Zaidan dan juga niat Ajo untuk berdagang di pasar pelabuhan itu, namun semakin aku pikirkan, seperti ada hal lainya yang menyeret pikiranku ke daerah tersebut.

“Tidak seperti biasanya…” Ucapku perlahan.

“Sudah Ndi tidur besok-
-tanyakan sama Ibu daerah pelabuhan jangan mikir kemana mana dulu, lagian kalau jadi juga dagang sama Ajo disana harus mikirin si Daud emang mau sendirian di pangkas, terus mau jualan apa jugakan sama modalnya harus dipikirkan dulu yah” Ucap Imas, mengelus kepalaku perlahan.
Aku pikir Imas tidak mendengar apa yang aku ucapkan, bahkan yang aku pikirkan bukan hal itu, pikiran dan perasaan itu terus datang dan semakin heran, bayangan pelabuhan yang dulu lama sekali aku pernah kesana, tiba-tiba tergambar begitu saja dalam gelapnya mata
yang sudah terpejam ini.

“Tidak mungkin seperti itu” Ucapku dalam hati.

***

“Asshalatu khairum minan naum… asshalatu khairum minan naum”

Pagi datang dengan sempurna, apalagi lantunan suara adzan subuh yang biasa membangukanku sebagai alarm. Setelah mandi, melaksanakan sholat
subuh dan membangunkan Imas, seperti biasanya aku langsung melihat si Robin dihalaman belakang rumah.

Segera aku membuatkan makan untuk Si Robin karena aku tau kalau Imas yang memberinya makan pasti ala kadarnya, berbeda denganku ayam ini harus benar-benar dipastikan kenyang,
karena mau bagaimanapun biasanya Si Robin jika ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini selalu berisik dan itu biasanya sebagai pertanda untuk aku.

Terlihat dari dapur Imas sedang menyiapkan sarapan pagi untuk aku dan Raka.

“Mah kopinya simpan saja didepan nanti mau mandiin-
-si joni” Ucapku sedikit berteriak.

Baru saja setengahnya Si Robin makan, terdengar ucapan salam di depan rumah.

“Seperti suara Ibu” Ucapku.

Imas langsung meninggalkan dapur dan aku yakin juga mendengar hal sama dengan apa yang aku dengar barusan.

“Bonus pagi ini,-
-makan semua yang banyak Bin! Oke!” Ucapku pada Si Robin dan langsung menuju depan rumah.

“Tuh Bu dari malem katanya pengen ketemu Ibu, nih sekarang ada” Ucap Imas ketika melihatku mendekat pada Ibu dan Imas.
Langsung saja aku bersalaman dengan Ibu.

“Pagi sekali Bu? Ada apa?-
-Baik-baik sajakan Bapak?” Tanyaku.

“Juned tetangga Ibu itu lewat, tadinya mau Juned aja yang anterin Bubur buat Raka, tapi yaudah Ibu ikut saja sekalian kesini dan yakin kalian udah pada bangun” Jawab Ibu perlahan.
Imas langsung pamit ke belakang karena sedang memasak sarapan, setelah memberikan Ibu teh hangat yang sudah Imas bikin terlebih dahulu.

“Kenapa Ndi ada apa tumben mau ke Ibu harus dari malem bilang dulu sama Imas juga?” Tanya Ibu.

“Ibu pasti taukan pelabuhan waduk yang disana,-
-kata Ajo temanku itu Bu dan Pak Zaidan yang kemarin malam aku pangkas katanya pelabuhan itu sekarang ramai sekali apalagi jalan menuju pelabuhan itu melewati pasar… nah Andi disuruh berjualan disana… pahamkan Bu kenapa Andi tanya dulu sama Ibu, siapa tau punya jawaban lain”
Ucapku perlahan.

Kemudian terlihat Ibu hanya menarik nafas yang sangat dalam sekali, lalu menghembuskan dengan perlahan.

“Ibu lupa cuman sudah lama sekali, sebelum balada Mbah Jawer jadi cerita yang turun temurun dulu tuh ada kejadian apa yah, pokoknya Ibu juga tahu dari-
-almarhum kakek kamu Ndi… dan memangkan dahulu wilayah pelabuhan sana tuh tempat mendalangnya kakek Andi sampai nikah sama orang sana… harusnya tanya sama Bapak saja…” Ucap Ibu perlahan.

Tidak lama Imas datang sambil membawa pisang goreng, sementara aku membakar rokok sisa
kemarin dan sambil meminum kopi yang sebelumnya sudah Imas siapkan.

“Tadinya Bu, kalau baik dan ada izin dari Imas, Ibu dan Bapak Andi mau main saja dulu kesana liat-liat apa yang belum ada disana… dan tidak mungkin bukan pangkas disana palingan jualan yang lain, pangkas belum-
-terlalu cukup diandalkan Bu, siapa tau ada rezeki lain” Ucapku perlahan.

“Nanti kalau gitu yang dipangkas siapa Ndi?” Tanya Ibu perlahan.

“Rencananya Daud mau jadi sore sampai malam, Andi bisa pagi sampai sore sisanya jualan di sana, ini baru yang Andi pikirkan Bu” Jawabku.
“Nah kalau begitu harus yang jualanya sore sampai malam Ndi” Sahut Imas.

Bahkan pagi ini seperti jawaban atas apa yang aku pikirkan semalam apalagi Ibu bilang ada kejadian lain di masa lalu yang cukup membuat hatiku bergetar dan aku simpan baik-baik ucapan dari Ibu itu.
“Ya sudah sekalian anterin Ibu pulang, sebelum Bapak kamu ke sawah sana tanya dulu aja, namanya mau usaha semuanya harus di pertimbangkan matang apalagi kamu tidak umum sama orang-orang” Ucap Ibu sambil tersenyum, karena Ibu tau betul aku ini seperti apa.
Setelah menikmati pisang goreng bersama Imas dan Ibu dan juga mengobrolkan hal lainya juga, aku langsung mengantarkan Ibu pulang menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahku.

Sepanjang perjalanan bahkan Ibu tidak berhenti mendoakan aku, apalagi Ibu mulai paham,
kalau pangkas rambut memang belum benar-benar stabil, dan mempertimbangkan niat ku yang sebelumnya sudah Ibu ketahui.

Sampai didepan rumah Ibu aku langsung berjalan memutar ke halaman belakang, benar saja Bapak sudah berada duduk di kursi yang biasa Bapak gunakan.
“Lah padahal bapak sudah suruh si Juned Ndi buat jemput Ibu” Ucap Bapak sambil menerima salamku.
“Mau tanya soal pelabuhan yang di waduk sana kata Andi, jalan menuju pelabuhan sekarang tuh, melewati pasar, Andi sama Ajo ada niatan jualan di sana Pak, makanya sekalian kesini”
Sahut Ibu perlahan dan duduk disebelah Bapak.

“Ya bagus apa lagi begitu, mana Bapak paham Bu urusan jualan, dari dulu juga hanya ke sawahkan, kalau tanya soal sawah baru Bapak paham” Jawab Bapak, kemudian meminum kopi.

“Benar juga yang Bapak katakan” Ucapku dalam hati.
Sebenarnya ingin sekali aku yang memulai obrolan dengan Bapak tapi aku tau Ibu yang akan memulainya dan itu aku rasa cukup sopan berbicara dengan orang tua.

“Bukan itunya Pak, kalau nggak salah petilasan kakek dan buyutnya Andi jugakan ada disana yah Pak daerah sana tapi ujung-
-daerah pelabuhanya yah?” Ucap Ibu, dan benar saja sesuai yang aku kira, Ibu yang memulai.

“Dulu waduk itu, yah Danau, emang belum seperti sekarangkan Ki Dalang Didi yah emang menikah sama istri keduanya orang sana, kalau Buyutnya kesananya lagi syiarnya, daerah danau itukan-
-dulu sekali belum terjamah manusia Bu, Ya kalau mau jualan disana bagus, kalau ada yang tanya bilang saja masih cucu nya Ki Dalang Didi, orang seumuran Bapak pasti pada tau” Jawab Bapak perlahan.

Bahkan pagi dengan sinarnya perlahan muncul, menjatuhkan embun-embun yang menempel
di atas dedaunan hijau tanaman-tanaman yang biasanya Ibu urus menjadi saksi obrolan dengan Bapak pagi ini, yang bahkan baru aku tahu dalam umur sekarang ini.

Dan aku masih saja hanya diam memperhatikan apa yang Bapak dan Ibu ucapkan saja, sambil terus menyimpan setiap perkataan
yang keluar dari mulut orang tuaku ini.

“Nah iyah bener Ibu lupa sih orang udah lama juga, petilasanya disana Ndi, tapi di makamkanya disinikan di dekat makan istri pertamanya yah Pak? Sama ini loh Pak, kan anak kita ini bedalah Bapak juga paham, pengen tau cerita dulu-
-tapi bukan si Mbah Jawer itu Pak” Jawab Ibu.

“Ah sudah beda jaman Ndi, niatnyakan usaha, sudah cukup usaha saja, dulu tu ada Dedemit, bapak kecil pernah di ceritakan kakek kamu, tapi bukan Mbah Jawer yang jadi cerita itu… Buaya Putih setiap pulang mentas, kakek kamukan hampir-
sama kaya kamu sekarang, apalagi Dalang terkenal mistisnya begitu, pernah Buaya Putih itu risih kalau Ki Dalang Didi sedang menyebrang danau, tapi kan sekarang sudah ada jalan bagus, walau jauh, hanya cerita dari Ki Dalang Didi saja kok…” Jawab Bapak menjelaskan.

“Oh iyah Ndi-
-cerita Dedemit Ibu lupa” Jawab Ibu perlahan.

Tidak tau kenapa angin pagi yang awalnya biasa saja tiba-tiba perlahan melewati tubuhku berubah menjadi sangat dingin, bahkan tidak jarang sesudah Bapak menjelaskan barusan bulu pundakku berdiri begitu saja.

“Kan liat belum apa-apa-
-Andi sudah merinding begitu Bu?” Sahut Bapak.

“Suka begini Pak, kalau cerita orang tua jaman dulu padahal setiap selesai sholat selalu Andi usahakan mengirimkan doa” Ucapku perlahan, jauh lebih pelan dari suara Bapak dan Ibu.

“Ya wajar Ndi…” Ucap Ibu perlahan.

“Saran Bapak,-
-kalau sudah bulat dan rencanamu matang apalagi kelihatannya sedang sulit sekarang, niatnya jangan coba-coba ingat, niatkan yang kuat biar hasilnya juga bagus” Ucap Bapak sambil berdiri, kemudian memakai topi dan membawa cangkul.

“Iyah Pak, Ibu Andi selebihnya hanya meminta-
-doakan saja dan jangan berhenti mendokan Andi, siapalah Andi ini kalau tidak ada doa dari Ibu dan Bapak untuk mengarungi kehidupan ini” Ucapku perlahan.

Bapak kemudian mendekat kepadaku, sambil mengelus-elus kepalaku dan kemudian pamit untuk menuju sawah berjalan kaki,
karena memang sawahnya tidak terlalu jauh.

“Ajak Ajo bicara serius dan itu kamu lebih paham, jika doa dari orang tua sudah keluar dan mengikuti langkahmu, gunung dan lautan juga pasti bisa kamu lewati dan sebrangi, begitukan orang tua Ibu dulu kalau memberikan semangat” Ucap Ibu
sambil memegang tanganku.

Setelah obrolan dengan Ibu dan Bapak selesai, segera aku kembali menuju rumah, dan pasti Imas sangat penasaran dengan apa yang sudah aku obrolkan.

“Oh petilasan Ki Dalang Didi ternyata disana, yasudah kalau begitu aku harus berkunjung dan melihat dulu-
-kawasan pasar dan pelabuhan sana” Ucapku dalam hati.

Sampai di rumah terlihat Imas sedang menjemur pakaian karena pagi ini benar-benar cerah sekali. Tepat aku bersama si Joni masuk ke dalam gerbang, Imas sudah selesai menjemur pakaian.

“Gimana Ndi kata Bapak?” Ucapku Imas.
“Ya bagus apalagi kata Bapak ternyata petilasan Ki Dalang Didi juga ada di daerah sana Mah” Jawabku sambil memangku Raka yang sudah berusia 1 tahun lebih.

“Oh aku baru tau Ndi, ya apalagi begitu kalau kamu yakin segerlah dengan Si Ajo itu ngobrol, soal yang Ibu ucapkan barusan-
-gimana?” Tanya Imas, kemudian menyuapi Raka makan bubur yang sebelumnya Ibu antarkan kesini.

“Dedemit buaya putih, katanya dari cerita Ki Dalang Didi, pernah risih begitu sosok itu, tapi Bapak juga dengarnya cerita Mah, namun Mamah taukan aku kaya gimana orangnya, merinding-
-sih pas denger cerita dari Bapak” Jawabku.

“Hal yang kamu tau dan baru saja kamu dengar dari Bapak tidak selamanya buruk Ndi, dan baguskan jadi ada hikmahnya, kalau tidak jadi juga berjualan disana bisa saja hikmahnya kamu jadi tau soal petilasan Ki Dalang Didi ada disana”
Ucap Imas perlahan.

Untuk kesekian kalinya bahkan tidak sudah terhitung lagi Imas memberikan jawaban apa yang aku mau, bahkan benar sekali apa yang diucapkan Imas.

“Mumpung masih pagi, sana ke rumah Si Ajo kalau bisa juga langsung saja cek lokasi ke sana urusan mau dagang ini-
-dan itunya bisa di lihat disana Ndi, usahakan yang dagangnya sore” Ucap Imas.

“Yasudah aku ke rumah Ajo dulu, kalau begitu Mah, hmm… aku harus mampir dulu ke Si Daud, pasti sore ke sana dan pulang langsung ke pangkas aja gitu yah, takutnya telat” Jawabku.
Setelah selesai Raka anak aku makan, segera kembali dengan Si Joni menuju rumah Si Ajo yang lumayan juga tidak terlalu jauh dari rumah aku, karena memang masih satu kampung dengaku.

“Dedemit buaya putih” Ucapku perlahan, yang ternyata nama itu cukup masuk kedalam pikiranku
sedari tadi pulang dari rumah Ibu, walaupun terus menerus berusaha aku lupakan, kenyataanya sekarang menuju rumah Ajo pun masih aku ingat.

“Alhamdulillah motornya ada” Ucapku sambil memarkirkan Si Joni.

“Assalamualaikum… Jo, Bejo…” Ucapku tepat di depan rumah.

“Eh Andi,-
-sebentar Ndi saya panggil dulu Akang lagi di belakang, silahkan masuk” Ucap Istri Ajo yang keluar dari pintu rumah.

Langsung saja aku masuk ke ruang tamu rumah Ajo.

“Eh Ndi, pagi sekali… Baru aku mau ajak kamu ke pelabuhan sana nanti sore…” Ucap Ajo sambil duduk dan di ikuti
oleh Sari istrinya Ajo membawakan minum.

“Aku sudah izin sama Ibu dan Bapak juga Istri Jo, kalau berpotensi bagus buat usaha disana kenapa tidak, niatkan saja dapat rezeki disana jangan coba-coba” Ucapku perlahan.

“Nah benar semalam aku juga bicara sama Sari dan dia malah-
-setuju banget kalau sama kamu Ndi usahanya, benarkan?” jawab Ajo, sambil menepuk pahanya Sari.

“Teteh hanya bisa mendukung Ndi, semoga saja tidak jauh lagi Akang ini usahanya” Sahut Sari.

“Yaudah Jo, sore aku jemput kesini, pake Si Joni saja kita kesana, siapa tau bisa-
-berjumpa dengan Pak Zaidan yah” Ucapku perlahan.

Setelah Ajo setuju, aku kemudian pamit pulang dan akan menjemput Ajo setelah waktu ibadah solat asar kembali lagi kesini.

“Siapa tau ini jalan lain” Ucapku perlahan.

Kembali ke rumah aku membantu Imas membereskan rumah
dan banyak menghabiskan waktu dengan Raka apalagi pada usianya sekarang sedang lucu-lucunya dan aku tidak mau kehilangan momen menjadi saksi perkembangan anak pertamaku ini.

Sampai waktu adzan dzuhur berkumandang aku meminta waktu kepada Imas untuk berdzikir agak lama
sambil meminta perlindungan kepada maha pencipta untuk langkah hidup selanjutnya yang akan aku ambil.

Sementara Imas menidurkan Raka agar seperti biasanya bisa tidur siang dan ketika aku selesai hampir satu jam lamanya, ternyata Imas juga ikut terlelap di ruang tengah rumah.
Aku hanya sesekali mengecek Hp jadul yang jarang bahkan sama sekali aku bawa kemana-mana karena Imas lebih membutuhkan untuk berkirim pesan dengan Ibuku atau keluarganya Imas.

Segera aku putuskan untuk mengetik pesan kepada Daud.

“Ud kalau malam ini aku telat ke pangkas-
-titipkan saja ke Yayan dan jangan di tutup pasti aku kesitu, ini ada urusan dulu sebentar yah” Isi pesan kepada Daud, lalu aku kirim ke nomor Daud.

Perlahan bayangan tentang dedemit buaya itu hilang, malah berganti dengan danau yang sekarang aku bayangkan,
bagaimana dulu Ki Dalang Didi menyebrang danau sebelum dan sesudah melakukan pentas kesenian yang memang terkenal Ki Dalang Didi lah satu-satunya dalang di kota ini yang menjadi dalang pertama.

“Bahkan kakekku perjalananya lebih berat, mementaskan wayang dengan menyebarkan-
-agama bukan hal yang mudah” Ucapku, sambil terbaring di sebelah Imas yang tertidur pulas.

“Iyah biarkan saja perasaan ini” Ucapku perlahan.

“Ndi bangun, asar…” Ucap Imas, sambil menepuk lenganku.

“Doakan aku mau cek lokasi sore ini, sebelum terlelap barusan,-
-aku sudah kirim pesan sama Daud juga Mah yah” Jawabku, sambil bangun.

“Kata kamu juga Ndi apapun niatan kita yang baik harus dipertahankan gusti allah suka dengan orang yang percaya padanya berdoa lalu berusaha begitukan? Nah insyaallah niatnya juga baik” Jawab Imas.
Kadang benar juga Imas sering membalikan perkataanku padanya pada kondisi seperti ini, bisa saja khawatiranku sekarang yang tanpa alasan ini hanya datang dalam pikiranku yang sangat bisa salah.

Setelah mandi dan melaksanakan ibadah ashar langsung saja aku bersiap-siap berangkat,
dan tidak lupa Imas sudah menyiapkan jaket yang biasa aku pakai.

“Perasaan celana tuh banyak, itu aja yang di pake anak udah mau besar juga bapaknya seneng pake celana robek” Ucap Imas.

“Aku bawa sarung kok di jok Si Joni Mah, kalau solat juga aku lepas ah” Jawabku yang
kemudian pamit kepada Imas.

Mau bagaimana lagi, baju-baju band yang aku sering aku pakai dan celana jeans yang robek bagian lutut kanan dan kirinya bukan kemauanku memang sudah lama dan aku biarkan saja seperti ini, hal ini juga yang menjadi masalah awalnya untuk Ibu dan Bapaku,
karena jika sedang mengobati orang dengan masalah lain, pasti dianggapnya aku tidak bisa apa-apa, namun memang itu caraku saja yang sudah lama aku lakukan dan aku benar-benar nyaman.

Sampai di rumah Ajo benar saja Ajo sudah duduk di depan rumahnya bahkan sudah siap untuk
berangkat.

“Ayo Jo…” Ucapku.

“Ndi mendingan pakai motorku saja, motor tua begini takutnya mogok” Ucap Ajo.

“Sembarangan kalau ngomong Si Joni sudah siap segala medan Jo” Ucapku sambil menepuk jok belakang.

“Alah Joni, Joni saja… motor ini keberatan di nama Ndi ah,-
-yasudah berangkat…” Ucapku Ajo sambil menaiki Si Joni.

“Perjalanan lumayan Ndi paling satu jam lebih dari sini, tapi enak kok jalanya baru kena perbaikan pemerintah kota, jadi jalan alternatif sih biar tidak menyebrang danau” Ucap Ajo.

“Iyah aku pernah dulu sih Jo,-
-kek muter begitukan yah jadinya” Jawabku.

Ketika melewati pangkas rambut, aku melihat Daud sedang melamun saja dengan rokok ditanganya, bahkan aku tidak tega melihatnya dengan kondisi seperti itu.

“Sepi Ndi kalau sore begini” Tanya Ajo.

“Ya begitulah Jo, namanya usaha”
Jawabku sambil mengendarai Si Joni.

Bahkan perbatasan kecamatan sudah aku lewati dengan Ajo, karena sudah berada di jalanan hampir 40 menit lamanya, setelah melewati perhutanan kayu milik perhutani barulah terlihat danau itu dengan jelas. Ditambah jalanan turunan yang berliku.
“Nah ini tuh Ndi masih satu danau, waduk ini yang menyambung ke pelabuhan sana, dan pasar disana” Ucap Ajo menjelaskan, sambil menunjuk dimana lokasi pelabuhan itu berada.

“Iyah Jo, sampai sini aku masih tau jalan namun jalan yang kamu maksud itu masih jauh yah?” Tanyaku.
“20 sampai setengah jam lebihan lagi Ndi santai aja” Jawab Ajo perlahan.

Sambil menikmati perjalanan, sesekali aku memperhatikan hijau hutan perhutani sebelah kanan dan sebelah kiri jurang, walaupun indah dimata orang biasa dengan hijau-hijau dedaunan juga udara yang sejuk
tidak jarang “penglihatanku berbeda”, padahal hari masih saja sore, namun tetap aku abaikan apalagi diberi tahu kepada Ajo bisa-bisa semua niatan baik ini buyar karena hal yang tidak-tidak.

Bahkan tidak terasa sudah dua sampai tiga kali belokan barulah aku dan Ajo masuk jalan
utama menuju pelabuhan, jalanan dengan cor yang baru sudah benar-benar Si Joni berada diatasnya.

“Waduh kalau malam, kayanya ini bakalan gelap banget” Ucapku dalam hati melihat samping jalan tidak ada sama sekali lampu penerangan, setelah melewati beberapa pemukiman rumah warga.
Bahkan jalanan terus saja menurun, wajar karena aku dan joni akan menuju pelabuhan yang tidak habis pikir bagaimana mobil-mobil ikan itu menanjak dengan membawa beban.

“Jo ini mobil-mobil ikan emang kalau nanjak begini kuat” Tanyaku.

“Kuatlah Ndi… tuh liat didepan ada mobil”
Jawab Ajo.

Benar saja mobil yang membawa ikan menanjak terkesan biasa saja, dan mungkin baru pertama kali saja aku melihatnya.

“Nah jalanan ini tembusnya sampai ujung pelabuhan, ini jalan baru yang di maksud Ndi, nanti juga setelah hutan ini banyak lagi rumah warga,-
-semalam saja ramai mobil lauk jadi tidak sepi” Ucap Ajo.

Seketika rasa khawatirku yang berlebihan bisa dibalas dengan perkataan Ajo bahkan berikut buktinya membuat aku tenang.

“Oh dulu jalan ini kaya ngebelah bukit yah” Ucapku dalam hati.
Karena sehabis turunan yang panjang berliku kemudian jalanan menanjak yang sekarang bersama Si Joni lewati benar-benar menanjak dan sama berliku juga walaupun tidak lama kemudian kembali jalanan menurun.

Samping kanan masih saja hutan yang aku tebak bukan lagi milik perhutani
melainkan milik warga karena pepohonan dan juga beberapa tumbuhan sepertinya memang warga kampung sendiri yang menanamnya diatas tanah mereka masing-masing.

Tidak lama setelah melewati kampung, lapangan sepak bola dan beberapa rumah warga yang berdekatan sudah yakin akan segera
sampai, apalagi sudah melihat pom bensin mini juga beberapa bengkel yang sudah aku lewat.

“Rame juga yah Jo” Ucapku.

“Nah sebentar lagi sampai pasar Ndi, sebelum sampai sama ada lapangan bola juga, biasanya tempat itu kalau acara-acara besar suka di situ dan pasti beberapa-
-tetangga kampung sini datang, dan percaya Ndi pasar hanya itu doang” Ucap Ajo menjelaskan lebih tahu, karena mungkin sebelumnya Ajo sudah mendapatkan beberapa informasi yang Ajo cari.

Benar saja tidak lama lapangan yang sangat luas ditandai dengan dua gawang sepakbola sudah aku
lihat bahkan beberapa orang dewasa sedang memainkan permainan rakyat itu di atas lapangan yang sebelumnya Ajo jelaskan.

“Indah banget yah sebelah lapang tidak jauh sudah ada danau Ndi” Ucap Ajo.

Segera aku berhentikan sebentar Si Joni karena sedari tadi sudah aku siksa
tenaganya.

“Sebentar saja Jo, kasian Si Joni dari tadi kita siksa” Ucapku sambil melihat lapangan indah ini.

Namun baru saja mataku disuguhkan pemandangan indah selama mata berputar-putar menyaksikan yang sebelumnya tidak pernah aku lihat, tiba-tiba dari arah ujung lapangan
yang luas ini memang ada hutan, yang menjadi ujung sebelah selatan lapang yang menjadi pemisah.

“Sebentar, barusan perasaan tidak ada orang-orang itu” Ucapku dalam hati.

Sekarang yang aku lihat ada enam orang dengan baju yang sama digunakan berwarna putih, karena lapangan
sangat luas yang aku lihat orang-orang itu hanya dari kejauhan saja.

“Kenapa harus berdiri seperti itu” Ucapku dalam hati.

Tiba-tiba bola yang sedang dimainkan orang-orang diatas lapangan terbang melambung ke arah 6 orang itu yang berdiri jauh dibelakang tiang gawang,
namun mereka berenam tetap saja diam.

Anehnya penjaga gawang yang mendekat ke arah orang-orang yang sedang berdiri berjejer rapih tersebut, seperti tidak melihat bahwa itu ada orang.

“Astagfirullah…” Ucapku baru sadar.

Seharusnya jika itu manusia di alam aku, mereka membantu
melemparkan kembali bola itu ke si penjaga gawang dan ini mereka hanya diam saja mematung, bahkan dari kejauhan satu orang nenek tua melambaikan tanganya ke arahku.

“Kan mulai, males ah Ndi kalau begini” Ucap Ajo sambil menepuk pundak aku.

“Yeh males kenapa coba lihat kesana-
-aku lagi liat orang yang pakai rakit karena jauh aku lihatnya detail banget Jo” Ucapku sambil kembali menghidupkan mesin Si Joni.

“Mana? Alesan saja emang!” Jawab Ajo, sambil menginjak rokok untuk dimatikan.

“Tuh coba liat yang bener” Ucapku.

“Oh itu iyah iyah, Ndi kan-
-kesini niatnya cari lapak Ndi jangan aneh-aneh ah serem, ini kampung orang loh Ndi” Jawab Ajo perlahan, sambil Si Joni mulai melaju kembali.

Ingin sekali rasanya memberi tahu kepada Ajo kalau petilasan kakek aku Ki Dalang Didi juga ada di kampung ini walaupun aku belum tau
pasti lokasinya dimana dan bilang juga kalau istri keduanya berasal dari kampung sini, namun setelah dipikir ulang takutnya malah menjadi hal lain di pikiran Ajo.

Bahkan sebelum sampai pasar utama sebelum menuju ujung jalan ini, yaitu pelabuhan masih saja aku memikirkan hal yang
barusan aku lihat apalagi aku yakin itu bukan tanpa sebab, karena adanya interaksi yang kuat yang aku rasakan.
“Oh ini Jo pasarnya… luas juga yah dan ramai juga” Ucapku perlahan.
“jangan dulu berhenti mending lurus dulu habiskan jalan ini, liat dulu pelabuhannya ayo” Jawab Ajo
Segera dengan perlahan aku melewati pasar yang terbagi dua oleh jalan besar yang sekarang Si Joni sedang menginjaknya, terus saja aku memperhatikan dengan perlahan.

Samping kananku lebih kepada orang-orang yang menjual hasil dari danau, seperti ikan dan masih banyak lagi,
sementara dari sebelah kanan menjual jajanan-jananan yang sama dengan kecamatanku tinggal.

“kebayangkan Ndi orang-orang disini terkenal royal apalagi mereka mata pencahariannya dari kolam apung disana” Ucap Ajo.

“Iyah bener Jo baru tau aku seramai ini” Jawabku.
Tidak lama jalanan kembali menurun tajam hingga akhirnya, sampailah pada pelabuhan yang di maksud Ajo, kesan pertamaku dibuat cukup kagum dengan pelabuhan yang sekarang sedang aku lihat.

Perahu-perahu yang berjejeran serta wisata rakit untuk memancing di pinggir-pinggir danau
yang sama banyaknya berjejeran, juga beberapa mobil bak yang aku yakin digunakan untuk menarik ikan. Sepanjang mata melihat bahkan banyak sekali kolam apung.

Ketika mengingat tentang dedemit buaya putih seketika bulu pundaku berdiri begitu dan masih sempat-sempatnya aku bertanya
dalam diriku dimana dulu Ki Dalang Didi bisa berjumpa dengan nya, walaupun itu aku sadar hanya sebatas rasa penasaranku saja.

Seketika aku membakar rokok, aku lihat ke arah jam yang aku gunakan, bahkan sudah jam 16:30 lebih.

“Saranku Jo, mending habiskan waktu lebih lama-
-sebelum pulang di pasar sambil liat-liat yang belum di jual di sana apa” Ucapku, sambil kembali memarkirkan Si Joni.

Ajo yang setuju karena sudah tahu juga maksudku yang belum bisa lama berada disini, karena malam harinya aku harus mengais rezeki di pangkas rambut.
Bahkan sekarang aku dan Ajo sudah berada di parkiran pasar.

“Terus kang… nah sudah disitu saja parkirnya” Ucap tukang parkir dengan mata yang merah dan berambut cepak.

Aku dan Ajo kemudian turun dari Si Joni, namun anehnya tatapan tukang parkir itu melihat aku dan Ajo
seperti ingin menelanjangi, aku dan Ajo diperhatikan dari atas sampai bawah.

“Orang baru yah bos disini” Ucap tukang parkir sambil mendekat, dengan aroma mulut yang bau alkohol.

“Kalau ribut disini, jangan jadi usahanya males aku” Bisikku kepada Ajo.

“Iyah Kang hanya main-
-saja, sambil lihat-lihat lapak, mau jualan” Jawabku perlahan.

“Salah tempat Bos disini lapak tidak sembarangan, Bos saya Kang Zaidan yang atur semuanya jangan sembarangan, bayar dulu parkir sepuluh ribu buruan” Jawab tukang parkir dengan
nada yang tinggi.

“Woi mahal sekali-
-Kang, seperti parkir dimana saja ini” Ucap Ajo yang memiliki perawakan jauh lebih tinggi dari tukang parkir itu.

“Mau bayar silahkan, tidak, angkat kaki bos gampang, apa mau ribut, duh salah tempat, bisa-bisa ilang nyawa kalian disini” Ucap tukang parkir sambil berbicara dekat
“Sudahlah Kang, selesai saya keliling pasti bayar parkir, niatnyakan mau keliling dulu, Akang kan masih disini juga yah” Jawabku perlahan.

“Nah gitu enakan bacotnya, kasih tau tuh orang bego ini” Ucap si tukang parkir, sambil menunjuk ke arah Ajo.

Mungkin kalau tidak denganku,
Ajo sudah ingin memukul wajah tukang parkir yang membuat Ajo kesal.

“Sabar, jadi ada hikmahnya, izin disini harus ke Pak Zaidan, jadi kita cari tau lihat lapaknya dan baru kita bertemu dengan Pak Zaidan” Ucapku sambil berjalan dengan Ajo.

“Harusnya tadi kamu bilang Ndi kenal-
-sama Pak Zaidan orang itu barusan sudah pasti aku makan mentah-mentah” Jawab Ajo kesal.

“Cobaan akan datangnya selain dari diri kita sendiri dari orang lain Jo, sudahlah siapa tau di coba sama tukang parkir, jadinya kita dapat ide mau jualan apa” Jawabku perlahan sambil terus
berjalan.

Walaupun aku hapal betul pasti Ajo sangat kesal dengan kejadian barusan.

Hampir 30 menit sudah mengelilingi pasar disini, dari mulai blok penjual ikan, dan banyak lapak yang kosong karena biasanya digunakan pagi hari untuk berjualan sayuran.

Hendak menyebrang jalan
ke arah penjual jajanan, sambil terus berjalan dan melihat-lihat yang sudah ada disini tiba-tiba Ajo berbisik.

“Martabak manis sama telor kayanya engga ada Ndi” Ucap Ajo.

“Oh iyah yah Jo, dari tadi sepertinya belum aku lihat juga” Jawabku.

“Apa itu aja Ndi, lihat saja-
-sekitar yang jual aneka minuman sudah ada Ndi sampe jahe dan lainya, makanan juga sate, gorengan sudah ada cuman itu yang belum ada” Ucap Ajo sambil terus berjalan.

“Jo, modalnya lumayan kalau martabak, kita harus bikin gerobak” Ucapku.

“Gampang Ndi, Ibumu jago bikin makanan-
-begitu, tanya dulu saja resep dan caranya, urusan modal aku lumayan pegang uang yang cukup sisa dan tabungan kemarin, gimana?” Jawab Ajo.

“Yasudah, kayanya di tempat kita berdiri sekarang cocok Jo, ya walaupun tidak tengah banget, tapi mobil atau motor yang pesan bisa parkir-
-di sebelah yah” Ucapku, sambil memperhatikan lokasi karena ini paling ujung.

“Oke masuk akal Ndi, ayo kita pulang saja tanyakan besok sama Ibu kebetulan aku bisa kalau bikin gerobak martabak Ndi tenang” Jawab Ajo dengan semangat.

Segera aku kembali menuju parkiran, sepanjang
melihat lokasi tidak henti-hentinya dalam hatiku terus berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah, karena sama halnya di pasar pasti saja ada yang menggunakan jasa alam lain untuk melancarkan usahanya, dan hal itu menjadi pemandangan yang sudah tidak asing lagi untuk aku.
“Ah males melamun lagi, sudah dong Ndi” Ucap Ajo mulai khawatir.

“Yeh orang aku lagi mikir Jo” Ucapku berbohong.

Tiba di tempat parkir semula, tukang parkir yang sebelumnya hampir bertengkar dengan Ajo sudah bersama teman-temanya, ketika melihatku dan Ajo berjalan menuju
Si Joni terparkir. Tukang parkir itu mendekat diikuti bersama temannya.

“Tenang saja Ndi aku tidak pernah takut sama manusia, ibu kota lebih kejam dari pada ini” Ucap Ajo dengan perlahan.

“Diam, aku yang bicara!” Jawabku tegas.
Ajo tidak menjawab lagi hanya mengangguk saja.

“Makasih Kang, sudah dapat lapaknya alhamdulillah…” Ucapku sambil tersenyum.

“Lapak, lapak, lapak saja, bayar dulu parkirnya…” Ucap seorang teman tukang parkir.

“Pasti kang ini saya lebihin, Cuma minta tolong untuk bertemu-
-dengan Pak Zaidan” Jawabku perlahan sambil memberikan uang 20 ribu.

“Pak Zaidan tidak bisa berjumpa, sibuk, kalau mau sewa lapak sama saya saja, saya Dadang yang pegang pasar, satu bulan nya 300 ribu setiap harinya bayar iuran kebersihan 5 ribu, sudah aturannya seperti itu”
Ucap Dadang dengan perawakan yang lebih kecil diantara teman-temanya, namun sudah kelihatan Kang Dadang jauh lebih tua usianya.

“Baik Kang Dadang, saya siap, dua atau satu minggu lagi saya datang kesini bawa gerobaknya yah, saya ingin yang di ujung sana, mohon maaf sebelumnya-
-tidak sopan berbicara seperti ini dan mohon maafkan juga teman saya barusan hampir adu mulut dengan teman Kang Dadang” Jawabku perlahan.

Ajo langsung mengeluarkan uang dari dompetnya dan di berikan kepadaku.

“Kasih saja ini buat DP lapak” Ucap Ajo perlahan.

“Tidak apa-apa-
-namanya juga anak muda belum kenal saja biasa Kang” Jawab Kang Dadang.

“Ini buat DP lapak saja dulu kang, bukanya tidak sopan maaf sekali, takutnya nanti ada orang yang lebih dulu jualan di sana kalau saya sudah kasih tanda jadi begini lebih enak” Ucapku, sambil menyodorkan
uang sambil menundukan kepala.

“Baik saya terima ini, sebelumnya dari mana asal kalian” Tanya Kang Dadang.

“Saya dari kecamatan sana kang… sebelumnya saya tukang cukur, satu hari kebelakang, saya memangkas jenggot, godeg dan kumis Pak Zaidan dan di suruh untuk berdagang-
-disini, namun saya coba lihat-lihat dulu, alhamdulillah tidak berjumpa dengan Pak Zaidan saya berjumpa dengan Akang-akang ini” Jawabku perlahan.

“Andi, benar ini Andi!” Ucap Kang Dadang kaget.

“Benar kang nama saya itu dan ini teman saja Bejo” Jawabku.
Tiba-tiba Kang Dadang langsung memberikan kembali uang yang sudah aku berikan, dan mengambil uang 20 ribu sebelumnya aku kasih untuk membayar parkir.

“Ambil Ndi ini ambil…” Ucap Kang Dadang ketakutan dan anak buahnya dibuat kaget dengan sikap Kang Dadang.

“Lah ini buat bayar-
-Kang jangan begitu” Ucapku perlahan.

“Bapak cerita banyak Ndi, sudah, sudah Akang bakalan sampaikan bahwa Andi sudah pesan lapak disana dan saya jamin tidak akan ada yang isi itu lapak, jangan bayar ingat, Akang tidak mau jadi Akang yang kena marah Bapak” Ucap Kang Dadang.
Setelah itu aku janji akan berkunjung kembali kesini dengan membawa gerobak dan melakukan pelunasan sama Pak Zaidan saja langsung, hal itu disetujui oleh Kang Dadang, seketika anak buahnya berubah sikap kepadaku dan juga Ajo.

“Saya pamit Kang” Ucapku, sambil bersalaman mencium
tangan Kang Dadang, diikuti juga oleh Ajo.

“Jangan begini Ndi tidak enak di lihat orang saya orang kotor” Ucap Kang Dadang.

“Mau bagaimanapun usia Akang jauh lebih tua dan sudah kewajiban saya menghormati dengan cara saya Kang, apalagi terima kasih sudah membantu” Jawabku.
“Di jalan sampai perbatasan kalau ada apa-apa bilang sodaranya Dadang pelabuhan gitu yah biar aman” Ucap Kang Dadang.

Segera aku menyalakan mesin Si Joni dan Ajo langsung naik di jok belakang, karena hari semakin sore bahkan sudah jam 5 aku dan Ajo langsung memutuskan untuk
pulang.

“Gila sih Ndi gimana ceritanya bisa sampai begitu” Ucap Ajo.

“Aku juga tidak tahu kenapa Jo, sudah anggap saja rezeki tenang” Jawabku perlahan.

Walaupun dalam benak aku masih menyimpan rasa penasaran apa yang Pak Zaidan ceritakan tentang aku kepada Kang Dadang hingga
berubah sedemikian cepat seperti tadi bisa saja aku berbohong kalau aku bukan Andi.

Ketika kembali melewati lapangan sepakbola bahkan aku sudah tidak melihat orang-orang yang sebelumnya bermain di lapangan ini, namun hal yang aku takutkan kembali aku lihat.
“Kenapa semakin banyak…” Ucapku dalam hati, sambil melihat ke arah ujung yang sebelumnya aku melihat nenek-nenek melambaikan tanganya ke arahku.

“Pegangan Jo” Ucapku.

Segera aku sedikit memecut gas Si Joni agar sedikit lebih cepat melaju, apalagi yang aku lihat sosok-sosok
yang berdiri di belakang gawang yang sudah aku lewati mulai bergerak dengan berjalan cepat juga ke arahku, seperti ingin mengejar aku.

“Pelan Ndi Woy!” Ucap Ajo berteriak.

Setelah lumayan jauh dan berada di antara pemukiman warga kembali aku pelankan laju Si Joni,
sambil mengatur nafasku berkali-kali.

“Ndi sudah dong, jangan cerita ah males” Ucap Ajo sambil menepuk pudak aku.

Seketika aku pura-pura tertawa terbahak-bahak dan memberikan alasan kalau aku memang sengaja ingin mengetes lari Si Joni.

“Latihan mesin Jo, nanti bisa setiap-
-hari kesini kan” Ucapku berbohong.

“Halah nggak lucu, kaya di kejar setan aja bawa motor” Jawab Ajo kesal.

Sepanjang jalan pulang, melewati medan yang menanjak dan aku terus berusaha mengukur tenaga Si Joni selain itu juga aku masih memikirkan kejadian barusan,
bahkan tidak terhitung sosok-sosok itu yang aku lihat sangat banyak.

“Bekas apa lapangan itu” Ucapku dalam hati, sambil terus melewati tanjakan yang berliku, karena sebelumnya ketika berangkat aku melalui jalanan yang menurun.

“Serem juga yah sore begini, kemarin perasaan-
-tidak begini Ndi” Ucap Ajo, setelah melewati tanjakan dan belokan curam.

“Iyalah Jo, orang di belokan tadi ada saung dan kebetulan yang nunggu ada” Ucapku perlahan.

“Serius Ndi” Jawab Ajo perlahan.

“Yeh ini hutan Jo, perkebunan kita tidak tau proses jalan ini terbuka-
-seperti apa, jangan sembarangan, banyakin berdoa” Ucapku perlahan.

Ajo langsung saja sedikit merapatkan duduknya, karena aku tau kalau Ajo ini cukup lumayan penakut dengan hal-hal seperti itu.

Seperti biasa, perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat dibandingkan dengan
perjalan pergi, dan tidak terasa aku, Ajo dan Si Joni sudah keluar dari jalanan cor beton dan sudah berada di perbatasan kecamatan.

“Mudah-mudahan magrib sudah sampai pangkas” Ucapku, sambil terus memecut gas agar laju Si Joni sedikit cepat.
Sepanjang jalan aku dan Ajo menyusun rencana kalau besok akan berkunjung ke rumah Ibuku, dan aku setuju saja, apalagi Ajo menekan kepadaku agar jangan keluar modal dari aku karena dia sangat mengerti keadaanku saat ini. Bahkan Ajo sudah sangat senang, bisa berusaha bareng
denganku, mendengar hal itu membuatku cukup tenang dan senang karena aku hafal betul Ajo orangnya seperti apa.
Semakin sore bahkan aku masih melewati hutan milik perhutani ini, suasana yang mendukung dan langit yang semakin kuning, apalagi jika melihat ke hutan jati yang
kedalamanya semakin gelap memberikan kesan tersendiri bagiku.

“Nasib namanya juga Neng… sudah terima saja… maaf tidak bisa bantu apa-apa, yang tenang, nanti saya kirim doa” Ucapku dalam hati, setelah melewati belokan tajam kemudian menanjak.

“Jo… belokan barusan yang-
- kejadian beberapa tahun kebelakang yah” Ucapku.

“Kan masih di wilayah ini Ndi kenapa tanya begituan, resiko sama kamu begini nih, kedepannya pasti begini” Ucap Ajo

Aku yang mendengar ucapan Ajo hanya tersenyum saja.

Tidak lama sudah keluar hutan perhutani, dan sudah berada
dan masuk ke kecamatan aku sendiri terlihat dari spion Si Joni wajah Ajo terlihat lega.

“Iyah Ndi yang barusan kamu tanya kan dibuangnya tepat disitu, tragis sih yah apalagi olah TKP sedih denger ceritanya juga” Ucap Ajo tiba-tiba.

“Iyah Jo kasian, denger aku mau bicara-
-serius…” Ucapku perlahan, karena sebentar lagi akan sampai ke pangkas rambut.

“Apa Ndi…” Jawab Ajo.
Sedikit aku pelankan laju Si Joni agar ucapanku terdengar jelas oleh Ajo.

“Kedepanya jalanan yang akan kita lalui menuju pasar pelabuhan berat bukan soal medannya saja-
-kamu pahamkan maksud aku Jo?” Tanyaku perlahan.

“Paham Ndi” Jawab Ajo.

“Perbaiki solat dan barengi dengan sedekah untuk keselamatan dan niatan usaha kita yah” Ucapku.

“Baik Ndi aku paham dan bakal nurut sama ucapan kamu” Jawab Ajo perlahan.
Bukan karena apa-apa sepanjang jalan yang sudah aku lalui barusan beberapa jam kebelakang banyak sekali dari sisi alam lain yang terus berusaha berinteraksi denganku, walaupun aku tau dan paham tujuanya apa.

Apalagi hal barusan baru pertama aku rasakan, dan aku tidak bercerita
semuanya kepada Ajo dengan apa yang aku lihat di lapangan sepakbola, karena aku yakin pasti ada sebabnya.

Sampai di pangkas, aku menyuruh Yayan untuk mengantarkan terlebih dahulu Ajo ke rumahnya, karena adzan magrib sudah berkumandang dan aku langsung melaksanakan ibadah sholat
magrib.

“Ki Dalang Didi harusnya tahu dan hafal betul dulu lapangan itu bekas apa” Ucapku dalam hati, selesai melaksanakan sholat magrib.

Lalu mengirim doa yang dikhususkan untuk almarhum Ki Dalang Didi, tidak lama selesai aku sudah berada di tempat duduk pangkas,
sambil memikirkan semua hal baru yang aku alami.

“Bos kopi…” Ucap Yayan membuyarkan lamunanku.

“Boleh, rokoknya Yan sekalian antar kesini yah” Jawabku.

Sambil menunggu Yayan membuatkan aku kopi sudah ada dua orang yang turun dan masuk kedalam pangkas, segera aku dengan
tenaga sisa menunaikan kewajibanku untuk mengais rezeki di tempat ini, dan langsung merapihkan rambut dua orang pemuda ini satu persatu.

“Bos ini kopinya dibawahnya Daud titip uang” Ucap Yayan.

“Ambil buat bayar kopi sama rokok sekarang, di nanti-nanti suka lupa” Ucapku
perlahan.

Yayan kemudian mengambil uang, untuk membayar kopi dan rokok, dan aku tawarkan juga untuk membuat kopi pada satu orang temanya yang sedang menunggu.

Setelah dua orang pemuda ini aku rapikan rambutnya, kemudian membayar dengan lebih karena merasa sangat puas dengan
pekerjaanku, walau aku tolak berkali-kali tetap saja dua orang pemuda ini enggan menerima kembalian.

“Bos… Teteh sms, katanya nginap malam ini di rumah Ibu” Ucap Yayan.

“Bales Yan, nanti aku pulang ke rumah Ibu” Jawabku.

“Kebetulan sekali, biar besok Ajo bisa langsung-
-ke rumah Ibuku” Ucapku.

Bahkan setelah Ibadah sholat Isya, beberapa orang terus berdatangan untuk memangkas rambutnya, padahal potongan mencukur ku bisa dikatakan sama saja dengan tukang cukur lainya, kelebihanku hanya satu memberikan pelayanan lebih dengan cara mengajaknya
ngobrol atau memberikan pijatan di kepala setelah selesai rambutnya aku rapihkan.

Sampai pada jam sudah hampir pukul 11 malam, turun dari motor besarnya yang digunakannya, seorang bapak-bapak yang aku tebak usianya seumuran dengan Bapak aku.

“Kang masih buka, pengen di rapihin-
-rambut duh udah gerah” Ucap Bapak itu.

“Masih Kang silahkan, ini beres-beres aja biar enak” Jawabku, sambil langsung menyiapkan tempat duduk.

“Malem sekali Pak…” Ucapku membuka obrolan.

“Biasa habis pulang dari kolam apung punya saudara Kang” Jawab Bapak.
“Oh pantesan, sekalian yah Pak mampir…” Ucapku.

“Iyah nih nenek-nenek di rumah ngomong terus udah gondrong begini suruh di rapihin kang” Jawab Bapak sambil bercanda, nenek-nenek yang dimaksud adalah istrinya.

Segera dengan perlahan aku rapikan rambut hitam yang setengahnya
sudah berwarna putih ini.

“Rame pak di kolam apung… usaha ikan?” Tanyaku perlahan sambil terus memangkas rambut Si Bapak.

“Ah biasa saja Kang, kan adik saya yang urusnya kesana gara-gara saudara saya yang jaga kolam apung tadi jam 8 malam tenggelam saat menjaring ikan,-
-naik rakit begitu Kang…” Jawab Si Bapak.

Seketika aku kaget bukan main dengan apa yang diucapkan Bapak ini, tidak tau kenapa padahal itu hal yang biasa namun ada rasa bergetar dalam badanku menerima ucapan itu.

“Kok bisa Pak, biasanya pada bisa berenang yah” Ucapku.
“Saya juga Kang awalnya berpikiran begitu sama dengan Akang, tapi pas saya lihat kesana mukanya sudah pucat dan beberapa kali kerasukan” Jawab si Bapak.

“Oh untungnya ada yang nolong yah Pak? Kerasukan gimana pak?” Tanyaku perlahan, sambil terus berkonsentrasi mencukur.
“Jadi kayaknya saudara saya tenggelamnya tidak masuk akal Kang, teman yang melihatnya di atas perahu yang sedang melintas begitu saja, pas ngeliat sodara saya juga karena gelapkan yah, seperti ada yang mendorong gitu” Ucap Bapak menjelaskan, walau tidak sedikit jelas, namun aku
paham dan bisa menangkap apa maksud dari ucapan Bapak ini.

“Oh iyah-iyah pantas saja bisa kesurupan yah Pak” Jawabku, yang tidak lama rambut gondrong Bapak ini sudah mulai kelihatan rapi.

“Nah Kang sudah segini aja jangan terlalu pendek… Nah iyah kata yang menyembuhkanya ada-
-dedemit yang kebetulan lewat, dan di suruh buang ayam hitam yang sudah di potong ke danau itu Kang” Ucap Si Bapak.

Seketika aku ingat danau tersebut masih menyatu dengan pelabuhan yang sore tadi aku lihat, pantas saja dibalik keindahanya, selalu terselip hal-hal lain yang
mungkin kebanyakan orang tidak bisa merasakan apa yang aku maksud.

Dan saat ini juga bulu pudaku berdiri begitu saja dengan cerita Bapak ini.

“Apa ini yang dimaksud dengan cerita bapak aku di rumah soal dedemit buaya putih” Ucapku dalam hati.

“Oh pantesan pak,-
-emang kerasukan apa Pak?” Tanyaku perlahan, sambil memijat kepala Si Bapak karena sudah selesai proses memotong rambutnya.

“Sebangsa dedemit di danau itu aja kali, tapi beberapa warga yang usianya sudah tua dan saudara saya bilangnya buaya putih itu sudah kembali,
apalagi yang jadi syarat ayam begitu, saya kurang paham Kang, udah selamat juga saudara saya alhamdulillah” Jawab Si Bapak.
Benar saja perasaanku dan sangkaanku, soalnya berkaitan dengan ayam hitam.

Setelah selesai Si Bapak kemudian membayar lebih untuk pijatan di kepala yang
aku berikan kepadanya, walaupun itu adalah kebiasaan dan setelah aku jelaskan tetap saja Si Bapak ingin lebihnya aku terima.

“Buaya putih sudah kembali maksudnya apa” Ucapku dalam hati.

Kemudian langsung membereskan pangkas rambut, karena hari ini akan segera berakhir ketika
melihat jam sudah hampir jam 12 malam. Apalagi melihat Yayan juga sudah mulai membereskan dagangnya sebagian.

“Yan duluan yah tidak apa-apa?” Ucapku sambil menutup rolling door pangkas.

“Aman Bos duluan saja saya sebentar lagi palingan” Jawab Yayan.

Segera aku kembali bersama
Si Joni menuju rumah Ibuku, untuk menginap disana dan bahkan besar niatanku malam ini jika Bapak belum istirahat ingin berbicara dengannya.

Aku sempatkan membeli rokok untuk bapak, ketika melihat warung langganan yang buka 24 jam, juga beberapa kopi dan gula untuk persedian Ibu
di dapur.

Tidak lama sampai didepan rumah Ibu pikiranku masih saja diselimuti rasa penasaran pada cerita Si Bapak yang barusan bercerita soal kejadian yang menimpa saudaranya itu.

Setelah Si Joni terparkir aman, aku langsung seperti biasa melalui jalan samping rumah untuk masuk
lewat dapur.

“Eh Pak belum tidur…” Ucapku, sambil salam pada Bapak.

“Belum tenang Ndi, kamu belum pulang… gimana hasil ke pelabuhan” Ucap Bapak.

Sebelum menjawab aku sempatkan untuk memberikan rokok kepada Bapak dan mendekatkan asbak yang terlalu jauh dari tempat Bapak duduk
“Alhamdulillah Pak lancar, bahkan besok Ajo mau kesini mau belajar bikin martabak manis sama telor ke Ibu” Jawabku perlahan.

“Alhamdulillah, soal modal bagaimana Ndi, bapak belum bisa banyak bantu panen saja masih lama” Ucap Bapak.

“Lah kan Andi mintanya doa pak, bukan modal,-
-harusnya Andi yang tanggung semua kebutuhan Bapak dan Ibu namun untuk sekarang masih bisa sedikit Pak, doakan lancar rezeki Andi” Jawabku, sambil membakar rokok.

Seketika wajah Bapak terlihat sangat berat dan seperti sedang memikirkan sesuatu yang ingin Bapak ucapkan kepadaku.
“Insyaallah Bapak akan selalu doakan Ndi, tapi…” Ucap Bapak sambil menarik nafasnya sangat dalam, kemudian mengeluarkanya secara perlahan.

Aku hanya diam, sambil menghisap rokok yang sekarang aku jepit diantara jariku.

“Tapi yang Bapak ceritakan pagi tadi bukan sekedar-
-cerita belaka, kala itu banyak menelan korban… Bapak seharian kepikiran sama kamu selama di sawah sampai malam, apalagi dengar dari Imas katanya Andi jadi dengan Ajo ke lokasi…” Ucap Bapak sangat berat.

Padahal aku mengerti selebihnya ini adalah khawatiran Bapak kepadaku
yang mempunyai anak tidak umum seperti anak lainya.

“Tapi sudah semoga hal itu tidak pernah terjadi lagi… niatkan saja sudah berdagang yah jangan berbuat yang tidak-tidak Andi lebih paham soal barusan yang bapak ucapkan” Ucap Bapak perlahan.

“Iyah Pak, insyaallah Andi tau apa-
-yang harus Andi lakukan, tadi yang di cukur terakhir cerita Pak, saudaranya tenggelam di danau itu, sampai kerasukan dan singkat cerita bawa-bawa nama dedemit buaya putih, apa itu sama dengan cerita dari Ki Dalang Didi?” Tanyaku perlahan.

Bapak seperti kaget mendengar apa yang
keluar dari mulutku, hal itu sudah tidak bisa bapak sembunyikan lagi, apalagi sepanjang hidupku cukup mengenal Bapak sangat dekat.

“Apa mungkin, semuanya itu bisa kembali” Ucap Bapak perlahan dengan tatapan yang kosong.

***
Awal mula perjalanan Andi dan Ajo baru saja mereka mulai, semua pertanda mengiringi langkah Andi, dalih - dalih keluar dari masa sulit karena pangkas rambut yang sedang dirintisnya masih sepi ternyata akan menyeret paksa Andi pada suatu keadaan yang membuatnya dilema,
antara harus terus menunaikan kewajiban yang selama ini Andi jalankan atau mengubah keputusan yang sudah Andi anggap bulat.

Dedemit Buaya Putih, Sebuah Kisah Bersembunyi Dalam Terang akan berlanjut ke Bagian 2. Dengan perjalanan yang akan menentukan bagaimana masa lalu dan
keadaan sekarang yang harus Andi lewati! Dan bagaimana selanjutnya kisah ini? akan terjawab di bagian 2.
Untuk yang ingin memberikan dukungan/ TIP bisa klik link dibawah ini, bisa juga teman-teman ikuti saya, karena itu sangat berarti sebagai tenaga untuk tetap membagikan cerita-cerita horror.

karyakarsa.com/qwertyping
Bagian selanjutnya, bisa baca terlebih dahulu. Klik link dibawah.

karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Bagian 3, karena perjalanan dan cerita terus berlanjut.

karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Bagian 4, perjalanan Andi dan segala misteri juga bebagai penampakan mulai hadir.

karyakarsa.com/qwertyping/ded…
Dan Bagian 5 sampai bagian-bagian selanjutnya akan menyusul hadir, sampai Tamat! Jangan sampai ketinggalan teman-teman membaca terlebih dahulu.

Tidak lupa saya ucapkan terimakasih telah membaca cerita ini, dukungan yang kalian berikan sangat berarti sekali untuk saya,
semoga terbalas lebih apa yang sudah kalian berikan.

Kiranya cerita ini layak untuk dibagikan, mohon untuk di bagikan, agar semakin banyak yang membaca cerita ini. Berikan juga love atau berikan komentar, kritik dan saran pasti akan saya baca dan balas komentarnya.
“Typing to give you a horror thread! You give me support!”

Terimakasih.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with horror(t)hread!

horror(t)hread! Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

18 Nov 21
MELATI

-Bagian 7.0-

HORROR(T)HREAD
Based On True Story!

“Kecantikan yang selalu disebut dengan anugerah, bisa saja menjadi sebuah musibah”

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @diosetta

#bacahoror #ceritahoror #ceritahorror Image
Hai selamat malam, kembali lagi saya akan melanjutkan cerita Melati. Sepertinya kalian sudah tidak sabar cerita ini berakhir, tenang semua ada waktunya termasuk berjumpa dalam sebuah cerita, dan akhirnya malam ini bisa berlanjut ke Bagian 7.0!
Bagian 7 ini saya bagi dua bagian, karena ceritanya terlalu panjang dan jika diselsaikan malam ini juga memakan waktu yang cukup lama, semoga teman-teman mengerti, dan berbeda dengan malam biasanya saya membagikan link cerita Bagian sebelumnya.
Read 268 tweets
26 May 21
MELATI
- Sebuah Kisah Cantika Dewi Sukma-

HORROR(T)HREAD
Based On True Story!

"kecantikan yang selalu disebut anugrah
bisa saja menjadi sebuah musibah"

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahoror #ceritahoror #ceritahorror Image
Hallo selamat malam, setelah sekian lama tidak membagikan sebuah thread horror akhirnya saya kembali dengan sebuah suguhan cerita baru. Terimakasih kepada kalian yang masih saja terus menanyakan kabar dan kapan cerita akan segera di up, mohon maaf tidak semua DM bisa saya balas.
Rehat dengan waktu yang lama adalah salah satu alasan yang berkaitan dengan proses penulisan cerita ini dan kesibukan di real life yang tidak bisa dihindari, semoga "rindu kita masih sama, tentang bagaimana kita berjumpa dalam sebuah cerita."
Read 186 tweets
7 Jan 21
BERSEMBUNYI DALAM TERANG
- Sebuah Kisah Perjalanan Mistik -

[ BAGIAN 2 ]

Based On True Story!

HORROR(T)HREAD

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahoror #ceritahoror #ceritahorror
#horrorstory Image
Hallo selamat malam, kembali lagi saya akan melanjutkan cerita sebuah kisah Perjalanan Mistik Bersembunyi Dalam Terang Bagian 2, cerita Andi sebagai tokoh utama, mengungkapkan dari segala sisi apapun yang dia alami dalam perjalanannya tersebut.
Banyaknya reply dan support di Bagian 1 dan terhenti karna cerita yang sebelumnya selsai yaitu “no. 096” baru bisa sekarang dilanjutkan, dan terimakasih kepada aa juga kakak-kakak yang selalu mampir dalam setiap Horror(t)hread yang saya tulis. Salam hormat.
Read 602 tweets
26 Nov 20
NO. 096
- Sebuah Tragedi Masa Lalu -

[ Based On True Story ]

HORROR(T)HREAD

"Pada kenyataannya, kisah ini selalu menghantui keluargaku"

---------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahoror #bacahorror #ceritahoror #ceritahorror Image
Hallo! kembali lagi saya akan membawakan sebuah cerita horror(t)hread yang berjudul 096. Sebelumnya, mohon maaf untuk cerita “Bersembunyi Dalam Terang Bagian II” belum bisa saya lanjutkan. Semoga saja setelah cerita ini selsai, bisa dilanjutkan kembali.
Terimakasih, kepada aa-aa dan kakak-kakak yang selalu antusias dan membaca cerita-cerita yang sudah saya tulis dan selalu memberika support kepada saya, salam hormat. Untuk yang ingin membaca cerita lainya, bisa klik tab like di profil, semua kumpulan cerita ada disitu.
Read 502 tweets
22 Oct 20
BERSEMBUNYI DALAM TERANG
- Sebuah Kisah Perjalanan Mistik -

[ Based On True Story ]

HORROR(T)HREAD

------------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahoror #ceritahoror #ceritahorror
#horrorstory Image
Halo selamat malam, setelah lama sekali rehat karna kesibukan dan banyak hal lainya akhirnya saya kembali dengan judul baru, yang saya persembahakan untuk kalian.
Lamanya akun ini update cerita terbaru bukan karna bermasalah dengan judul sekarang yang akan saya bagikan, melainkan hanya kesibukan pribadi saja di real life yang tidak bisa dihindari.
Read 339 tweets
10 Aug 20
DENDAM
- Sebuah Saksi Pembalasan -

[ Horror(t)hread ]

"Tidak pernah benar-benar berakhir. Kesakitan, Penyiksaan adalah dendam masa lalu yang menyedihkan."

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahorror #bacahoror #ceritahoror #ceritahorror #horrorstory
Hallo! Selamat malam, sebelumnya mohon maaf karna cukup lama rehat dan terimakasih untuk aa-aa dan kakak-kakak yang selalu bertanya kapan judul baru saya ceritakan. Akhirnya waktunya tiba, dan “Dendam” saya persembahkan untuk kalian
Kebetulan cerita kali ini Narsum adalah Paman dari teman saya sendiri, setelah pertemuan di awal tahun dengan Narsum dan beberapa pertimbangan akhirnya “Dendam” siap saya bagikan.
Read 728 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(