Pusara Waktu Profile picture
Feb 24 99 tweets 15 min read
Sebelum lanjut, pastikan kalian udah baca sampai terakhir cerita di Part 3 yaaa... Selamat membaca !

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 4)

"Semua terserah kamu, Mim. Kamu yang menjalaninya, aku hanya mengingatkan … " Ucapku.
"Terima kasih kamu sudah mengingatkan, tapi mohon maaf, aku akan menikmati uang ini. Biarkan aku menerima taqdirku sendiri dan kalau memang aku harus jadi tumbal dari Hamidah, mungkin itulah jalanku … Mungkin aku bisa bertemu kembali dengan anakku …" Jawab Kamim.
"Kamu itu bukannya bertahan hidup agar bisa mendoakan anakmu, malah seperti itu … Kamu terlalu silau dengan lembaran merah ini, Mim ..." Ucapku sambil melirik ke arah bungkusan uang itu.

"Ini hidupku ... Ini nyawaku … Toh kalaupun aku mati, tidak akan merepotkan orang lain.
Kalaupun gak ingin direpotkan, cukup lemparkan saja jasadku ke jembatan Barelang, toh aku akan habis dimakan ikan …" Jawab Kamim dengan nada sedikit angkuh.

Aku hanya diam dan mengelengkan kepala mendengar ucapan dari sahabatku ini.
Aku tidak ingin berdebat lebih panjang dengan orang yang sudah kehilangan akal sehatnya. Sebagai sahabatnya, aku sudah mengingatkan dan itu haknya untuk menerima atau tidak saran dariku. Nurani dan akal sehatnya telah tertutup oleh lembaran uang merah itu.
Semenjak kejadian itu, aku lama tidak bertemu dengan Kamim dan akupun sama sekali tidak ada lagi komunikasi dengan Hamidah. Aku menjalani aktivitasku kini sebagai Marbot Mesjid, juga salah satu pengurus dari sebuah Yayasan yang menaungi anak yatim dan kaum dhuafa.
Hingga satu sore, handphoneku tiba-tiba berdering, terlihat dilayarnya nama Hamidah tertera. Segera aku menerima panggilanku.

"Assalamualaikum Mbak Hamidah …" Salamku.
Kudengar suara Hamidah diujung sana yang memintaku untuk segera datang secepatmya, karena ada sesuatu hal yang penting yang ingin dibicarakan. Aku menolak permintaan Hamidah itu dengan mengatakan, bahwa saai ini aku tidak ada kendaraan,
tapi Hamidah sudah menyuruh Acun menjemputku dan sekarang Acun tengah menuju ke arah kediamanku. Aku menarik nafas panjang dan dengan terpaksa aku mengiyakan permintaannya itu.

Selepas Maghrib, aku sudah berada di halaman rumah megah berlantai dua.
Suasana di perumahan elite ini begitu sepi disertai dengan hujan gerimis dan angin yang berhembus menusuk tulangku, semua itu menambah suasana semakin terasa mistis.

Sebelum masuk ke dalam rumah Hamidah, aku terlebih dahulu membaca ayat Qursi sebanyak 7 kali ..
.. hal itu aku lakukan sebagai usahaku untuk membentengi diri, karena aku tahu betul hawa mistis dalam rumah megah Hamidah ini benar-benar berbahaya bagiku.
Setelah mengucap salam, aku, mang Atun dan Acun, beserta salahsatu teman dari Acun, masuk ke dalam rumah, terlihat Hamidah tengah terduduk di kursi tengah bersama Kamim, sahabatku.

"Kok Kamim ada di sini?" Ucapku heran dalam hati.
Kamim tersenyum, begitu juga dengan Hamidah, keduanya memandangku sambil berpegangan tangan dengan mesra.

" Wi, tolong nikahkan aku sama Hamidah secara siri …" Bujuk Kamim.

"Apa?! Kalian sekongkol memintaku jauh-jauh untuk datang ke sini, hanya untuk menikahkan kalian?!
Kalian sudah merencanakan ini semua, kenapa tidak berterus terang, bukan dengan mengatakan ada hal yang penting! Kalian betul-betul gak punya otak” Ucapku dengan nada yang marah, kesal karena merasa dipermainkan.
"Mas Wi, maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk melakukan ini,semua atas ide Mas Kamim.." Sela Hamidah. "Mbak, saya menghormati anda, tapi kalau seperti ini caranya, Mbak sama saja gak bisa menghormati orang lain, jadi jangan harap saya bisa menghargai orang lain termasuk Mbak!
Jangan karena Mbak punya banyak harta, jadi bisa memperlakukan orang lain seenaknya. Saya tidak akan pernah takut dengan siapapun termasuk sama sesembahan Mbak itu, sekalipun kamu juga Kamim. Jangan harap aku akan menolongmu nanti, kalau suatu saat kamu kesulitan …
Asal kamu tahu, ku katakan padamu bahwa uang yang kamu bawa kemarin adalah uang tebusan dari nyawamu dan kalian juga tidak perlu nikah siri, toh kalian sudah sama-sama punya tujuan …" Lantang suaraku bergema di ruang tamu rumah megah itu.

"Jaga mulutmu, Wi!!" Bentak Hamidah.
"Kamu bukan saja harus menjaga mulut, tapi juga jaga ragamu! Cepat atau lambat, kamu sendiri yang akan menjadi tumbal dari sesembahanmu itu!" Bentakku balik kepada Hamidah.

"Kurang ajar kamu!!" Bentak Kamim menyela, sambil melayangkan kepalan tangannya ke arah pelipisku.
Melihat reaksi Kamim, tubuhkun reflek memundurkan posisi untuk menghindari pukulan Kamim. Aku tangkap pergelangan tangan Kamim, lalu memegang bagian tengan telapak tanga serta ibu jarinya dan langsung kuputarkan tangan Kamim ke arah belakang.
"Mundur kamu Cun, jangan ikut campur!" Seruku sambil menunjuk kearah Acun yang hendak melangkah mendekatiku.

Melihat Kamim yang meringis, Hamidah langsung terduduk dan tertunduk, sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Tidak berapa lama kemudian, Hamidah mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara yang berat juga serak.
"Lepaskan dia!!" Sambil menunjuk ke arah Kamim.

Kali ini bukan Hamidah yang berbicara, tapi sosok lain yang masuk ke dalam raga Hamidah.
Sorot mata Hamidah berubah, terasa sangat dingin dan tajam. Aku segera melepaskan tangan Kamim dan mendorong tubuhnya hingga terjerembab di kursi panjang yang terletak di sebelah Hamidah.

Aku mencoba menatap balik mata Hamidah,
"Hmm ... Ternyata ini yang merasuki raga Hamidah …" Batinku saat melihat sesosok nenek-nenek berkebaya putih dengan sanggul dan tusuk konde yang berupa bunga Kantil.

Hamidah terdiam beberapa saat, hingga kemudian sebuah suara terkekeh keluar dari mulut Hamidah.
"Beraninya kamu menghina cucuku!" Seru sosok itu, yang ternyata bernama nyai Kantil semayang.

"Iki putuku! Kowe ojo wani-wani, tak cakar ngko kowe!"
“(Ini cucuku! Jangan berani-berani, kucakar nanti kamu!)” Ujar nyai Kantil Semayang.
"Cucumu yang kurang ajar! Kamu jaga baik-baik biar dia tidak kurang ajar!" Jawabku

Acun dan temannya juga mang Atun mundur menjauh saat melihat kejadian itu

"Kamu diam di sini, jangan kemana-mana!" Ucap nyai Kantil semayang kepada Kamim yang hendak beranjak menjauh karena takut
Kamim menurut dan tetap duduk di samping Hamidah yang sedang kerasukan.

Tiba-tiba mbok Min datang sambil membawakan air dalam gelas yang berisi bunga melati putih dan mengusapkan air itu melalui telapak tangannya ke arah wajah Hamidah,
dan anehnya Hamidah langsung tergeletak tak sadarkan diri.

Mbok Minah pun berbisik di telingaku,"Suara auman milikmu, membangunkan aku …" Ucapnya lugas.

Seteleh tiba-tiba berbisik seperti itu, mbok Minah melangkah pergi ke arah rumah bagian belakang. Aneh, pikirku.
Setelah siuman, Hamidah bertanya, "Ini ada apa?" Dengan wajah yang terlihat linglung kebingungan.

Aku hanya diam melihatnya, dan Kamim lah yang menjelaskan semua yang terjadi. Setelah mendengar semua penjelasan dari Kamim, Hamidah kemudian meminta maaf,
bahwa semua yang terjadi itu diluar kesadarannya. Aku semakin bingung dan merasa aneh dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Hamidah. Ada rahasia apa sebenarnya..

Setelah kejadian itu, Kamim dan Hamidah membujukku kembali untuk menikahkan mereka, tetapi tetap kutolak.
Akhirnya mereka memintaku untuk menjadi saksi saja, setelah Acun menghubungi seseorang yang sanggup menikahkan mereka secara siri.

Setelah prosesi pernikahan selesai, aku dan mang Atun berpamitan untuk pulang,
Kamim menyalami kami dan meminta maaf atas kejadian yang baru saja terjadi, begitu juga dengan Hamidah yang kembali tersenyum. Sebuah senyuman yang misterius tergurat di wajahnya.

Setelah semuanya selesai, aku segera bergegas untuk melangkahkan kaki keluar dari dalam rumah itu,
sambil diikuti oleh mang Atun, dan ketika sampai di halaman depan, tanpa sengaja mang Atun melihat ke arah balkon lantai dua.

"Wi ... Itu nenek, siapa ya di atas balkon?" Tanya mang Atun sambil menarik-narik tanganku.
"Sudah gak usah dilihat, Mang …” Jawabku sambil terus berjalan ke arah pintu gerbang.

Tak lama kemudian, Acun pun datang dan dengan segera aku dan mang Atun masuk ke dalam mobil yang di kendarai oleh Acun itu.
Aku tahu, hidup Kamim akan terancam secara batiniah, tapi secara lahiriah, hidup Kamim berlimpah kemewahan, hidupnya tidak susah dan sengsara lagi seperti sebelumnya.
Tapi dugaanku tidak sepenuhnya benar, ternyata Kamim hanya dijadikan alat oleh Hamidah sebagai umpan untuk mencari korban-korban yang lain demi untuk mendapatkan kelanggengan, kekayaan dan kecantikan.
Kamim hanya diperalat untuk mencari anak-anak muda yang akan dijadikan calon dari tumbal-tumbal pesugihan Hamidah.

Kamim memang mendapatkan kemewahan hidup dan bergelimang, tetapi sejatinya Kamim telah berubah menjadi budak iblis, bersama Hamidah. Kamim bersekutu dengan syetan.
Siang itu cuaca terasa begitu panas, tapi tiba-tiba meredup seketika. Awan hitam yang datang langsung menyelimuti hamparan langit yang sebelumnya biru disertai dengan angin yang berhembus begitu menderu. Sebuah berita duka terdengar dari pengeras suara mesjid,
bahwa telah meninggal seorang anak remaja, yang tidak lain adalah salah seorang pekerja di tokonya Hamidah.

Aku sebetulnya tidak kaget, tapi bukan berarti mengharapkan kejadian seperti ini terjadi, tapi melihat yang sudah terjadi, aku mewajarkannya.
Aku penasaran dengan kondisi jenazah dan aku pun membuka penutup kainnya dan saat kubuka, terlihat jenazah itu dalam keadaan yang melotot dengan bibir membiru dan lidah yang sedikit terjulur. Aku mencoba untuk mengusap wajahnya, tapi mata jenazah itu tetap tidak mau tertutup
Tidak lama kemudian, sebuah mobil mewah datang, Kamim dan Hamidah turun dengan memasang raut wajah sedih. Hamidah pun beberapa kali nampak mengusap air matanya dengan tisu.
Menurut teman kerjanya, almarhum ini baru saja bekerja selama 4 bulan, dan tiga hari yang lalu, almarhum ini merasakan demam serta suhu badan yang panas. Aku hanya diam dan menganggukan kepala, ketika mendengarkan semua cerita ini.
Aku melangkah menghampiri Kamim dan istrinya, Hamidah dan tepat berada di tengah, diantara keduanya, aku berkata dengan suara pelan, "Ini ulah kalian berdua …" Ucapku dengan suara yang menekan.
Mendengar perkataanku, Kamim membuang wajahnya, dia tidak berani untuk menatap wajahku, sedangkan Hamidah, dia hanya tersenyum, aku akui Hamidah memang terlihat lebih cantik dan mempesona hari ini.

Aku betul-betul marah saat melihat Kamim yang dengan sengaja membuang muka,
serta senyuman Hamidah yang seolah-olah menyindirku. mereka seakan bukan manusia lagi, sedikitpun tidak punya empati, hati Nurani, karena untuk melanggengkan kekayaan dan kecantikannya, mengorbankan nyawa orang lain sebagai tumbal adalah hal yang murah dan wajar bagi mereka.
Tak berselang lama, aku pun segera meninggalkan tempat itu, aku muak melihat wajah penuh kepalsuan Kamim dan Hamidah.

Melihat aku yang buru-buru pergi, dengan tergesa gesa Acun menyusul dan menghampiriku.

"Mang Wi, ada waktu gak?" Tanya Acun.
"Ada apa Cun, sepertinya penting?" Balasku.

" Kamim, Mang ... Kamim ..." Ucap Acun dengan nada sedikit panik.

"Iya, ada apa dengan Kamim?" Tanyaku penasaran.

"Kamim, Mang Wi ... Dua hari kemarin baru datang dari kampung bawa beberapa orang buat kerja ditokonya …
Jangan-jangan nanti seperti yang sudah-sudah, Mang Wi ..." Jelas Acun.

"Biarin aja Cun, aku sudah malas berurusan dengan mereka." Ujarku.

"Iya Mang Wi, aku tahu. Tapi kalau gak ada yang mengingatkan, bisa ada korban lagi yang jatuh nih … " Sambung Acun.
"Cun, Itu urusan hidup mereka. Aku tidak punya hak untuk menghentikan, apalagi sampai ikut campur dengan urusan mereka. Biarlah semua menjadi tanggung jawab mereka, baik di dunia maupun di akhirat … Aku bukan siapa-siapa Cun. Malahan ..." Jelasku yang keburu terpotong oleh Acun.
"Malahan apa Mang Wi?" Tanya Acun penasaran.

"Malahan kamu Cun yang harus punya keberanian untuk menyadarkan saudara iparmu itu, atau istrimu yang nyoba buat nyadarin kakaknya … " Sambungku.

"Aku sudah beberapa kali berkeinginan untuk mengingatkan,
tapi ketika sudah berhadapan dengan Hamidah, tiba-tiba saja aku lupa semuanya, mungkin karena aku takut sih. Entah kenapa, walaupun wajahnya cantik, tapi ada hal yang membuatku takut dari Hamidah, aku juga gak tau Mang Wi, kenapa bisa gitu …" Jelas Acun dengan wajah keheranan.
Setelah mengobrol dengan Acun aku pun langsung pulang ke rumah, dan untuk beberapa saat, aku selalu mengingat Hamidah.

Hari itu setelah selesai sholat jumat, aku berjalan memasuki area pasar dan persis di depan sebuah ruko,
tampak Kamim sedang mengatur para pekerja barunya untuk mengerjakan sesuatu. Sebagai seorang bos sebuah toko kelontong yang cukup besar, Kamim sudah bukan, Kamim yang dulu aku kenal lagi, sebuah kalung rantai emas melingkar di lehernya.
Tidak hanya itu, di pergelangan tangannya pun terdapat jam tangan yang berlapis Emas, perutnya terlihat buncit dan dengan wajahnya yang lebih bersih terawat, sungguh bukan Kamim yang dulu lagi.

Aku masuk ke dalam toko kelontong milik Kamim dan menunjuk sebungkus rokok kesukaanku
lalu menyodorkan uang pecahan 50 ribuan dan saat kasir akan memberikan kembalian, Kamim keluar dari gudang yang terletak di sebuah lorong dengan sebuah pintu besi sebagai jalan masuknya.
"Wi, gak usah ..." Ucap Kamim sambil mengembalikan uang pecahan kepadaku serta menambahkan satu bungkus rokok."Gak apa-apa Mim, aku mau beli, bukan mau minta." Jawabku sambil menyodorkan kembali uang pecahan ke arah kasir,
sudut mataku melihat Kamim menggelengkan kepala kepada sang kasir.

" Wi, aku ada perlu. Kapan kita bisa bicara empat mata?" Ujar Kamim.

"Ada urusan apa Mim, sampai harus bicara empat mata?" Jawabku.
"Nanti aja Wi aku ke warung, biar enak dan bebas ngomongnya. Kalau nggak, kita cari tempat yang lain. Gimana bisa gak, Wi?" Jelas Kamim dengan mimik wajah yang terlihat serius.

"Penting banget emang Mim? Ada apa? " Tanyaku memastikan dengan nada yang sedikit malas.
"Nanti aja Wi, di sini ada CCTV." Jawab Kamim sambil menempelkan ibu jari ditelinga dan kelingking di mulut sebagai isyarat.

Di sebuah rumah makan yang cukup besar, aku dan Kamim duduk berhadapan di salah satu meja paling sudut,
hingga pandanganku bisa bebas memperhatikan orang yang keluar masuk rumah makan itu, dan dengan suara yang pelan, Kamim memulai ceritanya.

"Sudah beberapa lama belakangan ini, aku mimpi kalau anakku menangis dan meminta tolong kepadaku,
bahkan aku sering di datangi sosok yang menyerupai anakku. Sosok itu memintaku untuk menghentikan semua ini, dan memintaku juga untuk menemuimu, Wi. Aku sedih melihat keadaan anakku, dengan baju yang terlihat compang camping, dia berwajah sangat kusam …
Sebenarnya, ada apa ini Wi?" Ungkap Kamim.

"Mim, aku bukan sok tahu atau sok pintar. Pada dasarnya, anakmu itu sudah meninggal, itu hanya sosok yang menyerupainya saja, dan anakmu meninggal karena ditumbalkan,
akhirnya sosok itu datang menemuimu dalam wujud seperti itu dan dia akan terus mendatangimu, sebagai timbal balik dari kekayaan yang diberikan." Jawabku.

" Hamidah maksudnya Wi?" Tanya Kamim memastikan.
"Aku nggak menyebut Hamidah, Mim … Karena pelaku pesugihan itu banyak, hanya saja anakmu kerja di tokonya Hamidah. Dan tidak hanya pelaku pesugihannya saja, tapi semua orang yang bersekongkol dengan pelakunya pun akan kena …" Jelasku.
"Aku kasihan dengan anakku yang terus meminta untuk menemuimu, Wi ..." Ucap Kamim.

"Sosok itu ingin meminta aku, untuk mengingatkanmu dan menyudahi semua ini Mim, jadi berhentilah dan keluar dari lingkaran setan yang menyesatkan ini.
Sosok yang menyerupai anakmu, ingin agar bapaknya tidak mengalami hal yang sama …" Sambungku.

"Gimana Wi caranya keluar dari lingkaran ini setan ini?" Tanya Kamim.
"Tobat Mim, yang sebenar-benarnya tobat. Dekatkan diri dengan sang pencipta, dan banyak-banyak beristigfar …" Jawabku sambil meneguk kopi yang sudah tersaji di depan.

"Apakah aku akan selamat dari sesembahan Hamidah, Wi?" Kembali Kamim bertanya.
"Selamat atau tidak, itu urusan Gusti Allah Mim, yang penting kita sudah ada niat untuk insaf dan menyesali semua perbuatan kita, Mim … " Ucapku.

"Kamu bisa melindungi aku dari para dedemit yang tentunya akan mengejar
dan menjadikanku sebagai tebusan karena telah menikmati kekayaan yang mereka berikan, Wi?" Tanya Kamim dengan muka yang muali terlihat cemas. "Memohon perlindungan kepada Gusti Alloh Mim, bukan meminta kepadaku untuk melindungimu
Aku juga manusia biasa, tidak jauh beda dengan dirimu …" Ucapku kembali mengingatkan Kamim.

"Jadi aku harus mulai darimana. Wi? " Tanya Kamim.

"Dari sini Mim …" Jawabku sambil mengarahkan telunjuk tangan ke arah dada.

"Maksudnya Wi?"
"Niat kita Mim.Karena Tuhan tidak akan merubah hidupmu, kecuali kamu yang merubahnya." Jelasku.

"Lalu, apalagi Wi?"Tanya Kamim.

"Berusaha dan pasrah, karena pasrah tanpa berusaha itu namanya bukan pasrah.Pasrah itu setelah kamu berusaha dan menyerahkan semuanya pada Gusti Alloh
Masalah nanti kamu dikejar makhluk ghaib, pasrahkan sama Gusti Alloh, tapi syaratnya setelah kamu berusaha sekuat tenaga dulu …" Jelasku.

"Berusahanya seperti apa, Wi?" Tanya Kamim semakin penasraan.

"Dengan lebih mendekatkan diri dan Memohon perlindungan Gusti Allah,
hanya itu Mim, selebihnya biar semua berjalan sesuai kehendak gusti Allah" Balasku.

"Kamu mau bantu aku, Wi?" Tanya Kamim.

"InsyaAlloh, Mim ... Kalau kamu bisa, mending secepatnya keluar dari rumah Hamidah.
Bawa saja semua pakaianmu dan jangan sedikit pun mengambil harta milik Hamidah. Apa yang menjadi hakmu, itu yang kamu bawa, Mim ..." Saranku.

Mendenger penjelasanku, Kamim hanya mengangguk dengan pandangan mengarah ke bawah.
Berbeda dengan Kamim yang sebelumnya, yang terlihat begitu congkak dan bangga atas apa yang dilakukannya. Kali ini, Kamim lebih melunak, mungkin pertemuannya dengan sosok yang menyerupai anaknya, telah merubah isi hati yang sebelumnya telah mengeras.
Pada Satu hari, di tengah malam, pintu rumahku, diketuk.

"Wi ,Wi " Sebuah suara memanggilku dengan nada yang tidak terlalu keras

"Siapa?" Jawabku sambil mengulung kain sarung di area pinggangku.

"Aku, Wi. Kamim..." Jawabnya pelan.

"Masuk Mim." Jawabku setelah membukakan pintu
Kamim segera masuk dengan napas yang terengah-engah, aku segera memberikan satu gelas air putih dan dengan cepat, tangan Kamim meraih gelas itu dan dalam satu tegukan, gelas itu telah kosong.
Setelah melihat Kamim mulai tenang, aku kemudian meminta Kamim untuk bersuci dan segera masuk ke dalam kamar.

"Mim, ini kamu baca sebanyak-banyaknya dan usahakan jangan sampai tidur …
Tahan sebisa mungkin agar tetap terjaga malam ini ..." Pesanku sambil menyerahkan sebuah buku kecil yang berisi surah yasin terjemahan. Aku segera duduk di ruang tengah, dan tak berselang lama sebuah hawa yang kurang bersahabat, kurasa.
Hawa yang datang dengan energi panas yang terasa begitumenyengat. Aku segera memejamkan mata, menyatukan hati dan pikiran, mulut beserta hatiku merapalkan ayat qursi.

Aku seakan masuk ke dalam sebuah dimensi alam lain,
aku melihat sebuah kereta kencana berlari dengan seorang kusir yang berwujud seperti seorang laki-laki berkepala plontos dengan empat tanduk di kepalanya, lalu turun tepat di depan pintu.

Aku merentangkan tanganku saat kusir itu hendak berjalan masuk.
"Aku hanya diutus untuk mengambil persembahan, jangan halangi atau kamu sekalian akan ku bawa" Cetus makhluk bertanduk empat itu.

"Aku akan menghalangimu dan tidak akan kubiarkan mengambil temanku, biarkan anak manusia itu menebus kesalahan dan memperbaiki hidupnya..." Jawabku.
"Manusia itu sudah dipersembahkan untuk jungjungan kami, jadi manusia itu hak bangsa kami, karena selama ini dia telah menikmati semua kekayaan yang telah diberikan oleh junjungan kami …" Ujar makhluk itu.
"Lebih baik kamu pulang dan katakan pada jungjunganmu, bahwa urusan mati itu haknya Gusti Allah yang menentukan!" Ucapku dengan nada yang tegas.

"Bedebah kurang ajar! Beraninya menghalangi tugasku,
atau sebaiknya aku bawa saja sekalian denganmu ke alamku …" Cetus makhluk bertanduk itu, seraya mengangkat kedua tangannya ke atas.

Suara menggelegar disusul oleh kilatan kilatan petir terlihat menyambar,
ujung petir yang menyambar itu seakan menempel di tangan mahkluk bertanduk itu.

Aku yang pernah berhadapan dengan bergola ijo yang bersenjatakan cambuk hitam sebelumnya, merasakan hawa panas yang luar biasa,
apalagi makhluk bertanduk empat ini yang menjadikan petir sebagai senjatanya, luar biasa mengerikannya. Baru utusannya yang datang sudah seperti ini, apalagi jungjungannya, pikirku.
Pukulan Jibril segera kusiapkan ditambah dengan Sirr Yasin sebagai sebuah senjata untuk mengimbangi cambuk petir makhluk itu.

"Swiiiit .... Ctar! Ctarr!!" Gelegar cambuk petir yang berupa kilatan cahaya menuju ke arahku.

Sebuah hawa panas menyebar,
berbarengan dengan kilatan cambuk dan pedang Sirr yasin, berkibas menyambut lesatan dari cambuk petir ...

"Darrrrr ... Jegeeeerrrrr!!" Dua benturan kekuatan terjadi.
Langkahku tersurut beberapa langkah ke belakang, kekuatan makhluk ini bukan main-main. Saat aku terjajar ke belakang, lecutan kembali terdengar dan ujung cambuk kembali melesat ke arahku, segera aku silangkan, pedang sirr yasin di dada.
Kilatan cambuk petir membelit badan dari pedang siir yasin. Terjadi tarik menarik dan adu tenaga. Sambil menahan tarikan dari makhluk bertanduk empat itu, aku merapal doa al-zalzalalah, lalu terdengar sebuah teriakan yang dibarengi oleh sebuah hentakan dari makhluk itu.
Aku yang kalah tenaga, ikut tertarik ke depan, bagiku ini sebuah teknik, dimana aku membiarkan tubuhku tertarik, hingga jarakku semakin dekat dengannya. Aku segera melepas pedang sirr yasin dan mahluk itu terbawa oleh tenaganya sendiri,hingga dia terjajar mundur beberapa langkah
Aku yang berada pada posisi bebas, segera memukulkan tangan lurus ke arah tubuh makhluk bertanduk itu. Pukulanku tepat mengenai tubuh makhluk bertanduk itu,"Aaaaaa..."
Sebuah jeritan melengking yang disusul dengan tubuh makhluk itu melayang. Secepatnya aku meraih pedang Siir yasin, lalu menerjang memburu tubuh yang kini sedang melayang itu. Sebuah jeritan kembali terdengar bersama muncratnya darah dari makhluk itu saat tangannya terbabat putus
Sambil beringsut mundur, makhluk bertanduk itu mendekati kereta kencananya yang ditarik oleh empat ekor kuda berbulu hitam.

"Perbuatanmu adalah penghinaan bagi bangsa kami dan akan menumbuhkan demdam!
Besok, kamu akan merasakan rasa sakit yang melibihi apa yang aku rasakan ini … Aku yang akan menyiksamu, saat jungjunganku membawamu ke alamku nanti!" Ancam makhluk itu sebelum kereta kencana itu kemudian melesat dengan cepat membelah langit.
Setelah pertarungan itu, aku langsung ambruk, tubuhku terasa sangat lelah sekali. Aku pun masuk ke dalam kamar tempat Kamim berada.

"Mim ... Besok kita pergi dari sini ya … " Ajakku.

"Pergi kemana Wi? " Jawab Kamim dengan mimik muka yang terlihat heran.
"Mulai besok, agar kamu lebih aman, kamu tinggal di pondok dulu ya …" Jawabku sambil melipat kain sarung.

"Di pondok siapa Wi?” Jawab Kamim sambil meminum kopi yang ada di hadapannya.

"Di pondok Darrul Ulum, Mim. Mau?” Ujarku dengan menatap wajah Kamim.
"Memang kenapa Wi, kita pindah segala?" Tanya Kamim penasaran.

"Jujur Mim, aku takut … Aku tak akan mampu untuk menjagamu. Terus terang Mim, yang kini mengejarmu, penguasa kegelapan yang menjadi sesembahan dari Hamidah, aku tidak terlalu yakin bisa melawannya,

lanjut besok..

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Feb 27
Lanjut Part terakhir di Season 1 yaa PWers ...

Cokro Kolo Munyeng
(Part 7 - Season 1 - END)

Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
Read 96 tweets
Feb 26
Lanjut Part 6 yaa Pwers, malam ini gak akan terlalu banyak tweet soalnya lagi ada kerjaan.

Selamat membaca !

Cokro Kolo Munyeng
(Part 6)

"Kalau sama Akang, mereka kok bisa kalah, kang?” Tanyaku penasaran.
"Ngajimu kurang jero (dalam) ... Kopimu aja yang kental, ilmumu masih encer. Hahaaha, aku bukan mengejekmu ya Wi, tapi sedang membangkitkan semangat dalam dirimu agar terus mau untuk menggali ilmu,
Read 100 tweets
Feb 25
Lanjut Part 5 yaa, PWers ...

COKRO KOLO MUNYENG
(Part 5)

Mendengar penjelasanku, Kamim hanya mengangguk dengan pandangan mengarah ke bawah. Berbeda dengan Kamim yang sebelumnya, yang terlihat begitu congkak dan bangga atas apa yang dilakukannya.
Kali ini, Kamim lebih melunak, mungkin pertemuannya dengan sosok yang menyerupai anaknya, telah merubah isi hati yang sebelumnya telah mengeras.

Pada Satu hari, di tengah malam, pintu rumahku, diketuk.

"Wi .. Wi ..." Sebuah suara memanggilku dengan nada yang tidak terlalu keras
Read 81 tweets
Feb 23
COKRO KOLO MUNYENG
(Part 3)

Aku hanya membalas singkat seperlunya pesan itu, dan bergegas pulang karena tidak tahan dengan hawa dari rumah megah itu.

Tepat 44 hari kemudian, Acun datang untuk menjemputku, dia kemudian mengajakku untuk kembali mengunjungi rumah Hamidah,
dan sesampainya di sana, aku melihat Hamidah sedang menangis. Tak jauh dari tempat Hamidah, di tengah rumah, sebuah jasad sudah terbujur kaku.

Aku segera duduk dan membuka kain menutup jasad tersebut, "Astagfirullah …" Ucapku kaget.
Read 100 tweets
Feb 22
COKRO KULO MUNYENG
(Part 2)

Janur kuning melengkung menghiasi halaman, di tengah rumah sepasang pengantin sedang terduduk di depan seorang penghulu dalam prosesi ijab qobul. Selepas ijab qobul, raut wajah sang pengantin terlihat begitu berbahagia, Hamidah dan Rusman.
Hari itu, Hamidah dan Rusman sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

Kehidupan pasangan pengantin baru, penuh kebahagian, dalam cinta dan kasih sayang.
Read 25 tweets
Feb 22
Hi Pwers, kali ini saya mau berbagi kembali kisah dari serangkaian perjalanan kisah Narasumber kita, Mas Wijaya. Masih di bumbui adegan diluar nalar yang bisa kalian percaya atau enggak. Buat saya seru sih dan yang pasti kita ambil pelajaran nya aja ya :)

Selamat membaca !
COKRO KULO MUNYENG
Ns : Mas Wijaya

Malam itu, seperti biasa sehabis isya, aku duduk di sebuah warung kopi yang terletak tidak jauh dari masjid. Dari kursi yang menghadap ke arah jalan tempat aku duduk, kulihat salah seorang kawanku yang juga sering mengopi di warung ini datang
Read 25 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(