Aku terus terdiam sesaat setelah Hamidah mengutarakan keinginannya, bagiku menikahi Hamidah sama dengan mempertaruhkan nyawaku ini. Aku tidak yakin bisa menahan diriku selama 40 hari,
jika aku benar-benar harus menikahi Hamidah, selain karena kecantikan dan pesona Hamidah sendiri, Hamidah itu sangatlah agresif, aku bisa celaka jika tidak bisa menahan diriku atas godaannya, bisa-bisa aku yang akan menjadi korban selanjutnya.
"Beri saya waktu untuk berpikir ya Mbak …" Jawabku dengan penuh kebimbangan.
"Jangan lama-lama ya Wi … Mbak takut, semua terjadi lagi di luar keinginan Mbak, seperti ada yang terus membisiki Mbak untuk menikah lagi ...
Hasrat ini terlalu menggebu dan hal ini seakan membuatku kehilangan jadi diriku. Aku kasihan sama orang yang nanti bisa saja menjadi korbanku lagi … " Jelas Hamidah dengan raut wajah yang sedih.
"Saya paham Mbak, tapi saya juga berat untuk menyanggupi semua ini sekarang, karena ini perkara yang menyangkut nyawa, saya perlu waktu untuk memikirkannya matang-matang, tidak bisa sembarangan … " Jawabku mencoba untuk menolak dengan halus.
"Pokonya tolong Mbak, ya Wi ..." Balas Hamidah dengan nada memelas.
"Iya Mbak, tapi saya mohon beri saya waktu untuk berpikir dulu." Jawabku dengan penekanan kata.
"Berapa lama Mbak harus menunggu, Wi?" ujar Hamidah terus mengejar kesanggupanku.
"Tiga hari … Beri saya waktu untuk berpikir selama tiga hari, nanti saya kabarin Mbak Hamidah." Ucapku disusul berpamitan dan membalikkan badan meninggalkan Hamidah yang terus menatapku dalam diam.
Aku masih bingung memikirkan jawaban atas permintaan Hamidah,
sambil memainkan cangkir kopi, aku pun terus berpikir dan mencari cara untuk bisa menyelamatkan Hamidah, dan tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkan aku.
"Ngelamun aja!" Cetus sebuah suara yang tiba-tiba datang dari arah belakangku.
"Eh mang Atun, gimana sehat? " Tanyaku.
"Sehat, Wi." Jawab mang Atun sambil duduk di kursi.
"Hamidah lagi cari suami, kamu mau gak Mang?" Tanyaku memancing sahabatku.
baik itu maksud dan cara menghadapi Hamidah. Mang Atun pun mengangguk-anggukan kepalanya ketika aku jelaskan semuanya.
"Kamu bisa jamin keselamatanku nggak, Wi?" Ungkap mang Atun.
"Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu, tapi insyaAllah kalau gak melanggar apa yang aku sebutkan tadi, kamu akan selamat dan bisa hidup enak, mang Atun. " Ucapku menggoda mang Atun dibarengi dengan sebuah cengiran.
"Iya Wi kalau selamat, kalau tidak selamat, ya selamat jalan, Wi." Jawab mang Atun dengan terkekeh disusul dengan memesan satu cangkir kopi.
"Ini serius, mau nggak Mang Atun?" Tanyaku kembali memastikan.
"Aku mau saja Wi, tapi takut mati .. Hehehe…" Jawab Atun lembali terkekeh
Akhirnya 3 hari telah berlalu,hari yang sudah kujanjikan untuk menjawab permintaan Hamidah, telah datang ditentukan. Hamidah pun datang menemuiku dan menayakan jawaban yang sudah kujanjikan
"Gimana Wi, sudah ada jawabannya?" Tanya Hamidah tanpa basa-basi dengan wajah yang serius
"Ada …" Jawabku singkat.
"Alhamdulillah … Jadi gimana?" Tanya Hamidah.
"Tapi Mbak Hamidah nggak akan menikah dengan saya, dan saya akan tetap membantu Mbak … " Jawabku dengan nada serius.
"Nanti ... Nanti dulu, aku nggak paham loh arah pembicaraan kita ini, Wi ..." Balas Hamidah dengan raut muka yang kebingungan.
Aku segera menjelaskan semuanya kepada Hamidah, bahwa yang akan menikahi dirinya adalah mang Atun,
tapi setiap malam aku akan berada bersama mang Atun juga Hamidah di kamar selama 40 malam, itupun jikalau Hamidah mau dan mengijinkan. Terlihat Hamidah tersenyum lebar ke arahku, setelah mendengar rencanaku ini.
"Hahahaha … Kamu itu lucu Wi … Aku maunya nikah sama kamu, malah disuruh nikah sama Atun. Dan jikapun iya aku mau menikahi Atun, kamu malah ingin menemani malam-malam kami selama 40 malam kedepan,
jangan-jangan kamu ini nggak normal ya Wi?" Jawab Hamidah dengan sambil menyeka butir air mata yang keluar karena puasnya dia tertawa.
"Hahahaha … Saya masih normal loh Mbak.
"Apa nggak ada cara lain lagi Wi?" Tanya Hamidah serius.
"Ada … Sebuah simbol ikatan batin yang menyatakan, bahwa ada tanda ikatan sebuah pasangan …" Jawaku menatap mata Hamidah.
"Hah? Maksudnya gimana Wi, aku gak paham …" Tanya Hamidah dengan mengernyitkan dahi.
"Jadi begini Mbak … Saya menikahi sampean secara siri, sebagai tanda ikatan batin. Dan karena kita sudah sah, ini juga menjadikan saya tidak harus bolak-balik ke kamar mandi bila bersentuhan denganmu,
karena yang diincar oleh makhluk ghaib itu adalah suamimu ...” Jawabku tersekat seraya menghela napas dan meniupkan kepulan asap rokok yang sedang kuhisap ini.
“… Selama 40 hari kita tidak akan berhubungan badan, satu hal lagi, aku harus mengajak mang Atun di setiap malam. Dan setelah urusan ini selesai maka aku akan langsung menjatuhkan talak kepadamu. Gimana Mbak, mau menerima semua syaratku ini?” Tanyaku serius menatap mata Hamidah
"Wah, sebentar-sebentar … Kalau begini sih, sama saja, Wi ..." Jawab Hamidah mengernyitkan dahi.
"Semua terserah Mbak, tapi cuma itu pilihannya." Balasku disusul dengan menuangkan kopi hitam di piring kecil.
"Kalau sama mang Atun, sampean bisa melanjutkan kehidupan seperti sedia kala, tapi jika menikah dengan saya, sampean tahu sendiri, bagaimana kehidupan dan dan keseharian saya ..." Ujarku sambil menarik napas dan kembali melanjutkan pembicaraan
"Pokoknya Mbak, kalau mau berpikir jangan lama-lama, nanti keburu berubah pikiran mang Atun’nya …" Tutupku.
"Iya Wi, aku minta waktu … Mungkin lusa aku kabari lagi kamu …" Jawab Hamidah dengan wajah yang nampak bingung.
Betapa akan senang dan bahagianya hati mang Atun jika Hamidah memilih dirinya dan menyetujui semua syarat yang kuajukan sebelumnya. Akhirnya hari itu, dia bisa duduk bersanding dengan seorang janda kaya, cantik dan mempesona, pikirku.
Akhirnya Hamidah pun menyutujui rencanaku. Dia memilih menikah dengan mang Atun beserta syarat yang aku ajukan. Aku pun memberitahukan kabar ini kepada mang Atun dan da terlihat sangat senang. Tak berselang lama hari pernikahan antara Hamidah dan mang Atun pun ditentukan.
Acara pernikahan mereka berlangsung dengan sederhana dan dihadiri oleh hanya kerabat-kerabat dekat saja yang datang, termasuk aku. Mbok Min pun datang menghampiriku ketika proses aqad telah selesai.
"Ini yang Simbok harapkan ... Semoga Ndo Hamidah bisa terlepas, dari persekutuan ghaib dengan para penghuni laut parang tritis …" Bisik mbok Min.
"Maksudnya apa Mbok?” Tanyaku keheranan
"Dulu sebelum ibunya Hamidah meninggal, dia sempat menanamkan sesuatu dalam tubuh Hamidah
Mbok sebenernya ingin kamu yang menikahi Hamidah, tapi gak apa-apa, yang penting kamu bisa membebaskan Hamidah dari persekutuan ghaib yang sedang dialaminya sekarang ini." Jelas mbok Min.
"Aku diberi amanah untuk memberikan ini kepada orang yang sekiranya bisa menyelamatkan Hamidah, ini amanah dari almarhumah ibunya Hamidah.
Saat nanti kamu menyelamatkan Hamidah, gunakan ini untuk menangkap sosok ghaib yang selama ini memberikan kecantikan dan kemolekan pada Hamidah ... Aku sebetulnya kasihan juga sebetulnya sama anak itu, Wi ..." Ucap mbok Min sambil menunjuk ke arah mang Atun.
"Emang kasihan kenapa Mbok? " Tanyaku penasaran.
"Jika makhluk itu sudah keluar dari raga Hamidah, anak itu, kawanmu itu akan melihat rupa Hamidah yang asli …" Jawab mbok Min.
"Kok bisa begitu Mbok?" Ucapku dengan antusiasme tinggi, semakin penasaran.
"Usia Hamidah nggak muda lagi, dia sudah berumur 55 tahun. Di usia segit untuk seorang perempuan, akan bagaimana fisiknya menurutmu?" Ujar mbok Min yang mungkin sudah berusia 70 tahunan dan masih terlihat bugar juga sehat.
Aku tercengang dengan mulut terbuka, menganga, mendengar semua penuturan dari mbok Min. Aku memikirkan mang Atun, aku merasa bersalah karena telah menjodohkan dia dengan Hamidah. Alangkah akan kecewa hatinya, saat tahu sosok Hamidah yang sebenarnya,
tapi di sisi lain, tujuan mang Atun menikahi Hamidah itu karena hartanya, jadi mungkin dia tidak akan terlalu kecewa nanti.
Setelah usai acara pernikahan, aku pun mengajak mang Atun untuk segera keluar dari rumah megah Hamidah,
agar malam ini aku bisa lebih fokus dalam menjaganya tanpa diganggu oleh makhluk-makhluk ghaib yang masih menyelimuti rumah Hamidah ini. Dan tentu saja jika aku gagal menjaga mang Atun,
aku takut jika dia sampai lepas kendali dan tidak bisa mengontrol dirinya, sehingga mereka melakukan hubungan suami istri dan itu tentu saja membahayakan nyawa dari mang Atun.
"Mang Atun, kamu harus ingat jika ini adalah malam pertamamu dengan Hamidah, jangan sampai kamu menabrak larangannya! Kalau sampai dilanggar itu akan menjadi resikomu sendiri …
Aku gak akan bisa berbuat apa-apa lagi." Ucapku mengingatkan mang Atun saat duduk di ruang tengah, di sebuah rumah sederhana yang sengaja dibeli oleh Hamidah.
"Iya Wi, aku paham … Tapi kamu nemenin aku di sini, kan?" Tanya mang Atun dengan raut wajah yang terlihat khawatir.
"Aku temani kamu di sini, tapi Hamidah, istrimu suruh tidur aja di kamar tengah." Pintaku kepada mang Atun.
Akhirnya Hamidah pun tidur di kamar tengah. Aku meminta kepada mang Atun untuk berdoa dan tetap terjaga semalaman.
Setelah itu, aku segera membuka bungkusan yang sebelumnya telah diberikan oleh mbok Minah.
"Hmm ... Sebuah selendang berwarna merah darah. Tercium aroma wangi yang khas dari selendang ini …” Pikirku.
Menjelang tengah malam, aku mulai mendengar suara dengkuran dari mang Atun, ku bangunkan dia dan kembali memintanya untuk tetap terjaga.
"Cepat sana mang Atun buat kopi buat kita berdua. Mataku juga sudah mulai berat, Mang " Pintaku sedikit memaksa agar mang Atun kembali terjaga
"Iya Wi, maaf aku ketiduran. Aku tiba-tiba ngantuk, hehehe… " Jawab mang Atun terkekeh kemudian berdiri dan beranjak ke dapur
Hari-hari terus berganti, aku terus menemai mang Atun dan Hamidah di rumah mereka yang baru. Aku mulai merasakan jika sikap Hamidah sudah mulai berbeda
Hamidah kini nampak berlaku lebih genit, dia seperti sengaja menggoda mang Atun dengan berpakaian seksi dan juga minim, dan secara sekilas aku pun mencium dengus napas liar Hamidah, berbau amis darah.
Malam ini adalah malam ke-30 semenjak pernikahan Hamidah dan mang Atun. Selama 29 hari ke belakang, aku terus terjaga di setiap malam, begitu pula mang Atun, kami tidur di siang hari ketika Hamidah sudah mulai beraktifitas dan meninggalkan rumah.
Tapi di malam ke-30 ini berbeda, tubuhku terasa sangat lelah, sedari maghrib aku sudah merasakan ngantuk yang begitu luar biasa, dan akhirnya aku pun kalah melawan rasa kantukku, aku tertidur di malam ini
Ketika sedang pulas-pulasnya tertidur, aku tiba-tiba terbangun ketika mendengar jeritan yang begitu keras dan mengagetkan dari mang Atun.
"Wiiiiiiii … Tolong, Wiiiii…! Tolong aku, Wi ...!!" Jerit mang Atun terdengar begitu keras di seluruh rumah.
Aku tersentak, terbangun dan dengan cepat membuka mata. Nampak mang Atun tengah dicekik oleh Hamidah. Pada saat itu, aku melihat Hamidah sudah dalam wujud yang berbeda, dia dalam sosok lain dan yang jelas itu bukan sosok dari Nyai Dayang Wungu!
Aku segera memegangi ke dua tangan Hamidah yang kini sedang mencekik leher mang Atun.
"Kalau berani, jangan dia yang kamu cekik, tapi aku!" Batinku sambil menatap sorot mata Hamidah.
Secepat kilat tangan Hamidah berpindah mencekik leherku,
setelah sebelumnya mendorong tubuh mang Atun terlebih dahulu.
Aku segera memejamkan mata, menyatukan hati dan pikiran. Hatiku menyebut Asma Allah, mulutku mengucap beberapa surah khusus dan kini aku seakan-akan melihat sosok yang lain, yaitu sesosok buto ijo.
"Siapa kamu dan mau apa?!” Tanyaku dengan nada yang tinggi.
"Siapa aku tidaklah penting bagimu! Aku hanya menjalankan perintah dari junjunganku!!" Jawab sosok buta ijo itu.
"Apakah Nyai Dayang Wungu adalah jungjunganmu?!" Tanyaku kembali.
"Kamu sudah tahu siapa jungjunganku, tapi kenapa kamu tidak cepat menyingkir dan membiarkanku melaksanakan tugasku, hah?! " Bentak sosok itu.
"Aku akan pergi setalah kamu juga pergi dari tubuh Hamidah!" Jawabku dengan sorot mata yang tajam kepada sosok itu.
Tiba-tiba saja sosok buta ijo itu mundur beberapa langkah. Mulutnya terlihat sibuk merapal mantra, tangannya menengadah ke atas, dan tiba-tiba ditangannya sudah tergenggam sebuah tombak bermata tiga.
Aku yang sudah bersiap-siap sebeleumnya dengan pedang Sirr yasin juga pukulan Jibril, segera mengibaskan pedang untuk menangkis, sabetan tombak buta ijo itu.
"Trangg …!!" Dua senjata beradu, beberapa jurus silat ghaib sudah terlewati.
Hebat juga kau anak manusia! Namaku Kolo bendono, dan aku akan menghabisimu di tempat ini karena telah menghalang-halangiku mencabut nyawa laki-laki itu. Hahahaha …
Kolo bendono meloncat ke belakang, lalu merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, mulutnya kembali merapal mantra dan kini, tubuh dari Kolo bendono menjadi tiga.
Sebuah ilmu pecah raga yang hanya bisa dikuasai oleh makhluk-makhluk astral tingkat tinggi,
ternyata yang kuhadapi sekarang bukan makhluk ghaib biasa, pikirku.
Tiga sosok Kolo bendono mengurungku menjadi seperti sebuah trisula, yang menyerangku secara sekaligus bersamaan.
Kelebatan-kelebatan pedang Sirr yasin terus bertambah cepat, menghalau serangan dari 3 raga Kolo bendono, tak ayal mengeluarkan suara desingan dan kilatan-kilatan berwarna perak.
"Dess ...!" Sebuah pukulan terasa begitu panas mengenai bagian tengkuk leherku.
Tubuhku terdorong ke depan, dan kini dihadapanku sudah terdapat dua tombok yang menyongsong, sedangkan dari arah belakang, sebuah tombak tengah terhunus ke arah punggungku. Aku betul-betul terjepit, aku pun menjatuhkan badanku setengah berlutut.
Tombak yang datang dari arah belakang hanya melewati bagian atas bahuku, lalu kubuang tubuhku ke arah samping agar bisa menghindari dua tombak yang datang dari arah depan, dan kini ketiga tombak itu kembali kepada Kolo bendono setelah tidak ada yang berhasil mengenaiku.
Secara serentak ketiga batang tombak itu pun ditancapkan di atas tanah dan, "Wuuuut ..."" Suara deru angin dan yang disertai dengan sebuah larik sinar merah menderu ke arahku. Aku segera menyambutnya dengan pukulan Jibril.
Belum selesai disitu, Kolo bendono kini kembali menancapkan ketiga tombaknya ke atas tanah. Melihat itu, aku kembali menahan serangan dengan Hentakan kaki yang dibarengi dengan al_zalzalah. Dua benturan saling bersahutan dan aku terpelanting ke arah belakang.
Dalam kondisi tubuh yang masih melayang, aku melihat sebuah tombak yang datang menderu ke arah tubuhku ini. Aku yang sudah tidak berdaya.
"Wessssshh …” Suara desingan tombak mengarah ke dadaku.
Aku yang sudah pasrah, terdengar lagi suara desingan yang lain, yang lebih cepat.
Ketika aku lihat, tiga buah benda hitam sedang melesat dengan cepat ke arah Kolo bendono, entah darimana asalnya.
Tiga benda berwarna hitam yang melesat itu seperti tiga buah paku bumi yang berbentuk seperti kepala ular naga,
benda itu mengarah ke arah tubuh Kolo bendono dan dengan cepat tombak yang sedang mengarah kepadaku ditarik kembali dan diputarkan untuk menghalau ketiga paku bumi ini.
"Tring...! Tring...!!" Tiga paku bumi itu terpental, terhalau oleh tombak Kolo bendono.
Aku yang sebelumnya terpelanting, kini mampu berpijak kembali dan menoleh ke arah datangnya tiga paku bumi tersebut. sebuah sosok tiba-tiba berkelebat dan menghilang dari arah pandanganku itu
"Hmm ... Siapa sebenarnya yang telah menyelamatkan nyawaku? Apakah itu nyai Kantil Semayang?” Pikirku sekilas sebelum akhirnya kembali melanjutkan pertarungan dengan Kolo bendono.
Kolo Bendono bertolak pinggang dengan tawa yang terbahak-bahak.
"Hahaha ... Hahaha ... Tadi ada yang menyelamatkanmu, tapi jangan harap kamu akan selamat dari cengkaramanku. Kamu akan mati disini!" Ancam Kolo Bendono disusul dengan gerakan untuk kembali memecah raganya.
Aku segera memukulkan telapak tanganku setelah sebelumnya aku membacakan Hijib ayat qursi, dengan niatan untuk membakar Kolo bendono. Aku berharap dengan membakarnya,
hal itu bisa mengagalkan Kolo bendono untuk mengeluarkan ilmu memecah raga, karena jujur saja, untuk menghadapi secara langsung 3 makhluk seperti Kolo bendono, benar-benar berat bagiku.
Sebuah hawa panas menyebar mengurung Kolo Bendono. Kolo Bendono merubah gerakan dengan memutarkan tombaknya. Sebuah deru angin yang keluar dari putaran tombak, menderu menghalau energi panas yang berasal dari Hijib ayat qursi.
Energi angin dari Kolo Bendono kalah cepat dan tidak mampu untuk menahan semua serangan energi dari Hijib ayat qursi. Hijib Ayat qursi pun berhasil membakar separuh dari badan Kolo Bendono. Pinggang dan kakinya terbakar, Kolo Bendono pun meraung kepanasan,
Aku tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun segera membacakan doa Jibril dan "Wushhhh ..." Sebuah energi panas menghantam kaki Kolo Bendono, yang disusul oleh teriakan kesakitannya. Separuh raga dari Kolo Bendono punberhasil untuk kuhancurkan.
Ketika tanganku terangkat untuk menuntaskan perlawan Kolo Bendono, separuh raga yang masih tersisa dari Kolo Bendono, tiba-tiba berubah bentuk menjadi gumpalan asap yang hitam. Semakin lama, gumpalan itu semakin menipis dan kemudian benar-benar menghilang, sirna dari hadapanku.
Pertarunganku dengan Kolo bendono pun selesai. Tubuhku melunglai, merasakan rasa lelah yang begitu luar biasa, dalam sisa-sisa kesadaranku aku masih bersyukur karena masih bisa diberikan keselamatan dalam pertarungan ini setelah aku hampir saja mati.
Aku masih memikirkan, siapa sosok yang berkelebat menghilang yang membantuku tadi dalam sisa-sisa kesadaranku, sebelum akhirnya aku terlelap tak sadarkan diri karena kelelahan.
Pagi itu secangkir kopi telah tersaji di atas meja. Sambil mengaduk kopi dan menyulut rokok, aku menatap wajah mang Atun dan berkata, "Kamu jujur mang, apa kamu melakukan hubungan badan dengan istrimu kemarin malam?” Tanyaku penuh selidik menatap mata dari mang Atun.
“Hah kamu ini Wi, pengen tau aja urusan suami istri, hehehe …” Jawab mang Atun tersipu.
“Eh Mang! Aku gak lagi bercanda ini, gimana sih …” Ucapku dengan nada yg sedikit kesal.
"Aku minta kamu jujur Mang ... Ini untuk keselamatanmu ..." Tanyaku kembali dengan sedikit memaksa.
"Belum sempat kok Wi … Baru aja mau mulai aku sudah dicekik duluan … Hehehe ..." Jawab mang Atun dengan tersipu malu.
"Hah kamu ini mang, ada-ada aja. Aku hampir mati kemarin malam gara-gara kelakuanmu itu … Ya sudah, ini pelajaran buat kedepannya, jangan sampai semua usaha kita ini sia-sia. Ini cuman tinggal sepuluh malam lagi, kamu harus kuat, tahan napsumu,
karena kedepan ujiannya akan semakin berat, Mang ..." Jelasku mengingatkan mang Atun.
"Iya, Wi ..." Jawab mang Atun singkat dengan kepala tertunduk.
Setelah aku mengobrol dengan mang Atun, tiba-tiba handphone selularku berbunyi, sebuah nada pesan telah masuk.
Aku membuka pesan tersebut dan ternyata itu dari Kamim, dia mencariku dan menyuruhku untuk pergi ke pondok. Aku pun mengiyakannya, aku pergi setelah dzuhur, jawabku.
Selesai sholat dzuhur aku pun segera memacu cepat sepeda motor tua peninggalan almarhum bapakku,
hingga tak terasa aku sudah sampai di depan pondok. Aku pun masuk ke dalam pondok menyalami kiyai Sholeh dan setelah berbincang-bincang sebentar, aku segera menuju kamar untuk menemui Kamim.
"Gimana Mim, sehat?" Tanyaku dengan wajah yang tersenyum setelah sekian lama tidak bertemu dengannya.
"Alhamdulillah, aku sehat Wi ..." Jawab Kamim sambil membenahi sarungnya.
" Wi, apa benar Hamidah sudah menikah sama Atun?” Tanya Kamim tanpa basa-basi lagi.
"Benar, Mim ..." Jawabku.
"Oh ... Syukurlah kalau begitu, semoga Hamidah dan Atun bahagia …" Ucap Kamim dengan nada yang terdengar sedih.
"Aamiin ..." Jawabku singkat.
"Wi ... Aku ingin pulang kampung … Aku mau hidup di kampung saja, Wi ...” ucap Kamim.
"Ya boleh Mim, lagian kalo di kampung masih ada sawah dan ladang, kamu gak kan kesusahan, minimal gak akan kelaperan, Mim … " Balasku mengiyakan keinginannya.
"Tapi … Aku sudah aman, kan Wi sekarang?” Tanya Kamim memastikan.
"Kalau menurutku, sebetulnya kamu lebih baik disini dulu, sambil menunggu situasi benar-benar aman. Kalo sekarang ini, aku belum bisa benar-benar memastikan, situasinya aman atau tidak untukmu, Mim …" Jawabku.
"Menurutmu saja, aman atau nggak?" Kamim bertanya sedikit memaksa.
"Hmm … Pokoknya, kalau kamu mau pulang, hati-hati saja dan jaga diri kamu baik-baik. Walau bagaimanapun juga, sebagian dari dirimu telah menikmati kekayaan dari hasil pesugihan Hamidah.
Aku cuman khawatir, makhluk-makhluk itu tetap mengejarmu dan sedang menunggumu lengah. Jadi, alangkah baiknya, jika kamu menunda niatanmu itu, Mim …" Jelasku.
"Tapi Wi, orangtuaku sudah sangat tua, mereka butuh aku untuk menjaga mereka.” Jawab Kamim merajuk.
"Oh … Ya sudah kalo begitu, semua terserah dirimu, yang jelas kamu harus tetap berhati-hati dan terus mendekatkan diri sama Gusti Allah, ya Mim … " Pesanku kepadanya.
Dua hari kemudian, Kamim memutuskan untuk tetap pulang ke kampungnya dan sesampainya di kampung,
Beberapa hari kemudian, saudara Kamim meneleponku, bahwa Kamim sudah tiga hari ini badannya panas, demam. Lewat vidio call, aku pun bertatap muka dengan Kamim.
"Mim ... pokoknya usahakan malam ini kamu jangan tidur ya.
Dzikir dalam hati, baca surah yasin ..." Pintaku kepada Kamim yang hanya dibalas dengan anggukan kepala saja.
Malam harinya, aku merasakan suasana hati yang tidak menggangu. Ada perasaan mengganjal yang tidak enak yang aku rasakan. Pikiranku selalu teringat kepada Kamim,
aku mencoba mengirimkan doa sebanyak-banyaknya. Batinku berkata, bahwa telah terjadi sesuatu kepada Kamim.
Selepas sholat subuh, handphoneku berbunyi, sebuah pesan telah masuk. Aku segera membacanya, "Kamim telah berpulang untuk selamanya...” Sebuah penggalan pesan yang kubuka
----TAMAT----
Kisah ini masih berlanjut yaa Pwers di Cokro Kolo Munyeng Season 2.
Nantikan kelanjutan kisah yang terjadi pada Hamidah dan mang Atun. Apakah Wijaya mampu membantu membebaskan Hamidah dari ikatan perjanjian ghaib itu ?
Coming Soon !
Thanks,
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Lanjut Part 6 yaa Pwers, malam ini gak akan terlalu banyak tweet soalnya lagi ada kerjaan.
Selamat membaca !
Cokro Kolo Munyeng
(Part 6)
"Kalau sama Akang, mereka kok bisa kalah, kang?” Tanyaku penasaran.
"Ngajimu kurang jero (dalam) ... Kopimu aja yang kental, ilmumu masih encer. Hahaaha, aku bukan mengejekmu ya Wi, tapi sedang membangkitkan semangat dalam dirimu agar terus mau untuk menggali ilmu,
Mendengar penjelasanku, Kamim hanya mengangguk dengan pandangan mengarah ke bawah. Berbeda dengan Kamim yang sebelumnya, yang terlihat begitu congkak dan bangga atas apa yang dilakukannya.
Kali ini, Kamim lebih melunak, mungkin pertemuannya dengan sosok yang menyerupai anaknya, telah merubah isi hati yang sebelumnya telah mengeras.
Pada Satu hari, di tengah malam, pintu rumahku, diketuk.
"Wi .. Wi ..." Sebuah suara memanggilku dengan nada yang tidak terlalu keras
Sebelum lanjut, pastikan kalian udah baca sampai terakhir cerita di Part 3 yaaa... Selamat membaca !
COKRO KOLO MUNYENG
(Part 4)
"Semua terserah kamu, Mim. Kamu yang menjalaninya, aku hanya mengingatkan … " Ucapku.
"Terima kasih kamu sudah mengingatkan, tapi mohon maaf, aku akan menikmati uang ini. Biarkan aku menerima taqdirku sendiri dan kalau memang aku harus jadi tumbal dari Hamidah, mungkin itulah jalanku … Mungkin aku bisa bertemu kembali dengan anakku …" Jawab Kamim.
Janur kuning melengkung menghiasi halaman, di tengah rumah sepasang pengantin sedang terduduk di depan seorang penghulu dalam prosesi ijab qobul. Selepas ijab qobul, raut wajah sang pengantin terlihat begitu berbahagia, Hamidah dan Rusman.
Hari itu, Hamidah dan Rusman sudah resmi menjadi pasangan suami istri.
Kehidupan pasangan pengantin baru, penuh kebahagian, dalam cinta dan kasih sayang.
Hi Pwers, kali ini saya mau berbagi kembali kisah dari serangkaian perjalanan kisah Narasumber kita, Mas Wijaya. Masih di bumbui adegan diluar nalar yang bisa kalian percaya atau enggak. Buat saya seru sih dan yang pasti kita ambil pelajaran nya aja ya :)
Selamat membaca !
COKRO KULO MUNYENG
Ns : Mas Wijaya
Malam itu, seperti biasa sehabis isya, aku duduk di sebuah warung kopi yang terletak tidak jauh dari masjid. Dari kursi yang menghadap ke arah jalan tempat aku duduk, kulihat salah seorang kawanku yang juga sering mengopi di warung ini datang